Tuesday, July 03, 2007

M E N T A R I H A R A P A N

Di suatu desa, jauh dari perkembangan teknologi yang serakah, hiduplah keluarga miskin di sebuah rumah reyot. Keadaannya serba sederhana dan “minimalis”. Tidur beralaskan tikar yang terhampar di atas tanah. Atap dan fondasi rumah terbuat dari papan-papan yang cukup rapuh. Jika gulita datang, rumah itu hanya diterangi oleh redupnya nyala lampu pijar. Luas tanahnya begitu mungil: 3x3 m, seukuran dengan gudang rumah orang-orang kaya yang serba “maksimalis” itu. Dengan ukuran seperti itu sudah jelas dapur, ruang tamu, ruang keluarga dan kamar tidur menjadi satu. Lebih tepatnya hanya ada tikar dan alat masak ditambah dengan sedikit perabot-perabot kecil yang turut menyesakkan gubuk tersebut. Alat masak yang mereka miliki pun sudah berkarat dan kotor tidak karuan, sebab si jago masak yang biasa memanjakannya baru saja berpulang kerumah Bapa. Kini rumah itu hanya tertinggal seorang bapak dan seorang anak laki-laki yang baru melakoni hidupnya selama empat tahun. Derita kesedihan menimpa mereka setiap hari. Terutama si bocah cilik tadi. Ia begitu sedih karena telah kehilangan seorang “malaikat” yang selalu memberikan rasa aman jika ia terlelap disampingnya.

Pada suatu hari, di keheningan malam saat semua raga sedang berehat, tiba-tiba terdengarlah suara isak tangis yang bergumam kecil. Begitu kecil hingga hampir tidak terdengar karena takut kalau-kalau tangisannya mengacaukan keheningan malam itu.

Si ayah yang berada di ambang batas kesadaran akhirnya tersadar jua. Ia menyadari bahwa isakan itu bukanlah suara dalam mimpinya. Itu adalah isakan dari buah hati semata wayangnya. Segera ia menghampiri si buah hati yang masih menangis pelan. Sesampai disisinya, si ayah memulai percakapan dengan suara yang lembut “nak, mengapa kamu menangis?”. “A…aku takut yah, a… aku takut!” dengan suara gemetar anaknya menjawab. “Tetapi, mengapa kamu takut nak?” lanjut ayahnya. “Aku takut gelap yah. Mengapa sih mataharinya menghilah yah? Aku kan takut?”. Lalu dengan lembut ayahnya menjawab “Nak, matahari itu tidak menghilang. Ia Cuma pergi sejenak”. Kemudian anaknya bertanya lagi “Ta…tapi kenapa matahari pergi sejenak yah?”. Ayahnya menjawab “Nak, matahari sedang pergi sejenak agar kita tidak melupakan bahwa ia itu ada. Dengan datangnya malam, kita pasti akan menanti dan berharap datangnya pagi. Jika tidak ada malam, kita pasti tidak akan pernah berharap akan kedatangannya. Percayalah nak, besok pagi ia pasti akan datang kembali”. Anaknya meneruskan “Sungguh yah? Ayah jangan bohong ya? Janji ya kalo ia pasti datang?”. Lalu ayahnya menutup percakapan itu “Iya nak, ayah janji, ayah tidak akan bohong. Sekarang jangan menangis lagi ya nak. Matahari pasti datang. Ia pasti datang untuk menyinari, menerangi dan menghangatkan segala mahluk ciptaan di bumi ini. Berharap saja ya nak, ia pasti datang lagi karena ia tidak pernah menghilang”.

Bak kegelapan malam tanpa sinar mentari yang dirindukan bocah tadi, begitulah juga dengan kehidupan ini. Terkadang hidup ini terasa begitu kelam, pekat dan gulita untuk dijalani. Terlampau kelam sehingga kita takut dan khawatir jikalau hidup ini terus-menerus berkutat di dalam kegelapan itu. Kita mencari secuil cahaya namun tidak menemukannya. Dengan tertatih-tatih kita berjalan. Lalu mulailah terpikir bahwa Tuhan sudah pergi meninggalkan kita dan tidak akan pernah datang kembali. Air mata pun mengalir deras tak tertahankan.

Tapi benarkah demikian? Pernahkah Tuhan meninggalkan kita? Sebagaimana mentari bersinar di pagi hari tanpa pernah ia terlambat setiap harinya, demikianlah Tuhan hadir dan bercahaya bagi anak-anak-Nya. Bahkan kelak ketika dunia akan sirna di mana mentari itu pun ikut lenyap, Ia tidaklah sirna. Ia akan selalu ada dan terus-menerus ada.

Namun terkadang Ia harus pergi sejenak. Bukanlah untuk meninggalkan, namun untuk menuntun hati kita berharap kepada-Nya. Selama Ia hadir menerangi anak-Nya, kita tidak pernah menganggap keberadaan-Nya. Kita mengabaikan-Nya dengan berjalan sesuka hati. Akal budi yang merupakan pemberian-Nya menjadi sandaran untuk melakoni kehidupan sehari-hari. Kita hidup seakan tiada Tuhan di alam semesta ini. Padahal tanpa-Nya kita tidak dapat hidup. Oleh karena itu Ia pergi sejenak. Ia mengijinkan gulita itu datang agar anak-anak-Nya kembali mencari serta berharap kepada-Nya. Ia menikmati hati yang berharap dan berseru pada-Nya. Bagai penjaga pintu gerbang yang lelah bekerja semalaman namun setia mengharapkan datangnya pagi hari, Ia ingin kita berharap dan menantikan kehadiran-Nya.

Saudara, mungkin engkau sedang berada di keheningan malam saat ini. Gelap gulita menyelimutimu. Jalanmu tertatih-tatih. Sudah habis air matamu. Naikkanlah secuil harapanmu kepada-Nya. Pengharapan yang mengambil sebagian kecil di dalam hati namun berkuasa mempengaruhi seluruh hatimu. Pengharapan yang ditujukan kepada Ia, mentari harapan kita, yang senantiasa hadir dan berkuasa menerangi kegelapan dan kesunyian malam.

Kelak, gulita itu akan sirna dan harapanmu tak akan sia-sia. Gelak tawamu akan senantiasa bergema dalam hatimu. Dan engkau akan merasakan sukacita bersama dengan-Nya. Disisi-Nya. Senantiasa.

Hendra Fongaja 5 Juni 2007

No comments: