Thursday, July 19, 2007

3B


Berlibur dikota Manado memang mengasyikkan. Asyik karena saya memang suka berpetualangan ke tempat-tempat yang belum pernah diinjak sandalku. Mengamat-ngamati kebiasaan seseorang atau sekelompok orang disuatu daerah atau tempat ternyata cukup menyukakan hatiku. Selain itu asyik juga karena bisa mengistirahatkan otak dari tugas-tugas yang meneror selama 4 bulan sebelumnya.


Ternyata kota itu sendiri memang menarik. Dikelilingi bukit-bukit tinggi dan pantai yang terhampar luas dihantarkan dengan angin yang sepoi-sepoi, hmm sungguh indah. Makanan-makanan khas Manado yang puedes-puedes pun cocok dengan lidahku. Bukan karena pedesnya tetapi memang ramuan bumbu manado sudah menyihir banyak orang untuk menyukainya.

Apalagi 3B-nya Manado yang begitu terkenal. Kata orang kalo kesana harus mencicipi itu 3B itu, jika tidak belum ke Manado katanya. 3B itu adalah: Bubur Manado atau biasa disebut tinutuan. Rasanya memang lain dari bubur biasanya. Dengan campuran-campuran khas Manado membuat rasanya jadi sedap buanget.

Selanjutnya adalah Bunaken. pantai yang luas yang dapat ditempuh sekitar 40 menit dari pusat kota dengan menggunakan perahu boat. Pantainya sih biasa saja. Namun keindahan taman lautnya sangatlah memikat. Keindahannya dapat membuatku bertanya "siapa yang melukis semua ini?". Taman lautnya bagai lukisan indah kaya warna. Ikan-ikan yang beragam bertaburan menghiasi laut. Batu karang dengan beribu bentuk dan warna itu melengkapi keagungan lukisan bawah air itu. Pantas saja banyak turis asing yang hinggap di pulau tersebut.

Tetapi yang paling menarik adalah B yang terakhir, di mana orang-orang tersenyum kecil jika mendengarnya. B itu adalah "Bibir Manado". Ya, bibir Manado memang menarik. Bukan karena bibirnya berbentuk hati atau sebagainya. Bentuknya sih sama saja dengan bibir manusia lainnya tetapi yang dimaksud adalah kecantikan orang-orang Manado yang memukau. Kulitnya yang putih halus, matanya yang bercahaya, raut muka yang manis, hidung mancung dan bertubuh langsing membuat orang menjulukinya bibir Manado. Lelaki mana yang tidak terpikat melihat perempuan cantik bak bidadari. Sehingga mereka mengatakan, kalo ke kota itu haruslah mencoba bibir Manado.
Kalau dipikir-pikir semua pria bahkan wanita pasti tertarik dengan bibir. Siapa sih yang tidak ingin mencicipi bibir, apalagi bibir orang yang dikasihinya. Bibir itu bak karunia Tuhan yang indah yang diberikan bagi manusia untuk mencicipinya dari hati kecil yang mereka miliki. Dalam pernikahan pun moment yang paling ditunggu banyak orang adalah moment pertemuan bibir ke bibir yang lain. Baik di gereja maupun dalam sebuah pesta pastilah moment itu yang ditunggu-tunggu. Bibir kecil adalah karya Tuhan yang besar.

Namun bibir kecil itu juga dapat menjadi jerat maut bagi banyak orang. Bibir kecil itu dapat membuat orang berkhayal yang tidak wajar. Bibir itu juga dapat membuat orang mengeluarkan egonya. Selain itu bibir itu juga mampu menghancurkan relasi keluarga yang sudah terjalin bertahun-tahun. Yang paling parah, bibir itu dapat membawa manusia menjauhi mereka dari Pencipta bibir tersebut.

Sudah berapa banyak manusia termasuk hamba Tuhan yang sudah terjerat dalam jebakan bibir tersebut. Terutama bagi pria muda, itu merupakan salah satu godaan yang paling berat. Sebuah karunia dapat menjadi sebuah bencana jika salah dimanfaatkan.

Semua itu tergantung bagaimana kita menggunakannya. Apakah kita akan menggunakan itu sebagai karunia yang Tuhan berikan atau sebaliknya, hanya untuk pemuas nafsu kita. Ingat, bibir dapat menjadi jerat maut, yang dapat menghancurkan sisa hidupmu !

Monday, July 16, 2007

HARAPAN

Tahukah saudara
Terkadang kehancuran hati
Yang kita alami
Membuat kita ditemukan
Ditemukan oleh-Nya
Agar Ia
dapat mencurahkan kasih-Nya
Hingga kita
dapat tinggal di dalam-Nya
Dimana disana
Kaya akan sukacita
Raya air mata bahagia
Surya kehangatan kasih
Yang menyejukkan
Dan menghangatkan kita
Sepanjang masa

Wednesday, July 04, 2007

PECAH

Pecah…pecah sudah
Menjadi keping-keping kecil
Jiwa yang rapuh
Dalam bungkusan tubuh gempalku
Benakku pun pecah, terbagi-bagi
Berusaha mencari cara
Tuk merekat kepingan hatiku

Entah bagaimana! Tanyakan pada angin.
Kucoba mengeluarkan air mata
Sebanyak-banyaknya
Yang kukira dapat merekatkan
Namun tak berguna
Air mata hanyalah air mata
Kucoba juga beriak
Sekuat tenagaku
Kuperintahkan keping-keping itu
Untuk kembali bersatu
Namun sia-sia
Riakan hanyalah riakan
Habis dayaku
Mengerang rasa perih
Akibat luka pecahan

Untunglah IA datang
Menawarkan cara , menawarkan perekat
Yang tak pernah kutau
Namun kumau
Yaitu kasih-NYA…. Ya…. Hanya kasih-Nya
Hanya kasih-MU Tuhan
Yang mampu
Mengembalikan utuh
Pecahan hatiku

PERGUMULAN

Menyepi salah, menimbrung juga salah
Semua yang dilakukan salah
Sebenarnya bukanlah masalah menyepi
Atau menimbrung
Namun masalah hati
Yang tidak terpuaskan
Oleh kesendirian juga kebersamaan
Sesekali ingin mengasihi diri
Di lain waktu ingin dikasihani
Di saat menyepi ingin dikasihani
Di saat menimbrung ingin menyendiri daku
Tuk mengasihi diri

Tidak ada ! Tidak ada satupun yang mengena di hatiku
Seperti samudera laut
Yang tidak pernah lega
Meneguk curah air hujan
Seperti hidung kecilku
Yang tak pernah puas
Menghirup udara tiap hari
Demikianlah diriku
Derita! Sungguh derita!

Jadi bagaimana?
Haruskah kuakhiri semua derita?
Haruskah kukeringan samudera hidupku?
Haruskah aku berhenti bernafas?
Haruskah?

Ya Tuhanku, kekuatanku dan pertolonganku
Isilah kekosonganku
Puaskan jiwaku
Sentuhlah diriku
Pulihkanlah aku
Singkirkanlah segala nestapa
Tolong Tuhan
Kumohon

Tuesday, July 03, 2007

M E N T A R I H A R A P A N

Di suatu desa, jauh dari perkembangan teknologi yang serakah, hiduplah keluarga miskin di sebuah rumah reyot. Keadaannya serba sederhana dan “minimalis”. Tidur beralaskan tikar yang terhampar di atas tanah. Atap dan fondasi rumah terbuat dari papan-papan yang cukup rapuh. Jika gulita datang, rumah itu hanya diterangi oleh redupnya nyala lampu pijar. Luas tanahnya begitu mungil: 3x3 m, seukuran dengan gudang rumah orang-orang kaya yang serba “maksimalis” itu. Dengan ukuran seperti itu sudah jelas dapur, ruang tamu, ruang keluarga dan kamar tidur menjadi satu. Lebih tepatnya hanya ada tikar dan alat masak ditambah dengan sedikit perabot-perabot kecil yang turut menyesakkan gubuk tersebut. Alat masak yang mereka miliki pun sudah berkarat dan kotor tidak karuan, sebab si jago masak yang biasa memanjakannya baru saja berpulang kerumah Bapa. Kini rumah itu hanya tertinggal seorang bapak dan seorang anak laki-laki yang baru melakoni hidupnya selama empat tahun. Derita kesedihan menimpa mereka setiap hari. Terutama si bocah cilik tadi. Ia begitu sedih karena telah kehilangan seorang “malaikat” yang selalu memberikan rasa aman jika ia terlelap disampingnya.

Pada suatu hari, di keheningan malam saat semua raga sedang berehat, tiba-tiba terdengarlah suara isak tangis yang bergumam kecil. Begitu kecil hingga hampir tidak terdengar karena takut kalau-kalau tangisannya mengacaukan keheningan malam itu.

Si ayah yang berada di ambang batas kesadaran akhirnya tersadar jua. Ia menyadari bahwa isakan itu bukanlah suara dalam mimpinya. Itu adalah isakan dari buah hati semata wayangnya. Segera ia menghampiri si buah hati yang masih menangis pelan. Sesampai disisinya, si ayah memulai percakapan dengan suara yang lembut “nak, mengapa kamu menangis?”. “A…aku takut yah, a… aku takut!” dengan suara gemetar anaknya menjawab. “Tetapi, mengapa kamu takut nak?” lanjut ayahnya. “Aku takut gelap yah. Mengapa sih mataharinya menghilah yah? Aku kan takut?”. Lalu dengan lembut ayahnya menjawab “Nak, matahari itu tidak menghilang. Ia Cuma pergi sejenak”. Kemudian anaknya bertanya lagi “Ta…tapi kenapa matahari pergi sejenak yah?”. Ayahnya menjawab “Nak, matahari sedang pergi sejenak agar kita tidak melupakan bahwa ia itu ada. Dengan datangnya malam, kita pasti akan menanti dan berharap datangnya pagi. Jika tidak ada malam, kita pasti tidak akan pernah berharap akan kedatangannya. Percayalah nak, besok pagi ia pasti akan datang kembali”. Anaknya meneruskan “Sungguh yah? Ayah jangan bohong ya? Janji ya kalo ia pasti datang?”. Lalu ayahnya menutup percakapan itu “Iya nak, ayah janji, ayah tidak akan bohong. Sekarang jangan menangis lagi ya nak. Matahari pasti datang. Ia pasti datang untuk menyinari, menerangi dan menghangatkan segala mahluk ciptaan di bumi ini. Berharap saja ya nak, ia pasti datang lagi karena ia tidak pernah menghilang”.

Bak kegelapan malam tanpa sinar mentari yang dirindukan bocah tadi, begitulah juga dengan kehidupan ini. Terkadang hidup ini terasa begitu kelam, pekat dan gulita untuk dijalani. Terlampau kelam sehingga kita takut dan khawatir jikalau hidup ini terus-menerus berkutat di dalam kegelapan itu. Kita mencari secuil cahaya namun tidak menemukannya. Dengan tertatih-tatih kita berjalan. Lalu mulailah terpikir bahwa Tuhan sudah pergi meninggalkan kita dan tidak akan pernah datang kembali. Air mata pun mengalir deras tak tertahankan.

Tapi benarkah demikian? Pernahkah Tuhan meninggalkan kita? Sebagaimana mentari bersinar di pagi hari tanpa pernah ia terlambat setiap harinya, demikianlah Tuhan hadir dan bercahaya bagi anak-anak-Nya. Bahkan kelak ketika dunia akan sirna di mana mentari itu pun ikut lenyap, Ia tidaklah sirna. Ia akan selalu ada dan terus-menerus ada.

Namun terkadang Ia harus pergi sejenak. Bukanlah untuk meninggalkan, namun untuk menuntun hati kita berharap kepada-Nya. Selama Ia hadir menerangi anak-Nya, kita tidak pernah menganggap keberadaan-Nya. Kita mengabaikan-Nya dengan berjalan sesuka hati. Akal budi yang merupakan pemberian-Nya menjadi sandaran untuk melakoni kehidupan sehari-hari. Kita hidup seakan tiada Tuhan di alam semesta ini. Padahal tanpa-Nya kita tidak dapat hidup. Oleh karena itu Ia pergi sejenak. Ia mengijinkan gulita itu datang agar anak-anak-Nya kembali mencari serta berharap kepada-Nya. Ia menikmati hati yang berharap dan berseru pada-Nya. Bagai penjaga pintu gerbang yang lelah bekerja semalaman namun setia mengharapkan datangnya pagi hari, Ia ingin kita berharap dan menantikan kehadiran-Nya.

Saudara, mungkin engkau sedang berada di keheningan malam saat ini. Gelap gulita menyelimutimu. Jalanmu tertatih-tatih. Sudah habis air matamu. Naikkanlah secuil harapanmu kepada-Nya. Pengharapan yang mengambil sebagian kecil di dalam hati namun berkuasa mempengaruhi seluruh hatimu. Pengharapan yang ditujukan kepada Ia, mentari harapan kita, yang senantiasa hadir dan berkuasa menerangi kegelapan dan kesunyian malam.

Kelak, gulita itu akan sirna dan harapanmu tak akan sia-sia. Gelak tawamu akan senantiasa bergema dalam hatimu. Dan engkau akan merasakan sukacita bersama dengan-Nya. Disisi-Nya. Senantiasa.

Hendra Fongaja 5 Juni 2007

Monday, July 02, 2007

Kembangkanlah Sayapmu

Kembangkanlah sayap kecilmu
Dibawah naungan sayap kasih-Nya
Melintasi smua awan mencekam
Yang mencoba tuk merintangimu

Larilah dan terus berlomba
Arahkanlah matamu pada-Nya
Terus berjuang meski kau lelah
sampai kau dapatkan mahkotamu

Hadapilah kehidupanmu
Dengan segala kekuatan-Nya

Tuhanmu akan jadi pembela kan hidupmu
Agar kau dapat mengalahkan
smua musuh yang menyerangmu
Tuhanmu akan menguatkan setiap langkahmu
Agar kau dapat berdiri tegak
Sampai akhir hidup