Friday, August 19, 2016

IMAN YANG BERPROSES





Keluaran 13:17-18
“17. Setelah Firaun membiarkan bangsa itu pergi, Allah tidak menuntun mereka melalui jalan ke negeri orang Filistin, walaupun jalan ini yang paling dekat; sebab firman Allah: "Jangan-jangan bangsa itu menyesal, apabila mereka menghadapi peperangan, sehingga mereka kembali ke Mesir."  18 .Tetapi Allah menuntun bangsa itu berputar melalui jalan di padang gurun menuju ke Laut Teberau. Dengan siap sedia berperang berjalanlah orang Israel dari tanah Mesir.”

  Zaman sekarang adalah zaman dimana orang mengejar sesuatu yang serba instant.  Instant itu berbicara tentang sesuatu yang serba cepat, cepat jadi, cepat selesai, cepat beres.  Dan harus diakui, banyak orang yang suka dilayani secara instant, termasuk kita.   Sesuatu pelayanan yang lama akan membuat nilai yang negatif dalam pandangan kita.  Misalkan, Kalau kita pergi kerumah makan. Pada umumnya tidak ada yang suka kalau rumah makannya pelayannnya sangat lama. Makanan seenak apapun tapi kalau masaknnya lama, kita jadi malas.  Seandainya kita pergi rumah makan ChouMien, enak sekali, harum sekali, tidak pernah ada masakah choumien seharum ini dan sepas ini dilidah.  Tapi kalau mau pesan itu, antrinya harus 1 jam, terus nunggu pesanan harus 1 jam, ah… mending jangan deh.   Terlalu lama.  Bukankah demikian?  Itu menunjukkan kita suka yang instan. Itu  sebabnya  dikatakan bahwa salah satu kekuatan sebuah rumah makan ialah, kecepatannya.  Semakin cepat makanan itu keluar, semakin positif nilai sebuah restoran.   Itu sebabnya makanan fastfood selalu rame.  Karena manusia suka yang instant.   Contoh lagi:  Kalau dulu nonton bioskop kita harus pergi beli tiket di bioskop.  Kalau film yang bagus, pasti kita ngantri disana.  Tapi kemudian diciptakanlah pelayanan M-tix, dimana kita bisa booking lewat internet.  Dan banyak orang mendaftar di Mtix karena instant, tidak perlu kebioskop, cukup dari rumah sudah bisa menonton film yang kita suka.  Itulah kita, kita suka sesuatu yang instant.  Dalam mengurus hal-hal apapun kita menyukai sesuatu yang instant.  Ngurus ktp kalau bisa intant.  Mngurus pasport kalau bisa instant.  Semakin cepat sebuah pelayanan, maka semakin baik kualitas sebuah pelayanan.  Itulah penilaian dunia kita, bahwa sesuatu yang instant itu meningkatkan sebuah keualitas.

Cilakanya  tanpa sadar, kitapun seringkali juga memperlakukan hal yang sama dengan iman kita.    Kita ingin memiliki iman yang besar, yang kata Firman Tuhan bahwa iman kecil seperti biji sesawi saja bisa memindahkan gunung,  (apalagi iman yang besar), tapi kita ingin memiliki iman yang demikian secara instant.  Kalau bisa iman itu didapat dengan mudah.  Cukup didoakan.  Cukup diberkati pendeta.  Cukup ke gereja tiap hari, dsb.  

Sayangnya  konsep itu berbeda dengan apa yang Firman Tuhan ajarkan.   Kalau kita mempelajari baik-baik Firman Tuhan, maka kita akan menemukan bahwa acapkali Tuhan lebih suka kita berproses dalam membangun iman kita.   Berproses itu bukan proses yang isntant, tapi proses yang acapkali tidak mudah, proses yang sukar, proses yang berat jalannya.  Iman yang Tuhan bentuk itu acapkali lewat proses yang penuh liku. Entah lewat kehilangan seseorang yang ktia kasihi, lewat penderitaan, lewat sakit penyakit, lewat kesusahan, bahkan lewat duri dalam daging dsb.

Proses itu terlihat juga dalam bagian yang baru kita baca.   Bagian ini mengisahkan tentang bagaimana umat Israel yang baru dibebaskan Tuhan dari perbudakan Mesir. Setelah perdebatan panjang antara Musa dan Firaun, dan bagaimana Firaun bersikeras menahan umat Israel.  Dan kemudian Tuhan memberikan tulah-tulah kepada orang Mesir.  Yang mau tidak mau melembutkan hati Firaun.  Akhirnya bangsa Israel dibebaskan.  Setelah dibebaskan, Tuhan segera memberikan ketetapan-ketetapannya. 
Kemudian masuk bagian perikop ini, disini diberi judul Allah Menuntun umatnya.   Inilah saatnya Allah menuntun umatnya untuk memasuki tanah perjanjian seperti yang dijanjikan kepada Abraham beberapa tahun lalu.  Tapi menariknya cara Allah menuntun umatnya unik.  Di ayat 17 dikatakan : “Setelah Firaun membiarkan bangsa itu pergi, Allah tidak menuntun mereka melalui jalan ke negeri orang Filistin, walaupun jalan ini yang paling dekat;…”  Ya, Allah tidak menuntun umat Israel lewat jalan Filistin.  Kalau kita melihat peta, dari mesir sampai ke tanah kanaan (negeri orang Filistin) itu mestinya kalau ditempuh dengan jalan kaki mungkin sekitar 3 tahun lamanya.  Tidak terlalu lama.  Tapi kalau kita pelajari dan kalau kita baca di ayat 18, Tuhan menuntun umat israel melalui laut Teberau dan mutar keliling dari bawah sampai ke tanah kanaan.  Sehingga perjalanan yang mestinya Cuma 3 tahun menjadi 40 tahun lamanya.  Mengapa Tuhan menuntun lewat jalan yang susah?  Bukankah kalau menuntun lewat negeri Filistin orang Israel bisa instant sampe ke tanah Kanaan?  Tapi kenapa Tuhan menuntun lewat jalan yang memutar?  Dan jalan memutarnya itu bukan jalan yang gampang.  Tapi padang gurun yang gersang, yang tidak memiliki banyak persediaan makanan.  Yang berat jalannya.

Disini saya menemukan sebuah kebenaran bahwa Tuhan lebih suka memproses iman kita tidak dengan cara yang isntant.  Tapi Iman itu diproses dengan cara yang panjang, yang tidak mudah, yang berliku, yang penuh dengan cobaan dan  tidak sedikit air mata yang kita  butuhkan dalam proses iman itu.   Sesuatu yang instan memang menyenangkan.  Tetapi iman yang instant tidak mendidik kita apa-apa.  Iman yang inntant juga akan pergi seinstant kedatangannya.

Itu sebabnya kalau kita melihat di Alkitab, semua tokoh iman yang ada rata-rata adalah orang yang imannya diproses dengan cara yang tidak mudah dan tidak instant.  Abraham, untuk menguji imannya, ia harus belajar untuk taat ketika Tuhan memintanya untuk menyerahkan anaknya.  Ia, kadang-kadang Iman kita diproses ketika kita harus merelakan sesuatu yang berharga pergi dari hidup kita.  Iman kita kadang diproses dalam penantian yang tidak kunjung tiba.  Penantian itu yang membuat kita semakin dekat dengan Tuhan.  Ayub, demi pemrosesan imannya, ia harus kehilangan segalanya.  Istri, anak, harta bahkan kesehatannya.  Dari kisah Ayub kita melihat bagaimana iman itu dibentuk lewat kehilangan demi kehilangan.  Iman Ayub mungkin terasah dikit ketika ia mendapatkan segalanya.  Tapi imannya sangat terasah justru ketika ia kehilangan segalanya.  Yusuf, demi proses imannya sampai ia dapat berkata bahwa Tuhan yang mereka-rekakan untuk kebaikan, Yusuf harus melewati banyak masa-masa suram dalam hidupnya, dijual oleh saudaranya, difitnah, dipenjara, dsb.   Adakalanya iman kita dibentuk lewat lika-liku, turun kelamnya kehidupan kita.  Petrus, sebelum ia menjadi seorang yang sangat beriman, ia harus mengalami kegagalan demi kegagalan yang harus membuatnya hancur.  Kegagalan kadang perlu terjadi agar kita lebih bergantung kepada Tuhan dan mengandalkan dia.  Pada saat itu iman kita akan terasah.  Inilah tokoh-tokoh beriman.  Mereka adalah orang-orang yang diproses Tuhan bukan dengan cara yang gampang, mudah dan instant.  Tapi mereka memiliki iman yang matang karena mereka menjalankan proses.
Ketika berpikir, apa yang membedakan hamba Tuhan dengan jemaat?   Disatu sisi memang hamba Tuhan memang karena kami belajar Alkitab lebih banyak dari jemaat.   Tetapi apakah hamba Tuhan lebih rohani daripada jemaat?  Belum tentu.  Bisa iya bisa tidak.  Tapi saya menemukan bahwa acapkali orang-orang yang menyerahkan dirinya menjadi hamba Tuhan adalah orang-orang yang pernah mengalami pergumulan yagn berat dalam hidupnya, yang melalui proses kegagalan, kehilangan, dsb.  Dan kemudian iman mereka terbentuk dari masalah itu dan akhirnya mereka menyerahkan diri sebagai hamba Tuhan.  Tapi apakah semua mengalami proses demikian?  Saya rasa tidak.  Tapi orang yang mengalami proses yang berat itulah yang kemudian membentuk iman mereka yang kuat dan iman itulah yang membuat mereka bertekad menyerahkan hidup.
Ketika beberapa waktu lalu pemuda mengundang Jefri Adam, dia seorang anak Tuhan, yang sejak awal lahir sehat-sehat.  Namun menginjak usia 13 tahun ia mengalami kecelakaan, dan kepalanya terbentur.  3 hari kemudian matanya menjadi buta, dan ia menjadi tidak bisa melihat.  Awalnya ia bermimpi untuk menjadi seorang arsitek, karena banyak yang memuji hasil gambarnya.  Tapi semua cita-cita itu pupus dan sirna, dan ia kehilangan harapan.  3 tahun lamanya ia terus mengurung diri dikamar.  IA terus menangis.  Dan ia terus berpikir untuk mau mati saja.  Ia berpikir masa depannya hanyalah akan menjadi seorang pengemis yang meminta-minta di perempatan lampu merah.  3 tahun ia kecewa dan terpuruk.  Namun sampai ia mengalami jamahan Tuhan.  Dalam sebuah khotbah di televisi ia mendengar kisah tentang Yesus dan orang buta.  Ketika murid-murid Yesus bertanya:  Siapa yang berdosa, ia atau orang tuanya sehingga orang itu buta?   Yesus menjawab:  Bukan dia, bukan juga orangtuanya, namun supayan pekerjaan Tuhan dinyatakan lewat dia.  Mendengar Firman itu lantas Roh Kudus berkerja dalam hidupnya.  Menguasai hatinya.  IA menyadari bahwa kebutaan itu adalah alat Tuhan untuk memakai dia.    Ia kemudian bangkit, bersandar penuh kepada Tuhan.  Dan kini dia menjadi orang yang sangat memberkati banyak orang.  IA buta, namun ia bisa melihat.  IA bisa bermain musik, ia bisa mengoperasikan handphone, media sosial, laptop.  Ia bisa membuat web dengan bantuan teknologi yang canggih.  Dan ia mendirikan yayasan tuna netra guna memberikan harapan kepada semua orang buta yang ada di sekitarnya.   Kebutaannya justru memperkuat imannya.  Kehilangan, kekelaman, dan kejatuhannya jutru membangkitakan imannya.
Sekali lagi, iman yang Tuhan ingin terjadi dalam hidup kita ialah iman yang dibentuk lewat proses.   Jika bapak ibu saat ini sdang dalam pergumulan yang berat.  Entah itu masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah dalam kesehatan dsb.  Mungkin engkau lagi kehilangan sesuatu.  Mungkin saudara lagi dalam penantian yang tidak kunjung tiba.  Mungkin saudara sedang dalam titik terendah dalam hidupmu.  Mungkin saudara baru mengalami kegagalan demi kegagalan.  Jangan putus asa, mungkin Tuhan sedang memproses iman saudara.   Bertahanlah.  Jangan padamkan harapanmu.  Tapi carilah secercah cahaya dalam setiap peristiwa buruk yang menimpa.     Pdt Benny Solihin mengatakan, ketika engkau berada dalam titik terendahmu, mungkin disana engkau akan berjumpa dengan kehendak Tuhan Iman itulah yang kemudian menjadi bekal dikedepan hari untuk menjadi berkat bagi orang lain.  Ijinkan Tuhan memproses iman kita, bukan dengan cara yang instant dan nyaman dan mudah..  Mungkin butuh waktu yang lama, yang pasti kita akan menjadi orang-orang yang tangguh dalam menjalani kehidupan ini.