Alkitab Kristen terbentuk bukan oleh satu orang saja, bukan juga turun dari langit. Ada beberapa orang yang diinspirasikan oleh Roh Kudus untuk menuliskan kitab-kitab tersebut. Sebenarnya banyak orang yang telah menintakan tulisannya dalam sebuah kitab. Termasuk kitab-kitab yang berbicara tentang taurat, Allah, Kristus, dan karyanya. Namun tidak semua kitab itu memiliki otoritas yang sama besarnya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya posisi mereka dalam kanon. Misalnya saja Injil Thomas, Injil Yudas, kitab-kitab apokrifa atau deuterokanonika; tulisan-tulisan ini merupakan tulisan-tulisan yang dikitabkan namun tidak mendapat tempat dalam kanon.
Terlebih, masalah terjadi dalam kanon Perjanjian Lama (PL). Jika penentuan kanon Perjanjian Baru (PB) dapat ditelusuri, kapan kanon PL terbentuk itu tidak begitu jelas. Kitab PB dengan jelas memberikan kriteria dalam proses kanonisasinya (seperti: dipakai oleh bapak-bapak gereja, berkaitan dengan rasul atau zaman rasul, bergantung pada ortodoksi, dan menyangkut katolisitas) dan pada umumnya disepakati oleh kebanyakan orang Kristen (Protestan dan Katolik), namun kitab PL kurang memberikan kriteria yang jelas untuk dijadikan dasar kanonisasi, sehingga kanon PL ini menjadi perdebatan antara orang Katolik dan orang Kristen Protestan. Dalam kitab-kitab Ibrani terdiri atas 39 kitab yang dianggap oleh komunitas Yahudi untuk dikanonisasi. Ini juga yang diterima oleh gereja-gereja apostolik dan gereja Protestan sejak zaman reformasi. Sedangkan Roma Katolik, Kristen Ortodoks dan Protestan Liberal menambah 14 kitab yang disebut apokrifa.
Tidak ada kesepakatan mengenai luas kanon PL. Hal ini membangkitkan pertanyaan, apa yang membuat sebuah kitab itu dapat dikanonisasikan? Mengapa tulisan yang satu di terima dan yang lain ditolak masuk ke dalam kanon? Apakah kita sebagai umat Kristen dapat menerima kitab Apokrifa sebagai kitab suci? Karena itu, penting bagi kita saat ini untuk mempelajari dan memahami secara utuh tentang kanonisasi kitab-kitab Apokrifa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah dipaparkan di atas. Sebelum masuk lebih jauh, mari kita melihat makna dasar dari kata kanon itu sendiri.
EPISTEMOLOGI KATA KANON
Terminologi kanon itu berangkat dari kata Yunani kanwn, di mana kata itu sendiri berasal dari bahasa Semitic seperti Asyria qanû, Ugarit qn, dan Ibrani qaneh. Perkataan ini memiliki arti “straight rod (Ayb. 40:21), straight edge, or ruler.” Semula artinya ialah ‘buluh’, karena buluh itu dipakai untuk mengukur, maka kata itu mendapat beberapa arti sehubungan dengan pengukuran, misalnya pengukur, norma, hukum, batas, daftar, dan indeks. Jika diterapkan dalam literatur, maka kanon itu berarti tulisan-tulisan yang sesuai dengan aturan atau standar dari inspirasi dan otoritas ilahi. Kanon Alkitab merujuk pada kumpulan kitab yang diterima umat sebagai memiliki otoritas firman Allah pada dirinya sendiri dan karena itu menjadi tolak ukur tertinggi bagi iman serta hidup umat. Istilah ‘kanon PL’ itu sendiri memiliki maksud bahwa PL adalah wujud lengkap dan utuh dari kumpulan kitab-kitab yang tidak boleh diutak-atik lagi, yaitu kitab-kitab yang diilhamkan oleh Roh Allah. Kitab-kitab itu mempunyai wibawa normatif serta dipakai sebagai patokan bagi kepercayaan dan kehidupan kita.
Pada awalnya konsep kanon Alkitab ini belum muncul. Sesudah kitab suci terbentuk, umat tidak mempersoalkan otoritas dari kitab-kitab kanon. Konsep kanon baru lahir kemudian sebagai respons terhadap pendekatan modern historis-kritis atas Alkitab pada zaman pencerahan. Sejak lahirnya kritik Biblika, kanon dan otoritas Alkitab mulai dipersoalkan. Lalu muncul konsep kanon Alkitab pada abad ke-17 dan ke-18 yang intinya adalah gereja dan sinagoga mengukuhkan kembali otoritas kitab-kitab kanon.
SEKILAS MENGENAI KITAB APOKRIFA
Pada mulanya, kitab Ibrani sudah mengkanon 39 kitab yang diakui oleh orang-orang Yahudi. Namun dalam penambahannya, septuaginta memasukkan 14 kitab Apokrifa (yang berarti ‘tersembunyi’ atau ‘rahasia’), antara lain: 1 Esdras, Hikmat Salomo, Hikmat Yesus bin Sirakh, Yudit, Tobit, Baruk, Surat Jeremias, 1, 2, 3 dan 4 Makabe, beberapa penambahan kitab Ester, Daniel, dan Mazmur.
Orang-orang Katolik menganggap kitab-kitab yang terdapat dalam kitab Ibrani mulanya itu sebagai kitab “Proto-kanonik”, sedangkan kitab-kitab tambahan, yang hanya terdapat dalam PL Yunani disebut kitab “deuterokanonika”. Istilah-istilah ini sama dengan istilah “kanonik” dan “apokrif” sebagaimana dipakai oleh orang Protestan dan Yahudi.
Hal ini disebabkan karena daftar isi PL terjemahan bahasa Yunani (septuaginta) berbeda dari PL dalam bahasa Ibrani. Banyak orang pada masa dulu beranggapan bahwa di zaman kuno terdapat dua kanon, yaitu kanon Palestina dalam bahasa Ibrani (sebagian kecil Aram) dan kanon Aleksandria (Mesir) dalam bahasa Yunani.
Sebelum reformasi, ada kecenderungan bahwa gereja Yunani Ortodoks memakai semua kitab dari Perjanjian Lama Yunani tanpa kecuali. Jauh di kemudian hari setelah reformasi, kaum Protestan yang telah memisahkan diri dari gereja Roma Katolik memilih untuk mengikuti daftar kitab Ibrani daripada daftar yang ada di Septuaginta, yang kemudian di ambil alih oleh Vulgata. Oleh kaum Protestan, kitab-kitab di luar kitab Ibrani dianggap tidak kanonis. Itu berarti tidak diilhami oleh Roh Kudus. Namun gereja Katolik tidak menganggapnya demikian.
Meskipun tidak didukung oleh keputusan konsili gereja manapun, pembedaan antara kanon pertama dengan kanon kedua sesudah masa reformasi, umumnya tetap berlaku pada masa kini. Karena itu saat ini banyak terjadi perdebatan mengenai otoritas kitab-kitab Apokrifa tersebut.
No comments:
Post a Comment