Wednesday, September 29, 2010

IA MENGHAMPIRI KITA (Mat 9:9-13)



Hari raya Idul Fitri pada tanggal 10 September barusan dirayakan oleh banyak masyarakat Indonesia. Jalanan di kota-kota besar menjadi kosong melompong nyaris tiada kehidupan. Mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat lain saling bersilahturahmi dan beramah tamah bersama kerabat-kerabat mereka.

Ada berita gembira sebelum mereka merayakan hari itu di mana tersiar kabar bahwa bapak Presiden akan mengadakan open house untuk menyambut rakyatnya yang ingin bersilahturami dengannya. Tentu saja banyak masyarakat yang meresponi dengan baik undangan tersebut. Banyak dari mereka yang berharap bisa berjabat tangan dengan orang nomor 1 di Indonesia itu.

Pada hari ha (10 Sept), pagi-pagi benar istana negara sudah dikerumuni oleh ribuan masa yang sudah berdandan rapi dengan pakaian barunya. Masyarakat berdesak-desakan berebut untuk masuk ke dalam tempat kediaman presiden. Namun karena tidak mungkin semua masyarakat dipersilahkan masuk maka sebagian besar orang harus rela mengantri di luar istana. Mereka mengantri dengan harap-harap cemas kalau-kalau open house-nya akan segera berakhir.

Berjam-jam mereka menunggu di bawah terik matahari, tiba-tiba terjadilah seperti yang mereka cemaskan bahwa open house akan ditutup lebih cepat dari waktu yang ditetapkan. Open house itu harus ditutup lebih cepat karena ada warga yang meninggal ketika mengantri ditengah-tengah kerumunan pada hari itu. Tentu saja sebagian besar masyarakat yang masih mengantri di luar istana kecewa berat. Kekecewaan terjadi bukan karena merasa sudah membuang banyak waktu, melainkan karena mereka tidak bisa berjumpa dengan pak Presiden dan tidak dapat berjabatan tangan dengannya. Beberapa dari mereka mengelus-ngelus dadanya. Pihak istana memberikan makanan kering kepada masyarakat tersebut untuk mengobati rasa kekecewaan mereka. Namun makanan-makanan itu tetap saja tidak mampu mengobati kecewa di hati. Bukan makanan yang mereka butuhkan. Bertemu dan berjumpa dengan pak Presiden itulah yang mereka butuhkan.

Memang di negeri ini (mungkin juga di mana-mana) cukup sukar bagi masyarakat jelata untuk berjumpa dengan penguasa tertinggi. Para penguasa itu merupakan seorang yang paling berharga dalam sebuah negara yang harus dijaga ekstra ketat. Tidak sembarang orang dapat berjumpa dengannya apalagi berjabat tangan dengannya.

Saya membayangkan apa jadinya jika Tuhan kita berlaku seperti presiden. Bagaimana jika suatu saat Tuhan penguasa langit dan bumi itu membuka open house di kediaman-Nya dan semua manusia dipersilahkan untuk bersilahturahmi dengan-Nya. Eiitt....tunggu dulu, tidak semua orang yang bisa masuk. Semuanya harus melalui tes kesuciannya. Apakah hatinya suci atau apakah ada dosa dalam dirinya atau tidak? Apakah pikirannya masi semurni waktu ia bayi atau sudah tercemar dengan kegilaan dunia? Dan banyak lagi tes-tes serupa mengenai kekudusan hidup. Tentu saja Tuhan tidak membiarkan sembarang orang masuk ke tempat kediaman-Nya yang kudus. Sebuah dosa saja akan mencemari seluruh kediamannya. Karena itu para malaikat akan menyeleksi dengan baik siapa saja yang diperbolehkan untuk bersilahturahmi dengan Tuhan Yang Mahakuasa itu.

Saudara jika memang hal ini benar-benar terjadi saya kira tidak akan ada satu orangpun dari kita yang dapat menghampiri ‘istana’kediaman-Nya bukan? Jangankan berjumpa dengan-Nya....masuk saja tidak. Kita hanya dapat berdiam di luar pagar istana menunggu pintu dibukakan. Mengapa? Karena semua manusia sudah berbuat dosa dan tidak layak untuk berjumpa dengan-Nya.

Namun bersyukur kepada Tuhan, karena Tuhan yang kita punya berbeda dengan penguasa dunia ini. Tuhan yang kita miliki adalah Tuhan yang mau menghampiri kita. Dia bukan Tuhan yang mengadakan open house diistana kemegahannya; sebaliknya ia mau meninggalkan kemegahan itu dan aktif menghampiri kita. Semua ini bukan karena kelayakan yang ada pada diri kita melainkan hanya karena Anugerah-Nya semata.

Matius merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang mengalami anugerah tersebut. Setelah mengundang Matius untuk menjadi muridnya, Yesus datang untuk makan dirumahnya (ay. 10). Ya.... Tuhan kita mau mampir untuk bersilahturahmi kerumah Matius. Padahal di mata orang Yahudi tidak pantas bagi mereka untuk mampir kerumah orang-orang seperti Matius. Mengapa? Karena Matius adalah seorang pemungut cukai. Pemungut cukai seringkali disamakan dengan pencuri dan orang berdosa. Mereka dipandang hina oleh hampir semua orang Yahudi. Apa sebabnya? Karena pemungut cukai ini merupakan orang-orang yang bekerja untuk orang Romawi yang bertugas memungut pajak masyarakat Yahudi untuk diserahkan kepada orang Romawi. Padahal bagi orang Yahudi pajak itu hanya boleh diberikan di bait Allah, tidak untuk pemerintahan bangsa lain. Karena itu para pemungut cukai sering dianggap sebagai seorang pengkhianat. Apalagi pemungut cukai seringkali menarik pajak dengan nilai yang sangat tinggi untuk kebutuhan pribadi mereka. Lengkaplah sudah alasan orang-orang Yahudi untuk tidak menghampiri rumah-rumah pemungut cukai tersebut. Para pemungut cukai, termasuk Matius, termasuk orang-orang yang harus dikucilkan di lingkungan masyarakat Yahudi.

Namun justru Yesus yang adalah Tuhan itu mau mampir ke rumah Matius. Bahkan dikatakan Ia mau makan bersama-sama dengan reakan-rekan Matius sesama pemungut cukai. Bagi orang Yahudi ‘Makan’ merupakan tindakan untuk menjalin relasi antara seseorang dengan kerabatnya. Dengan makan bersama maka suasana beku akan menjadi cair. Ketegangan yang ada bisa di elastiskan. Hubungan pun dapat semakin intim. Inilah yang Yesus lakukan. Ia berinisiatif mencari orang-orang berdosa untuk mampir dan masuk ke dalam rumah mereka. Justru untuk itulah ia datang kedunia, yaitu untuk menyembuhkan orang-orang sakit seperti saudara dan saya. Betapa kita harus bersyukur dan bersukacita punya Tuhan yang demikian.

Mungkin kita masih mengingat acara televisi ‘mimpi kali ye’. Acara yang didesign dimana seorang artis akan menjumpai salah seorang fansnya secara diam-diam. Setiap kali para fans itu ketemu dengan artis pujaan mereka saya menemukan respon yang sama: Mereka terkejut lalu melompat kegirangan. Mereka sangat bergembira dan bersukacita karena idola yang selama ini mereka mimpikan mau bertemu dan menghampiri mereka. Ada yang menangis. Ada yang teriak tak henti. Ada juga yang langsung memeluk erat seakan tidak mau melepaskan. Namun sukacita itu hanyalah sementara karena mereka cuma dapat berjumpa dengan idola mereka selama beberapa jam saja.

Saudaraku, ketika Tuhan datang menghampiri kita bukan sekedar jumpa fans. Tapi Dia datang untuk tinggal ditengah-tengah kita. Dia datang untuk menyertai setiap umat-Nya sampai selama-lamanya. Pertanyaannya saat ini adalah: apakah kita merasakan sukacita itu ketika Tuhan menghampiri kita? Apakah ada kerinduan dalam diri kita untuk terus hidup bersama-Nya? Atau mungkin sukacita yang dulunya pernah kita alami itu kini sudah mulai pudar; mungkin juga karena sudah terlalu lama tinggal bersama-Nya kita jaadi hendak mengabaikan-Nya. Ingatlah, jika Tuhan mau mampir dalam kehidupan saudara itu merupakan anugerah yang sangat besar buat kita. Jangan sia-siakan kehadiran-Nya. Kasihi Dia, dan cintai Dia. Hiduplah selalu dekat dengan-Nya.

Monday, September 27, 2010

BESAR DI HADAPAN TUHAN (Yoh. 3:22-30) # 2




2. Seorang yang besar dihadapan Tuhan ialah seorang yang melepaskan kebesarannya


Tentu saja ini bukan sebuah prinsip yang umum. Kita diajarkan jika kita ingin mendapatkan kebesaran maka kita harus berupaya untuk mengejar dan mencapai kebesaran itu. Itulah hukum tabur tuai. Mau mendapat kebesaran, ya kejarlah kebesaran itu. Namun berbeda dengan prinsip kekristenan. Dalam kekristenan orang yang besar adalah orang yang mampu melepas kebesaran itu.


Kebesaran seperti ini yang dimiliki Yohanes Pembaptis. Seperti yang kita ketahui, Yohanes merupakan seorang yang besar dalam pelayanannya. Namun demikian ia mampu melepaskan kebesaran itu dihadapan Tuhan. Dalam perikop yang kita baca dikisahkan murid-murid Yohanes datang kepadanya dan bertanya “guru (Rabi), orang yang dulu bersama dengan engkau di seberang sungai Yordan yang bernamaYesus itu, dia juga membaptis sama seperti engkau, pekerjaannya sama seperti engkau dan semua orang datang kepadanya.” Banyak penafsir mengatakan bahwa murid-murid Yohanes cemburu. Mereka memiliki ekspetasi yang tinggi terhadap Yohanes. Seharusnya Yohanes yang adalah guru mereka yang harus lebih popular. Tapi mengapa Yesus itu pengikutnya lebih banyak. Bahkan semenjak kedatangan Yesus, semua orang jadi dibaptis oleh-Nya. Yang dibaptis oleh Yohanes menjadi lebih sedikit. Oleh karena itu murid-murid bertanya kepada Yohanes. Pertanyaan ini bisa jadi memicu Yohanes untuk bersaing mendapatkan jiwa.


Tapi apakah Yohanes cemburu karena Yesus lebih popular? Tidak. Sebaliknya dari mulutnyalah keluar sebuah ungkapan emas yang harus diukir dalam setiap diri anak Tuhan dengan tinta emas “Dia harus semakin besar, tetapi aku harus makin kecil.” Terjemahan lain mengatakan “Ia harus semakin penting dan aku harus semakin kurang penting.” Inilah kebesaran sejati seorang Yohanes Bukan hanya sadar akan siapa dirinya, ia juga tau akan siapa yang harus ditinggikan dan dimuliakan. Yohanes menggambarkan dirinya seperti seorang sahabat mempelai laki-laki yang bertugas sebagai pengiring mempelai laki-laki untuk berjumpa dengan mempelai perempuan. Tapi dia tau bukan dia yang menjadi lakon utama. Lakon utamanya adalah mempelai pria tersebut. Tak pernah dalam benaknya sedikitpun untuk menjadi lakon utama menggantikan peran pengantin pria tersebut.


Kebesaran seperti inilah yang dimiliki Yohanes Pembaptis. Ia tau siapa yang harus lebih diutamakan. Ia tau siapa yang harus dibesarkan dan dimuliakan, karena itulah ia rela melepas kebesaran untuk Kristus yang adalah mempelai pria tersebut. Inilah kebesaran anak-anak Tuhan. Menjadi besar dengan melepaskan kebesaran.


Yesus sendiri pernah mengajarkan dalam Matius 23:11-12 ‘Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Yesus sendiri sudah menunjukkan kebesaran-Nya. Bukan dengan menunjukkan keperkassaannya. Namun kebesaran-Nya dilakukan ketika ia melepas kebesaran. Bukankah Yesus yang adalah Allah, rela melepaskan kebesarannya untuk menjadi manusia yang terbatas. Bahkan sebagai manusiapun ia masih melepaskan kebesarannya dengan mati di atas kayu salib dalam keadaan yang begitu hina. Namun justru karena itulah Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi. Inilah prinsip kekristenan. Menjadi besar dengan melepaskan kebesaran.


2 bulan yang lalu kita baru merayakan HUT GKKA Makassar yang ke-82. Dan kitapun bersama-sama menyaksikan akan sejarah panjang gereja ini (GKKA Banda) yang dimulai oleh seorang tokoh yang bernama Dr. Robert Jaffray. Jujur saja mendengar ulasan panjang dari Pdt. Bun saya semakin terkesan dan kagum terhadap Dr. Jaffray. Saya kagum bukan karena gelar doktor yang disandangnya. Saya kagum juga bukan karena kemahiran dan kegagahan perawakannya. Saya juga bukan kagum akan prestasi-prestasi yang diraih dalam organisasi yang diikutinya. Tapi saya kagum karena Dr. Jaffray mau melepaskan gelar, jabatan, kekayaan, dan kenyamanannya untuk melayani Tuhan di kota Makassar yang tidak ia kenal. Saya kagum karena ia tidak memandang kebesarannya sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Justru sebaliknya, ia melepasnya untuk rencana dan kebesaran Tuhan di kota ini. Kini nama Dr Jaffray menjadi harum dihadapan kita. Kisah hidupnya sudah mengukir sejarah yang tidak akan terhapuskan. Dan selama STT Jaffray, GKKA, dan Gereja Kemah Injil berdiri, tidak akan ada yang pernah melupakan siapa Dr. Jaffray. Saya percaya inilah kebesaran yang diberikan Tuhan kepadanya di dunia ini. Upah yang lain sudah dinikmatinya di Surga sana. Kebesaran diberikan kepada orang yang mau melepaskan kebesaran.


Biss, mari kita berjuang untuk menjadi besar di hadapan Tuhan dengan melepaskan kebesaran kita. Mari kita belajar untuk berkata ‘Dia harus semakin bertambah dan ku harus semakin berkurang.’ Ini berarti dalam setiap aspek hidup kita hanya Tuhanlah yang dipermuliakan. Ketika saudara dipakai secara luar biasa dalam pelayanan saudara ingatlah bahwa Dia harus semakin besar dan kita harus semakin kecil. Ketika bisnis dan usaha kita berkembang dan diberkati, ingatlah bahwa Tuhan yang harus dimuliakan dan kita semakin tidak dimuliakan. Katakan kepada orang-orang bahwa semua ini karena pekerjaan Tuhan, bukan kita. Ketika saudara diberi jabatan dan kuasa dalam sebuah organisasi, baik gereja maupun non gereja, mari katakan biarlah Tuhan semakin bertambah penting, dan aku semakin kurang penting. Biarlah dalam seluruh aspek kehidupan kita, hanya nama Tuhan yang ditinggikan dan dimuliakan. Ingin menjadi yang terbesar? Kenali dirimu dan belajarlah untuk melepaskan kebesaran tersebut.

BESAR DI HADAPAN TUHAN (Yoh. 3:22-30)



Beberapa tahun belakangan ini dunia televisi marak dengan tayangan-tanyangan popular show. Sebut saja AFI, Miss Indonesia, Indonesian Idol, Indonesia mencari bakat, Indonesian Got Talent, sampai kontes dangdut, banyak menghiasi layar kaca di rumah kita. Banyak orang yang berupaya untuk mengikuti kontes ini untuk menunjukkan taring kebolehannya. Jumlah peserta yang mendaftar dalam Indonesian Idol 1 saja sudah mencapai ribuan orang. Belum Indonesian Idol 2, 3,4, dan acara-acara lainnya. Diperkirakan total masyarakat yang mendaftar acara-acara sejenis ini bisa mencapai puluhan ribu orang.

Mengapa banyak orang yang berminat mendaftarkan dirinya dalam acara-acara ini? Kira-kira apa tujuan mereka melibatkan diri di dalamnya? Padahal untuk mengikuti acara ini mereka harus berkorban banyak dengan meninggalkan tanggung jawab mereka sehari-hari. Sebut saja si Brandon, peserta Indonesia mencari bakat yang termuda. Dalam usianya yang masih 7 tahun tersebut ia rela meninggalkan sekolahnya kurang lebih sudah 8 bulan untuk mengikuti acara ini. Ada juga yang meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil selama berbulan-bulan. Beberapa lagi rela keluar dari kantor kerjanya untuk diterima dalam pertunjukan tersebut. Kira-kira apa sih tujuan mereka? Apa sih yang mereka kejar?

Merenungkan hal ini, terlintas sebuah kata yang cocok untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu POPULARITAS. Ya....Mereka rela meninggalkan semua itu untuk mendapatkan sebuah impian untuk menjadi tenar dan popular. Mengapa popularitas? Karena dalam popularitas ada sebuah kebesaran. Semakin orang popular maka ia akan lebih berpeluang untuk menjadi yang terbesar. Memang sejak awal manusia diciptakan, manusia memiliki kecenderung untuk menjadi yang terbesar. Dan kecenderungan ini terus berlanjut sampai masa kini yaitu zaman kita hidup sekarang ini. Tak heran dalam berbagai jenjang usia kita dapat menemukan aroma persaingan di mana-mana. Para pelajar berusaha untuk mendapatkan nilai yang terbaik. Yang tidak mendapatkan tempat disana berupaya dibidang lainnya seperti kesenian dan olahraga. Para wanita berupaya berdandan untuk menjadi yang tercantik. Sedangkan kaum pria berupaya untuk mencapai karir setinggi-tingginya. Tiap-tiap orang cenderung ingin lebih baik dan lebih baik lagi sampai menjadi yang terbesar. Memang siapa sih yang gak ingin berprestasi? Siapa sih yang ga ingin jadi ngetop dan terkenal?

Bukan hanya dalam dunia sekular, dalam kehidupan anak-anak Tuhanpun demikian. Kecenderungan untuk menjadi yang terbesar itu ternyata juga dapat kita temukan dalam lingkungan gereja. Hanya saja kebesaran itu terbungkus oleh kesalehan dan rupa-rupa pelayanan. Pertanyaannya: Apakah salah jika anak-anak Tuhan berupaya untuk menjadi yang terbesar? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Bisa salah bisa benar. Tergantung cara dan metode yang kita gunakan. Akan menjadi keliru jika kita menggapainya dengan cara-cara dunia. Namun kebesaran itu akan menjadi sah jika kita melakukannya dengan cara dan prinsip-prinsip yang Tuhan kehendaki.
Kalau begitu pertanyaan lebih lanjut ialah: Bagaimana cara dan prinsip yang Tuhan kehendaki untuk menggapai kebesaran? Itulah yang akan kita pelajari saat ini.

Pada hari ini kita akan bersama mempelajari prinsip-prinsip tersebut dari seorang tokoh Alkitab yang bernama Yohanes Pembaptis. Seorang teolog berkata: “Jika kita ingin belajar prinsip kebesaran menurut pandangan Allah, belajarlah dari Yohanes Pembaptis.” Yesus sendiri pernah berkata dalam kitab Lukas 7:28 bahwa “Di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak ada seorangpun yang lebih besar dari pada Yohanes....” Karena itu tidak ada salahnya jika kita memahami prinsip kebesaran itu dari kehidupan Yohanes Pembaptis. Prinsip pertama yang harus kita pahami adalah:


1. Seorang Yang Besar Dihadapan Tuhan Adalah Seseorang Yang Mengenali Dirinya.

Untuk mencapai kebesaran seseorang anak Tuhan harus memahami keberadaan dirinya dihadapan Tuhan. Ia tau siapa dirinya dan apa statusnya. Yohanes pembaptis merupakan salah satu orang besar yang mengenali akan siapa dirinya dan apa statusnya. Padahal sangat memungkinkan baginya untuk menyombongkan diri. Bagaimana tidak! Kurang lebih 400 tahun Firman Tuhan sudah tidak terdengar di Israel. Tuhan berdiam selama kurang lebih 4 abad. Masa-masa itu umat Israel mengalami banyak sekali tekanan dan penderitaan. Karena itulah mereka sangat merindukan Tuhan kembali berbicara kepada mereka dengan mengirim nabi-nabinya.

Tiba-tiba Yohanes Pembaptis muncul untuk menyuarakan suara kenabian. Otomatis umat Israel yang sudah 400th menantikan kedatangan seorang nabi segera mencari tahu akan keberadaannya. Walaupun Yohanes berkhotbah di padang gurun, tempat yang panas, terik, penuh debu, dan jauh dari tempat tinggal mereka, namun mereka mau pergi kesana untuk mendengar firman tersebut. Kehadiran Yohanes begitu spektakuler.

Memang manusia itu menyukai sesuatu yang spektakuler. Saya teringat dengan seorang bocah dari Jombang yang bernama Ponari. Dikabarkan Ponari memiliki kemampuan gaib yaitu jika ia menyelupkan jarinya ke dalam air maka air itu bisa nyembuhi apapun juga. Berita yang begitu cepet tersebar ini mengakibatkan ribuan warga desa sekitar berbondong-bondong kerumahnya untuk disentuh oleh Ponari. Mereka rela ngantri berjam-jam bahkan berhari-hari untuk diberi air suci oleh ponari. Bahkan ketika prakteknya sudah tutup, ribuan masa ini masih menunggu dan berharap-harap praktek tersebut kembali dibuka. Lebih gilanya lagi, ada orang yang menanti ditempat pembuangan air di rumah Ponari karena diyakinin bahwa Ponari mandi di sana dan airnya dapat menyembuhkan. Inilah salah satu natur manusia: menyukai hal-hal spektakuler.

Saya kira munculnya Yohanes Pembaptis juga menghebohkan waktu itu, sehingga Alkitab mencatat dalam Matius 3:5-6 bahwa ketika Yohanes berkhotbah, “Maka datanglah kepadanya penduduk dari Yerusalem, dari seluruh Yudea, dan dari seluruh daerah sekitar Yordan. Lalu sambil mengaku dosanya mereka dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan.” Yohanes dipakai secara luar biasa. Yohanes merupakan seseorang yang penuh karisma dan daya tarik yang mampu menarik banyak orang. Setiap perkataannya begitu menyentuh sehingga dapat mempertobatkan banyak orang. Wajar saja jika ada yang berkata bahwa Yohanes pembaptis merupakan pengkhotbah KKR terbesar waktu itu. Tentu saja Yohanes Pembaptis bukanlah orang sembarangan.

Tak heran waktu itu mulai tersiar kabar itu dari mulut-kemulut. Kehadiran Yohanes menjadi hot news, atau berita utama di media-media masa. Saya membayangkan mungkin mereka berkata demikian, “Siapa dia, mengapa khotbahnya begitu berapi-api. Setiap Firmanya begitu menyentuh hatiku, dia pasti nabi Elia. Lihat, dia memakai pakaian bulu dan ikat pinggang kulit seperti nabi Elia, ....ya, dia pasti titisan nabi Elia. Bukan! Dia bukan hanya Elia, tapi dia Mesias” Maka segera tersebarlah berita di seluruh Israel bahwa Yohanes adalah titisan nabi Elia dan seorang Mesias.

Wow....saya kira Yohanes Pembaptis sangat berpotensi untuk menyombongkan dirinya waktu itu bukan? Dan Yohanes bisa saja meninggikan dirinya. Tapi apakah Yohanes menjadi sombong dengan keberadaannya? Apakah ia mulai merasa dirinya adalah nabi Elia dan Mesias? Tidak! Dipasal 1 Yohanes mengatakan bahwa ia bukan Mesias, dan ia bukan Elia. Di pasal 3:28 ditegaskan lagi di mana ia mengatakan bahwa “Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya.” Yohanes sadar akan siapa dirinya. Dia bukanlah Mesias. Bahkan dia menyebut dirinya hanyalah seorang utusan. Seorang utusan itu bukan seorang tuan. Seorang utusan itu sama seperti seorang pengirim surat, yang akan pergi jika diperintahkan atasannya. Dibagian lain ia berkata bahwa dia hanyalah sebuah suara yang berseru-seru di padang gurun. Ia ingin menggambarkan sebagaimana suara jika diteriakan dipadang gurun hanya akan bergema sekejap, namun akan berangsur-angsur menghilang; demikian pula ia menyadari bahwa keberadaannya cuma sementara. Ia tau bahwa ia bukan siapa-siapa. Ia sadar siapa dirinya dan apa peranannya. Ia dapat mengenal diri dengan baik.

Untuk menjadi besar dihadapan Tuhan saya kira kita juga harus dapat mengenali siapa diri kita dengan baik. Orang yang lupa akan siapa dirinya tidak akan pernah menjadi orang yang besar dihadapan Tuhan. Suatu ketika ada seorang pembantu yang bekerja dengan seorang majikan Kristen. Karena seorang Kristen majikannya ini sering memberi kemurahan kepada pembantunya. Kalau keluar kadang dibawain makanan. Ada beberapa saat pembantunya sering diajak keluar jalan-jalan, beberapa kali ia meminta ijin untuk keluar bersama temannya dan majikannya mengijinkan, dan banyak lagi kemurahan-kemurahan lainnya. Namun sayang kemurahan sang majikan ini ternyata disalah gunakan oleh pembantu tersebut. Suatu saat pembantu tersebut meminta ijin untuk keluar bersama teman-temannya. Namun kali itu majikannya tidak mengijinkan. Dengan lembut majikannya berkata “jangan dulu ya, hari ini kami sekeluarga akan keluar rumah. Takutnya ada telpon penting masuk. Tolong kamu dirumah dulu kali ini.” Namun apa yang terjadi? Pembantu itu mulai memaksa dengan nada tinggi. Tentu saja majikannya tetap tidak mengijinkan. Sampai akhirnya pembantu ini marah dan dia membanting pintu kamar majikannya. Pembantu ini lupa bahwa ia hanyalah seorang pelayan. Dia lupa akan siapa dirinya dan statusnya. Pembantu seperti ini takkan mendapatkan kepercayaan lebih, sampai ia benar-benar sadar akan siapa dirinya.

Kebesaran anak-anak Tuhan juga ditemukan pada orang-orang yang mengenal dirinya. Pengenalan diri yang baik menunjukkan akan kebesaran hati seseorang. Kebesaran anak-anak Tuhan di dapat ketika seseorang menyadari bahwa ia manusia berdosa yang oleh anugerah yang besar telah diselamatkan oleh Tuhan. Bukan karena kita layak, namun karena Tuhan yang melayakkan. Dan kebesaran seseorang didapatkan ketika ia benar-benar menyadari bahwa dirinya adalah seorang hamba. Seorang yang besar adalah seorang yang dapat berkata seperti yang tertulis dalam Lukas 17:10 “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” Inilah ungkapan seorang yang mengenal diri dan inilah ungkapan seorang yang besar dihadapan Tuhan.

Pertanyaan untuk kita sekarang ini adalah: sudahkah kita mengenal diri kita dengan baik? Ketika kita mendapat kesempatan untuk melayani Tuhan; bahkan ketika kita diberi kepercayaan yang besar untuk menjabat sesuatu dalam gereja; apakah serta merta itu membuat kita menjadi angkuh dan meninggikan diri? Sudahkah kita menyadari bahwa kita hanyalah alat Tuhan? Sadarkah bahwa kita hanya utusan Tuhan? kita hanya suara dipadang gurun dimana dalam sekejap hidup kita akan berlalu. Karena itu kenalilah diri kita dengan baik. Karena itulah kunci kebesaran anak Tuhan yang pertama.

Friday, September 10, 2010

Misteri Kehidupan (AYUB 39:34-38; 42:1-6)



Kehidupan manusia penuh dengan misteri. Disebut misteri karena masih ada rahasia-rahasia yang belum tersingkapkan. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tetap saja menyisakan misteri yang tidak bahkan tidak akan pernah terungkap. Sepertinya misteri akan selalu menjadi bayangan yang mengekori hembus nafas manusia.

Salah satu misteri yang bergema sejak awal mula kehidupan manusia adalah misteri mengenai penderitaan. Sudah jutaan air mata tertumpah membebani bumi karenanya. Jeritan dan rintihan yang tak diundang turut menyuarakan isi hati. Tentunya tak ada satupun insan yang mengkehendaki penderitaan. Keengganan ini mendorong dan memaksa batin manusia untuk menanyakan sebuah pertanyaan esensial “Mengapa?”

Inilah yang dipertanyakan oleh korban keganasan tsunami Aceh 6 tahun silam. Ini juga yang dipertanyakan oleh korban kebobrokan tragedi 1998. Dan pertanyaan ini jualah yang dikumandangkan oleh korban kerusuhan di berbagai tempat di dunia ini. Mulanya mereka bertanya mengapa ini terjadi? Mengapa mereka harus kehilangan keluarga, anak, istri, bahkan rumah mereka? Mengapa aku harus mengalami petaka ini?; Kemudian pertanyaan itu berkembang kearah metafisik: Mengapa ada penderitaan? Sejak kapan ada penderitaan dalam kehidupan ini? Siapa yang menyebabkan penderitaan?; Dan akhirnya pertanyaan berbau teodisi pun diutarakan: Mengapa Tuhan mengijinkan penderitaan ini? Mengapa Tuhan tidak berbuat apa-apa melihat ciptaan-Nya menderita? Mengapa Tuhan diam? Mengapa Tuhan tidak menolong? Mengapa Tuhan tidak mengasihi manusia? Dsb. Mengapa….Mengapa….Mengapa….Pertanyaan klasik yang ingin menyingkapkan misteri yang tersembunyi di balik kain penderitaan.

Mungkin saudara juga pernah menanyakan hal yang sama. Saudara bertanya ‘mengapa?’ terhadap setiap pergumulan yang mengguncang hidup anda. Bukannya bermaksud lancang terhadap sang khalik, namun situasi yang menekan memaksa hati kecil untuk bertanya ‘mengapa?’. Saudara mungkin bertanya: mengapa orang yang kukasihi diambil daripadaku? Mengapa anak saya harus mengalami cacat? Mengapa bencana alam harus menimpa diriku? Mengapa saya atau orang yang saya kasihi harus menderita sakit penyakit kronis? Mengapa Tuhan tega terhadap diriku? Mengapa Tuhan tidak peduli?

Pergumulan ini juga pernah dirasakan oleh Ayub. Ayub merupakan korban dari misteri penderitaan yang merajalela berabad-abad tersebut. Awal penderitaan datang ketika seorang pekerjanya yang disusul oleh 2 pekerja lainnya melaporkan bahwa harta kekayaan Ayub (propertinya) lenyap seketika. Berita ini tentunya sangat memukul Ayub. Bandingkan saja dengan mereka yang tinggal di Sidoarjo- Porong yang rumahnya tenggelam oleh lumpur lapindo. Secara psikologi mereka sangat tertekan. Segala harta yang mereka miliki untuk menjamin masa depan mereka lenyap. Segera itu jugalah pengharapan mereka makin sirna. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Ayub.

Ditambah dengan kabar berikutnya bahwa anak-anak yang merupakan ahli warisnya mati seketika karena angin ribut. Saya yakin betapa teririsnya hati orang tua yang kehilangan anaknya. Kehilangan satu aja bumi seakan sudah mau runtuh, apalagi kehilangan tujuh anak. Saya pernah menyaksikan bagaimana seorang ibu yang kehilangan anaknya (yang baru lahir 1 minggu). Ia menangis bukan hanya sehari dua hari, tapi berbulan-bulan bahkan ada yang bertahun-tahun. Tiap hari ia seperti mendengar tangisan anaknya. Kira-kira bagaimana perasaan Ayub waktu itu? Mungkin saja sejak itu istrinya menangis tiap malam. Tiap hari Ayub harus melihat istrinya yang bermuka murung bermata lebam. Ayub berusaha untuk menghibur tapi dia sendiri masih harus beradaptasi dengan hati yang masih terluka.

Masalah belum selesai tiba-tiba ia terkena penyakit barah yang busuk di seluruh tubuhnya. Begitu menyiksanya hingga ia harus menggaruk tubuhnya dengan beling. Ayub yang merupakan kepala keluarga dan satu-satunya harapan untuk dapat bangkit dari keterpurukan itu dibuat tidak berdaya. Penyakit itu begitu mengerikan dan merampas tenaga Ayub. Ayub tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Tak heran istrinya yang mungkin masih tidak terima dengan kenyataan kehilangan para buah hatinya itu tanpa berpikir panjang berkata “Kutukilah Allahmu dan matilah.” Penderitaan Ayub semakin lengkap karena istri yang merupakan tulang rusuk dan pendamping hidupnya pergi meninggalkan dia.

Semua penderitaan itu memaksa Ayub harus melemparkan pertanyaan yang sangat mendasar kepada Tuhan “Mengapa?”. Alkitab mencatat ada 11 kali Ayub bertanya mengapa. Ia bertanya mengapa ia dilahirkan?; mengapa ada ibu yang menyusuinya kalau akhir hidupnya seperti itu?; Mengapa ia tidak digugurkan saja? Lalu ia mulai menyalahkan Tuhan: mengapa Engkau menjadikan aku sebagai sasaran? Mengapa Engkau tidak mengampuni kesalahanku dan menghapus dosaku? Mengapa Engkau berpekara dengan aku? Mengapa Engkau melahirkan aku? Dan mengapa engkau tidak peduli dengan keadaanku? Mengapa Tuhan….Mengapa? Ayub pun mulai memaksa Tuhan dengan pertanyaan mengapa.

Apakah Tuhan membalas pertanyaan Ayub? Ya….Tuhan membalas pertanyaan Ayub. Namun apakah Tuhan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Ayub? Tidak! Bukannya menjawab Tuhan malah melemparkan rentetan pertanyaan kepada Ayub. (Dapat dilihat di pasal 38-41). Tuhan menghampiri Ayub dengan pertanyaan: Dimanakah engkau ketika aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah kalau engkau mempunyai pengertian. Tuhan datang menghampiri Ayub untuk mengingatkan akan siapa manusia dan siapa Allah. Siapa manusia yang mau mengadili kebijaksanaan Allah? Siapakah manusia yang mau menguasai jalan pemikiran Yang Mahakuasa? Siapa manusia yang mau menuntut pertanggungan jawab dari Allah? Sungguh terbalik Ayub….kamu salah besar!

Menariknya mendengar serbuan pertanyaan dari Allah, Ayub tidak menjadi kecewa. Ia tidak kecewa karena Allah tidak mengungkapkan misteri penderitaan yang dialaminya. Sebaliknya Ayub merendahkan dirinya dihadapan Tuhan. Dengan hati yang tertunduk malu ia berkata kepada Tuhan “Sesungguhnya aku ini terlalu hina (39:37); Aku tahu bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang gagal (42:2); Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu (42:6)”. Ketika bertemu dengan Tuhan, Sang penguasa misteri itu, Ayub terdiam tak berdaya. Ia merendahkan hati kepada kedaulatan Tuhan. Matanya tidak lagi tertuju kepada misteri penderitaan yang dialaminya. Tetapi matanya tertuju kepada Tuhan.

Dan tahukah saudara, yang terjadi ketika Ayub merendahkan dirinya adalah keadaannya dipulihkan (lihat perikop setelah ini). Ayub tak pernah tahu apa maksud Tuhan dalam semua penderitaan yang dialaminya. Namun ketika ia merendahkan dirinya dihadapan Tuhan, kondisinya dipulihkan, bahkan berlipat-lipat ganda. Seperti yang pemazmur katakan bahwa Tuhan menyukai dan berkenan terhadap orang yang rendah hati, karena itu kondisinya dipulihkan. Sikap inilah yang membuat Ayub mengalami kuasa Allah. Pertanyaannya tidak dijawab, namun pertanyaan yang diberikan Allah telah mengubah seluruh sikap bahkan seluruh hidupnya.

Saudaraku, dari sini kita dapat mempelajari bahwa ada kalanya misteri dalam kehidupan ini tidak dapat kita mengerti. Bukan hanya tidak dapat kita mengerti, namun ada beberapa yang tidak akan pernah kita pahami. Namun apa yang merupakan misteri biarlah tetap menjadi sebuah misteri. Biarkanlah misteri itu tetap berada dalam kedaulatan Tuhan. Bukan berarti kita tidak boleh bertanya dan mengkritisi tentang sebuah misteri. Tidak! Kita boleh mencari tahu akan sebuah misteri, namun jalani semua dengan sikap rendah hati. Jangan memaksa Tuhan untuk mengungkapkan misteri itu, apa lagi mempersalahkan Dia atas apa yang kita alami. Kita boleh bertanya ‘mengapa’, namun dengan sikap yang tunduk dan hormat dengan suatu pemikiran “walau saya tidak menemukan jawaban, aku tahu bahwa rencana Tuhan adalah rencana yang terbaik. Bukan hanya bagi hidupku, tapi bagi dunia ini.” Dan apapun yang menjadi jawaban Tuhan, walau itu mungkin tidak menjawab pertanyaan kita, marilah kita tetap dengan rendah hati tunduk dalam otoritas-Nya. Dan lihatlah, apa yang Tuhan kerjakan dalam misteri hidupmu. Sama seperti Ayub, kita akan melihat bagaimana kuasa Tuhan bekerja secara luar biasa dalam hidup kita kelak. Amin.