Wednesday, April 27, 2011

A Better Place



Sebenarnya dari minggu lalu saya hendak menuangkan buah pikir ini dalam sebuah artikel. Berhubung banyaknya vacation journey yang dilakukan akhirnya saya dapat menggenapinya hari ini.

Akhirnya sampai juga di Melbourne. Setelah sekian lama menanti untuk berjejak di negeri kangguru, akhirnya saya dapat menginjak negeri ini untuk kedua kalinya. Beberapa minggu sebelum pesawat lepas landas, jujur ada perasaan senang, tidak sabar, serta exciting, yang membara dalam dada ini (lebay mode on). Kata orang....Melbourne merupakan salah satu the most liveable city in the world. Penataan kota yang rapi, lingkungan yang bersih, keadaan yang aman, cuaca yang cukup nyaman, masyarakat yang multi-cultural, serta suasana yang tenang itulah yang mungkin membuat kota ini menyandang julukan tersebut. Sebenarnya kali ini merupakan kepergian saya yang kedua kalinya. Kepergian pertama memberi kesan baik, karena itu betapa semangatnya diri ini mengunjungi tempat yang sama kali kedua. Satu alasan yang saya sukai ketika berlibur di negeri ini adalah: negeri ini memiliki tempat yang lebih baik dari tempat dimana aku dilahirkan.

Kebersihannya, keamanannya, kedisiplinannya, penataan kota, keindahan, etika, dan suasananya, semuanya mendapat nilai plus jika ditimbang dengan negara saya. Memang disini tidak ada famili kerabat dekat (selain cece saya) yang bisa saling berbagi kasih. Namun saya membayangkan seandainya semua orang yang saya kasihi tinggal dinegeri ini, mungkin saya akan sangat bahagia tinggal ditempat yang lebih baik dengan orang yang saya kasihi.

Itulah naluri manusia. Kita semua menyukai tempat yang lebih baik. Entah karena estetika kota tersebut, tatanan, peraturan, atau karena kehadiran orang-orang yang kita kasihi di tempat tersebut, yang pasti.....kita semua menyukai tinggal di tempat yang lebih baik, indah, yang bisa mememberikan kedamaian dan ketentraman dalam jiwa. Tidak ada orang yang ingin berlibur ketempat yang lebih kumuh, kacau, banyak peperangan, apalagi jauh dari orang-orang yang kita kasihi dan sayangi.
Namun jika kita berefleksi lebih jauh, adakah tempat yang indah dan sempurna di dunia ini? Semenjak dosa merambat dalam kehidupan manusia, saat itu juga tanah dikutuk dan setiap manusia harus mengalami banyak masalah dan kesusahan. Di kota yang paling indah sekalipun tidak akan terhindar dari problema kehidupan. Di negeri kangguru yang tampak indah dan damai inipun ternyata banyak kasus bunuh diri karena aneka ragam tekanan hidup yang menimpa mereka.

Hanya ada satu tempat yang indah dan yang sempurna, yang disediakan bagi setiap kita orang percaya. Surga! Ya....surga. Tempat penuh kebahagiaan tiada air mata, katanya. Mulut kita penuh dengan tawa, dan tiap hari kita bersukacita. Tidak akan pernah kita menemukan tempat yang lebih indah daripada Surga. Namun apa itu Surga? Dimana letaknya? Ada apa disana? Mengapa kita bisa bahagia disana?
Sebenarnya Surga bukanlah berbicara mengenai lokasi atau materi yang terdapat di dalamnya. Tidak ada materi yang dapat memuaskan ruang bahagia dalam diri kita. Namun surga itu lebih berbicara mengenai kehadiran Tuhan yang dekat dan lekat dengan kita. Mengasihi dan dikasihi secara sempurna, yang dapat mendorong hormon-hormon kebahagiaan dalam darah dan jiwa. Menjalin hubungan yang intim dengan Dia yang setia dan menerima kita apa adanya. Saya kira itulah Surga. Sebuah tempat penuh dengan kebahagiaan, karena ada Allah yang adalah Kasih, dan yang mengasihi kita secara sempurna.

Walau demikian, jangan pernah berpikir untuk cepat-cepat mati saja supaya bisa mendapatkan tiket ke Surga. Keliru! Kehadiran Tuhan bisa kita nikmati selagi kita di dunia ini. Kehadiran Tuhan bisa kita rasakan dan jelas nyata dalam hidup kita. Untuk itulah Yesus mati di kayu Salib. Untuk membelah tirai bait suci, dan membiarkan kita dapat menghampiri-Nya lebih intim serta merasakan kehadiran-Nya setiap waktu. Kini kita bisa menghampiri Dia secara leluasa dimanapun kita berada. Lewat doa, perenungan FT, serta pengalaman hidup tiap hari yang berbeda-beda dalam masing-masing individu. Contohnya saja Paulus. Dia tetap dapat bernyanyi dan memuji walau berada dalam penjara. Alasannya sederhana: karena ia tahu persis bahwa Tuhan yang ia sembah hadir bersama dengan dia.

Karena itu hampiri Tuhan dan berelasilah bersamanya. Hadirkan Tuhan dalam setiap aspek kehidupanmu. Teruslah berada dalam hubungan yang intim bersama-Nya lebih dekat dan lebih dekat lagi. Niscaya engkau dan saya akan menikmati kebahagiaan itu, walau ditempat yang penuh dengan gejolak kehidupan.

Pengen berlibur ke tempat yang lebih indah dari tempat tinggal kehidupanmu sekarang? Carilah Tuhan!

Wednesday, April 13, 2011

Mini Story Of “The Terminal”




Beberapa dari kita tentu pernah melihat film ‘The Terminal’ yang diperankan oleh aktor ternama Tom Hank. Disana dikisahkan Tom yang diberi nama Victor Navorski terjebak dalam lapangan terbang yang membuatnya harus hidup berbulan-bulan di lapangan terbang itu. Tidak hanya dalam sebuah film, di Jepang pun pernah terjadi demikian. Ada seorang pria yang mendadak terkenal karena ia hidup di bandara kurang lebih selama 3 bulan. Entah terjebak atau kesengajaan, yang pasti pria itu sudah menjadi sorotan media masa karena kebiasaannya yang tidak umum tersebut.
Nah, kemarin sayapun mengalami mini story dari kisah-kisah di atas. Sesuai dengan tiket yang saya beli, semestinya pesawat Sriwijaya dengan nomor SJ-567 harus berangkat meninggalkan bandara Hasanudin (Makassar) menuju bandara Juanda (Surabaya) pukul 15.40 wita. Karena itu saya datang kebandara pukul 14.45, 1 jam lebih cepat untuk melakukan proses check in dan sebagainya. Namun menjelang waktu yang ditetapkan, saya terheran mengapa tidak ada panggilan penerbangan. Kemudian saya bertanya kepada petugas, dan ia meminta maaf karena ada sedikit kendala maka pesawat akan berangkat pukul 16.30. “Yah, Cuma 50 menit. Tidak apalah tunggu sebentar” pikirku.

50 menitpun berjalan begitu saja....namun panggilan itu juga tidak kunjung tiba. Saya kembali bertanya kepada petugas dan petugas itu sekali lagi meminta maaf karena kemungkinan pukul 17.20 baru bisa diberangkatkan. Dengan alasan bahwa ada kerusakan pada bagian tabung oksigen dalam pesawat yang masih susah untuk diperbaiki. Kerusakan tersebut menyebabkan tekanan udara turun dan dapat membahayakan penerbangan. “Baiklah saya akan menunggu 50 menit lagi. Tidak masalah” pikirku lagi. Saya memutuskan untuk membaca beberapa buku yang saya bawa dan melahapnya selama diruang tunggu. Begitu nikmatnya dengan bacaan saya, tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul 17.30. Sayapun tersadar dan kembali bertanya “mengapa pesawat saya tidak jalan-jalan.” Sementara saya berjalan ke arah petugas, saya melihat beberapa penumpang sudah melemparkan suara protes dan mata bermusuhan. Mereka bertanya mengapa tidak jalan-jalan, padahal sudah dari tadi kami menunggu. Demo kecil-kecilanpun terjadi di ruang tunggu. Untungnya petugas cukup bijak menjelaskan, dan megatakan bahwa pesawatan akan berangkat pukul 19.00. “Pasti!” itulah cara petugas untuk menenangkan para penumpangnya.

Namun baru berselang 30 menit dari kata kepastian itu, terdengarlah pengumuman yang mengatakan bahwa pesawat akan ditunda sampai pukul 21.00. “Apa, jam 9 malam?” pikirku jengkel. Mengapa lama sekali penundaannya. Serentak seluruh penumpang langsung mendatangi petugas bandara. Hampir semua datang dengan emosi yang memuncak. Hanya saja beberapa bisa menahannya, dan beberapa tidak. Ada yang berteriak-teriak sampai satu ruang tunggu kedengaran. Ada yang memaki-maki. Ada yang memukul meja. Beberapa lagi meminta pihak Sriwijawa bertanggung jawab, setidaknya menukarkan tiket ke pesawat lain. Namun pihak Sriwijaya tidak bersedia karena memang tidak ada penerbangan lain yang ke Surabaya malam itu. Akhirnya penumpangpun semakin emosi, pembicaraan semakin panas, dan beberapa petugas berkumpul mencoba menenangkan masa. Beberapa penumpang marah karena sejak tadi pagi mereka berangkat dari ambon sudah delay selam 3 jam. Dan sekarang delay 7 jam. Mereka tidak bisa terima jika sepanjang hari hidup mereka berada di bandara. Beberapa lagi emosi karena sedang membawa jenazah yang mau dikuburkan di Surabaya.
Sayapun sebenarnya marah, namun saya berpikir jika saya berada dalam posisi petugas itu pasti saya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Keterlambatan pesawat bukan karena disengaja, namun karena ada kerusakan pada badan pesawat. Jelas jika saya menjadi pihak Sriwijaya saya juga akan menyuruh para penumpang bersabar. Jadi sayapun cuman pasif mendengar perdebatan seru mereka. Kurang lebih 30 menit berlalu, beberapa penumpang pergi dengan kecewa. Beberapa lagi termasuk saya, mencoba tenang dan berusaha menunggu dengan sabar.

Sayapun memutuskan untuk kembali membaca buku. Sekali-kali saya membuka laptop dan mengakses internet. Untung saja saya membawa laptop, ada hiburan sedikit jadinya. Pihak Sriwijaya menyediakan sedikit nasi kotak untuk kita makan malam. Disertai teh dan kopi secara cuma-cuma. Dalam waktu-waktu itu ruang tunggu sudah menjadi sepi. Yang tersisa hanya orang-orang yang tampak lelah menunggu. Yang berangkat dari Makassar seperti saya ‘hanya’ menunggu 7 jam. Tapi mereka yang melakukan transit dari Ambon sudah menunggu hampir seharian dari pagi hari. Karena itu wajar kami tampak lelah.

Menariknya justru dalam keadaan seperti itulah penumpang yang satu dengan yang lainnya menjadi semakin dekat. Saya jadi berkenalan dengan hampir 10 penumpang lain yang mengalami nasib yang sama. Padahal sebelum-sebelumnya kalau mau berangkat langsung berangkat saja, tanpa peduli siapa yang ada di ruang tunggu tersebut. Kemarin, Kita mentertawakan nasib kita bersama. Kita menceritakan kekonyolan-kekonyolan yang ada. Beberapa penumpang yang tadinya emosi, sekarang tertawa pasrah karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mungkin pikiran kami sama, dari pada capek marah-marah, mending kita tertawa saja. Ya.... mentertawakan malangnya nasib bersama-sama. Bahkan kami mengajak beberapa petugas untuk tertawa dan bercanda bersama. Yang tadinya marah-marah seakan hendak memukul petugas, kini tertawa sambil mengejek-ngejek penuh canda. Suasana kekeluargaan mulai tercipta.

Akhirnya kami lepas landas bukan pukul 21.00. Melainkan 22.30 wita. Jadi total waktu yang saya luangkan untuk menunggu kurang lebih selama 8 jam. Tidak ada lagi penumpang yang marah karena keterlambatan itu. Sudah pasrah, dan berserah sama pihak penerbangan. Tapi jujur saya bersyukur mendapat pengalaman seperti ini (namun tetap tidak ingin sering-sering terjadi ). Baru kali ini suasana yang akrab di antar penumpang tercipta. Biasanya suasana dingin menghiasi ruang tunggu. Walau sesama rakyat Indonesia, namun penumpang satu dengan yang lain tampak seperti makhluk asing. Justru masalah-masalah yang terjadi kemarin semakin mempersatukan kita. Suasana kekeluargaan yang penuh tawa tercipta. Seandainya setiap kali penerbangan nuansa keakraban seperti ini pasti asyik.

Yah.....saya cuman kepingin sharing.... Tidak semua ketidaknyamanan berakhir pada hasil yang tidak baik.... bener juga memang pepatah yang mengatakan dalam setiap perkara pasti ada hikmahnya. GBu

Saturday, April 09, 2011

Memandang Muka




Pada tahun 2003 saya memutuskan untuk ke Jogja bersama dengan beberapa temen deket. Itu merupakan kepergian saya yang pertama kali ke kota seni tersebut. Karena itu dalam waktu yang singkat itu saya berusaha untuk bisa mencicipi semua kekhasan yang ada disana. Di hari pertama kami langsung memutuskan untuk menaiki dokar khas Jogja yang cukup ramai menghiasi jalan-jalan disana. Bukannya tidak ada kendaraan, namun lebih kepada kerinduan menikmati budaya di kota itu. Dengan dokar yang ditarik seekor kuda yang gagah, kami berkeliling kota membeli oleh-oleh, ke malioboro, dan kebebapa tempat tertentu yang cukup populer dikalangan nasional. Sampai hari menjelang siang akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di ayam goreng Sri yang sudah ternama. Karena tidak ada parkir khusus dokar maka kamipun harus berjalan cukup jauh untuk makan ditempat yang ramai itu.

Ketika kami sudah puas menikmati ayam goreng yang gurih tersebut lantas kamipun bergegas untuk pulang. Tetapi hujan deras mendadak mengguyur kota itu. Kamipun terpaksa menunggu sejenak, karena tidak ada satupun dari kami yang membawa payung. Namun tatkala kami menunggu, muncullah seorang bapak yang cukup ramah dengan senyum khas jogja membawakan payung besar dan menghampiri kami. Melihat ada peluit tergantung di dadanya, tahulah saya bahwa ia adalah seorang tukang parkir. Dengan ramah ia berakat "Mari saya antarkan ke kendaraan bapak." Tanpa sungkan-sungkan kamipun menerima tawarannya sambil berkata trima kasih. Ia kembali bertanya "Naik apa pak?". Saya menjawab "Naik kuda pak." Iapun terus mengantar kami. Namun lama-kelamaan kami terus berjalan jauh dari tempat parkiran itu. Ia pun semakin penasaran dan bertanya lagi "Pak dimana kendaraannya?" Kami menunjuk kearah dokar kami dan berkata "Itu pak, kami naik dokar." Segera saja mukanya berubah jadi tidak ramah dan berkata "owalah, saya kira naik mobil jenis kuda" Sesegera itu juga ia meninggalkan kami ditengah jalan sehingga kami kehujanan. Teman saya menjadi emosi dan berkata "Asem....perlu tak keluarin mobilku a?"
Saya kira inilah gambaran tentang sifat manusia pada umumnya. Sepertinya mata yang kita miliki ini lebih suka memandang seseorang dari penampilan dan apa yang tampak luar. Mungkin kita pernah mengalami atau mendengarkan teman kita berkata "kenapa ya, pertama kali lihat orang itu aku sudah ga suka. Lihat modelnya aja sudah muak?" dsb. Atau ketika kita ingin membeli sebuah buku, kita cenderung akan menilai buku tersebut bagus atau tidak berdasarkan sampul bukunya. Jika saudara pernah mengalami hal-hal itu atau yang serupa dengan ini maka jelaslah bahwa kita manusia lebih suka menilai apa yang tampak luar. Itu perkara yang manusiawi.
Pertanyaannya apakah sikap memandang muka itu cocok diterapkan bagi orang Kristen? Bagaimana sikap kita semestinya terhadap naluri-naluri yang membawa kita menilai seseorang berdasarkan penampilan luarnya? Mari kita lihat kembali kepada kebenaran Firman Tuhan yang baru kita baca dalam surat Yakobus barusan.

Surat Yakobus ini dituliskan kepada orang-orang kristen Yahudi yang sedang merantau di luar palestina. Entah bekas tawanan, entah karena kemauan sendiri, yang pasti mereka sekarang sudah tidak lagi di kampung halaman mereka. Orang-orang Kristen perantauan ini biasa dikenal oleh orang-orang nonkristen sebagai orang-orang yang beriman. Dengan alasan inilah Yakobus menuliskan surat ini. Yakobus ingin mengingatkan setiap umat Kristen bahwa orang beriman itu bukan sekedar status saja, namun harus ditunjukkan dalam perbuatan dan sikap hidup sehari-hari.

Salah satu sikap yang bertentangan dengan iman itu ialah sikap memandang muka. Ayat 1 dengan jelas dikatakan "Saudara....sebagai seorang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka." Sikap memandang muka jelas tidak sesuai dengan iman Kristen. Yakobus memberi contoh, dimana ada seorang yang masuk ke dalam kumpulannya dengan memakai cincin emas dan pakaian indah. Lalu si tuan rumah langsung memberikan tempat yang terhormat dan dengan ramah menghargai orang itu. Namun ketika ada orang yang datang dengan pakaian yang buruk, tuan rumah itu langsung tanpa sungkan-sungkan menegur "Berdiri disana! Atau duduk di lantai ini dekat dengan tumpuan kakiku (posisi seorang budak)" Yakobus menganggap sikap tuan rumah itu tidak pantas, karena dengan demikian ia sudah menghakimi sesamanya sendiri.
Sikap memandang muka adalah sikap yang menghakimi. Karena itu di ayat 9 Yakobus mengatakan "Jikalau kamu memandang muka maka kamu berbuat dosa." Sikap memandang muka dipandang sebagai dosa oleh Yakobus. Karena menghakimi itu merupakan perbuatan dosa, maka sikap memandang muka tentunya jugalah merupakan sebuah dosa.

Namun sebenarnya yang menjadi alasan utama ialah: dengan memandang muka kita tidak lagi meneladani Kristus. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang memandang rupa. Di kitab Samuel, Allah befirman "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." Bahkan di Yakobus 2:6 ini Yakobus menegaskan bahwa Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia untuk menjadi kaya dalam iman, bahkan menjadi ahli waris kerajaan Allah. Bukankah hal itu yang Tuhan lakukan kepada kita. Ia mati dan menyelamatkan setiap manusia tanpa memadang siapa kita, apa jabatan dan status kita. Jika Tuhan hanya mau menyelamatkan orang yang baik dan kaya serta berstatus, ada berapa banyak orang yang Kristen yang tidak dapat masuk dalam kerajaan Surga. Namun tentunya Tuhan tidak melakukan hal tersebut. Salib yang selalu kita lihat di gereja adalah bukti bahwa Yesus mengasihi kita tanpa batas.

Bukan hanya dalam hal penyelamatan, dalam memanggil umat-Nya dalam pelayanan pun Yesus tidak mencari orang yang high quality (yang punya banyak kemampuan, kaya, berjabatan, dsb) Tidak! Di Alkitab Tuhan memakai para pelayan yang miskin seperti Petrus dkk. Ia juga memanggil seorang pemungut cukai yang hina seperti Matius. Iapun memanggil orang yang licik seperti Yudas. Bahkan Ia masih mau memakai pembunuh orang Kristen seperti Paulus. Jika Tuhan memandang muka, semua orang itu termasuk kita tidak akan pernah layak untuk melayani. Namun sekali lagi bersyukur kepada Tuhan karena Ia tidak pernah memandang muka. Karena itu jika Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak memandang muka, maka kita sebagai anak-anaknya pun sudah semestinya menjauhi sikap memandang muka tersebut.

Berbicara tentang memandang muka ini saya suka dengan sebuah cerita demikian. Suatu ketika seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University. Mereka meminta janji. Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada disana. "Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard" kata sang pria lembut. "Beliau hari ini sibuk" sahut sang Sekretaris cepat. "Kami akan menunggu", jawab sang Wanita. Selama empat jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya. "Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi", katanya pada sang Pimpinan Harvard. Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya mulai muncul. Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata kepadanya, "kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu,dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, disuatu tempat di kampus ini. Bolehkah?" Tanya nya, dengan mata yang menjeritkan harap. Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. "Nyonya", katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan". "Oh, bukan", Sang wanita menjelaskan dengan cepat,"Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard". Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung?! Kalian perlu memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard". Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan. Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California. Di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi dipedulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di Amerika Serikat.

Marilah kitapun tidak melakukan sikap demikian. Selain penilaian dari luar kebanyakan menipu, Alkitab pun mengatakan bahwa sikap memandang muka tidak sesuai dengan sikap seorang Kristen, bahkan hal tersebut merupakan perbuatan dosa. Tapi bagaimana caranya? Bukankah penilaian itu secara alami timbul dalam pemikiran kita? Saya kira sejauh penilaian itu muncul pertama kali dalam diri kita, itu belum masuk dalam dosa. Namun jika penilaian itu sudah berbuah menjadi perbuatan yang tidak adil dan membeda-bedakan, itulah dosa. Karena itu mari kita belajar untuk mengikuti kata hati kita. Mungkin hati secara otomatis membuat penilaian terhadap sesama kita. Namun mari kita belajar untuk menyangkal diri, dan mencoba tidak mengikuti penilaian hati, sampai kita sungguh-sungguh mengenal orang tersebut.

Tuesday, April 05, 2011

Pengikut Kristus (Matius 8:16-22) #2



2. Seorang pengikut Yesus harus menjadikan Yesus sebagai prioritas utama

Pada masa jayanya, Kerajaan Romawi pernah menyerbu Inggris dari laut. Begitu kapal-kapal mereka mendarat, sang komandan memberi perintah yang mengejutkan. Anak buahnya diperintahkan untuk membakar semua kapal yang membawa mereka sampai ke Inggris! Para tentara terperangah. Mereka memprotes: “Jika kita terancam bahaya, bagaimana kita nanti melarikan diri?” Sang komandan menjawab, “Itu sebabnya kapal-kapal itu harus dibakar. Bagi kita tak ada kata melarikan diri. Kita harus maju. Dan menang!” Sang komandan menuntut komitmen sejati dari pasukannya. Di situ ada harga yang harus dibayar. Tuhan pun sebagai komandan menuntut komitmen demikian dari setiap pengikut-Nya. Ia mau kita harus menempatkan Yesus sebagai prioritas utama. Tidak menoleh kebelakang, dan tidak sibuk dengan urusan dan kesenangan diri sendiri.

Dikisahkan setelah kedatangan ahli taurat tersebut, datanglah seseorang yang dikatakan sebagai salah seorang murid Yesus. Orang itu berkata “Tuhan, ijinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku”. Pada waktu itu sudah semestinya seorang anak bertanggung jawab untuk menguburkan orang-tuanya. Itu merupakan bentuk penghormatan kepada orang tua. Adat seperti itu banyak dilakukan di beberapa negara. Di Turki dan China juga memiliki kebiasaan seperti itu di mana seorang anak harus menguburkan orang tuanya. Jika tidak anak itu malah dianggap anak durhaka. Saya rasa di Indonesia pun banyak yang mempunyai konsep seperti itu.
Namun apa yang menjadi respon Yesus? Yesus menjawab di ayat 22 “ikutlah Aku, dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.” Sekilas kita merasa bahwa jawaban Yesus merupakan jawaban yang kejam dan tidak berperasaan. Kok orang mau menguburkan orangtuanya ga boleh. Nanti bukankah orang akan mengecap bahwa anak itu anak durhaka, dan akhirnya malah menjadi batu sandungan bagi orang yang tidak mengenal Tuhan? Sungguh jawaban Yesus seakan-akan begitu kejam.

Namun sebenarnya bukan itu yang dimaksudkan. Pada zaman dahulu penguburan orang Yahudi biasanya dilaksanakan beberapa saat setelah kematian pada hari itu juga. Jika ada seorang yang meninggal, maka anaknya pada hari itu juga harus segera menguburkan orang tuanya. Setelah penguburan barulah masa perkabungan dilakukan. Terbalik dengan budaya kita (berkabung dulu baru dikubur). Jadi kemungkinan besar orang tua muridnya itu belum mati. Karena jika sudah mati seharusnya tidak menjadi masalah bagi Yesus untuk menunggu sebentar saja, atau suruh ia menyusul Yesus setelah menguburkan, karena itu merupakan sikap penghormatan. Jadi apa maksud perkataan murid itu? Sebenarnya maksud perkataan murid itu adalah ia mau setelah ayahnya meninggal barulah ia mengikut Yesus.

Pemuda itu seakan berkata: “Tuhan tunggu dulu ya Tuhan, keluargaku nomor satu, Tuhan nomor 2. Kalau orangtuaku meninggal baru saya mengikut Engkau.” Pemuda itu tidak menjadikan Tuhan sebagai prioritas hidupnya. Makanya Tuhan berkata: “tetapi kamu, ikutlah Aku, biarkan orang mati menguburkan orang mati.” Beberap penafsir mengatakan sebenarnya arti teks Yunaninya berkata “Biarkan tukang kubur yang menguburkan orang mati”.

Dari sini kita dapat melihat bahwa Yesus menginginkan setiap pengikut-Nya memprioritaskan Tuhan lebih dari segalanya. Di bagian lain Tuhan pernah berkata “Barangsiapa mengasihi orangtuanya lebih dari pada Aku, ia tidak layak bagi-Ku”. Tuhan ingin setiap kita menjadikan Tuhan sebagai prioritas hidup kita, lebih dari segalanya (kekayaan kita, hoby, cita-cita, bahkan lebih dari orang yang terdekat dengan kita).


Sebagai seorang anak Tuhan, adakah kita memiliki hati yang demikian? Sudahkah kita memprioritaskan Tuhan yang adalah bapa kita lebih dari segalanya? Seberapa banyak tenaga, waktu, dan pikiran yang kita berikan kepada Tuhan. Orang yang memprioritaskan Tuhan berarti ia akan menyediakan waktu teduh untuk dapat semakin mengenal Tuhan. Orang yang memprioritaskan Tuhan akan meluangkan waktu untuk berdoa meminta pimpinan Tuhan sepanjang hari. Orang yang memprioritaskan Tuhan bukan orang yang selalu meminta Tuhan untuk memenuhi keinginan dan kehendak hatinya, sebaliknya ia akan terus bertanya akan apa kehendak Tuhan untuk ia lakukan sepanjang hari itu. Orang yang memprioritaskan Tuhan akan bertanya kepada Tuhan “Tuhan apa yang harus kuperbuat dalam pekerjaan, keluarga, dan lingkunganku?”. Dan orang yang memprioritaskan Tuhan akan menyerahkan hatinya penuh kepada Tuhan. sudahkah kita memprioritaskan Tuhan demikian rupa?

Mari kita menjadi seorang pengikut Kristus, bukan seorang pendengar. Seorang pendengar memang hidupnya lebih enak didunia ini. Tapi ia tidak layak untuk berada dalam kemuliaan bersama Tuhan. Sebaliknya pengikut Kristus mungkin menderita selama di diunia ini. Namun kelak ia akan bahagia berada dalam kemuliaan bersama dengan Tuhan. Karena itu jadilah pengikut-pengikut Kristus yang siap untuk menderita, dan yang memprioritaskan Tuhan atas segalanya.

Pengikut Kristus (Matius 8:16-22) #1



Beberapa tahun yang lalu saya mengkuti sebuah kelas kuliah yang dilakukan secara intensif. Dalam waktu satu minggu kita harus mengejar 2sks yang biasanya dilakukan selama satu semester. Tidak heran setiap hari kami kuliah dari pagi sampai sore, dan malamnya harus mengejarkan tugas-tugas yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Bahkan harus menyelesaikan ratusan halaman yang harus dibaca tiap hari. Setiap hari begitu terus selama seminggu penuh. Kami semua harus rajin mencatat dan membaca buku tugas yang harus dibaca serta belajar untuk ujian. Tentu saja hal ini sangat melelahkan. Namanya saja intensif. Namun sampai suatu waktu saya terheran-heran dengan seorang teman yang juga mengikuti kuliah itu. Ia tidak mencatat pelajaran yang diterangkan oleh dosen, bahkan di mejanya tidak tampak buku wajib yang merupakan bahan kuliah serta tugas baca. Ketika kami sibuk mencatat, ia hanya duduk santai-santai. Ketika sore hari kami harus mengerjakan tugas dan membaca buku-buku wajib, ia malah santai-santai baca buku yang lain. Saya terheran-heran dan kemudian saya menghampiri dia dan menanyakan hal tersebut. Iapun menjawab “Lho, saya kan cuma pendengar. Saya bukan pengikut mata kuliah itu, saya hanya mau dengar-dengar.” Akhirnya saya mengerti mengapa ia tidak sesibuk kami dan tidak melakukan apa yang kami lakukan. Karena dia hanyalah seorang pendengar. Ia tidak mempunyai tanggung jawab apapun di kelas itu. Berbeda dengan kami yang merupakan pengikut mata kuliah tersebut, di mana kami harus konsentrasi penuh dalam setiap perkuliahan, mengerjakan setiap tanggung jawab yang diberikan dosen kepada kami.

Saudara tahukah bahwa ketika kita menyatakan iman percaya kepada Tuhan Yesus, secara otomatis status kitapun berubah menjadi murid atau pengikut Kristus. Kita bukan lagi seperti seorang pendengar, yang mengerti dan paham tentang Kristus dan kekristenan namun tidak melakukan tanggung jawab sebagai seorang Kristen. Tetapi setiap kita sudah disebut sebagai pengikut Kristus. Dan sebagai pengikut, jelas....ada tanggung jawab yang harus kita pikul dan kerjakan.

Namun sayangnya saat ini banyak orang-orang Kristen yang hanya mau menjadi pendengar saja, tapi tidak mau menjadi pengikut. Mereka paham akan siapa Kristus, bagaimana karya-Nya, bahkan sampai doktrin yang rumit-rumitpun mereka mengerti. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil bagian atau tanggung jawab sebagai murid atau pengikut Kristus. Tentu saja mereka tidak dapat disebut sebagai pengikut Kristus. Dan sama seperti teman saya tidak akan mendapatkan penilaian, maka orang Kristen yang kerjanya hanya menjadi pendengarpun tidak akan pernah mendapatkan hitungan di mata Tuhan.

Karena itu sudah semestinya kita mengambil sebuah tanggung jawab dalam mengikut Kristus. Dalam perikop yang kita bahas hari ini berbicara tentang: apa sih syarat yang dikehendaki Tuhan ketika kita mau menjadi pengikut-Nya. Dari perikop ini kita bisa menyimpulkan ada dua point tentang bagaimana syarat untuk mengikut Yesus.


1. Seorang pengikut Yesus harus siap menderita

Pada ayat 18 dikatakan bahwa “ketika Yesus melihat orang banyak mengelilinginya, bertolaklah Ia keseberang”. Sesampainya di seberang ia bertemu dengan seorang ahli Taurat, dan ahli Taurat itu berkata “Guru, aku akan mengikuti Engkau, ke mana saja Engkau pergi”. Sebenarnya peristiwa ini merupakan suatu peristiwa yang unik. Mengapa?

Ahli taurat merupakan seorang yang memelihara hukum Taurat mengajarkan hukum Taurat pada waktu itu. Mereka sangat dihormati dan dihargai. Banyak orang yang segan dengan keberadaan mereka. Pada umumnya hampir tidak ada seorang ahli Taurat yang mau mengikuti Yesus. Apalagi ketika Yesus di dunia, Yesus sangat mengecam para ahli Taurat yang bersikap munafik, penuh tipuan, tidak memiliki kasih, dsb. Oleh karena itu kebanyakan para ahli Taurat ini sangat membenci Yesus. Mereka selalu mencari cela untuk mencari kesalahan-kesalahan Yesus. Dan kita tau bahwa pada akhirnya, merekalah otak dibalik penyaliban Yesus. Inilah yang menjadi letak kejanggalannya. Bagaimana mungkin ada seorang ahli Taurat yang hendak mengikut Yesus? Bahkan ahli taurat itu berkata “Aku akan ikut kemanapun Engkau pergi”
Saya kira jikalau saya jadi Yesus, saya akan terima dia. Dengan pemikiran barangkali kelak rekan-rekan ahli taurat lainnya bisa ikut juga. Namun menariknya, bukannya diterima, Yesus malah menjawab demikian “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Serigala itu merupakan hewan yang licik, tidak berperasaan, dan seringkali orang-orang yang kejam dilambangkan sebagai seekor serigala (seperti herodes). Namun hewan seperti ini dikatakan mempunyai liang untuk beristirahat. Sedangkan burung merupakan hewan yang murah, lemah, dan tidak berdaya. Namun hewan seperti ini juga memiliki sarangnya. Lalu Yesus mengontraskan dengan dirinya “tetapi Anak Manusia (yang adalah Yesus sendiri) tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala.” Disini Yesus hendak memberitahukan kepada ahli taurat itu: “jika kamu mau mengikuti aku, kamu harus rela berkorban, rela hidup tidak enak, rela menderita sama seperti aku”. Kita tahu sendiri bahwa selama hidup-Nya, Yesus banyak menghadapi penderitaan. Sejak awal ia ditolak, tidak mempunyai tempat tinggal, dihina, dikhianati, bahkan di bunuh di kayu Salib. Inilah pesan yang ingin Tuhan berikan pada ahli Taurat itu.

Mungkin awalnya Ahli Taurat itu hendak mengikuti Yesus karena jika kita melihat perikop sebelumnya, Yesus sudah melakukan banyak mujizat, dan Ia sudah terkenal; sehingga jika ia bisa menjadi murid Yesus, namanya bisa ikut mengambung dan ia bisa hidup enak, karena Yesus mampu melakukan apa saja. Yesus melihat motif dari ahli Taurat itu. Karena itu Yesus mengajarkan bahwa: Menjadi pengikut Kristus itu bukanya hidup enak-enak, tapi harus siap hidup susah dan siap untuk bekorban, sama seperti Kristus. Hal ini sejalan dengan pengajaran Yesus dimana Yesus pernah berkata “Barangsiapa yang mau mengikut aku, ia harus menyangkal diri dan memikul salib.” ‘Memikul salib’ disini berarti setiap pengikut Tuhan harus siap untuk menderita.

Pada tahun 1600 penganiayaan terjadi begitu keras terhadap orang-orang Kristen yang ada di Jepang. Tanggal 20 Feb 1627 seorang misionari Kristen yang bernama Paulo ditahan karena menampung orang-orang Kristen dirumahnya. Dalam penahanan itu ia disiksa. Ia dipukul, ditelanjangi, dan diseret. Namun Paulo tetap tegar. Pemerintah Jepang menggunakan cara yang lebih keji untuk menyiksanya. Mereka berkata bahwa mungkin orang ini dapat kuat dalam menghadapi siksaan, namun ia tidak akan kuat jika melihat anak-anaknya disiksa. Lalu mereka menghampiri Paulo dengan membawa anak-anaknya, sambil berkata “berapa banyak jari anakmu yang harus saya ambil atau kamu mau menyangkal Tuhanmu” Paulo sempat bingung, bayangkan saja jika anak kita menderita, bukankah itu jauh lebih menderita dibandingkan jika kita yang menderita? Namun dengan tegar Paulo berkata “semua terserah padamu, anakku sudah kuserahkan dalam tangan Tuhan”. Akhirnya semua anaknya jari-jarinya dipotong semua, yang disisain hanya jempol dan kelingking, dengan anggapan bahwa mereka harus lebih buruk daripada hewan. Dan akhirnya ia harus mati karena penganiayaan itu. Namun sebelum ia mati, ia mengangkat tangannya ke atas sambil menyerahkan nyawanya.

Kalau kita melihat diri kita, kira-kira sudahkah kita menjadi seorang pengikut Kristus? Adakah kita siap untuk menderita bagi Kristus. Saya tidak mengatakan bahwa seorang Kristen harus selalu menderita. Kalo tidak menderita berarti bukan seorang Kristen. Tidak! Tetapi seorang Kristen harus siap untuk menderita. Tidak perlu berbicara jauh seperti para martir yang mati bagi Tuhan. Bisa jadi karena mengikut Tuhan, relasi kita dengan orang-orang tertentu menjadi terganggu. Ada seorang yang percaya Tuhan, kemudian ia malah diusir dari rumah karena dianggap anak pembangkang. Ada juga orang Kristen yang dikeluarkan dari tempat kerjanya karena sikapnya yang jujur dan tidak mau berbuat curang. Ada juga orang-orang Kristen yang dikucilkan dan dijauhi oleh lingkungan sekitar tempat tinggalnya, karena dia Kristen. Itu baru dalam hal relasi. Belum lagi masalah ekonomi dan sebagainya. Ada seorang pengikut Kristus, yang ingin hidup benar, akhirnya harus menolak banyak tawaran-tawaran kotor dari rekan bisnisnya. Akibatnya rekan-rekannya jauh lebih kaya, sedangkan bisnisnya hanya sedang-sedang saja. Ada banyak lagi hal-hal yang seakan-akan dapat ‘merugikan’ kita jika menjadi pengikut Kristus. Ketika kita dalam posisi itu, apakah kita siap untuk bekorban? Siapkah kita untuk menderita? Jika kita belum siap bekorban, maka kita tidak layak disebut sebagai pengikut Kristus.