Monday, November 30, 2009

Meminang Kemurahan




Dambaku ya Tuhan . . .
Keadilan meminang kemurahan

Membawa kelembutannya ke peraduan
Bersetubuh menjadi kesatuan


Hentikan masa paceklik

Dimana keadilan dan kemurahan memekik
Keduanya saling mencekik

Menceraikan hubungan yang pelik


Biarlah mereka bercium-ciuman
Senantiasa dihangatkan pelukan

Melahirkan ketenraman nan nyaman

Kepada tujuh puluh tujuh insan


Biarlah kisah cinta mereka. . .

Menghantar rasa suka
Menyapu rasa duka

Kepada jiwa yang baka


Dambaku ya Tuhan. . .

Keadilan meminang kemurahan
Saling bermesra-mesraan

Sampai pada akhir zaman

Monday, November 23, 2009

Learn "Boanthropy" in the Bible



Pada tahun 1946, di sebuah rumah sakit Jiwa di Inggris, ditemukan jenis gangguan jiwa yang unik, bahkan dapat dikatakan “aneh”. Orang yang terkena jenis gangguan itu menghabiskan hari-harinya di tempat terbuka. Ia tidak suka menempati ruang tertutup. Namun demikian, cuaca panas atau dingin sama sekali tidak mengganggu kulit tipisnya. Serbuan hujan, hawa dingin, dan terik mentari juga tidak mampu membuat tubuhnya sakit. Setiap hari ia harus dimandikan dan dicukur oleh orang lain, karena ia tidak akan melakukannya dengan tangannya sendiri. Terlebih aneh, setiap hari ia hanya memakan rumput-rumputan (yang masih fresh on the ground). Nasi, kentang, atau makanan manusia pada umumnya tidak diminatinya. Bahkan ia dapat membedakan rumput mana yang baik untuk dimakan dan mana yang liar, atau yang haucek dengan yang puhaucek. Secara fisik, mungkin ia terlihat baik-baik saja. Hanya rambutnya lebih panjang dan kukunya lebih kasar dan tebal dari biasanya. Inilah penyakit boanthrophy; sebuah gangguan jiwa yang di alami seseorang dengan menganggap dirinya sebagai seekor lembu.


Tentu saja ini perihal yang langka, yang jarang terjadi di muka bumi ini. Tapi menariknya, kurang lebih 2500 tahun yang lalu (sekitar abad 6 SM), Alkitab pernah mengisahkan seorang yang menderita penyakit langka tersebut. Ia bukan orang biasa; ia bukan orang miskin yang menderita; ia juga bukan orang yang berkekurangan, sehingga harus mengalami gangguan jiwa. Tetapi ia adalah seorang raja yang agung dan kaya, bahkan yang teragung pada zamanya. Ia adalah Nebudkanezar.


Sejarah mencatat Nebudkanezar pernah diasingkan, meninggalkan pemerintahannya untuk beberapa jangka waktu. Ia diasingkan karena terserang penyakit boanthropy (seperti di atas), sehingga pembangunan kota Babel berhenti (Padaha raja Nebu, adalah raja yang hobi membangun kota. Salah satu karya yang terkenal adalah hanging garden, yang pernah masuk dalam keajaiban dunia). Apa sebabnya? Apakah dia tertekan? Atau dia mengalami kedukaan? Atau dia depresi berat alias stress? Tapi, bagaimana ia dapat berduka, jika ia menjadi penguasa nomor satu pada waktu itu. Apa yang ia perintahkan pasti terlaksana. Ia dilambangkan sebagai kepala emas (Dan. 2), yang menunjukkan kejayaannya selama memerintah. Ia juga memiliki istri yang cantik, yang konon katanya hanging garden itu diciptakan untuk menyenangkan sang istri. Lantas, apa yang menjadi penyebabnya?


Jika kita membaca kitab Daniel pasal 4, kita akan menemukan jawabnya. Penyebab semuanya itu adalah keangkuhan diri. Kesombongan yang besar menguasai dirinya, ia menganggap diri megaloman, penguasa tertinggi di dunia, bahkan merasa diri lebih tinggi dari para ilah. Mungkin dalam benaknya, tidak ada otoritas apapun yang ada di atasnya. Sungguh merupakan keangkuhan tingkat tinggi.


Padahal sebelumnya Allah sudah mengingatkan lewat mimpi, bahwa kekuasaannya akan di hancur-luluhkan. Bahkan dengan gamblang Allah mengingatkan, bahwa raja akan menjadi serupa dengan seekor lembu dan diberi hati binatang jika ia tidak mau mengakui bahwa Tuhanlah yang empunya otoritas dan kekuasaan tertinggi di dunia. Tapi raja Nebu tidak mengindahkannya. Ia memilih untuk memuaskan kekosongan batinnya dengan keangkuhan.


Akibatnya, ia harus ditundukkan serendah-rendahnya. Hatinya diganti dengan hati binatang. Bahkan tingkah lakunya menjadi seperti binatang. Ironi sekali bukan? Berawal dengan menganggap diri sebagai Allah, tapi berakhir dengan keadaan terendah, bahkan lebih rendah dari para budak sekalipun, yaitu dengan menjadi seekor binatang. Sangat menyedihkan.


Sepertinya di mata Tuhan, kesombongan merupakan dosa yang sangat menjijikkan. Begitu menjijikannya sehingga ia harus disetarakan dengan hewan. Sebenarnya raja Nebu masih bersyukur, karena dengan jalan itu, akhirnya ia dapat mengakui bahwa Allah Israel adalah oknum yang memiliki otoritas tertinggi (Dan. 4:37). Saya katakan bersyukur, sebab jika dibanding dengan Herodes, hukumannya jauh lebih ringan. Herodes pernah mengilahkan dirinya, dan seketika itu juga ia ditampar oleh malaikat Tuhan, karena tidak menghormati Allah. Dan sesegera itu juga meninggallah ia, tanpa ada kesempatan untuk bertobat (Kis. 12:23). Bukankah Adam dan Hawa juga mengalami kematian rohani ketika ia ingin memakan buah yang dilarang, agar menjadi serupa dengan Allah? Keangkuhannya membawa seluruh manusia keturunannya harus binasa dalam dosa. Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa keangkuhan adalah dosa yang sangat dibenci Tuhan.


Karena itu saudaraku, berhati-hatilah dengan keangkuhan hidup. Pdt. Paul Gunadi pernah berkata bahwa kesombongan merupakan dosa yang sering terjadi tanpa disadari. Bahkan terlebih mengerikan, kesombongan itu dapat masuk ke dalam segala aspek kehidupan kita. Dalam cinta bisa timbul kesombongan. Dalam pelayanan bisa timbul kesombongan. Dalam persahabatan bisa timbul kesombongan. Bahkan dalam doa pun juga dapat timbul kesombongan. Jadi marilah kita berhati-hati akan dosa yang satu ini. Berhati-hatilah dengan segala kelebihan yang kita miliki (jangan untuk membanggakan diri); Berhati-hatilah dengan anugerah yang sudah kita terima (jangan digunakan untuk memuaskan diri); Berhati-hatilah akan kekuasaan dan kekayaan kita (jangan digunakan untuk menindas orang lain); Jangan sampai keangkuhan hati kita membuat Allah muak dan jijik memandangnya. Marilah kita belajar menundukkan diri, dengan menganggap Ia sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan kita. GWus


Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi TUHAN; sungguh, ia tidak akan luput dari hukuman.

Amsal 16:5


Sebab TUHAN berkenan kepada umat-Nya, Ia memahkotai orang-orang yang rendah hati dengan keselamatan.

Mazmur 149:4

Wednesday, November 18, 2009

Mentariku





Tuhan Engkaulah mentariku
Kawanan mendung tak dapat menghalangi
Kepekatannya hanya menutup batas pandang
Tanpa sedikitpun berkuasa atas terang-Mu
Ini bukti kegagahan-Mu. . . .Kemahakuasaan-Mu
Jika kau mau. . . .
Engkau dapat menembus kalbu itu
Dengan sekelumit cahya-Mu
Menusuk lapisan awan gelap nan tebal
Yah . . . .Setidaknya tebal bagiku
Dan jika kau mau . . . .
Engkau dapat menyirami jiwa kalbuku
Dengan cercah cahaya-Mu
Yang tebal nan siksa
Yah. . . . setidaknya tebal bagiku
Namun tipis bagi-Mu
Lebih tipis dari lembaran yang tertipis
Yang terlalu mudah untuk tertembus
Oleh mentari-Mu
Sirami Tuhan....
Sirami hatiku.

Monday, November 09, 2009

Not Me, Nor You, But We (Mrk 6:30-44) #2



Ss, sebenarnya alasan utama mengapa kita harus mempedulikan mereka, ialah karena kita sendiri tidak dapat hidup jika tidak dipedulikan. Jika bukan orang tua kita yang mempedulikan kita, dapatkah kita lahir dan berkembang sampai saat ini? Tentu tidak. Terlebih dari itu, jika bukan Tuhan masih peduli dengan setiap kita saat ini, dapatkah kita masih akan tetap bertahan? Tentu tidak. Karena itu, jika kita tidak dapat lepas untuk tidak dipedulikan, maka kitapun harus mempedulikan orang lain.


Ss, jika kita perhatikan perikop kita baik-baik, sebenarnya siapa sih yang lebih butuh untuk menyendiri? Apakah murid-murid yang kelelahan itu? Tidak! Sebenarnya Yesuslah yang butuh untuk menyendiri. Perikop sebelumnya mengisahkan tentang kematian Yohanes Pembabtis, rekan sepelayananNya. Ada penafsir yang mengatakan bahwa kabar itu cukup memukul perasaan Yesus, sehingga Ia ingin menyendiri untuk mengungkapkan perasaan-Nya kepada Bapa. Tak heran kalau kita melihat ayat 45, setelah ia melayani orang banyak, ia menyuruh murid-murid pergi mendahuluinya, Ia ingin berdoa seorang diri. Yesus sedih, dan ia butuh untuk menyendiri. Namun ketika Ia melihat orang banyak itu datang kepadanya seperti domba yang tanpa gembala, hati-Nya langsung tergerak oleh belas kasihan. Belas kasihan itulah yang membuatNya melupakan diri-Nya sendiri. Belas kasihan itu juga yang membuatnya mau melayani orang banyak itu. Baginya melayani orang banyak itu jauh lebih penting dari pada melayani perasaan yang sedang Ia alami.


Ss, kitab-kitab Injil ini seringkali menyatakan akan hati Yesus yang tergerak oleh belas kasihan. Ia lebih mementingkan hati yang berbelas kasihan daripada sekedar persembahan korban. HatiNya berbelas kasihan dengan orang yang tersesat. Ia menaruh belas kasihan kepada mereka yang sakit. Ia berbelas kasihan kepada mereka yang haus, lapar dan terlantar. Ia juga memberikan belas kasihan kepada orang yang bersalah kepada-Nya. Orang buta, tuli, kusta disembuhkan juga karena belas kasihan. Dan karena belas kasihan itulah, Ia mau membangkitkan anak tunggal milik seorang janda. Ss, hati Yesus seakan-akan dipenuhi dengan belas kasihan yang sangat mendalam. Kehadiran-Nya merupakan kehadiran yang penuh dengan belas kasihan.


Ss bukankah belas kasihan itu juga yang sedang menimpa kita saat ini? Bukankah karena belas kasihan kita masih dapat hidup? Dan bukankah karena belas kasihan itu, kita bisa di selamatkan? Bukankah sudah seharusnya kita mati karena dosa-dosa kita? Bukankah sudah semestinya, kita binasa karena apa yang sudah kita buat? Namun karena belas kasihan Yesus mau datang ke dunia ini. Karena belas kasihanlah, ia mau disiksa dan dihina. Bahkan karena belas kasihan itu juga, Ia mau diSalib bagi kita. Ia mau mati bagi kita. Mengapa? Karena ia berbelas kasihan kepada kita. Ia peduli dan mengasihi kita.



Ss, jika mengingat belas kasihan Tuhan, saya selalu teringat dengan kisah nyata salah seorang Pdt dengan anaknya. Suatu ketika si anak hendak bermain-main di kantor ayahnya. Ayahnya berkata, “nak kamu boleh main apa aja, asal jangan bermain dengan buku-buku papa. Dan kamu tahu, jika buku papa rusak, maka sebagai hukumannya, papa akan memukul tanganmu dengan rotan.” Si anak mengangguk tanda setuju. Kemudian sang ayah meninggalkan anaknya bermain seorang diri. Awalnya anak itu asyik bermain, namun karena bosen tiba-tiba ia mulai melihat buku-buku ayahnya. Ia mulai merasa tertarik, dan melupakan apa yang dikatakan ayahnya. Ia ambil krayonnya lalu dicoret-coretlah buku sang ayah. Tiba-tiba pintu terbuka dan ayahnya masuk. Si anak tiba-tiba tersadar dengan apa yang dilakukannya, ia sudah melanggar dan harus dihukum. Dan benarlah, terdengar suara kemarahan “nak, apa yang kamu lakukan? Kan papa sudah bilang jangan bermain dengan buku papa.” Si anak cuman tertunduk diam. “Sini tanganmu” bentak si ayah. Lalu dengan ketakutan itu si anak mengulurkan matanya, sementara si ayah mengambil rotan. Dan ketika rotan itu mulai diayunkan, anak itu memejamkan matanya erat-erat. CETAR CETAR CETAR.... Beberapa kali suara pukulan mendarat, tapi ia tidak merasakan sakit apa-apa. Kemudian perlahan ia mulai membuka matanya yang sudah penuh dengan air itu. Dan betapa terkejutnya ia melihat bahwa sang ayah memukuli tangannya sendiri. Anak ini mulai bingung dengan apa yang terjadi. Kemudian ia berkata “ayah, bukankah aku yang seharusnya dihukum, tapi mengapa?” Sang ayah Cuma menjawab: “ya nak, seharusnya kamu yang harus dihukum, tapi karena papa mengasihimu, papa tidak tega, maka papa menghukum tangan papa sendiri.” Lama kelamaan sang anak melihat tangan papapnya smakin memar, dan ia tidak tahan melihat kasih ayahnya, ia segera mememeluk papanya smabil berteriak “cukup pa...cukup... maafkan saya pa... saya berjanji tidak akan melakukannya lagi.”



Ss, belas kasihan seperti itu juga yang sudah Tuhan berikan kepada kita. Ketika seharusnya kita mendapat hukuman kekal, dan sudah semestinya kita binasa, Ia mau menggantikan itu semua dengan dirinya. Ia mau disalib, dan ia mau mati untuk kita. Ss, Tuhan sudah mengajarkan kepada kita suatu bentuk kepedulian yang sempurna. Kepedulian yang mengorbankan kepentingan diri sendiri. Kepedulian yang dipenuhi dengan belas kasihan. Dan saat ini ia pun ingin mengajak kita untuk belajar sepertinya. Ia ingin setiap kita memiliki hati yang mau peduli. Hati yang tidak lagi berfokus pada diri sendiri. Hati yang tidak ekslusif terhadap golongan ternentu. Tapi hati yang terbuka kepada semua orang dengan penuh belas kasihan. Nor me...nor you.. but we

Not Me, Nor You, But We (Mrk 6:30-44) #1



Ss, beberapa minggu yang lalu koran Jawa Pos memberitakan kabar yang cukup mengejutkan. Seorang ibu bersama putrinya yang cacat mengalami tekanan hidup di London. Mereka telah ditinggal oleh suami dan ayah tercinta. Kawasan rumah yang mereka tinggali sangat tidak nyaman. Mereka seringkali mendapat intimidasi dari geng pemuda (rata-rata berusia belasan tahun) di dekat tempat tinggalnya selama kurang lebih 10 tahun. Rumah mereka dikencingi setiap hari. Kebunnya dihancurkan. Putrinya yang cacat diejek. Kadang-kadang Fransesca, putri Fiona ini disuruh untuk membuka pakaiannya secara paksa. Seringkali ia dipukul dan dikurung dalam ruang tertutup. Selama 10 tahun itu juga Fiona sang ibu melaporkan hal tersebut kepada polisi untuk melaporkan perlakuan buruk terhadap keluarganya. Beberapa kali dia juga mengirimkan surat kepada wakil rakyat di DPRD setempat. Namun upaya itu sia-sia. Tidak ada respons. Tidak ada yang peduli.


Akhirnya 30 oktober 2007, mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan membakar diri dalam sebuah mobil. Mengejutkan? Sangat mengejutkan! Kasus ini kemudian diangkat dalam sidang bulan September lalu. Polisi cuma mengucapkan kata penyesalan dan permintaan maaf sedalam-dalamnya karena ketidakpeduliannya kepada keluarga yang ditinggalkan. Penyesalan yang terlambat. Tidak ada lagi yang dapat dilakukan kepada orang yang sudah mati.


Ss, membaca hal ini mencelikkan mata saya. Manusia butuh untuk dipedulikan. Dan karena itu, manusia butuh untuk mempedulikan. Apalagi sebagai seorang Kristen yang mengaku sebagai murid Kristus, kepedulian harus mendarah daging dalam nadi kita. Sebab jika Yesus yang kita katakan sebagai guru begitu peduli terhadap manusia, bahkan musuh-musuhnya sekalipun, maka kita pun harus peduli pada sesama kita yang juga Tuhan pedulikan.


Namun tentu saja ini bukan hal yang mudah bukan? Jangankan peduli dengan orang yang kita kenal, peduli sama temen yang kita kenal aja susah. Kita berkata: “ah kalau aku mempedulikan, lantas siapa yang akan mempedulikan aku?” atau kita berkata “ah aku terlalu sibuk untuk mempedulikan dia, masalahku juga banyak.” Akhirnya tanpa sadar, kepedulian dalam diri kita semakin pudar. Hidup semakin egois dan berfokus hanya kepada aku dan aku serta aku sendiri.


Ss, itulah yang terjadi dalam perikop yang sudah kita baca. Ayat 30 memberitahukan bahwa murid-murid itu baru saja kembali dari pelayanan keliling desa (ayat 6b-13), dengan mengajar, menyembuhkan dan mengusir banyak roh jahat. Dan sudah pasti itu menjadi hal yang sangat melelahkan. Yesus paham dan peduli akan keadaan mereka, sehingga Ia mengajak murid-murid-Nya untuk pergi ke tempat yang sunyi untuk beristirahat.


Kemudian mereka mengambil jalan Laut agar tidak dilihat orang. Sebab jika mereka melewati jalan darat, tentunya akan banyak orang yang mengikuti mereka. Tapi sayang sekali. Rencana menyendiri itu batal. Banyak orang yang melihat mereka dan mengetahui arah tujuannya mengikuti dengan memutari jalan darat. Bahkan dikatakan seluruh kota mengikuti Yesus dan murid-muridnya. Karena memang kehadiran Yesus sangat menghebohkan kawasan Palestina dengan mujizat-mujizat dan ajaran-ajaran-Nya yang sangat menabjubkan. Rencana awal menyediri berubah menjadi kegaduhan. 5000 orang lebih mengikuti-Nya. Mengapa mereka mengikuti Yesus? Alkitab tidak menjelaskan. Mungkin ada di antara mereka yang meminta untuk disembuhkan. Yang pasti ada di antara mereka yang haus akan pengajaran-pengajaran Yesus. Mereka haus akan kebenaran, sehingga Yesus mengajarkan banyak hal kepada mereka.


Hari semakin malam, tapi Yesus tidak berhenti mengajar. Murid-murid yang sudah kelelahan itu kemudian berkata kepada Yesus “Tuhan, Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah mereka pergi, supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa dan di kampung-kampung di sekitar.” Ss, sungguh merupakan alasan yang reasonable. Dengan alasan makanan, dan langit yang sudah gelap, mereka berharap Yesus menghentikan ajaran-Nya dan membubarkan masa. Sebenarnya alasan utamanya ialah karena mereka sudah lelah melayani, namun mereka menutupi alasan utama itu dengan alasan yang lebih masuk akal. Pada waktu itu murid-murid tidak peduli akan domba-domba yang haus akan kebenaran itu, mereka hanya mempedulikan diri mereka yang sudah sangat lelah. Disitulah keegoisan muncul. Perhatian mereka terfokus kepada diri sendiri, dan tidak lagi mempedulikan orang banyak itu.



Ss, bukankah ini juga yang sering kita lakukan. Ketika banyak tugas yang harus kita kerjakan; ketika tanggung jawab pelayanan banyak dibebankan pada kita; ketika kita harus mengejar target-target pribadi; dan sebagainya; lalu kita menjadi lelah, kita capek dengan urusan sendiri. Kemudian kita mulai mencari alasan yang masuk akal untuk tidak lagi mempedulikan sesama kita. Ketika ada orang yang membutuhkan kita, kita berdalih “ah aku lagi banyak kerjaan, nanti aku doakan saja deh”. Atau mungkin kita mengatakannya dengan lembut “Ah, sory, aku lagi ada tugas neh, lain waktu deh kita ngobrol,” tapi kenyataannya lain waktu itu tidak pernah terlaksana. Ss, bukankah ini yang sering terjadi. Ketika kesibukan diri dan kepentingan diri meningkat, disitulah kepedulian berkurang. Fokus terhadap diri memang selalu menjadi musuh besar dari kepedulian.



Ss, bagaimana respon Yesus terhadap pertanyaan murid-murid-Nya? Apakah ia mengatakan “oh ya benar” lalu Ia membubarkan masa? Tidak. Di ayat 37, dengan tegas Ia berkata kepada murid-murid-Nya “Kamu harus memberi mereka makan”. Atau dengan bahasa lain “kamulah yang harus memberikan mereka makan”. Ss, Yesus tidak mengatakan “tenang ada Saya” atau setidaknya memberi tahu rencana-Nya akan melakukan mujizat. Tapi Ia mengatakan “Kamulah yang harus memberikan mereka makan.” Yesus tidak memberikan pilihan lain, tapi Yesus menjadikan itu keharusan. Dengan kata lain, Yesus mengharuskan murid-murid-Nya untuk mempedulikan orang banyak itu. Yesus bukannya tidak peduli akan kelelahan para murid. Namun ia jauh lebih peduli akan banyak orang yang haus dan lapar akan kebenaran. Seorang murid kristus harus peduli dengan keadaan orang lain, tanpa alasan apapun. Ss, ajaran ini senada dengan ajaran Yesus tentang seorang Samaria yang baik hati. Di mana kita di minta untuk menjadi seperti orang Samaria, yang walaupun harus menolong orang yang menjadi musuhnya sekalipun, bahkan dengan harus mengorbankan kepentigannya, ia mau mempedulikannya. Ajaran ini juga sejajar dengan ajarannya dalam hukum terutama yaitu dengan mengasihi Allah dan mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Ajaran ini juga cocok dengan kehidupan Yesus yang selalu mempedulikan orang sakit, orang miskin, bahkan orang yang terbuang. Jika Yesus mau mempedulikan orang lain, maka murid-murid-Nyapun harus belajar peduli kepada orang lain.



Sepertinya amanat ini ditangkap oleh seorang gadis di suatu daerah. Suatu gadis berusia 8 th ini sedang diberikan makanan yang tidak ia senangi oleh ibunya. Anak itu menangis dan menolak, akhirnya ibunya pun menyuruh si ayah untuk membujuknya. Lalu ayahnya mulai membujuk anak itu. Ayahnya berkata : “nak kenapa kamu tidak makan, kamu bikin mama marah loh”. Anaknya hanya diam, lalu ayahnya berkata lagi “nak kalo kamu gak makan nanti kamu sakit, kalo kamu sakit nanti papa mama sedih lho, kamu mau liat papa mama sedih ?” Lalu anak itu mulai berkata “ok pa, saya mau makan tapi papa harus memenuhi permintaanku dulu”. “ok, apa permintaanmu” kata si papa. “Janji dulu pa?” “ok papa janji akan memenuhi permintaanmu, ehmmm, tapi.. jangan minta barang yang mahal-mahal ya” kata ayahnya. Lalu anaknya menjawab “tenang aja pa, gak mahal dan gak susah kok”. Lalu anak itu mulai membisikan permintaan pada papanya. Tiba-tiba papanya terkejut “apa kamu pingin digundulin? Gak mungkin, kamu kan anak perempuan masak mau digundulin?”. Lalu mamanya dan neneknya pun ikut-ikutan marah, mereka berkata “ah gak usah aneh-aneh, mana ada perempuan yang digundulin”. Papanya sekali lagi menegaskan “Tidak bisa!”. Lalu anaknya berkata “pa....papa kan sudah janji.... aku sudah habisin makanannya, masak papa melanggar janji papa?” Lalu papanya berpikir bahwa ia sudah berjanji dan harus menepatinya. Singkat cerita dikabulkanlah permintaan anaknya.


Keesokan harinya disekolah, dengan begitu malu papanya mengantar anaknya yang sudah gundul itu kesekolah. Namun ia terkejut, tiba-tiba ada seorang gadis lain yang kepalanya juga gundul menggandeng tangan anaknya dan masuk ke gedung sekolah. Papanya berpikir dengan terheran-heran “jangan-jangan musim gundul kali ya”. Tiba-tiba ada seorang ibu yang sedang menangis mendatangi sang ayah dan berkata “anakmu sungguh hebat dan mulia, sebenarnya anak saya terkena penyakit kanker leukemia sehingga kepalanya harus digunduli. Lalu dia tidak mau kesekolah karena kepalanya gundul. Tapi karena anak bapak berjanji mau menemaninya dengan kepala gundul, maka anak saya sekarang mau sekolah”. Mendengar hal itu, sang ayah menangis, dan berkata “terima kasih nak, kamu mengajari papa apa itu kasih.” Gadis itu tidak lagi mempedulikan dirinya demi memperdulikan temannya.



Ss, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memperdulikan orang-orang yang ada di sekitar kita? Tahukkah ss, bahwa disekitar tempat saudara duduk sekarang banyak sekali orang yang butuh untuk diperhatikan? Mungkin ss melihat mereka datang dengan tertawa lebar dan senyuman yang manis. Tapi siapa yang tahu jika hati mereka sedang menangis. Ss saya juga pernah muda. Dan saya tahu persis, bahwa rasa sepi, kosong, khawatir, dan cemas seringkali menghinggapi banyak orang muda. Entah masalah-masalah pribadi yang pelik, masalah keluarga, masalah study, keuangan, atau mungkin penyakit-penyakit yang sedang digumulkan. Banyak sekali masalah yang terjadi, yang sebenarnya ingin membuat hati menangis. Disaat itulah, kita sebagai murid Kristus harus saling memperhatikan dan saling mempedulikan. Bukan sekedar dengan kata-kata. Bukan sekedar dengan doa dan rasa simpati. Tapi dengan tindakan kita. Ss, hal mempedulikan ini bukan tugas orang lain, bukan juga tugas pengurus, bukan juga tugas para hamba Tuhan, tapi ini merupakan tugas kita bersama. “Kamulah yang harus memperdulikan mereka... ya... kamu yang harus...”