Monday, July 26, 2010

Gelembung Sabun



Gelembung Sabun. . . .

Keluar dari kediamannya

Serentak berpawai Ria

Berenang-renang di udara


Kilau cahaya lampu kota. . . .

Mewarnikan pelangi didalamnya

Meriasi malam gulita

Menambah riang hati duka


Namun. . . .

Satu persatu gelembung itu sirna

Hilang tak berjejak tanpa pesan

Sekejap lenyap semaraknya


Rentan....Sungguh rentan

Beberapa pecah tertekan

Tergesek dengan kasar jalan

Menuju kebinasaan


Syukurlah....

Beberapa masih bertahan

Tertolong Angin lembut nan teduh

Yang berasal dari Tuhan


Gelembung Sabun. . . .

Itu Aku. . . .

Manusia Rentan. . . .

Butuh Tuhan . . . .

Sunday, July 18, 2010

Manusiawi



Pernah tersaksikan oleh kedua mata saya dua ekor semut yang sedang bermain riang tepat di hadapanku yang mematung. Lalu tangan isengku segera menggencet pelan salah satu dari mereka, dan alhasil korban gencetan itu sekarat tak berdaya. Kawannya yang masih segar bugar terkejut lalu melarikan diri secepat-cepatnya, merayap ketembok seperti cecak dan terus bergegas ke atas. Namun sampai setengah perjalanan, tiba-tiba ia berhenti sejenak dan kemudian berlari kencang kembali ke arah temannya yang sekarat. “Berani sekali” pikirku. Bukankah teman yang sekarat itu tepat berada di depan tanganku yang baru saja merengut masa depan temannya? Apakah ia juga mau menyerahkan nyawanya, ataukah dia mau menantang saya? Pikirku geli. Tapi saya diam saja, mencoba mengamati perilaku dari hewan kecil itu. Terkejutnya saya, ternyata semut kecil yang masih bugar itu segera menggendong kawannya yang sekarat, lalu dengan tertatih-tatih mengangkatnya memanjati tembok dengan perlahan. Ia tidak takut kalau tangan gatal dari raksasa yang didepannya itu menggencetnya juga. Ia hanya memikirkan kawannya yang sekarat dan berusaha untuk menolongnya tanpa menghiraukan nyawanya.

Pernah tercantum juga di harian kompas beberapa kawanan gajah yang berupaya menyeberangi sungai selebar 60 meter untuk mendapatkan habitat yang baru setelah habitat lamanya dirusak oleh manusia. Bagi beberapa gajah yang cukup besar mungkin mudah menyeberangi sungai tersebut. Tapi gajah-gajah yang masih kecil dan remaja tidak mampu menyeberangi sungai yang terlampau dalam bagi mereka. Lantas bagaimana mereka akhirnya bisa menyeberangi sungai itu? Ternyata gajah-gajah dewasa berbaris di sepanjang sungai membentang dari ujung ke ujung. Secara perlahan gajah-gajah yang kecil menginjaki pundak mereka satu persatu sampai mereka bisa menyeberang tiba dengan selamat. Selama 44 hari barulah semua kawanan gajah itu bisa menyeberangi sungai tersebut. Penduduk sekitar yang menyaksikan itu tidak dapat menahan air matanya. Mereka terharu akan tindakan para gajah itu. Menteri lingkungan hidup Emil Salim pun pernah mengatakan “Gajah-gajah itu telah memanusiakan manusia.” Tak heran surat harian kompas memberi judul berita ini demikian: “Belajar manusiawi bersama gajah.”

Rasanya masih banyak lagi kisah-kisah “manusiawi” yang ditunjukkan oleh dunia fauna di sekitar kita. Entah darimana mereka mendapatkan instink manusia tersebut, yang pasti beberapa binatang telah mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan kepada manusia yang semestinya harus memiliki basic kemanusiaan itu.

Ironinya justru sifat-sifat manusiawi itu tidak terdapat dalam diri beberapa orang yang mengaku dirinya adalah manusia. Ada seorang anak yang tega membunuh ibunya hanya sebab ditegur ketika ia pulang malam. Ada ayah yang tega memperkosa anaknya sendiri berkali-kali sampai-sampai anak yang terlahir kebingungan apakah harus memanggilnya bapak atau engkong. Ada juga ibu yang membunuh bayi hasil darahnya hanya karena tidak punya uang. Pembunuhan antar sesama manusiapun terjadi di mana-mana, entah secara langsung ataupun tidak. Saya katakan ada yang tidak secara langsung setelah mengamati berita akhir-akhir ini yang marak mengenai ledakan elpiji 3 kg di Indonesia. Beberapa produsen mengetahui adanya kecacatan-kecacatan dalam tabung-tabung kuning itu. Namun mereka tetap menjualnya untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Padahal para produsen kejam itu belum tentu menggunakan produk cacat mereka sendiri. Uang untuk perutnya sendiri seakan lebih penting daripada nyawa sesamanya. Dimanakah jiwa kemanusiaan itu?

Lebih spesifik lagi, dalam kisah orang Samaria yang baik hati Tuhan Yesus memperdetil hakekat manusiawi yang seharusnya melekat pada semua manusia. Ketika sitanyakan siapakah sesamaku manusia? Yesus menggambarkan dalam sebuah kisah yang menjelaskan bahwa sesama manusia adalah orang yang peduli ketika melihat ada sesamanya mengalami kesusahan dan membutuhkan uluran tangan. Sederhananya, mereka yang tidak memiliki kepedulian seperti imam dan orang lewi tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sesama manusia. Itulah yang namanya manusiawi.

Ahh....Kalau begitu banyak sekali manusia yang sudah tidak memiliki sifat manusiawi. Keegoisan yang melahirkan penderitaan sesama semakin tren di tengah zaman ini. Entah apa yang terjadi. Mungkinkah ada transaksi hakekat antara beberapa manusia dengan beberapa hewan-hewan yang ada di muka bumi ini. Mengapa manusia harus belajar “manusiawi” dari hewan-hewan itu? Mungkin beberapa hewan itu juga harus belajar untuk memiliki jiwa “hewani” dari beberapa manusia. Ironi bukan. So, mari kita sama-sama mengintropeksi diri kita. Khususnya bagi anak-anak Tuhan, mari terus becermin dari Firman Tuhan. Penuhi pribadi kita dengan sifat manusiawi yang semestinya Tuhan kehendaki ada dalam diri kita. Gbu

Monday, July 12, 2010

MY IDENTITY (Lukas 18:9-14)



Pada tahun 1989 seorang bapak di dataran Kamboja kehilangan putri tercintanya yang masih 8 tahun umur daging. Saat itu putrinya sedang menggembalakan kerbaunya di sebuah desa dekat hutan di sebelah timur laut Phnom Penh, ibukota Kamboja. Mendadak saja ia hilang tanpa sebab dan tiada jejak. Memang hutan di daerah itu terkenal sebagai wilayah yang paling liar dan terisolasi di Kamboja. Banyak korban yang sudah terhisap di dalamya. Tentu saja keluarganya begitu sedih dan terpukul atas peristiwa itu, terutama kedua orang tuanya. Mereka berusaha mencari-cari namun tidak mendapat. Akhirnya mereka putus asa dan merelakan kehilangan anaknya.
Sampai kemudian pada tahun 2007 (18 tahun kemudian), ada seorang gadis muda yang lusuh tak berpakaian keluar dari hutan dengan tingkah yang aneh. Ia tertangkap ketika hendak mencuri sesuatu. Ketika diinterogasi ia tidak bisa berbicara dan hanya dapat mengeluarkan ocehan-ocehan yang tidak jelas, layaknya seekor binatang. Karena ia tinggal di desa kecil maka berita itu segera tersebar dan sampai di telinga bapak yang pernah kehilangan putrinya 18 tahun silam. Pertama melihat gadis itu sang bapak langsung mengenali bahwa itu adalah putrinya dari bekas luka diwajahnya. Ia beserta keluarganya begitu bersuka cita dan segera membawa putri tercintanya pulang ke rumah. Perempuan itu segera dibersihkan, dikasih pakaian, dan di beri makan yang enak-enak. Bahagia serta rasa haru tercipta di tengah-tengah keluarga.

Namun sayangnya kebahagiaan kedua orangtua bukanlah kebahagiaan sang anak. Ia merasa tidak nyaman dengan keadaannya yang baru. Ia menolak makan nasi selama sebulan dan terus-menerus meminta untuk kembali ke hutan. Kondisinya bahkan jauh lebih buruk dibanding dengan pada awal kali ia ditemukan. Ia jadi lebih sering berteriak-teriak dan memberontak. Perilakunya jadi semakin mirip dengan seekor kera. Ia sering melompat-lompat dan menghancurkan barang-barang di rumah. Jika ada kesempatan ia pasti melarikan diri kembali ke hutan. Sungguh realita yang menyedihkan. Putri ini sudah kehilangan identitas diri. Ia tidak lagi dapat menepatkan posisinya sebagaimana mestinya seorang manusia. Ia lupa bagaimana seharusnya bersikap sebagai seorang manusia.

Mungkin kita tergelitik mendengar kisah yang tidak umum seperti ini. Tapi tahukah bahwa ternyata ada begitu banyak manusia yang juga tidak lagi dapat menempatkan posisinya sebagai mana mestinya. Bahkan banyak di antara anak-anak Tuhan yang tidak lagi mengenali akan identitas dirinya sebagai manusia berdosa. Semuanya ini dapat terlihat dari sikap hidup dan pola pikir mereka. Namun bagaimana kita bisa mengenali identitas kita? Tentu saja untuk mengetahui semua ini kita harus kembali becermin kepada Firman Tuhan yang merupakan jalan kebenaran dan kehidupan.

Dalam perikop bacaan kita terdapat pesan mengenai bagaimana seharusnya manusia berpikir dan bersikap. Pesan ini disampaikan dalam kisah perumpamaan tentang seorang Farisi dan seorang pemungut cukai yang berdosa di bait Allah. Ada dua pesan yang begitu jelas yang hendak disampaikan:


1. Tuhan membenci keangkuhan

Keangkuhan atau kesombongan merupakan dosa yang paling berbahaya di muka bumi ini. Harus kita ingat bahwa kejatuhan manusia dimulai karena ada keinginan manusia yang ingin menjadi serupa dengan Allah. Inilah asal mula keberdosaan manusia: hati yang angkuh.

Keangkuhan ini tergambar pada orang Farisi yang diceritakan dalam perumpamaan ini. Dikatakan bahwa ia pergi ke bait Allah dan berdoa bersama seorang pemungut cukai. Orang Farisi ini berdiri di barisan paling depan (yang mungkin adalah tempat terhormat) dan kemudian berdoa, mungkin dengan kepala yang menengadah ke atas dan penuh keyakinan kemudian berkata “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama sekali seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini. Aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.”

Dimana letak keangkuhannya? Pertama, orang Farisi ini memandang orang lain lebih rendah dari pada dirinya. Dalam doanya jelas ia katakan bahwa ia tidak sama seperti orang lainnya, bukan perampok, bukan orang lalim, dsb. Atau dengan kata lain ia memandang dirinya jauh lebih terpandang dan lebih baik dari pada orang lain. Memang orang-orang Farisi merupakan tokoh agama yang cukup disegani dan dihormati. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di bait Allah dan banyak orang bergantung kepada mereka. Orang Farisi yang berdoa ini tentu merupakan salah satu orang yang terpandang dan terhormat. Namun status yang terpandang inilah yang menjeratnya untuk menjadi angkuh. Ia menganggap dirinya lebih tinggi dan lebih baik dari orang lain. Ia meletakkan posisinya di atas sesamanya manusia.

Manusia memang memiliki kecenderungan untuk sombong dengan menganggap diri lebih baik dari orang lain. Begitu mudahnya kita menilai seseorang dari status, harta, kegagahan, kemampuan, bahkan mungkin talenta-talenta kita. Jika kita merasa lebih memiliki daripada orang lain maka kita mulai merasa diri lebih baik. Parahnya seringkali kitapun terjebak dalam merendahkan orang lain. Padahal mungkin dalam satu hal memang ia memiliki kekurangan, namun di lain hal bisa saja ia memiliki sesuatu yang lebih dibandingkan diri kita.

Saya teringat kisah mengenai Susan Boyle (47) dalam Britain Got Talent. Ketika pertama naik panggung semua orang memandang rendah dia. Modelnya yang awut-awutan, gemuk, bicaranya agak terbata-bata, dan terkesan seperti nenek-nenek membuat orang mencibir dia. Sewaktu di tanya apa yang menjadi mimpinya ia menjawab “Aku ingin menjadi penyanyi terkenal” lalu ia menyebut seorang nama artis favoritnya. Lantas semua penonton mentertawakan dia dengan maksud memandang rendah. Juri-juripun tersenyum simpul menahan tertawanya. Beberapa penonton terlihat menggelengkan kepala seakan menganggap Susan adalah orang yang tidak tahu diri. Namun betapa terkejutnya mereka semua ketika Susan menyanyikan sebuah lagu. Suaranya begitu indah, tekniknya sempurna, power kuat, dan begitu merdu hingga mampu menyentuh setiap peserta yang mendengarkan. Semua penonton terkejut, dan juri-juripun menganga melihat keajaiban di depan matanya. Selesai menyanyikan lagu tersebut, semua penonton dan juri yang mentertawakannya semula berdiri dan memberikan standing aplause kepadanya. Penilaian mereka pun berubah. Setelah itu tidak ada lagi yang berani merendahkan dia.

Saudara, seringkali kita seperti para penonton tersebut. Betapa mudahnya kita menjudge seseorang berdasarkan apa yang tampak luar. Begitu mudahnya kita memandang rendah seseorang, dan entah dengan sadar atau tidak, kita mengangkat diri kita tinggi-tinggi. Ketika ini terjadi, disitulah keangkuhan tercipta.

Kedua, orang Farisi itu terlihat keangkuhannya ketika ia berfokus hanya kepada diri sendiri. Kalau kita perhatikan dari doanya ada 5 kali ia menyebut kata ‘aku.’ ‘Aku’ tersebut selalu menjadi subjek dari doanya. Aku bersyukur….. Aku bukan…. Aku tidak….Aku memberikan…. Aku berpuasa….Aku….Aku….dan Aku. Fokus doanya hanya terarah kepada dirinya sendiri. Ia pun membangga-banggakan dirinya. Ia menyebutkan bahwa Ia berpuasa dua kali seminggu (Ini merupakan prestasi yang mengagumkan, di mana tuntutan yang diberikan hukum Taurat kepada mereka semestinya cukup satu kali dalam setahun pada hari raya pendamaian besar). Bukan hanya itu, iapun mengatakan bahwa ia memberikan perpuluhan dari seluruh penghasilannya. Doanya jelas menunjukkan betapa bangga dan puasnya ia pada dirinya. Yang menjadi subjek dari doanya ialah dirinya dan bukan lagi Tuhan. Ia lupa bahwa hidup yang ia miliki dan kesempatan demi kesempatan yang terjadi dalam hidup ini hanyalah anugerah Tuhan semata. Yang menjadi fokus dari pujian dan kebanggaan itu seharusnya tidak lain seharusnya adalah Tuhan, dan bukan diri sendiri.

Inilah keangkuhan. Ketika hubungan sesama manusia yang seharusnya sejajar berubah menjadi atasan bawahan, dan ketika hubungan dengan Tuhan seharusnya atasan bawahan menjadi sejajar maka keangkuhan tercipta. Orang yang angkuh tidak lagi mengenal identitas dirinya dan tidak dapat memposisikan dirinya dengan tepat.

Tentu saja keangkuhan tidak berkenan dihadapan Tuhan. Diakhir cerita ini tampak jelas bahwa doa orang Farisi itu ditolak oleh Tuhan. Di bagian lain pernah terjadi ketika Raja Herodes menyombongkan diri dan menyamakan diri dengan Allah, ia langsung ditampar malaikat Tuhan seketika itu juga, dan tewaslah ia. Di PL, seorang raja Babel yang termasyur pernah mengalami penyakit aneh yang membuatnya menganggap diri sebagai seekor lembu. Penyakit ini juga merupakan hukuman Tuhan atas keangkuhannya. Hal ini menunjukkan betapa Tuhan membenci orang-orang yang angkuh.

Karena itu janganlah kita menjadi angkuh dan sombong. Dalam hubungan dengan sesama kita, jangan pernah kita memandang orang lain lebih rendah daripada diri kita. Jangan kita merendahkan, menghina, dan menilai orang hanya dari apa yang tampak luar. Ingat kita sama-sama berdosa di hadapan Tuhan. Dalam hubungan dengan Tuhan, jangan pernah kita mensejajarkan diri dengan Tuhan. Jangan menganggap diri hebat, seakan-akan segala keberhasilan (baik dalam pekerjaan, relasi, dan pelayanan) semuanya karena diri kita. Jangan sombong dan terus membanggakan diri. Ingat, semua yang kita miliki adalah anugerah dari Tuhan. Jangan sekali-kali kita menjadi angkuh.


2. Tuhan mengkehendaki kerendahan hati

Berbeda dengan orang Farisi itu, jauh berdiri dibelakangnya terdapat seorang pemungut cukai yang juga berdoa. Pemungut cukai merupakan orang-orang yang rendah di mata orang-orang Yahudi. Mereka dianggap pengkhianat karena mendukung program pemerintah yang tidak sesuai dengan hukum-hukum yang ditetapkan oleh orang Yahudi. Karena itu mereka dianggap sebagai orang-orang yang berdosa. Para pemungut cukai merupakan orang-orang yang tertolak. Ia dibenci rekan sebangsanya, dan hanya dianggap sebagai budak oleh orang-orang Romawi yang memerintahnya. Mungkin pemungut cukai dalam cerita ini juga merupakan salah satu orang yang merasakan sakit penolakan itu.

Namun hari itu ia datang kepada Tuhan di bait Allah. Ia berdiri jauh di belakang dengan kepala yang tertunduk. Ia malu untuk mengangkat kepalanya karena ia merasa tidak layak. Bahkan terus menerus ia memukuli dirinya sendiri sambil berkata “Tuhan, kasihanilah aku orang yang berdosa ini.” Ada satu kesadaran dari dalam diri pemungut cukai ini bahwa dirinya tidak layak. Ia sadar bahwa ia adalah manusia berdosa yang tidak pantas berdiri di hadapan Tuhan yang suci. Karena itu ia merendahkan dirinya sambil terus memukuli diri. Mungkin ia menangis saat itu. Ketidaklayakan itu juga yang membuatnya tidak berani membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Sama sekali ia tidak berani membanggakan dirinya. Hanya satu yang ia perlukan, yaitu belaskasihan dan kemurahan Tuhan. Karena itulah dalam doanya ia berseru “Kasihanilah aku ya Tuhan.”

Pemungut cukai ini tau akan posisinya dihadapan Tuhan dan sesama. Ia tau jelas akan identitasnya sebagai orang yang berdosa. Inilah yang namanya kerendahan hati. Orang yang rendah hati menyadari bahwa dirinya tidak layak, dan ia sadar se sadar-sadarnya bahwa ia adalah orang berdosa yang memerlukan belas kasihan dan kemurahan Tuhan. Ia tau bahwa dosa sudah menghancurkan dirinya, karena itu ia akan memilih untuk terus bersandar dan bergantung kepada Tuhan.

Memang ketika manusia jatuh dalam dosa, manusia mengalami kelumpuhan atau kecacatan total. Kita tidak dapat melakukan banyak hal dengan kekuatan kita sendiri. Hanya orang yang tidak cacatlah yang mampu menolong kita. Pasalnya siapakah orang yang tidak bercacat di dunia ini? Tidak ada. Hanya Yesus manusia sempurna yang sanggup menolong dan menyelamatkan kita.

Kehidupan ini sama seperti kisah Dick Hoyt dan anaknya Rick Hoyt. Sejak kecil Rick mengalami kecelakaan yang membuatnya cacat seumur hidup. Ia tidak bisa berjalan, tidak bisa berdiri (hanya bisa di kursi roda), dan tidak dapat berbicara. Orang tuanya menginginkan Rick memiliki kehidupan yang normal sama seperti anak-anak lainnya. Karena itu Rick dimasukkan ke sekolah orang cacat oleh Dick, dan ia belajar untuk menulis lewat alat khusus yang bisa membaca pikirannya. Pada usia 15 tahun ia mengatakan kepada ayahnya bahwa ia ingin mengikuti perlombaan five mile benefit run. Rick tentu saja tidak bisa berlari seorang diri. Dickpun bukan seorang pelari namun ia setuju untuk mendorong anaknya di kursi roda. Akhirnya mereka berlari bersama; Dick mendorong kursi itu, sedang Rick hanya duduk diam di atas kursi roda. Jarak sejauh 3770 mil mereka tempuh bersama, sampai akhirnya mereka bisa mencapai garis finish. Rick tidak mungkin bisa melewati semua rintangan itu tanpa ayahnya Dick. Bersama mereka berlari, dan dengan pertolongan ayahnya ada kekuatan yang luar biasa.

Demikian juga dengan kita. Jangan pernah berlari seorang diri. Kita adalah manusia berdosa yang membutuhkan pertolongan dan kemurahan Tuhan. itulah identitas kita. Garis akhir hidup ini hanya dapat kita capai ketika kita berjalan bersama Tuhan. Karena itu mari kita mencari dan bergantung kepada Tuhan.