Tuesday, November 29, 2011

Bersama Tuhan Pasti Bisa (1 Samuel 17) #3




Namun walau ‘raksasa’ itu tidak bisa kita hindari, respon untuk menghadapinya ada di tangan kita. Kalau kita melihat dari kisah ini kembali kita melihat bahwa walaupun raksasa yang dihadapi oleh umat Israel sama dengan raksasa yang dihadapi oleh Daud, tapi respon mereka berbeda. Pasukan Israel termasuk raja Saul memilih untuk menghadapi raksasa itu dengan berdiam diri. Mereka membiarkan ketakutan menguasai hati dan pikiran mereka. Bayangkan saja, kurang lebih selama 40 hari Goliat menentang umat Israel dan mengintimidasi mereka dengan perkataan-perkataan yang merendahkan. Tetapi selama 40 hari itu juga umat Israel tidak bergeming, dan selama 40 hari itu juga umat Israel mengalami ketakutan. Dimana pasukan Israel yang terkenal gagah perkasa, yang pernah mengalahkan bangsa-bangsa, dan yang ditakuti oleh bangsa-bangsa lain? Dimana Saul yang merupakan raja Israel, yang ketika dipilih menjadi raja dikatakan bahwa dari bahu sampai kepala ia lebih tinggi daripada semua orang Israel; yang katanya sudah membunuh beribu-ribu orang? Dimana kakak-kakak Daud yang terkenal gagah dan bertalenta itu? Tidak ada! Semuanya tidak bergerak. Nyali mereka seakan lenyap. Dan mereka membiarkan Goliat mengintimidasi mereka setiap hari, setiap malam, dan ketakutan itu mungkin sudah merasuki mimpi mereka setiap hari. Mereka lupa bahwa mereka memiliki Tuhan yang jauh lebih perkasa dari pada Goliat. Mata mereka hanya tertuju kepada masalah tersebut. Mereka melihat masalah itu lalu mereka memandang pada diri sendiri. Karena itu mereka tidak berani. Karena mereka merasa bahwa diri mereka terlalu kecil untuk Goliat.

Tapi respon dari Daud berbeda. Melihat ada tantangan dan raksasa yang mengintimidasi umat Israel, Daud tidak mau tinggal diam dan terus dibayang-bayangi oleh Goliat yang menakutkan itu. Saya kira mata Daud memandang juga kepada raksasa itu, dan ia melihat juga ada masalah yang besar. Dan saya kira iapun memandang pada dirinya, dan menemukan bahwa dirinya bukan siapa-siapa bagi Goliat. Dari postur tubuh jelas-jelas bagai bumi dan langit. Daud masih terlalu muda, sampai-sampai ketika dimasukin baju perang, baju perang itu menutupi seluruh tubuhnya.; dari perlengkapan perang jelas-jelas ia mendapati bahwa perlengkapannya kalah sakti dibanding senjata dan baju perang goliat, dan dari pengalaman saya kira Daud masih terlalu hijau, sementara Goliat sudah sangat matang. Ditambah lagi orang-orang sekitar yang meremehkan dia. Kakaknya seakan berkata kepada dia “Buat apa kamu kemari, Aku tau kamu pasti punya niat busuk, gak usah sok jago deh”. Bukan hanya kakaknya Eliab, tetapi Saul rajanyapun meremehkan dia dengan berkata “Kamu masih hijau dan muda, sedangkan dia waktu masih muda sudah berlatih keras.” Daud pun diremehkan oleh rajanya sendiri. Dan ketika ia berhapapan dengan Goliat, goliat pun mentertawakannya karena tubuhnya yang masih kecil dan usiannya yang masih muda. Saya kira semua ini dapat menciutkan nyali Daud. Mungkin ketika ia memandang Goliat, dan kemudian ia memandang dirinya sendiri, ia merasa seperti anjing chiwawa yang berhadapan dengan anjing rodweller. Tidak ada apa-apa, dan dia bukan siapa-siapa.

Namun Daud tidak mau berhenti sampai disana. Setelah ia memandang kepada raksasa itu dan memandang kepada dirinya sendiri, selanjutnya ia mengarahkan pandangannya kepada Tuhan yang perkasa. Dan ketika ia memandang Tuhan yang perkasa, ia tahu bahwa jika ia BERSAMA DENGAN TUHAN IA PASTI BISA MENGHADAPI GOLIAT. Karena itu dengan berani Daud berkata kepada Goliat “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama Tuhan semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kau tantang itu” (1 Sam 17:45). Di akhir cerita kita tahu, sesuatu keajaiban terjadi. Dengan sebuah batu yang diumban ia dapat merubuhkan Goliat yang perkasa itu. Batu itu melesak kencang pas membenam di dahinya dan menewaskannya. Bagi beberapa orang mungkin kemenangan itu cuma kebetulan, tapi tidak bagi Daud...bagi Daud itu karena jelas ada Tuhan yang ada bersama dengan dia.

Memang jika Tuhan ada bersama kita, adakah masalah yang terlalu besar untuk dihadapi? Karena itu dalam perjanjian baru PauluS pernah mengatakan “Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? (Roma 8:31)”. Bersama Tuhan kita bisa.

Sayangnya saat ini banyak orang Kristen yang menghadapi permasalahan kehidupannya seperti Saul dan pasukan Israel. Mereka melihat masalah yang besar itu, dan mereka memandang pada diri sendiri yang terbatas, tetapi mereka lupa memandang kepada Tuhan. Akibatnya banyak orang yang ketakutan, khawatir, dan terlalu cemas menghadapi masalahnya. Ada juga orang yang akhirnya terlalu berjerih lelah seorang diri mengandalkan kekuatan sendiri untuk mengalahkan masalah mereka.

Ada seorang teman saya yang dulunya adalah seorang yang aktif dalam pelayanannya, namun kini jarang sekali datang beribadah. Ketika saya ada kesempatan sharing-sharing sama dia, dia berkata demikian “Gak bisa Fong, saya baru berkeluarga, anak saya masih kecil; belum lagi saya baru merintis usaha saya; dan usaha yang baru saya rintis ini ada banyak sekali masalah; sekarang saya terjerat utang ini dan itu; saya harus bekerja lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup saya dan menyelesaikan utang-utang itu. Mana mungkin saya sempat ke gereja lagi.” Terus saya berkata kepada dia “Fren, bukannya kalau semakin kamu memiliki masalah dalam kehidupanmu semakin kamu harus mencari dan mengandalkan Tuhan?” Tetapi dia menjawab “Ia sih, tapi saat ini setiap waktu begitu berharga untuk saya lewatkan. Jika saya salah memakai waktu sebentar saja ke gereja, maka kehilangan 2 jam untuk pekerjaan saya. Karena itu saya ga bisa lagi sering-sering kegereja, apalagi melayani. Fiuhh,....andaikan Tuhan menciptakan waktu lebih dari 24 jam.” Sebagai teman yang baik saya berusaha untuk mengerti isi hatinya. Tapi apa yang terjadi setelah percakapan itu? Kurang lebih satu tahun kemudian, usahanya bukan semakin membaik, tetapi semakin berantakan, utang-utang semakin melilit, masalah keluarga juga semakin rumit. Sampai benar-benar ia kehilangan daya untuk menyelesaikan masalahnya. Tapi justru karena itu ia jadi mengingat akan Tuhan. Ia mulai membaca Alkitab setiap hari, mulai rutin beribadah, bahkan ia sering bertanya kepada saya makna dari sebuah ayat. Ia mulai menjalin relasi yang erat dengan Tuhan. Kini ia sadar bahwa tanpa Tuhan ia tidak bisa menghadapinya. Mengatasi masalah tanpa Tuhan hanya mendatangkan kekhawatiran, ketakutan, dan masalah yang lebih besar. Tetapi bersama Tuhan ia merasakan bahwa perlahan demi perlahan, masalah-masalahnya mulai teratasi.

Saudara, kita memang membutuhkan Tuhan. Kita membutuhkan Tuhan untuk menhadapi semua masalah kehidupan ini. Mengandalkan kekuatan sendiri akan sangat terbatas. Kaki kita terlalu lemah untuk menghadinya. Dan tangan kita terlalu kecil untuk mengatasinya. Kita membutuhkan kehadiran Bapa kita yang di Surga. Karena itu mari, jangan pernah berjalan seorang diri. Kita boleh punya masalah yang besar, tapi ingat kita punya Allah yang jauh lebih besar dari masalah kita, dan yang begitu mengasihi kita. Berjalan sendiri kita tidak akan pernah mencapai garis finish. Namun berjalanlah bersama dengan Tuhan, karena bersama Tuhan kita bisa.

Bersama Tuhan Pasti Bisa (1 Samuel 17) #2




Hal pertama yang harus kita sadari ialah: Menjadi anak-anak Tuhan bukan berarti kita terlepas dari segala persoalan kehidupan. Banyak orang yang mau menjadi Kristen dan pergi ke gereja oleh karena mereka berpikir, jika ia menjadi anak Tuhan, maka hidupnya akan aman, sukses, kaya raya, dan tidak akan mendapatkan permasalahan dalam hidupnya. Saya kira itu salah besar. Kenyataannya, menjadi anak Tuhan juga tetap akan diperhadapkan dengan berbagai persoalan kehidupan.

Hal ini terefleksi dari kehidupan umat Israel. Dari awal umat Israel yang adalah umat pilihan Allah harus menghadapi banyak persoalan-persoalan. Berawal dari perbudakan di Mesir yang begitu menyiksa. Kemudian setelah mereka berhasil keluar dari perbudakan, mereka masih harus menghadapi tantangan berikutnya, yaitu menjalani kehidupan di padang gurun. Menjalani hidup di padang gurun itu sangat sukar. Bayangkan saja kebosanan, kekeringan, kekurangan pangan, cuaca terik, tidak ada kehidupan dsb. Kalau bisa memilih dapat dipastikan bahwa tidak ada orang yang mau hidup di padang gurun. Namun Tuhan menjanjikan bahwa suatu saat mereka akan memasuki tanah perjanjian, yaitu sebuah tempat yang istimewa, kaya akan susu dan madu. Di tempat itu mereka tidak akan mengalami kegersangan, dan mereka tidak akan kehausan seperti waktu mereka di padang gurun. Tetapi setelah 40 tahun mereka mengitari padang gurun, dan kemudian memasuki tanah perjanjian yang penuh dengan susu dan madu tersebut, apa yang terjadi? Apakah ketika mereka sudah ditanah perjanjian hidup mereka lepas dari masalah? Tidak! Di tanah perjanjian pun mereka harus menghadapi banyak tantangan dan persoalan.

Salah satu musuh itu ada dalam perikop ini, yang begitu sering kita dengarkan sejak kecil. Pada waktu itu, pada zaman raja Saul memimpin, salah satu musuh besar bangsa Israel adalah orang-orang Filistin. Bertahun-tahun lamanya bangsa Filistin melakukan teror terhadap umat Israel. Tapi dari sekian banyak pertempuran yang mereka lakukan, tidak pernah mereka menghadapi ketakutan yang besar seperti dalam perikop ini.

Alkitab mengatakan bahwa ada seorang raksasa, seorang pendekar, yang kita kenal bernama Goliat maju menantang duel pasukan Israel. Sudah kebiasaan dalam peperangan di Timur Tengah waktu itu dimana peperangan bisa diwakilkan oleh jagoan terhebat masing-masing bangsa. Jagoan yang menang maka akan menjadi kemenangan bangsa. Dari pihak Filistin majulah seorang pendekar menakutkan dan jago berperang yang bernama Goliat. Alkitab menjelaskan bahwa ia seorang yang sangat besar. Tingginya 6 hasta sejengkal. Itu kurang lebih 3 meter (2 kali tinggi saya). Bukan hanya besar, dikatakan sejak muda ia sudah berlatih militer. Dapat dibayangkan betapa kuatnya dia dan betapa besarnya otot-otonya. Terlebih lagi, ia memiliki perlengkapan senjata yang kuat dan tebal. Baju jirahnya saja hampir mencapai 5000 syikal atau 90kg. Senjatanya kurang lebih 50 kg. Semua badannya tertutup dengan baju perang yang kokoh. Coba bayangkan jika kita berhadapan dengan orang seperti ini. Siapa berani menghadapi raksasa seperti demikian? Menghadapinya sama saja cari mati. Israel sedang menghadapi seorang perkasa yang besar. Lebih tepatnya Israel sedang menghadapi masalah besar. Alkitab mengatakan selama 40 hari Goliat maju untuk menantang mereka dengan perkataan-perkaataan yang menghina dan merendahkan. Ia menghina barisan Israel, ia menghina bangsa Israel, terlebih ia menghina Allahnya Israel. Selama 40 hari itu jugalah umat Israel sangat terintimidasi dan hidup dalam ketakutan.

Kenyataan ini sekali lagi mengingatkan kita, bahwa hidup sebagai anak-anak Tuhan tidak berarti kita dapat lepas dari segala persoalan-persoalan kehidupan. Bukankah ada banyak “raksasa-raksasa” yang harus kita hadapi dalam kehidupan ini? Raksasa ini tidak tampak kasat mata dan tidak menggunakan pedang. Raksasa itu bisa jadi orang-orang yang ada disekitar kita. Orang ini begitu mengitimidasi kita dan membuat hidup kita menjadi tertekan. Atau mungkin orang-orang itu adalah orang dekat kita, yang begitu kita khawatirkan. Mungkin keadaan anak atau anggota keluarga yang membuat kita cemas. Raksasa itu bisa jadi berbicara tentang kegagalan-kegagalan dalam karir kita. Atau dapat juga hadir dalam bentuk kesusahan-kesusahan ekonomi. Iapun dapat menjelma lewat sakit-penyakit yang harus kita hadapi. Dan raksasa itu bisa hadir lewat masalah-masalah pribadi dimana hanya kita yang tau. Ada banyak raksasa-raksasa dalam hidup kita. Dan yang pasti semua raksasa tersebut begitu mengintimidasi kita. Ia terus berteriak di tengah lembah kehidupan dan mencibir kita. Ia memberi rasa takut ketika kita bangun dipagi hari. Ia memberikan rasa cemas sebelum kita mengakhiri hari kita. Dan sepanjang hari kita hidup dalam kekhawatiran. Sekali lagi, raksasa itu akan ada terus berdampingan dalam hidup kita. Dan kita tidak dapat menghindarinya.

Bersama Tuhan Pasti Bisa (1 Samuel 17) #1




Waktu saya masih kecil saya paling takut jika terjadi mati lampu di malam hari. Karena mendadak suasana jadi panas dan saya tidak dapat melihat apa-apa karena itu saya menjadi ketakutan. Saya kira rata-rata anak-anak takut akan hal yang sama. Acapkali setiap mati lampu saya meresponinya dengan berteriak dan menangis ketakutan. Papa saya yang kamarnya persis di sebelah kamar biasanya selalu terbangun karena tangisan saya. Dan saya ingat betul, biasanya dia dari sebelah sudah teriak “Dek....sudah jangan nangis...” dan segera ia akan menghampiri kamar saya dan berkata “Sudah tenang ada papa”. Kemudian biasanya papa saya akan membawa saya kekamarnya dan saya ditidurkan disampingnya, di antara papa dan mama saya. Anehnya setiap kali saya tidur di dekatnya, perasaan takut itu lenyap. Walau lampu di rumah belum juga menyala, saya tetap dapat tidur dengan nyenyak dalam ketenangan dan kedamaian. Dari hal itu saya melihat ketenangan itu didapat bukan ketika semua berjalan dengan baik. Namun ketenangan dan keamanan itu didapat ketika ada seorang yang sungguh-sungguh dapat dipercaya, yang jauh lebih kuat dari kita, dan yang mengasihi kita, ada bersama dengan kita.

Sadar atau tidak, kitapun membutuhkan Tuhan yang adalah Bapa di Surga untuk menolong hidup kita. Dunia ini adalah dunia yang dikuasai oleh kegelapan oleh karena dosa. Sejak manusia jatuh dalam dosa, Firman Tuhan mengatakan bahwa Tanah menjadi terkutuk. Dan manusia dikatakan akan mengalami kesakitan dan akan berjerih lelah. Ditambah iblis yang adalah bapa dari segala kegelapan itu akan terus mencobai kita. Oleh sebab itu hidup kita jadi penuh dengan persoalan dan permasalahan yang tidak pernah habis-habis. Bencana-bencana yang menimpa; krisis moneter yang mencekik dan merampas waktu kita; masalah keluarga yang semakin hari semakin kompleks; masalah ekonomi; masalah pendidikan dan karakter anak-anak atau cucu kita; belum lagi sakit penyakit yang tidak pernah berhenti berkembang dan menyerang seluruh manusia tanpa ampun; bahkan mungkin banyak juga masalah-masalah dalam diri kita yang begitu menusuk seperti duri dalam daging. Permasalahan-permasalahan seperti inilah yang menggerogoti dunia kita saat ini. Tak heran kita sering menjadi takut, khawatir, cemas, tak berdaya menghadapi persoalan-persoalan.
Oleh sebab itu, dalam kehidupan di dunia ini kitapun memerlukan seorang Bapa yang sungguh dapat dipercaya, yang jauh lebih kuat dan berkuasa dari kita, yang mengasihi kita, dan yang ada bersama dengan kita. Keberadaan ayah didunia ini terbatas. Mereka bisa menjadi lemah dan tua. Dan mereka tidak selalu bisa ada bersama dengan kita. Namun ada kabar baik untuk kita. Bagi kita umat yang percaya, kita memiliki Tuhan yang kepadanya kita dapat memanggil Abba Bapa. Kita punya Tuhan yang mengasihi kita. Dan ketika kita berjalan bersama Tuhan, kita akan bisa menghadapi setiap permasalahan dan persoalan tersebut. Itulah tema yang ingin kita renungkan hari ini: “Bersama Tuhan Pasti Bisa”.

Sunday, November 13, 2011

PENDENGAR FIRMAN SEMESTINYA (1 Raja 22)



Seorang kawan pernah mendatangi saya setelah selesai kebaktian minggu dan berkata demikian kepada saya: “Wah, khotbah hari ini bagus ya, lucu....kita jadi tidak mengantuk. Semestinya hamba Tuhan kita harus berkhotbah seperti itu, sehingga kita semangat datang ke kebaktian. Kalau khotbah itu jangan yang berisi teguran dan perintah-perintah saja. Kita sudah banyak pergumulan, jangan lagi dituntut ini itu, ditegur ini itu, dsb. Kita ingin disegarkan.” Awalnya sebagai seorang yang berusaha menyelami pemikiran kawan saya ini, saya merasa perkataan ini ada benarnya. Janganlah Firman Tuhan yang disampaikan malah menekan jemaat yang butuh penghiburan. Tetapi setelah lama-lama direnungkan, saya kira tidak juga sepenuhnya tepat. Mengapa demikian? Karena Firman Tuhan yang kita meliki bukan hanya bersifat dan berisi sesuatu yang menghibur dan menguatkan saja, tetapi di dalam Firman Tuhan ini juga terdapat teguran-teguran, peringatan-peringatan, untuk mengoreksi dan mengintropeksi diri kita akan kesalahan yang kita perbuat. Karena itulah Yakobus mengatakan bahwa Firman itu seperti cermin yang akan memberitahukan kepada kita akan kesalahan kita. Itu juga sebabnya Paulus berkata kepada Timotius bahwa “Firman yang diilhamkan Allah itu bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan mendidik seseorang dalam kebenaran”. Dan untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, serta mendidik seseorang itu tentu saja tidak hanya dengan Firman yang lembut, tetapi diperlukan Firman yang keras untuk mendisiplin seseorang.

Saya sendiri tertarik serta tertegur ketika merenungkan kejadian dalam 1Raja-raja 22 mengenai nabi Tuhan yang melawan nabi-nabi palsu. Dikisahkan raja Yehuda Yosafat mendatangi Raja Israel yaitu Ahab untuk berdiplomasi urusan negara mereka. Dan timbullah sebuah perencanaan untuk memerangi Ramot-Gilead, daerah yang berada didekat mereka. Tetapi Yosafat (raja Yehuda) adalah seorang yang takut akan Tuhan (ay.43). Berbeda dengan raja Ahab yang begitu jahat sampai-sampai Alkitab mengatakan tidak ada raja yang lebih jahat daripada Ahab. Karena itu Yosafat meminta Ahab untuk menanyakan Firman Tuhan lewat nabi-nabi sebelum mereka bertindak. Sudah kebiasaan dan cara Tuhan pada jaman itu bahwa Tuhan seringkali berfirman lewat para nabi, dan memang ada kelompok dan kumpulan para nabi pada waktu itu.

Lantas Ahab mengumpulkan 400 nabi-nabinya untuk menanyakan apakah mereka boleh pergi berperang melawan Ramot Gilead apa tidak. 400 nabi ini serempak dan sepakat berkata bahwa Tuhan berfirman kepada mereka bahwa Tuhan akan memberikan kemenangan kepada Israel. Sungguh sebuah firman yang enak didengarkan. Kemenangan....Kesuksesan...Kejayaan... bukankah itu berita yang menyenangkan?
Tapi 400 nabi-nabi itu sepertinya merupakan nabi-nabi yang dipilih oleh raja Ahab sendiri, yaitu nabi-nabi yang disukai karena suka menubuatkan yang baik-baik, yang sedap didengar, yang manis di hati. Dan para nabi-nabi ini juga adalah nabi-nabi yang ingin mendapat jabatan yang baik di mata raja, karena itu mereka selalu mengatakan hal yang baik di hadapan raja, yang manis di dengar, dan yang menyukakan telinga raja....mungkin agar mereka mendapat posisi yang cukup baik di dalam istana.

Hal ini terlihat ketika raja Yosafat menanyakan kepada raja Ahab “Adakah nabi yang lain dari 400 orang ini” Ahab dengan jujur mengatakan “Masih ada 1 lagi.... tapi saya membenci dia karena dia tidak pernah menubuatkan yang baik....Nama orang itu adalah Mikha.” Jadi nabi Mikha tidak terhitung sebagai nabi pilihan raja, karena nubuatannya dianggap selalu tidak enak didengar. Setelah Ahab mengatakan demikian, raja Yosafat tetap meminta untuk memanggil nabi Mikha. Ketika utusan Ahab menjemput nabi Mikha, utusan itu mengatakan kepada Mikha demikian di ayat 13 “Ketahuilah, nabi-nabi itu sudah sepakat meramalkan yang baik bagi raja, hendaklah engkau juga berbicara seperti salah seorang dari pada mereka dan meramalkan yang baik.”

Dan apa yang terjadi setelah nabi Mikha datang ke dalam istana, ia menyampaikan suara Tuhan yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh 400 nabi tersebut. Ia memberitakan berita hukuman atas semua kejahatan yang dilakukan oleh Ahab. Dan oleh karena berita itu ia ditampar oleh nabi yang lain, dan iapun dikucilkan oleh raja Ahab. Dari sini kita melihat jelas bahwa raja Ahab tidak suka mendengar Firman Tuhan yang tidak menyenangkan hatinya. Dari sini kita juga dapat melihat bahwa mayoritas para nabi juga terjebak untuk menyampaikan berita Firman yang menyenangkan saja. Mereka lupa bahwa firman Tuhan juga bersifat mengkoreksi hidup kita.

Ironinya bukan hanya pada zaman itu, kalau kita perhatikan jaman sekarangpun masih banyak jemaat yang seperti Ahab seperti kawan saya tadi. Mereka tidak menyukai Firman yang keras yang menegur mereka. Mereka tidak suka Firman yang mengkoreksi mereka. Tetapi mereka lebih suka Firman Tuhan yang menyukakan telinga, yang memberikan kabar suka selalu seperti berkat-berkat Tuhan, kesuksesan, kekayaan dsb. Ironinya banyak juga pembawa Firman yang ingin menyenangkan telinga pendengarnya sehingga yang disampaikan selalu berupa firman-firman yang enak didengar, yang lembut, yang menghibur, tanpa teguran dan menuntut sama sekali.

Mari kita kembali melihat apa yang terjadi dengan Ahab. Karena ia tidak mau mendengar suara firman Tuhan yang sudah memperingatkan dia berkali-kali. Akibatnya ketika ia maju berperang, ia harus tewas terbunuh dalam peperangan itu. Tuhan sudah mengingatkannya melalui nabi Mikha. Sebenarnya Ahab punya kesempatan untuk bertobat akan kesalahan-kesalahannya ketika di tegur oleh nabi Mikha. Tapi karena keengganannya mendengarkan Firman yang menegur itulah yang akhirnya membinasakan dirinya sendiri.

Memang sesuatu yang nyaman itu menyenangkan. Namun pada umumnya yang nyaman itu tidak baik untuk diri. Makanan yang paling enak acapkali menjadi makanan yang paling berbahaya untuk tubuh kita bukan. Demikian juga kisah raja Ahab ini harusnya menjadi peringatan bagi kita; agar tidak menuntut firman yang nyaman didengar, yang menyukakan telinga kita, yang membuat kita ketawa saja. Namun kejarlah Firman yang sejati, yang dapat membentuk hidup kita, mengoreksi kekeliruan yang kita perbuat, yang mengarahkan kita untuk serupa dengan Kristus. Jadilah orang Kristen yang memiliki mental tidak hanya menuntut dan mau menerima Firman Tuhan yang mudah dimengerti, tapi menuntut diri untuk mengerti firman yang susah dimengerti. Karena mental seperti inilah yang akan membawa kita memiliki kehidupan yang lebih baik di mata Tuhan. Memang dibutuhkan kerendahan hati untuk memiliki sikap ini. Berdoalah setiap kali kita hendak mendengarkan Firman dan katakan kepada-Nya, sumber inspirasi, untuk menolong kita mengerti setiap Firman yang dibaca atau diberitakan. Itulah bagaimana seorang Kristen sebagai pendengar Firman semestinya.

Wednesday, November 02, 2011

Mengalahkan Kesibukan (Luk 10:38-42) #2




Dalam perikop yang kita baca, Marta juga merupakan seorang yang terjebak dalam sebuah budaya yang begitu menyibukkan dirinya. Pada waktu itu merupakan zaman patrialis dimana wanita dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Sudah merupakan tugas dan kewajiban wanita untuk melakukan pekerjaan rumah, bersih-bersih, menghidangkan makanan, melayani tamu yang datang, dsb. Dalam perikop ini diceritakan Yesus sendiri yang datang mengunjungi rumah Marta dan Maria. Ini bukan tamu biasa, melainkan Yesus sendiri. Apalagi dalam perikop ini Yesus namanya sudah tersiar dimana-mana sebagai seorang nabi, seorang imam, seorang raja, dsb. Yesus sudah terkenal karena begitu banyak mujizat dan penyembuhan yang dilakukannya. Dan bagi orang Israel, seorang nabi yang berkuasa itu jauh lebih berharga daripada seorang raja. Nah sekarang bayangkan bahwa Yesus yang begitu popular itu kemudian datang ke sebuah kampung kecil dimana Marta dan Maria tinggal. Saya kira pasti seluruh kampung menjadi heboh, bahkan sampai kampung-kampung tetanggapun ikut menjadi heboh. Dan ketika Yesus mampir kerumah marta, saya kira seluruh kampung juga datang kesekitar rumah itu untuk melihat sosok Yesus. Beberapa petinggi kampung itu mungkin ikut masuk ke dalam rumah Marta.
Hal inilah yang kemudian membuat Marta kalang kibut dan sibuk mempersiapkan pelayanan yang terbaik untuk tamu-tamu agung. Dia harus menyiapkan baki untuk mencuci kaki Yesus dan murid-murid-Nya; Ia harus menghidangkan makanan dan minuman untuk semua tamu yang hadir; ia harus membersihkan segala sesuatu; mencuci piring yang kotor untuk tamu-tamu berikutnya; dsb. Ia terjebak dalam kesibukkan yang memang sudah semestinya pada budaya waktu itu.

Sikap yang dilakukan Marta ini seharusnya mendapatkan respek dari banyak orang. Ia sudah melakukan tugasnya dengan baik. Dan saya membayangkan orang-orang yang hadir dirumahnya waktu itu juga memberikan respek itu akan kerja kerasnya. Tapi berbeda dengan Yesus. Yesus malah mengritisi kesibukan Marta. Ini terlihat ketika Marta menjadi jengkel melihat adiknya Maria yang enak-enakkan duduk bersama para tamu mendengarkan perkataan Yesus. Karena jengkel ia melaporkan kepada Yesus akan sikap Maria yang tidak mau bersibuk-sibuk membantunya. Tapi bukannya menegur Maria, Yesus malah menegur Marta dengan mengatakan “Marta...marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,....tetapi hanya satu saja yang perlu....” Dengan kata lain Yesus ingin berkata “Marta-marta...engkau terlalu banyak kuatir dan karena itu kamu menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan....tetapi bukan itu yang penting...hanya satu yang diperlukan....”
Seberapa banyak anak-anak Tuhan yang mengalami kekeliruan seperti yang dilakukan oleh Marta? Mereka kuatir akan tuntutan zaman yang semakin hari semakin menggila. Mereka kuatir jika mereka tidak lagi dapat bertahan hidup dalam dunia yang menjalankan hukum rimba dimana-dimana. Dan karena itu banyak orang Kristen yang menyibukkan diri kedalam banyak hal untuk melenyapkan semua kekhawatiran tersebut. Tapi pertanyaanya apakah kesibukkan itu sesuatu yang penting? Atau jangan-jangan kesibukan yang kita anggap penting malah mengorbankan sesuatu yang jauh lebih penting dari itu semua?

Yesus menegur marta, karena kesibukan yang Marta lakukan itu ternyata harus mengorbankan sesuatu yang lebih penting, yaitu hubungan atau relasi dengan Yesus sendiri. Marta sibuk melayani orang banyak, bahkan melalui itu mungkin ia mendapatkan decak kagum dari banyak orang. Tapi ia melupakan sesuatu yang penting dimana Yesus datang ke rumah mereka untuk menjalin relasi dengan mereka. Karena itu Yesus menegur Marta.

Sebaliknya Yesus malah memberikan pujian yang besar kepada Maria. Mengapa? Karena Maria berani mengorbankan banyak hal untuk sesuatu yang berharga. Seperti yang saya katakan tadi, perempuan pada waktu itu adalah orang-orang kelas dua dalam pandangan masyarakat. Ketika ada tamu yang datang mereka harus bekerja dibelakang / didapur, mempersiapkan makanan, membasuh kaki tamu-tamunya, membersihkan rumah, merapikan sandal dsb. Bagi mereka tidak sopan jika ada perempuan yang ikut duduk bersama kumpulan laki-laki di ruang tamu. Karena itu ketika Maria duduk mendengarkan perkataan-perkataan Tuhan, saya kira orang-orang disekelilingnya, bahkan mungkin termasuk murid-murid Yesus mencibir dia, karena dianggap tidak sopan, tidak bertanggung jawab,dsb. Tetapi bagi Yesus berbeda. Bagi Yesus Maria telah memilih bagian yang terbaik dan yang lebih penting dan lebih terutama daripada segala kesibukan Marta. Memang untuk itulah tujuan awal kita diciptakan, yaitu agar kita memiliki relasi yang intim dengan Tuhan.

Kesibukkan memang dapat merusak hubungan kita dengan Tuhan. Karena acapkali jika kesibukkan kita berlebihan maka kita cenderung akan mengorbankan segala sesuatu termasuk hubungan pribadi dengan Tuhan. Dan karena kesibukan itu juga api rohani kita dapat menjadi padam. Saya ada seorang teman yang dulunya adalah seorang yang aktif dalam pelayanannya, namun kini jarang sekali menunjukkan batang hidungnya di gereja. Paling seminggu sekali itupun kalau ia bisa. Ketika saya ada kesempatan sharing-sharing sama dia, dia berkata demikian “Gak bisa Fong, saya baru berkeluarga, anak saya masih kecil....belum lagi saya baru merintis usaha saya.... dan usaha yang baru saya rintis ini ada banyak sekali masalah...sekarang saya terjerat utang ini dan itu...saya harus bekerja lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup saya dan menyelesaikan utang-utang itu. Mana saya sempat ke gereja lagi.” Terus saya berkata kepada dia “Fren, bukannya kalau semakin kamu memiliki masalah dalam kehidupanmu semakin kamu harus mencari dan mengandalkan Tuhan?” Tetapi dia menjawab “Ia sih, tapi saat ini setiap waktu begitu berharga untuk saya lewatkan. Jika saya salah memakai waktu sebentar saja, maka saya akan gagal memenuhi tanggung jawab saya. Karena itu saya ga bisa lagi sering-sering kegereja, apalagi melayani. Fiuhh,....andaikan Tuhan menciptakan waktu lebih dari 24 jam.” Tapi apa yang terjadi setelah itu? Setelah ia mengatakan itu, kurang lebih satu tahun kemudian, usahanya bukan semakin membaik, tetapi semakin berantakan....masalah keluarga juga semakin banyak dan semakin berat. Tapi justru karena itu kini semakin bergantung kepada Tuhan. Ia mulai membaca Alkitab setiap hari, bahkan mulai kembali rajin mengikuti persekutuan dan kebaktian. Iapun mulai menjalin relasi yang erat dengan Tuhan. Ia sadar, bahwa kesibukkan bukannya memberi sukacita dalam kehidupannya, melainkan keberserahan dan kebergantungan kepada Tuhanlah yang membuat hidupnya damai sejahtera.

Sadar atau tidak sadar ada banyak orang Kristen yang terjebak dengan permasalahan yang sama. Mungkin bapak ibu saudara yang ada ditempat ini adalah salah satunya. Kita terlalu sibuk mempersiapkan masa depan kita. Kita terlalu sibuk meniti karir kita. Dan kita terlalu sibuk dengan target-target kita. Namun jika karena kesibukkan itu kita harus mengorbankan banyak hal yang berharga: entah itu relasi kita dengan keluarga, entah itu relasi dengan anak-anak kita, bahkan terlebih relasi kita dengan Tuhan. Tanpa sadar kita mulai meng’allah’kan kesibukan tersebut. Rasanya kalau satu hari tidak sibuk perasaan langsung menjadi resah dan galau. Bahkan dalam dunia pelayananpun demikian. Bisa saja seseorang terjebak dalam kesibukkan melayani, dan dimata orang ia tampak rohani, bahkan ia mendapatkan decak kagum banyak orang. Namun ketika pelayanan itu harus mengorbankan relasi dengan Tuhan, sebenarnya pelayanan itu bukan lagi pelayanan yang berkenan dihadapan Tuhan. Sekali lagi saya katakan bahwa kesibukan itu sendiri tidak salah sama sekali. Namun jika kesibukkan itu harus mengorbankan sesuatu yang berharga, yang penting, dan yang lebih utama, maka kesibukkan itu dapat dianggap sebagai masalah.

Saya pernah mendengar kisah seorang istri yang menuntut cerai sang suami karena kesibukkan suami yang terlalu padat. Sang suaminya marah, karena suami merasa dia melakukan kesibukkan itu semua juga untuk keluarga. Tapi sang istri mengatakan “kalau karena kesibukkan itu kamu harus mengorbankan relasi dengan keluargamu, lebih baik kita cerai saja. Saya tidak menginginkan semua uang dan barang-barang itu, saya cuma ingin hubungan keluarga yang sehat.” Saya kira demikian pula Tuhan. Ia merindukan akan adanya sebuah relasi yang intim. Bukan sekedar kesibukan kita, bukan sekedar pelayanan kita, bukan sekedar uang kita; melainkan sebuah relasi. Itulah yang berharga di mata Tuhan.

Saya suka dengan kisah seorang tukang kayu. Suatu saat ketika sedang bekerja, secara tak disengaja arlojinya terjatuh dan terbenam di antara tingginya tumpukan serbuk kayu. Arloji itu adalah sebuah hadiah dan telah dipakainya cukup lama. Ia amat mencintai arloji tersebut. Karenanya ia berusaha sedapat mungkin untuk menemukan kembali arlojinya. Sambil mengeluh mempersalahkan keteledoran diri sendiri si tukang kayu itu membongkar tumpukan serbuk yang tinggi itu. Teman-teman karyawan yang lain juga turut membantu mencarinya. Namun sia-sia saja. Arloji kesayangan itu tetap tak ditemukan. Tibalah saat makan siang. Para pekerja serta pemilik arloji tersebut dengan semangat yang lesu meninggalkan bengkel kayu tersebut. Saat itu seorang anak yang sejak tadi memperhatikan mereka mencari arloji itu, datang mendekati tumpukan serbuk kayu tersebut. Ia menjongkok dan mencari. Tak berapa lama berselang ia telah menemukan kembali arloji kesayangan si tukang kayu tersebut. Tentu si tukang kayu itu amat gembira. Namun ia juga heran, karena sebelumnya banyak orang telah membongkar tumpukan serbuk namun sia-sia. Kini cuman dia seorang diri saja, dan berhasil menemukan arloji itu. 'Bagaimana caranya engkau mencari arloji ini?' Tanya si tukang kayu. 'Saya hanya duduk secara tenang di lantai. Dalam keheningan itu saya bisa mendengar bunyi 'to-tak, tok-tak'. Dengan itu saya tahu di mana arloji itu berada.'

Saya kira demikian juga ketika kita ingin mendapatkan kehidupan yang berharga, kita harus belajar hening sejenak dari kesibukkan kita, meluangkan waktu bersama dengan Tuhan, menikmati relasi bersama dengan Tuhan, serta berserah kepada Tuhan untuk menolong hidup kita. Sama seperti sebuah kalimat yang indah dalam sebuah sastra tetap membutuhkan beberapa tanda titik untuk mengakhiri setiap kalimat-demi kalimat; demikian juga kehidupan yang indah, yang seimbang, yang berharga, adalah kehidupan yang disertai waktu teduh dan intim bersama dengan Tuhan.
Karena itu mari kita mengalahkan kesibukkan itu dan bukan meng’allah’kannya. Mari kita mengambil waktu hening sejenak bersama Tuhan setiap hari. Karena melalui relasi kita tiap hari bersama Tuhan, maka kesibukkan-kesibukkan itu akan diarahkan kepada apa yang menjadi kehendak Tuhan. Kesibukkan itu akan menjadi sungguh lebih bermakna. Kalahkan kesibukan dengan mengisi kesibukan itu dengan sesuatu yang berharga.

Mengalahkan Kesibukan (Luk 10:38-42) #1




Kehidupan manusia semakin hari dapat dikatakan semakin sibuk. Apalagi jika kita adalah orang-orang yang tinggal di kota besar yang membutuhkan mobilitas yang tinggi maka kesibukkan itu akan lebih terasa. Ada seorang pengusaha muda yang tinggal di kota metropolitan di Jakarta. Ia masih berusia 30 tahun lebih dan baru saja berkeluarga. Saat ini karir atau usahanya yang dirintis kurang lebih 4 tahun yang lalu mulai menanjak. Istrinyapun baru saja melahirkan seorang buah hati yang sudah mereka nantikan. Tentu saja semua ini membuatnya bahagia. Sekilas berita ini tampak menggembirakan, tapi semua kabar gembira ini tentu saja menuntut waktu lebih untuk disita. Dari pagi ia sudah harus bangun jam 5 pagi untuk sarapan dan bersih-bersih. Pergi kekantor harus berangkat dari jam 6 karena perjalanan kota Jakarta yang begitu macet. Sesampai dikantor ia harus mengerjakan semua dokumen-dokumen, data-data, pesanan pelanggan, serta mempersiapkan strategi-strategi , dsb. Tidak ada waktu bersantai sedikitpun selama ia bekerja. Bahkan waktu makan siang pun dipakai bersamaan dengan meeting untuk memanfaatkan waktu. Ketika karyawannya pulang jam 5 sore, ia masih terus sibuk dengan pekerjaannya, sehingga hampir setiap hari ia dikantor sampai jam 6. Sepulangnya dari kantor terkadang ia harus mengikuti seminar-seminar, dan menghadiri pertemuan-pertemuan dengan kolega bisnisnya. Akhirnya ia pun biasa tiba di rumah pada pukul 10-11 malam. Sampai di rumah bukannya langsung tidur, tetapi ia harus menyelesaikan pr-pr kantor yang harus diselesaikan. Dan iapun mulai tidur pada pukul 12.30. Keesokan harinya begitu lagi, bangun jam 5, dan semua kesibukan yang sama dilakukan sama seperti hari sebelumnya.

Bukan hanya orang dewasa, anak-anak remaja pun juga semakin hari semakin sibuk. Kebetulan saya memegang komisi remaja (anak-anak SMP) jadi saya sedikit banyak tau kondisi mereka. Jika zaman saya remaja dulu kami pulang sekolah biasanya langsung pergi main sama temen-temen sampai sore, paling-paling les/khursus kami hanya 1 kali sampai 2 kali dalam satu minggu. Tapi anak-anak remaja sekarang sangat berbeda. Hampir 50% anak-anak remaja setiap hari mengikuti khursus dari senin sampe sabtu. Bahkan ada yang sampai hari minggu juga masih dipakai untuk khursus. Itupun malamnya masih harus mengerjakan pr sekolah dsb.

Contoh-contoh diatas menunjukkan akan betapa sibuknya jaman yang kita hidupi sekarang ini. Mengapa ini bisa terjadi? Hal ini disebabkan karena semakin bertambah modernnya zaman yang kita tinggali ini, semakin besar juga tuntutan yang diberikan. Karena itu karyawan-karyawan yang dicari saat ini adalah karyawan yang harus bisa menguasai segala bidang. Bisa menggunakan komputer, bisa membuat laporan keuangan, bisa berbicara dengan fasih, punya penampilan yang menarik, bisa berbahasa inggris, ber-iq cukup baik, dsb. Karena itu banyak orang-orang yang tidak cukup hanya mendapatkan gelar sarjana tetapi mereka juga harus mengikuti berbagai pelatihan untuk pengembangan skill mereka. Anak-anak remajapun demikian. Jika dulu cuma mempelajari 10 mata pelajaran, sekarang anak sd saja bisa mempelajari 14 mata pelajaran. Dari kecil anak-anak sudah dicegokkin bahasa mandarin, bahasa inggris, aritmatika, komputer, teknologi ini, keahlian ini-itu, dsb. Sekali lagi karena zaman semakin moderenlah yang menuntut kita harus serba bisa.

Bukan hanya itu, kitapun saat ini terperangkap dengan situasi yang serba instan. Sekarang orang tidak hanya mencari sesuatu yang berkualitas, tapi juga lebih menekankan sesuatu yang cepat. Karena itu rumah makan yang kita kenal sebagai fast food seperti mcd, kfc, a&w dsb laris manis. Apalagi di kota-kota besar. Orang tidak suka sesuatu yang lama. Kita dituntut untuk melakukan sesuatu dengan cepat. Bahkan di Surabaya ada sebuah gereja yang memberi promosi dispanduknya besar-besar demikian: “Tuhan hadir disini, Gereja 1 jam saja”. Dan gereja-gereja dengan promosi seperti ini laris manis. Semua ini menunjukkan bahwa manusia suka sesuatu yang instan dan cepat. Dan tuntutan-tuntutan untuk bergerak cepat ini jugalah yang membuat kita semakin sibuk.

Akibatnya dari ini semua membuat kita terperangkap dalam sebuah kebudayaan yang membuat diri kita makin sibuk. Dan karena kesibukan ini jugalah kita harus mengorbankan banyak hal, baik waktu, tenaga, relasi, dsb. Sebenarnya menjadi sibuk itu tidak salah dan tidak menjadi masalah, bahkan itu jauh lebih baik daripada orang yang bermalas-malasan. Namun ketika kesibukan itu harus mengorbankan sesuatu yang berharga maka itu menjadi masalah.