“Tak Gendong kemana-mana....tak gendong kemana-mana.... enak toh....mantep toh.... daripada naik pesawat kedinginan lebih baik tak gendong.... Asyik dong....mau dong....”. Inilah sepenggal teks lagu yang melaju kepuncak akhir-akhir ini. Lagu yang sangat sangat sederhana ini berhasil menjadi top request bagi pengguna telephone seluler yang begitu banyak menginginkan lagu tersebut menjadi ring back tone di hpnya. Demikianlah lantun sederhana dari sesosok mbah Surip yang sederhana juga, yang beberapa hari ini menghiasi berita-berita televisi. Penyanyi berusia 50 tahun itu akhirnya harus mengakhiri masa hidupnya ditengah ketenarannya yang sedang di atas monas. Tanpa sempat menikmati milyaran receh yang masuk ke sakunya, iapun harus berhenti tertawa di liang kubur.
Sebenarnya ketika saya pertama kali mendengar lagu itu, respon saya pertama ialah “Lagu apaan ini? Jelek banget! Kuno! Aneh! Tidak enak di dengar! dsb.” dan segera saja saya mengganti tayangan televisi setiap kali melihat lagu itu muncul. Namun anehnya, lagu tersebut terus terngiang-ngiang di kepala saya, sehingga tanpa sadar seringkali saya juga menyanyikan walaupun saya tidak menyukainya. Mungkin saudara juga pernah mengalami hal yang sama dengan saya. Apa yang terjadi? Apakah sebenarnya saya menyukai lagu itu? Ehmm Sebenarnya tidak juga. Menurut saya, hal itu terjadi karena lirik lagu yang sederhana itu memiliki sebuah kekuatan tersendiri.
Terciptanya lagu tak gendong ini sebenarnya terjadi saat mbah Surip masih bekerja di pengeboran minyak. Di sana ia melihat banyak orang sakit, ada orang pingsan atau keseleo, dan saat itulah ia melihat ada nuansa tolong-menolong, gotong-royong, dan jiwa kemanusiaan yang kuat. Rasa kemanusiaannya pun timbul. Kemudian timbulah syair ini, “tak gendong kemana-mana”.
Kata menggendong sebenarnya merupakan sebuah kata kerja yang seringkali kita dengar dan lakukan. Umumnya, pekerjaan ini dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya yang masih kecil, atau seorang suami yang menggendong sang istri sembari merayunya, kadang juga seorang yang sehat menggendong orang yang sakit dan tidak bisa berjalan. Yang pasti pekerjaan menggendong ini dilakukan oleh orang yang lebih kuat kepada orang yang lebih lemah. Tidak pernah ada anak kecil yang menggendong ayahnya. Jarang juga saya melihat seorang istri menggendong suami. Apalagi seorang lumpuh menggendong orang yang sehat. Selain itu menggendong ini mempunyai unsur kedekatan antara seseorang dengan orang yang digendongnya. Suasana kasih, persahabatan, kepedulian tampak dari kata kerja menggendong ini. Tak heran negeri sakura, Jepang, pernah menciptakan alat bantu gendong, yang dipasang pada tubuh manusia agar dapat menggendong seseorang yang berbobot puluhan kilo sekalipun. Dengan harapan seorang yang lemah pun dapat menggendong kekasihnya dengan bantuan alat tersebut. Menggendong merupakan tanda kemanusiaan dan tanda kasih yang dapat dilakukan oleh manusia.
Menariknya, dalam Alkitab pun pernah dituliskan bahwa Tuhanpun menggendong kita. Ayat yang indah itu mengatakan “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu (Yes 46:4)”. Kata menggendong yang berasal dari bahasa ibrani lbs (sebol) ini muncul dua kali dalam ayat ini yang dapat diartikan secara harafiah: bear a heavy load,carrying a load,dan bearing iniquities. Ini merupakan bahasa antrophomorsis. Kalimat ini diucapkan di tengah-tengah kondisi Israel yang sedang menderita akibat pembuangan ke negeri Babel. Ketika tekanan itu begitu berat mereka rasakan, Tuhan berkata “Sampai putih rambutmu aku menggendong kamu, aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus”. Sungguh indah bukan.
Perkataan ini bukan hanya ditunjukkan kepada umat Israel saja. Ketika Tuhan berkata “Aku tetap Dia” itu seakan menunjukkan akan karakternya yang sigap menolong anak-anakNya yang sedang dalam kesusahan. Dan selama-lamanya Ia tetap akan menggendong anak-anakNya. Karena itu dalam perjanjian baru Ia berkata kepada semua orang “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” Menggendong dan memikul kesusahan adalah kesukaan-Nya yang ditujukan hanya kepada anak-anak yang dicintai-Nya.
Saudara, jika engkau dalam kesusahan saat ini. Jangan berputus asa dan kehilangan pengharapan. Masih ada Tuhan yang suka menggendong kita, walau pun sudah putih rambut kita. Bak seorang Ayah yang menggendong anaknya yang sedang menangis, demikian juga Tuhan akan menggendong kita yang bersusah hati. Rendahkanlah dirimu dan carilah Dia. Dia siap memikul orang-orang yang datang kepadaNya dengan hati hancur namun berserah. Ijinkan dia menggendongmu. Kelak kita akan dapat merasakan indahnya kedekatan bersama-Nya, dan kita pun dapat berkata “asyik ya, mantep ya, enak ya, digendong kemana-mana”. Dan kita pun dapat berkata kepada mereka yang belum mengenal Tuhan “Mau dong?”. GBU
No comments:
Post a Comment