Friday, June 04, 2010
Heart Of Servant (Luk 10.25-37) #1
Berbicara mengenai orang Samaria yang baik hati, dari waktu ke waktu kita dapat menemukan ada orang-orang seperti orang Samaria yang dikisahkan dalam Alkitab. Misalkan seorang yang bernama Agus Bambang Priyanto. Suatu ketika sementara ia membaca koran di malam hari di daratan Kuta Bali, tiba-tiba ia mendengar bunyi ledakan kencang pada pukul 23.15. Pertama ia mengira bahwa itu adalah suara pesawat yang jatuh. Iapun segera bergegas ke lokasi kejadian yang hanya 500 meter dari rumahnya. Betapa terkejutnya ia ketika ia melihat Legian sudah dilalap oleh api yang merajalela. Malam itu ia melihat begitu banyak orang yang tergelepar mengerang kesakitan, dan iapun melihat ada banyak orang-orang yang tubuhnya tercabik-cabik penuh luka. Berjalan di tengah genangan air yang bercampur darah, tiba-tiba pak Agus ini mendapatkan dorongan dan kekuatan yang luar biasa, dan hatinya tergerak untuk menolong korban-korban yang ada pada malam itu. Segera ia langsung berteriak dan memberikan komando kepada semua warga Kuta untuk menolong korban-korban tersebut. Ia mencari orang-orang yang masih hidup, dan yang dapat diselamatkan nyawanya. Hampir sepanjangan setengah hari sampai besok siang, ia terus mencari dan menolong korban-korban itu dengan baju yang sudah bersibak darah segar. Ia tidak takut akan api atau pecahan-pecahan kaca yang mungkin dapat melukai dirinya. Ia juga tidak khawatir akan bom susulan yang mungkin masi bisa terjadi. Dalam hatinya cuma satu pada malam itu, ia harus menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Selama beberapa hari Pak Agus terus melakukan evakuasi untuk mencari korban yang masih mungkin dapat ditolong.
Menariknya pada saat peringatan bom Bali setahun kemudian, banyak keluarga korban yang berasal dari Australia menawarkan hadiah padanya sebagai ucapan terima kasih. Namun ia menolak. Bahkan saat dirinya dinobatkan sebagai “Asian Hero 2003” oleh majalah TIME, dirinya tidak datang untuk menerima penghargaan. Padahal selain penghargaan dia juga mendapatkan uang senilai Rp. 150 juta. Pak Agus mengaku dia tidak mencari uang, evakuasi yang dilakukannya semata-mata karena kemanusiaan. Sampai suatu ketika dalam acara tv swasta “Kick Andy”, waktu beliau ditanya apa yang memotivasi dirinya untuk melakukan tindakan evakuasi tanpa mengenal pamrih. Pak Agus berkata: “saya membayangkan bagaimana kalau salah satu dari korban ledakan tersebut adalah keluarga saya.” Ia tau bahwa keluarganya tidak ada dalam kobaran api dan timbunan puingan tersebut. Dia hanya membayangkan bahwa mereka itu adalah keluarganya sendiri yang membutuhkan pertolongan darinya.
Inilah contoh “seorang Samaria yang baik hati” abad 21. Ironinya, justru sikap seperti ini seringkali tidak kita temukan dalam kehidupan orang Kristen. Orang Kristen yang memiliki Tuhan yang penuh kasih dan yang selalu mengulurkan tangan-Nya kepada orang yang membutuhkan, justru seringkali berdiam diri tak berkutik ketika melihat sesamanya menderita (entah kemiskinan, aniaya, pelecehan, ketakutan, dsb). Tidak ada kepedulian, kasih, dan kepekaan ketika melihat tangan-tangan yang gemetar yang terulur minta tolong. Mungkin kita yang membaca saat ini salah satu jenis orang Kristen seperti ini. Tidak ada tindakan ketika melihat orang yang kesusahan menangis.
Padahal Tuhan Yesus sendiri mengajarkan bahwa semua hukum taurat tercakup dalam satu hukum “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ini hukum yang saling berkaitan. Kasih terhadap Allah tidak bisa dilepaskan dengan kasih terhadap manusia.
Perintah ini cukup universal dan luas, sehingga seringkali kita bingung dengan perintah mengasihi sesama kita manusia. Mungkin kita bertanya “bagaimana cara kita mengasihi?” Atau mungkin kita bertanya “siapakah sesama kita manusia?” Kebingungan ini juga yang ditanyakan oleh seorang ahli Taurat kepada Yesus. Menjawab kebingungan seperti inilah Yesus menyampaikan sebuah perumpamaan tentang seorang Samaria yang baik hati.
****
Dikisahkan pada waktu itu ada seseorang (yang tidak dikenal siapa) turun dari Yerusalem ke Yerikho. Jalan dari Yerusalem ke Yerikho ini menurun sepanjang 27 km. Dalam sepanjangan jalan tersebut tidak ada penduduk, juga tidak ada tanaman. Yang ada hanya batu-batu kapur yang besar-besar, goa-goa, dan dikelilingi oleh jurang-jurang di sisi-sisi jalannya. Biasanya banyak para perampok yang bersembunyi di goa-goa atau di balik batu kapur tersebut. Karena mereka tau bahwa banyak peziarah atau pedagang yang sering lewat di jalan tersebut. Karena itu pada zaman Alkitab dulu, jalan dari Yerusalem ke Yerikho disebut “jalan berdarah.” Alkitab memberitaukan bahwa orang tersebut kemudian jadi korban perampokkan, dipukul dan ditinggalkan tergeletak setengah mati.
Kemudian datanglah seorang imam, yaitu seorang pelayan utama bait Allah pada waktu itu. Ia melewati orang yang sekarat itu, tapi ia melewatinya begitu saja. Kemudian datang pula orang Lewi, yaitu orang yang juga dipercayakan untuk melayani di bait Allah. Namun Orang Lewi inipun melalui orang yang sekarat ini begitu saja. Kemudian Yesus memberikan sebuah ironi dengan menampilkan seorang Samaria. Seorang Samaria ini kebanyakan adalah seorang pedagang dan bukan seorang tokoh agama. Namun justru orang seperti inilah yang mau menolong orang yang sekarat tersebut. Yesus seakan meminta “umat pilihan” untuk belajar tentang kasih kepada orang-orang yang mereka anggap “bukan umat pilihan.” Teladan kasih apa yang dapat kita pelajari dari orang Samaria tersebut?
1. Kasih tanpa memandang batas-batas perbedaan.
Sebenarnya perumpamaan ini diberikan kepada seorang imam yang bertanya kepada Yesus “siapakah sesamaku manusia?” Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan yang cukup aneh. Kalau kita ditanyakan pertanyaan itu saat ini, mungkin kita akan berkata “Udah tau nanya. Jelaslah, yang namanya sesama manusia ialah semua mahluk yang kayak kita-kita gini.” Namun ternyata bagi orang Yahudi berbeda. Bagi mereka yang termasuk sesama manusia itu dapat dibagi dalam beberapa lingkaran. Pusat lingkaran adalah diri mereka sendiri. Lingkaran terdekat ialah kerabat terdekat, diikuti dengan sanak family mereka. Kemudian lingkaran yang paling luar adalah sesama bangsa Yahudi. Sedangkan diluar lingkaran ini, termasuk orang kafir atau orang-orang yang berasal dari bangsa lain bukanlah dianggap sebagai sesama manusia. Karena itu ketika imam dan orang lewi melihat ada orang asing yang tergeletak, mereka langsung melewatinya begitu saja. Mereka tidak menganggap orang yang terluka itu sebagai sesama mereka.
Tapi berbeda dengan orang Samaria dalam cerita ini. Orang Samaria merupakan orang yang terkucilkan. Mereka adalah kaum minoritas yang seringkali mendapatkan intimidasi. Mungkin pedagang Samaria yang diceritain Tuhan Yesus ini termasuk salah satu orang yang sering mendapatkan intimidasi. Namun menariknya, orang Samaria ini tidak memandang perbedaan sebagai batasan. Baginya seorang yang menderita itu harus ditolong. Perbedaan-perbedaan suku, agama, dan derajat tidak penting baginya. Dia tidak bertanya apakah korban yang terluka itu orang Yahudi, Romawi, Yunani, atau Siria. Baginya, orang yang telanjang, terluka, dan setengah mati itu adalah saudara yang membutuhkan pertolongan. Dia melihat sesamanya yang membutuhkan pertolongan dan dia membantunya.
Orang Samaria ini sebenarnya merupakan gambaran kecil dari apa yang dilakukan Yesus. Dalam seluruh kehidupan-Nya kita dapat melihat bagaimana Yesus sendiri menyediakan diri-Nya untuk menolong orang-orang disekitar-Nya tanpa melihat batas-batas perbedaan yang ada. Ia mau menolong para wanita yang dianggap masyarakat kelas dua pada waktu itu. Ia mau duduk makan bersama dengan orang-orang berdosa. Ia mau menyentuh orang-orang Samaria yang dikucilkan. Yesus membagi kasih-Nya kepada siapa saja tanpa batas.
Sudah semestinya kitapun harus belajar mengasihi orang lain tanpa melihat batas-batas perbedaan. Tidak peduli apa latar belakang orang itu, suku apa, siapa dia, agama apa, apa warna kulitnya, apa logatnya, apapun perbedaan yang ia miliki; kita harus memberikan kemurahan / hospitality kepada setiap sesama kita yang membutuhkan.
Tapi jujur kalau melihat realita saat ini begitu susah bagi kita untuk menyatakan kasih itu. Ditengah kejahatan dan modus-modusnya yang makin picik, semakin susah bagi kita untuk memberikan pertolongan. Yang ada malah rasa curiga. Suatu ketika pernah ada seorang perempuan yang sedang mengendarai mobilnya. Ditengah jalan ia bertemu dengan seseorang yang melambaikan tangannya karena mobilnya mogok dijalan. Kemudian wanita ini beriktikar baik dengan menawarkan bantuan untuk mengantarkan pria ini pulang. Akhirnya pria itupun menumpang di mobil wanita itu. Tapi apa yang terjadi? Wanita itu dibawa oleh pria itu bukan ke rumahnya, tapi ke tempat yang sepi dan kemudian dipukul dan diperkosa. Wanita ini stress dan kemudian dia sangat trauma untuk menolong orang lain.
Mungkin kitapun pernah mengalami hal yang sama walau tidak seekstrim itu. Kita pernah menolong orang lain, tapi bukannya berterima kasih, orang tersebut malah menyindir dan mengejek kita. Atau kita menolong orang lain tapi malah dimanfaatkan. Kita kasih pinjaman uang untuk hal kebaikan, tapi orang itu malah memanfaatkan uang itu untuk hal-hal yang tidak baik. Akhirnya kita jadi orang yang penuh kecurigaan terhadap orang lain. Bahkan mungkin kita menjadi negatif thinking kepada mereka yang meminta tolong kepada kita. Lantas kita mulai mebatas-batasi kriteria-kriteria orang yang perlu mendapat bantuan dan yang tidak. Kita mulai seperti orang Yahudi, dan mengkategorikan orang-orang siapa saja yang harus kita tolong. Dan kebanyakan kita memilih hanya mau menolong orang-orang yang kita kenal, bahkan hanya orang yang dekat dengan kita. Untuk mereka yang tidak kita kenal tidak akan mendapatkan uluran tangan kita.
Saudara, memang ada benarnya bahwa kita harus berhati-hati ketika memberikan bantuan kepada orang lain. Tapi jangan sampai sikap hati-hati itu membuat kita enggan sama sekali untuk menolong sesama kita. Kita harus tetap memiliki hati seperti orang Samaria yang mau menolong orang yang membutuhkan walaupun memiliki banyak perbedaan, bahkan sekalipun kita tidak mengenal orang tersebut. Minggu depan kita akan bersama menyambut teman-teman dari remaja yang akan naik ke pemuda. Mungkin kita tidak kenal siapa mereka satu persatu. Tapi mari kita menyambut mereka dengan keramahan, dan bersiap sedia jika mereka membutuhkan pertolongan kita. Karena dengan melakukan hal tersebut sebenarnya kita sedang meneladani Kristus.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment