Ritme merupakan istilah di dunia musik
yang memiliki pengertian: sebuah gerakan simetris dan horisontal yang teratur
dalam sebuah lagu. Biasanya kita katakan ritme sebagai sebuah irama lagu. Ritme
membentuk pola dalam sebuah lagu, ada pengulangan, gradasi, dan sebagainya.
Berbicara tentang ritme,
beberapa bulan yang lalu telah di tayangkan sebuah kisah apik di layar lebar
yang berjudul “Bohenmian Rhapsody”. Film ini mengisahkan perjalanan musisi legendaris
bernama “queen”, yang dikenal oleh seluruh dunia. Salah satu lagunya yang
paling terkenal yang saya kira kita semua tau, yaitu “We are the champion my friend, and we’ll keep on fighting to the end.”
Lagu-lagunya begitu memukau, karena lahir dari pengalaman hidup, manis pahit
kisah hidup mereka. Sesuatu yang lahir dari hati selalu memberi arti bukan?
Nah, Salah satu lagu yang
menurut saya paling spektakuler adalah lagu yang dijadikan judul dalam film ini:
“Bohemian Rhapsody”. Lagu ini pernah
menduduki puncak tangga tertinggi di
Inggris selama 2 bulan lebih di jamannya. Tentu ada something special dalam
lagu tersebut. Bisa dibilang lagu yang berdurasi 6 menit ini unik karena
memiliki ritme yang tidak sama di setiap bagiannya. Alur lagunya tidak bisa
diprediksi, dalam 1 lagu ada 3-4 genre musik di dalamnya, tidak ada pengulangan
yang jelas, dan teknik musik yang berubah-berubah terjadi dalam satu lagu. Lagu
ini tidak dapat tertebak sama sekali. Tapi justru segala keunikan itulah yang
membuat lagu itu indah.
Demikian juga ketika kita menjalani
kehidupan bersama dengan Tuhan. Sama halnya dengan sebuah lagu, ketika kita
hidup dalam ritmenya Allah, Tuhan sudah merancang ritmenya bagi tiap
pribadi-pribadi. Ritme setiap orang itu unik, dan tidak bisa tertebak. Tuhan
kita kadang terlalu kreatif sehingga kita tidak bisa menemukan ritme / polanya.
Sebagai manusia pada umumnya kita tentu berharap agar ritmenya jelas, kapan
klimaks, kapan harus diulang, kapan dititik tinggi, kapan dititik rendah, sama
seperti lagu pada umumnya. Kita suka dengan sendirinya menentukan masa depan
kita. Dan kita suka masa depan yang bisa diprediksi. Tetapi pada kenyataannya,
ketika kita berkata: Aku percaya kepada Tuhan, dan kita masuk dalam ritme yang
Tuhan tetapkan dalam hidup kita, acapkali kita dibuat terheran-heran, bingung,
tidak mengerti, dan bertanya-tanya mengapa harus melewati hidup yang seperti
demikian?
****
Hal itu juga yang dialami oleh umat
Israel. Perikop ini merupakan babak baru kehidupan umat Israel. Setelah ratusan
tahun lamanya mereka diperbudak dengan paksa oleh bangsa Mesir, kini dengan
tangan Tuhan yang hebat, dengan banyak sekali mujizat, mereka dibebaskan oleh
Tuhan dalam kepemimpinan Musa. Setelah mereka melewati peristiwa spektakuler di
mana Tuhan membelah laut teberau menjadi dua bagian, dan mereka selamat dari
kejaran tentara Mesir, mereka bersukacita, sehingga Miriam memimpin umat untuk
bernyanyi, bersorak memuji Tuhan. Saya membayangkan gemuruh pujian Israel yang
begitu gempita meresponi apa yang Tuhan perbuat, dengan mujizat-mujizat yang
ajaib, Israel dibebaskan dari perbudakan. Semua bersukacita, semua bergembira.
Saya kira dalam bayangan mereka ialah: Kami memulai hidup baru, Hidup kami akan
terus menanjak dan melambung tinggi sampai pada tanah Kanaan yang kaya susu
madu. Kalau digrafikkan, mungkin grafiknya itu terlihat progres terus meningkat
ke atas.
Tapi sayangnya, itu hanyalah ritme yang
mereka harapkan. Tapi tidak demikian dengan ritme yang Tuhan atur bagi
kehidupan Israel. Tuhan sengaja membawa
Israel di padang gurun berputar-putar 40 tahun lamanya, untuk melewati proses
yang tidak dapat ditebak. Dan ternyata proses itu bukanlah proses yang nyaman.
Perikop yang kita baca barusan merupakan
babak pertama permainan ritme Tuhan di padang gurun. Di ayat 22 disebutkan
bahwa mereka berjalan dipadang gurun Syur selama 3 hari namun mereka tidak
menemukan air. Jangankan menanjak, dilangkah pertama mereka sudah menemukan
masalah dan kesusahan yang baru. Saya kira bukan hal yang gampang jika tidak
ada air untuk diminum (kebutuhan pokok). Kebanyakan
orang kalau ditanya, kalau disuruh puasa mending ga makan atau ga minum,
umumnya kita akan memilih untuk tidak makan (sekaligus diet). Kalau tidak makan
masih bisa ditahan-tahan rasa lapar itu. Tapi kalau gak minum, sengsaranya
akibat kehausan itu rasanya luar biasa. Itu yang Israel alami, mereka
kekeringan tiada air, dan itu bukan hal yang gampang untuk dihadapi.
Memasuki ayat 23, dikatakan mereka menemui
sebuah daerah bernama Mara. Kabar gembiranya: Disana ada air. Tapi kabar
buruknya, air yang ada disana ternyata pahit, sehingga tidak bisa diminum. Itu
sebabnya tempat itu dikatakan Mara. Kita mengingat kisah Naomi dalam kitab Rut,
dimana ketika suami, dan kedua anak laki-lakinya meninggal, dan ia kembali
pulang kekampung halamannya, orang banyak memanggil namanya, tetapi Naomi
berkata: Jangan panggil aku Naomi, panggil saya Mara, sebab yang Mahakuasa
telah melakukan banyak yang pahit kepadaku. Kata Mara bukan hanya dipakai untuk
masalah air pahit, tapi juga kehidupan yang pahit. Itu juga yang Israel alami.
Masa-masa pahit. Israel mendapati air pahit. Bangsa Israel seakan di PHP.
Itulah ritme nya Tuhan. Tidak
dimengerti. Terkadang saya berpikir:
Mengapa Tuhan membawa Israel keluar dari penderitaan perbudakan, tapi memeberikan
penderitaan baru yaitu tidak ada air. Kehausan, kekeringan, dan kehidupan yang
pahit. Jika ada pepatah habis hujan terbitlah pelangi, tapi terkadang irama
yang Tuhan berikan ialah: habis hujan, datang banjir, lalu longsor menimpa, dan
pelanginya ketutupan kabut tebal. Kalau kita melihat perikop-perikop setelah
itu, kita tahu masih banyak peristiwa kesusahan lain yang menguji kesabaran
Israel. Kita tidak dapat mengerti mengapa Tuhan mengijinkan semua hal itu
terjadi. Tapi itulah bagian kehidupan. Itulah ritme Tuhan yang tidak pernah
disangka.
Saya mengenal seorang teman.
Orangnya itu sabar banget, susah marah, dan suka nolongin orang. Dia adik
tingkat saya waktu di seminari S1. Kita cukup dekat, dan cukup akrab. Saya
pernah kekampung halamannya, main kerumahnya, nginap dan ngobrol panjang lebar.
Ia sering menceritakan tentang rencana kedepannya. IA ingin pelayanan di
gereja, menikah setelah praktek, ambil s 2, dia ingin membangun pelayanan A, B,
C, D. Dan ia menyerahkan semua rencana itu kepada Tuhan. Tapi ketika saya
praktek satu tahun di Makassar, saya terkejut mendegar ia terkena sakit yang
ganas, yaitu sakit kanker darah. Berawal dari sering sakit (baru sembuh, 1
minggu kemudian sakit kembali, dan siklus tersebut terjadi berulang). Ia harus
dikemo secara rutin, tambah hari rambutnya semakin tipis, dan ia semakin kurus.
Ketika saya lihat fotonya saya sedih sekali. Ia kehilangan harapannya untuk
pelayanan. Ia berhenti kuliah. Rencananya semua seakan gagal. Ia berada dititik
terendah. Dan yang pasti, tidak ada yang menyangka bahwa hal itu akan terjadi
dalam kehidupannya.
Inilah kehidupan. Akan ada dalam
masa hidup kita, Tuhan mengijinkan kita mengalami masa-masa “kering” yang
menyusahkan hidup kita, dan juga peristiwa-peristiwa pahit yang menguras air
mata, dan membawa kita di titik yang tidak kita inginkan. Itu adalah bagian
kehidupan yang acapkali diijinkan Tuhan menjadi ritme hidup kita, yang kita
tidak tahu kenapa semua ini terjadi. Terkadang Tuhan mengijinkan kita berada di
titik terendah kita. Terkadang Tuhan mengijinkan ada begitu banyak masalah yang
datang menimpa. Masalah datang seperti sms promosi, bertubi-tubi datang tanpa
diundang. Terkadang bahkan kita bisa kembali dibawa ke titik 0 kehidupan ini,
dan kita dibuat merasa seakan apa yang terjadi selama ini sia-sia belaka. Akan
datang masa-masa demikian dalam hidup kita. Meskipun kita sudah mengatur ritme
hidup kita, menjaga kerohanian kita dengan baik, menyirami spiritualitas kita
dengan benar, kita tidak dapat menjamin terluput dari keadaan kering dan
perasaan pahit tersebut.
****
Kesalahan umat Israel dalam menghidupi
ritme yang Allah tetapkan adalah terdapat dalam respon yang diberikan.
Di ayat 24 dikatakan: Lalu bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa. Ya,
bersungut-sungut, itu respon umat Israel menghadapi kesusahan yang terjadi.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, sangat wajar kalau kalimat keluhan dikeluarkan
oleh orang Israel. Wajar sekali kalau mereka kuatir dan gelisah, karena air
merupakan kebutuhan hidup yang sangat mendasar (menurut piramida Abraham
Maslow, air termasuk kebutuhan fisiologi yang paling mendasar). Coba bayangkan 3 hari dikampus ini keran air mati, air
galon isi ulang tidak ada. Pasti akan ada yang lapor kebidang-bidang tertentu
untuk segera diperbaiki. Waktu dikos saya air mati setengah hari saja, saya
sudah komplain: gak bisa mandi, mau ada acara, mau buang air bagaimana.
Dan Israel mengalami hal yang lebih parah di mana 3 hari tidak ada air buat
diminum. Bagaimana dengan anak-anak yang masih kecil,bagaimana dengan orang tua
yang sudah sakit, apakah mereka bisa bertahan tanpa air? Sangat wajar jika
mereka mengeluh.
Tapi mengeluh itu menjadi wajar ketika
respon setelah itu dilakukan dengan tepat, misal kita memohon pertolongan dan
belas kasihan Tuhan terhadap kesusahan yang kita alami. Yang tidak wajar ialah
ketika keluhan itu menjadi sungut-sungut. Bersungut-sungut itu merupakan reaksi
ketidakpuasan atas perlakuan orang, atau situasi, atau sesuatu hal yang terjadi
(tidak seperti yang diharapkan). Israel bersungut-sungut itu karena tidak puas
dengan siapa? Apakah dengan keadaan atau lingkungan tempat tinggal? Apakah
dengan diri sendiri? Tidak! Sungut-sungut Israel itu meski ditujukan kepada
Musa, tetapi dalam hati mereka, mereka sebenarnya ingin menyatakan
ketidakpuasan dengan ritme yang Tuhan sudah atur. Mereka protes kepada Tuhan.
Inilah letak kegagalan Israel. Mereka
ingin menentukan ritme yang Tuhan atur seperti yang mereka harapkan. Tidak ada
kesusahan sama sekali, dan terus menanjak, hidup bahagia, sampai diujung tujuan
mereka, yaitu memasuki tanah Kanaan. Sehingga ketika Tuhan merancang ritme yang
tidak mereka sangka, yaitu melewati kesusahan, kekeringan, dan situasi yang
memahitkan, mereka bersungut-sungut. Mereka menjadi lupa bahwa Tuhan itu
berkuasa melakukan apapun juga. Tidak cukupkah mereka melihat Tuhan mengubah
air menjadi darah? Tidak cukupkah mereka melihat keajaiban tulah-tulah yang
sangat tidak masuk akal didepan mata mereka? Dan tidak cukupkah mereka melihat
laut teberau terbelah dua didepan mata mereka? Bukankah itu semua sangat ajaib?
Soal air, apa susahnya kalau Israel lebih fokus memilih memohon kepada Tuhan,
dibanding sungu-sungut? Bukankah Tuhan yang mampu membelah lautan menjadi dua
itu juga mampu memberikan seteguk air kepada Israel? Tapi mereka
bersungut-sungut menunjukkan keegoisan mereka. Mereka memilih fokus terhadap
apa yang mereka tidak punya, dibanding apa yang sudah mereka dapatkan. Bukankah
mereka sudah mendapatkan kebebasan dari perbudakan? Bukankah mereka sudah
mendapatkan kemerdekaan, dan mereka menjadi umat specialnya Tuhan? Tapi mata
mereka tidak mau memandang semua itu, mereka Cuma berfokus terhadap apa yang
tidak mereka punya, yaitu air minum.
Bisa dikatakan bersungut-sungut ini adalah
dosa yang paling sering dilakukan oleh orang Israel kepada Tuhan selama
dipadang gurun. Setelah perikop ini, stu pasal setelah itu mereka kembali
bersungut-sungut karena tidak ada makanan. Di kasih Manna, mereka kembali
bersungut-sungut karena pengen makan daging. Mereka bersungut-sungut di Meriba
dan banyak lagi.
Saya kira kita harus serius
terhadap dosa sungut-sungut ini. Karena sungut-sungut itu sebenarnya
menunjukkan bahwa kita sedang tidak percaya dengan apa yang Tuhan rencanakan
bagi hidup kita. Kita mencobai Tuhan. Bahkan Tuhan berkali-kali murka, bahkan
ingin memusnahkan Israel karena sungut-sungutnya. Jika kesalahan itu membuat
Tuhan murka, tentunya ini merupakan sikap yang sangat tidak diinginkan oleh
Tuhan. Sebab itu sebagai umat Tuhan, kita harus perhatikan baik-baik hidup
kita.
Filipi 2:14-15 "Lakukanlah segala sesuatu
dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib
dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah
angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di
antara mereka seperti bintang-bintang di dunia,"
Terkadang mungkin
sungut-sungut itu tidak keluar dari mulut kita, tapi itu terlihat dari sikap
kita. Kita jadi apatis terhadap segala hal rohani, kita jadi mengurangi
semangat pelayanan kita, kita jadi meremehkan pelayanan, dan sebagainya. Ada banyak manifestasi lain yang acapkali
timbul di luar kata-kata sungut-sungut. Engkau yang tau apa yang ada dalam
hatimu. Kiranya kita tidak melakukan
kesalahan yang sama dengan umat Israel.
Sebaliknya mari kita belajar menikmati
setiap ritme yang Allah tentukan dalam hidup kita. Di bagian selanjutnya Tuhan
kembali menunjukkan kuasa-Nya. Ia menyuruh Musa melemparkan sepotong kayu kecil
kedalam air, lalu air itu berubah menjadi manis. Saya kira di bagian ini Tuhan
ingin menunjukkan kepada Israel bahwa kesusahan Israel itu perkara kecil bagi
Tuhan. Tuhan bisa melakukan segala cara untuk menolong Israel. Air pahit, buat
sepotong kayu menjadi manis. Kelaparan, dikirim roti manna. Pengen makan
daging, burung-burung dijatuhkan dipadang gurun. Begitu mudahnya Tuhan memakai
hal-hal kecil untuk menolong Israel. Seharusnya ketika masalah datang, Israel
bukannya bersungut-sungut, tetapi tetap percaya dan taat, dan kemudian memohon
pertolongan Tuhan dengan segala kerendahan hati.
Dan di akhir perikop ini dikatakan (ay
27): Sesudah itu sampailah mereka di Elim, di sana ada 12 mata air dan 70 pohon
korma, lalu berkemahlah mereka di tepi air itu. Elim ini berarti kelimpahan
air. Di sini Tuhan menunjukkan kepada umat Israel bahwa kesusahan hidup itu
tidak selamanya. Ada bagian dimana Tuhan membawa hidupmu berada dalam
kelimpahan. Itulah ritme yang Tuhan sediakan bagi kita. Naik, turun, lurus,
berbelok, rata, berbatu-batu, bangkit, gagal, kering, basah, dan sebagainya.
Yang mana yang lebih banyak, dan bagaimana polanya, kita tidak tau. Bagian
kita, tetap percaya dan tetap taat.
Bagaimana dengan teman saya yang
terkena kanker tadi? Di tempat praktek saya sedih mendengar keadaanya. Saya
tidak bisa berbuat banyak selain berdoa. Saya melihat kabarnya semakin hari
semakin krisis. Dalam satu kesempatan saya sempat chat kedia. Saya bertanya:
Paul, apakah kamu kecewa dengan hidupmu? Apakah kamu marah sama Tuhan? Dia membalas 1 jawaban yang singkat padat,
tapi tidak pernah kulupakan sampai hari ini. IA Cuma menjawab: Fong, Tuhan itu
baik. Dan tidak beberapa lama dari kita berbincang via chat, dia dipanggil
Tuhan, dan ia istirahat dengan tenang.
Saya kira kitapun harus belajar memiliki
hati demikian. Ritme apapun yang Tuhan siapkan dalam perjalanan hidup kita,
tetaplah percaya dan berserah. Tetaplah
yakin, bahwa Tuhan merancan sesuatu kebaikan bahkan melalui apa yang kita
pandang buruk. Hiduplah dalam ritmen Tuhan, dengan ketaatan- dan iman, maka
kita akan melihat betapa hidup kita seperti sebuah lagu yang indah. Meski tidak
tertebak, meski banyak nada minor yang dimainkan, tapi semuanya membentu karya
seni Allah yang luar biasa.