Tuesday, January 15, 2019

HIDUP DALAM RITME ALLAH (Keluaran 15:22-27)



Ritme merupakan istilah di dunia musik yang memiliki pengertian: sebuah gerakan simetris dan horisontal yang teratur dalam sebuah lagu. Biasanya kita katakan ritme sebagai sebuah irama lagu. Ritme membentuk pola dalam sebuah lagu, ada pengulangan, gradasi, dan sebagainya.

Berbicara tentang ritme, beberapa bulan yang lalu telah di tayangkan sebuah kisah apik di layar lebar yang berjudul “Bohenmian Rhapsody”. Film ini mengisahkan perjalanan musisi legendaris bernama “queen”, yang dikenal oleh seluruh dunia. Salah satu lagunya yang paling terkenal yang saya kira kita semua tau, yaitu “We are the champion my friend, and we’ll keep on fighting to the end.” Lagu-lagunya begitu memukau, karena lahir dari pengalaman hidup, manis pahit kisah hidup mereka. Sesuatu yang lahir dari hati selalu memberi arti bukan?  

Nah, Salah satu lagu yang menurut saya paling spektakuler adalah lagu yang dijadikan judul dalam film ini: “Bohemian Rhapsody”.  Lagu ini pernah menduduki puncak  tangga tertinggi di Inggris selama 2 bulan lebih di jamannya. Tentu ada something special dalam lagu tersebut. Bisa dibilang lagu yang berdurasi 6 menit ini unik karena memiliki ritme yang tidak sama di setiap bagiannya. Alur lagunya tidak bisa diprediksi, dalam 1 lagu ada 3-4 genre musik di dalamnya, tidak ada pengulangan yang jelas, dan teknik musik yang berubah-berubah terjadi dalam satu lagu. Lagu ini tidak dapat tertebak sama sekali. Tapi justru segala keunikan itulah yang membuat lagu itu indah.

Demikian juga ketika kita menjalani kehidupan bersama dengan Tuhan. Sama halnya dengan sebuah lagu, ketika kita hidup dalam ritmenya Allah, Tuhan sudah merancang ritmenya bagi tiap pribadi-pribadi. Ritme setiap orang itu unik, dan tidak bisa tertebak. Tuhan kita kadang terlalu kreatif sehingga kita tidak bisa menemukan ritme / polanya. Sebagai manusia pada umumnya kita tentu berharap agar ritmenya jelas, kapan klimaks, kapan harus diulang, kapan dititik tinggi, kapan dititik rendah, sama seperti lagu pada umumnya. Kita suka dengan sendirinya menentukan masa depan kita. Dan kita suka masa depan yang bisa diprediksi. Tetapi pada kenyataannya, ketika kita berkata: Aku percaya kepada Tuhan, dan kita masuk dalam ritme yang Tuhan tetapkan dalam hidup kita, acapkali kita dibuat terheran-heran, bingung, tidak mengerti, dan bertanya-tanya mengapa harus melewati hidup yang seperti demikian?
****

Hal itu juga yang dialami oleh umat Israel. Perikop ini merupakan babak baru kehidupan umat Israel. Setelah ratusan tahun lamanya mereka diperbudak dengan paksa oleh bangsa Mesir, kini dengan tangan Tuhan yang hebat, dengan banyak sekali mujizat, mereka dibebaskan oleh Tuhan dalam kepemimpinan Musa. Setelah mereka melewati peristiwa spektakuler di mana Tuhan membelah laut teberau menjadi dua bagian, dan mereka selamat dari kejaran tentara Mesir, mereka bersukacita, sehingga Miriam memimpin umat untuk bernyanyi, bersorak memuji Tuhan. Saya membayangkan gemuruh pujian Israel yang begitu gempita meresponi apa yang Tuhan perbuat, dengan mujizat-mujizat yang ajaib, Israel dibebaskan dari perbudakan. Semua bersukacita, semua bergembira. Saya kira dalam bayangan mereka ialah: Kami memulai hidup baru, Hidup kami akan terus menanjak dan melambung tinggi sampai pada tanah Kanaan yang kaya susu madu. Kalau digrafikkan, mungkin grafiknya itu terlihat progres terus meningkat ke atas.

Tapi sayangnya, itu hanyalah ritme yang mereka harapkan. Tapi tidak demikian dengan ritme yang Tuhan atur bagi kehidupan Israel.  Tuhan sengaja membawa Israel di padang gurun berputar-putar 40 tahun lamanya, untuk melewati proses yang tidak dapat ditebak. Dan ternyata proses itu bukanlah proses yang nyaman.

Perikop yang kita baca barusan merupakan babak pertama permainan ritme Tuhan di padang gurun. Di ayat 22 disebutkan bahwa mereka berjalan dipadang gurun Syur selama 3 hari namun mereka tidak menemukan air. Jangankan menanjak, dilangkah pertama mereka sudah menemukan masalah dan kesusahan yang baru. Saya kira bukan hal yang gampang jika tidak ada air untuk diminum (kebutuhan pokok). Kebanyakan orang kalau ditanya, kalau disuruh puasa mending ga makan atau ga minum, umumnya kita akan memilih untuk tidak makan (sekaligus diet). Kalau tidak makan masih bisa ditahan-tahan rasa lapar itu. Tapi kalau gak minum, sengsaranya akibat kehausan itu rasanya luar biasa. Itu yang Israel alami, mereka kekeringan tiada air, dan itu bukan hal yang gampang untuk dihadapi. 

Memasuki ayat 23, dikatakan mereka menemui sebuah daerah bernama Mara. Kabar gembiranya: Disana ada air. Tapi kabar buruknya, air yang ada disana ternyata pahit, sehingga tidak bisa diminum. Itu sebabnya tempat itu dikatakan Mara. Kita mengingat kisah Naomi dalam kitab Rut, dimana ketika suami, dan kedua anak laki-lakinya meninggal, dan ia kembali pulang kekampung halamannya, orang banyak memanggil namanya, tetapi Naomi berkata: Jangan panggil aku Naomi, panggil saya Mara, sebab yang Mahakuasa telah melakukan banyak yang pahit kepadaku. Kata Mara bukan hanya dipakai untuk masalah air pahit, tapi juga kehidupan yang pahit. Itu juga yang Israel alami. Masa-masa pahit. Israel mendapati air pahit. Bangsa Israel seakan di PHP.

Itulah ritme nya Tuhan. Tidak dimengerti.  Terkadang saya berpikir: Mengapa Tuhan membawa Israel keluar dari penderitaan perbudakan, tapi memeberikan penderitaan baru yaitu tidak ada air. Kehausan, kekeringan, dan kehidupan yang pahit. Jika ada pepatah habis hujan terbitlah pelangi, tapi terkadang irama yang Tuhan berikan ialah: habis hujan, datang banjir, lalu longsor menimpa, dan pelanginya ketutupan kabut tebal. Kalau kita melihat perikop-perikop setelah itu, kita tahu masih banyak peristiwa kesusahan lain yang menguji kesabaran Israel. Kita tidak dapat mengerti mengapa Tuhan mengijinkan semua hal itu terjadi. Tapi itulah bagian kehidupan. Itulah ritme Tuhan yang tidak pernah disangka.

Saya mengenal seorang teman. Orangnya itu sabar banget, susah marah, dan suka nolongin orang. Dia adik tingkat saya waktu di seminari S1. Kita cukup dekat, dan cukup akrab. Saya pernah kekampung halamannya, main kerumahnya, nginap dan ngobrol panjang lebar. Ia sering menceritakan tentang rencana kedepannya. IA ingin pelayanan di gereja, menikah setelah praktek, ambil s 2, dia ingin membangun pelayanan A, B, C, D. Dan ia menyerahkan semua rencana itu kepada Tuhan. Tapi ketika saya praktek satu tahun di Makassar, saya terkejut mendegar ia terkena sakit yang ganas, yaitu sakit kanker darah. Berawal dari sering sakit (baru sembuh, 1 minggu kemudian sakit kembali, dan siklus tersebut terjadi berulang). Ia harus dikemo secara rutin, tambah hari rambutnya semakin tipis, dan ia semakin kurus. Ketika saya lihat fotonya saya sedih sekali. Ia kehilangan harapannya untuk pelayanan. Ia berhenti kuliah. Rencananya semua seakan gagal. Ia berada dititik terendah. Dan yang pasti, tidak ada yang menyangka bahwa hal itu akan terjadi dalam kehidupannya.

Inilah kehidupan. Akan ada dalam masa hidup kita, Tuhan mengijinkan kita mengalami masa-masa “kering” yang menyusahkan hidup kita, dan juga peristiwa-peristiwa pahit yang menguras air mata, dan membawa kita di titik yang tidak kita inginkan. Itu adalah bagian kehidupan yang acapkali diijinkan Tuhan menjadi ritme hidup kita, yang kita tidak tahu kenapa semua ini terjadi. Terkadang Tuhan mengijinkan kita berada di titik terendah kita. Terkadang Tuhan mengijinkan ada begitu banyak masalah yang datang menimpa. Masalah datang seperti sms promosi, bertubi-tubi datang tanpa diundang. Terkadang bahkan kita bisa kembali dibawa ke titik 0 kehidupan ini, dan kita dibuat merasa seakan apa yang terjadi selama ini sia-sia belaka. Akan datang masa-masa demikian dalam hidup kita. Meskipun kita sudah mengatur ritme hidup kita, menjaga kerohanian kita dengan baik, menyirami spiritualitas kita dengan benar, kita tidak dapat menjamin terluput dari keadaan kering dan perasaan pahit tersebut.

                                                                      ****
Kesalahan umat Israel dalam menghidupi ritme yang Allah tetapkan adalah terdapat dalam respon yang diberikan. Di ayat 24 dikatakan: Lalu bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa. Ya, bersungut-sungut, itu respon umat Israel menghadapi kesusahan yang terjadi. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, sangat wajar kalau kalimat keluhan dikeluarkan oleh orang Israel. Wajar sekali kalau mereka kuatir dan gelisah, karena air merupakan kebutuhan hidup yang sangat mendasar (menurut piramida Abraham Maslow, air termasuk kebutuhan fisiologi yang paling mendasar). Coba bayangkan 3 hari dikampus ini keran air mati, air galon isi ulang tidak ada. Pasti akan ada yang lapor kebidang-bidang tertentu untuk segera diperbaiki. Waktu dikos saya air mati setengah hari saja, saya sudah komplain: gak bisa mandi, mau ada acara, mau buang air bagaimana. Dan Israel mengalami hal yang lebih parah di mana 3 hari tidak ada air buat diminum. Bagaimana dengan anak-anak yang masih kecil,bagaimana dengan orang tua yang sudah sakit, apakah mereka bisa bertahan tanpa air? Sangat wajar jika mereka mengeluh.

Tapi mengeluh itu menjadi wajar ketika respon setelah itu dilakukan dengan tepat, misal kita memohon pertolongan dan belas kasihan Tuhan terhadap kesusahan yang kita alami. Yang tidak wajar ialah ketika keluhan itu menjadi sungut-sungut. Bersungut-sungut itu merupakan reaksi ketidakpuasan atas perlakuan orang, atau situasi, atau sesuatu hal yang terjadi (tidak seperti yang diharapkan). Israel bersungut-sungut itu karena tidak puas dengan siapa? Apakah dengan keadaan atau lingkungan tempat tinggal? Apakah dengan diri sendiri? Tidak! Sungut-sungut Israel itu meski ditujukan kepada Musa, tetapi dalam hati mereka, mereka sebenarnya ingin menyatakan ketidakpuasan dengan ritme yang Tuhan sudah atur. Mereka protes kepada Tuhan.
Inilah letak kegagalan Israel. Mereka ingin menentukan ritme yang Tuhan atur seperti yang mereka harapkan. Tidak ada kesusahan sama sekali, dan terus menanjak, hidup bahagia, sampai diujung tujuan mereka, yaitu memasuki tanah Kanaan. Sehingga ketika Tuhan merancang ritme yang tidak mereka sangka, yaitu melewati kesusahan, kekeringan, dan situasi yang memahitkan, mereka bersungut-sungut. Mereka menjadi lupa bahwa Tuhan itu berkuasa melakukan apapun juga. Tidak cukupkah mereka melihat Tuhan mengubah air menjadi darah? Tidak cukupkah mereka melihat keajaiban tulah-tulah yang sangat tidak masuk akal didepan mata mereka? Dan tidak cukupkah mereka melihat laut teberau terbelah dua didepan mata mereka? Bukankah itu semua sangat ajaib? Soal air, apa susahnya kalau Israel lebih fokus memilih memohon kepada Tuhan, dibanding sungu-sungut? Bukankah Tuhan yang mampu membelah lautan menjadi dua itu juga mampu memberikan seteguk air kepada Israel? Tapi mereka bersungut-sungut menunjukkan keegoisan mereka. Mereka memilih fokus terhadap apa yang mereka tidak punya, dibanding apa yang sudah mereka dapatkan. Bukankah mereka sudah mendapatkan kebebasan dari perbudakan? Bukankah mereka sudah mendapatkan kemerdekaan, dan mereka menjadi umat specialnya Tuhan? Tapi mata mereka tidak mau memandang semua itu, mereka Cuma berfokus terhadap apa yang tidak mereka punya, yaitu air minum.
Bisa dikatakan bersungut-sungut ini adalah dosa yang paling sering dilakukan oleh orang Israel kepada Tuhan selama dipadang gurun. Setelah perikop ini, stu pasal setelah itu mereka kembali bersungut-sungut karena tidak ada makanan. Di kasih Manna, mereka kembali bersungut-sungut karena pengen makan daging. Mereka bersungut-sungut di Meriba dan banyak lagi.
Saya kira kita harus serius terhadap dosa sungut-sungut ini. Karena sungut-sungut itu sebenarnya menunjukkan bahwa kita sedang tidak percaya dengan apa yang Tuhan rencanakan bagi hidup kita. Kita mencobai Tuhan. Bahkan Tuhan berkali-kali murka, bahkan ingin memusnahkan Israel karena sungut-sungutnya. Jika kesalahan itu membuat Tuhan murka, tentunya ini merupakan sikap yang sangat tidak diinginkan oleh Tuhan. Sebab itu sebagai umat Tuhan, kita harus perhatikan baik-baik hidup kita.
Filipi 2:14-15 "Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia,"

Terkadang mungkin sungut-sungut itu tidak keluar dari mulut kita, tapi itu terlihat dari sikap kita. Kita jadi apatis terhadap segala hal rohani, kita jadi mengurangi semangat pelayanan kita, kita jadi meremehkan pelayanan, dan sebagainya. Ada banyak manifestasi lain yang acapkali timbul di luar kata-kata sungut-sungut. Engkau yang tau apa yang ada dalam hatimu. Kiranya kita tidak melakukan kesalahan yang sama dengan umat Israel.

Sebaliknya mari kita belajar menikmati setiap ritme yang Allah tentukan dalam hidup kita. Di bagian selanjutnya Tuhan kembali menunjukkan kuasa-Nya. Ia menyuruh Musa melemparkan sepotong kayu kecil kedalam air, lalu air itu berubah menjadi manis. Saya kira di bagian ini Tuhan ingin menunjukkan kepada Israel bahwa kesusahan Israel itu perkara kecil bagi Tuhan. Tuhan bisa melakukan segala cara untuk menolong Israel. Air pahit, buat sepotong kayu menjadi manis. Kelaparan, dikirim roti manna. Pengen makan daging, burung-burung dijatuhkan dipadang gurun. Begitu mudahnya Tuhan memakai hal-hal kecil untuk menolong Israel. Seharusnya ketika masalah datang, Israel bukannya bersungut-sungut, tetapi tetap percaya dan taat, dan kemudian memohon pertolongan Tuhan dengan segala kerendahan hati.

Dan di akhir perikop ini dikatakan (ay 27): Sesudah itu sampailah mereka di Elim, di sana ada 12 mata air dan 70 pohon korma, lalu berkemahlah mereka di tepi air itu. Elim ini berarti kelimpahan air. Di sini Tuhan menunjukkan kepada umat Israel bahwa kesusahan hidup itu tidak selamanya. Ada bagian dimana Tuhan membawa hidupmu berada dalam kelimpahan. Itulah ritme yang Tuhan sediakan bagi kita. Naik, turun, lurus, berbelok, rata, berbatu-batu, bangkit, gagal, kering, basah, dan sebagainya. Yang mana yang lebih banyak, dan bagaimana polanya, kita tidak tau. Bagian kita, tetap percaya dan tetap taat.

Bagaimana dengan teman saya yang terkena kanker tadi? Di tempat praktek saya sedih mendengar keadaanya. Saya tidak bisa berbuat banyak selain berdoa. Saya melihat kabarnya semakin hari semakin krisis. Dalam satu kesempatan saya sempat chat kedia. Saya bertanya: Paul, apakah kamu kecewa dengan hidupmu? Apakah kamu marah sama Tuhan?  Dia membalas 1 jawaban yang singkat padat, tapi tidak pernah kulupakan sampai hari ini. IA Cuma menjawab: Fong, Tuhan itu baik. Dan tidak beberapa lama dari kita berbincang via chat, dia dipanggil Tuhan, dan ia istirahat dengan tenang.

Saya kira kitapun harus belajar memiliki hati demikian. Ritme apapun yang Tuhan siapkan dalam perjalanan hidup kita, tetaplah percaya dan berserah.  Tetaplah yakin, bahwa Tuhan merancan sesuatu kebaikan bahkan melalui apa yang kita pandang buruk. Hiduplah dalam ritmen Tuhan, dengan ketaatan- dan iman, maka kita akan melihat betapa hidup kita seperti sebuah lagu yang indah. Meski tidak tertebak, meski banyak nada minor yang dimainkan, tapi semuanya membentu karya seni Allah yang luar biasa.



Monday, January 07, 2019

Aku Harus Berubah







Kita sering mendengar orang berkata demikian “Kamu sekarang udah berubah, udah tidak seperti dulu.”…. Perkataan ini biasanya memiliki konotasi yang agak negatif, di mana ia (orang yang mengatakan), dengan perasaan kecewa menyayangkan perubahan orang yang bersangkutan. Mungkin perubahan itu membuat hubungan mereka menjadi tidak dekat lagi. Namun ketika saya memikirkan lagi perkataan itu, hmmm, saya mulai bertanya: “bukankah setiap kita memang harus berubah? Mengapa kita harus sama seperti dulu?” Kalau kita tidak berubah itu berarti kita berada dalam stagnansi hidup, atau kita tidak bertumbuh. Bayangkan aja kalau dari usia 10 tahun tinggi kita tidak berubah, berat kita tidak berubah, pikiran kita tidak berubah (masih childish), dan karakter kita tidak berubah, bukankah itu malah menunjukkan bahwa something wrong with you?  Justru sebagai manusia yang hidup dan benar-benar hidup, kita harus mengalami perubahan demi perubahan.
Tapi tidak semua perubahan itu baik. Ada kalanya perubahan yang terjadi malah mengantar hidup kita kepada titik yang lebih buruk dari sebelumnya. Tentu saja bukan perubahan seperti itu yang kita inginkan. Nah, menjelang tahun 2019, tentu kita harus berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.  Dan inilah beberapa tips untuk mengalami perubahan yang lebih baik itu.

1, Jangan takut berubah
Pertama-tama, jangan pernah takut untuk berubah. Seperti yang sudah dikatakan di atas, perubahan itu sesuatu yang pasti. Justru ada yang salah jika kamu tidak mengalami perubahan.  Perubahan tentu membutuhkan pengorbanan. Kadang kita harus keluar dari zona nyaman kita, kadang kita harus terluka demi perubahan, kadang kita harus berpisah dengan mereka yang kita kasihi, demi sebuah perubahan, dan sebagainya. Mungkin ada banyak air mata dan sayatan luka yang tertoreh karena kita ingin berubah. Ini semua membuat kita enggan untuk berubah. Tapi jangan takut akan hal itu, jika semua itu mengantar hidupmu menjadi lebih baik dan lebih berarti, mengapa tidak berani berubah? Sama seperti pepatah: bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian.

2, Jangan berubah hanya untuk ikut-ikutan
Kita berubah bukan untuk ikut-ikutan. Semua orang begini, saya begini. Semua orang melakukan itu, saya juga melakukan itu.  Semua orang memakai smartphone terkini, saya juga harus memakainy. Tidak! Jangan berubah hanya karena ingin ikut-ikutan. Biasakan diri untuk menganalisa, apakah pilihan saya untuk berubah itu membuat diri saya menjadi semakin baik? Atau jangan-jangan malah membuat saya menjadi pribadi yang semakin buruk. Jika perubahan itu membuat dirimu semakin buruk, tinggalkan itu, dan cobalah langkah perubahan yang lain. Jangan berubah hanya karena latah akan perkembangan jaman, karena tidak semua perubahan yang kita lakukan itu membawa hidup kita menjadi lebih baik. Biasakanlah bertanya kepada diri: apa tujuannya saya mengubah diri saya demikian? Apakah ada faedahnya?

3, Berubahlah untuk sebuah kemajuan
Inilah alasan yang tepat tentang perubahan kita. Berubahlah demi kemajuan dirimu.  Hal ini seharusnya menjadi tujuan utama dalam perubahan kita. Berubahlah agar engkau memiliki karakter yang lebih baik, engkau mengalami kedewasaan yang lebih baik, dan engkau menjadi pribadi yang lebih baik.  Kalau yang dulu masih suka membenci, tahun depan harus lebih mengasihi. Kalau yang dulu terlalu suka bermain dan kurang disiplin, tahun depan harus menjadi lebih disiplin. Kalau yang dulu masih suka marah, tahun depan harus lebih sabar. Kalau yang dulu saya suka berpikir sempit, tahun depan harus berpikir lebih terbuka. Kalau tahun lalu saya melakukan rutinitas ini, tahun depan saya mau mengganti beberapa rutinitas saya demi hidup yang lebih baik; dan sebagainya. Itulah perubahan. Kita berubah demi sebuah kemajuan dalam diri kita, usaha kita, keluarga kita, dan seluruh kehidupan kita.

So,….. Sudah siap berubah di tahun 2019 sobat? Siap menjadi pribadi yang lebih baik? Siap melewati hidup yang berbeda?  Mari berubah.

Wednesday, November 14, 2018

FIND THE CORE (Matius 10:28-42)





Dalam kehidupan ini di mana kita dituntut  memiliki banyak skill dan kemampuan, saya kira satu skill yang harus dimiliki oleh kita adalah: Belajar Menemukan dan Fokus kepada perihal inti. Entah memahami inti dari sebuah pembahasan, atau menemukan inti dari sebuah permasalahan.  Jika kita punya skill demikian, maka kita juga dapat memberikan solusi yang tepat dan akurat. Jika kita menemukan hal tersebut, maka kita dapat melangkah lebih maju ke depan dengan arah yang tepat.

Misalkan, dalam sebuah tim basket.  Suatu saat anak kelas 3 smu lawan kelas 1 smu.  Kelas 3 ini anak tim semua, kelas 1 belum tim.  Skillnya kelas 3 menang semua, kelas 1 bodynya lebih kecil2.  Tapi kemudian pas main, eh anak kelas 3 kalah.  Mulailah mereka mencari permasalahan:  inineh, si aceng, banyak sekali ngomong pas main.  Terus ada yang bilang ini neh, si amoi, kalau main driblenya kebanyakan gaya , kita jadi kalah kan.  Ada juga yang bilang: inineh, si acong, pas tanding dia malah main mobile legend ( padahal si acong itu penonton).  Lah, kok aneh.  Nah, pada saat inilah tim harus tau permasalahan intinya apa.  Masa sih karena banyak ngomong?  Masa sih karena banyak dribel?  Atau ada masalah intinya: Kurang kompak, masing-masing ga tau posisi temannya dimana.   Intinya padahal kekompakan, tetapi jika mereka salah menemukan inti, maka mereka akan tetap berada dalam kekalahan.

Penting sekali bagi kita belajar menemukan inti dari permasalahan. Ini adalah sebuah skill yang sangat berharga. Di beberpa negara besar, tukang service kalau datang, misal perbaiki kulkas, mereka datang akan mengamat-ngamati dahulu.  Mereka mengamati salahnya dimana, masalah utamanya apa..  Jika mereka berhasil menemukan masalah penyebab kerusakan,  pemilik kulkas harus memberikan bayaran.  Karena kemampuan menemukan inti masalah itu sesuatu hal yang berharga untuk dimiliki.

Selain itu belajar menentukan inti, membuat hidup kita atau sebuah tim menjadi lebih berdampak dan memberkati.  Gagal menemukan inti hanya akan menghambat kemajuan.

Cont:  Suatu saat di sebuah rapat di sebuah gereja besar di Indonesia, direncanakanlah sebuah acara penting.  Acara reuni akbar sekolah yang ada digereja itu itu, sekaligus ultah gereja yang ke 80, tujuan utamanya adalah untuk menggalang dana untuk pembangunan gereja.. Ini acara yang penting. Semua hal harus dipikirkan. Waktunya kapan, bentuk acaranya bagaimana, mau undang pengkhotbah siapa, transportasi bagaimana, parkiran bagaimana, dsb. Sampai pembahasan di makan apa, tiba-tiba terjadi perdebatan.  Ada yang usul indomie kekinian, yang pakai keju, pakai sambel matah, pakai ceker, pakai wagyu dsb.  Tapi ada yang gak setuju, “indomie kemurahan, malu sama tamua. Jadi saya usul ayam geprek saja (what, perasaan sama aja harganya).”  Terus ada yang usul es kepal dsb.  Akhirnya bahas makanan sampai 3 jam, tapi acaranya ga di bahas bahas.   Bahas makanan perlu?  Perlu, tapi rapat itu intinya utamanya bukan bahas makanan.  Salah fokus.  Mereka lepas dari inti rapat itu.  

Nah, Bagaimana dengan anak Tuhan atau para pengikut Kristus saat ini.  Pada kenyataannya banyak anak Tuhan yang juga gagal menemukan inti mengapa mereka mengikut Tuhan.  Banyak anak Tuhan yang gagal fokus pada apa yang terpenting dari menjadi seorang Kristen.  Banyak anak Tuhan yang salah fokus mengapa ia melayani.  Jadi mungkin apa yang dilakukan tidak salah, tapi apakah sungguh hal itu yang Tuhan inginkan?  Apa sungguh hal itu yang Tuhan mau?

Seringkali kebingungan itu terjadi karena tidak sungguh-sungguh memahami makna dan perbedaan tentang apa itu spiritualitas dan apa itu aktivitas.  Apa itu spiritualitas: spiritualitas adalah perihal yang berbicara tentang keadaan rohani kita, dimana hati kita melekat kepada Pencipta, sehingga kita memahami maksud dan karya Tuhan dalam hidup kita maupun dalam dunia ini.  Spiritualitas menekankan tentang kedekatan atau relasi yang dari sumber kita, yaitu hati dan jiwa kita deket dengan hatinya Tuhan.  Sementara apa itu aktivitas rohani?  Aktifitas rohani itu adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan agama.  Jadi kalau aktivitas orang kristen ialah, kegiatan kegiatan yang disediakan di gereja yang berbau rohani.  Itu aktivitas rohani.
Jadi perbedaan mendasar antara spiritualitas dan aktivitas rohani ialah:
-          Aktifitas rohani itu bicara tentang aksi atau kegiatan, spiritualitas berbicara tentang hati
-          Aktifitas itu sesuatu yang diluar diri orang kristen, sementara spiritualitas itu sesuatu didalam diri orang kristen.  Kalau diumpamakan seperti kacang, aktifitas itu kulitnya, spiritualitas itu isi kacangnya.
-          Aktifitas rohani sifattnya bisa personal bisa komunal (bersama-sama).  Spiritualitas lebih banyak bicara tentang personal.

Nah, dalam Firman Tuhan berkali kali ditekankan bahwa yang Tuhan inginkan itu spiritualitas kita, bukan aktivitas. Tuhan pernah marah kepada orang Israel karena mereka memberikan persembahan kurban (aktivitas rohani,) Tapi hati mereka tidak sungguh-sungguh memberikan persembahan itu untuk Tuhan.  Tuhan juga pernah menegur umat israel karena mereka memuji Tuhan hanya dengan mulut, tapi hati mereka jauh dari Tuhan.  Dan banyak lagi.

Nah salah satu contoh yang begitu jelas tentang pentingnya spiritualitas terdapat dalam perikop yang baru kita baca, kisah tentang marta dan maria.  Kita tau cerita ini kan.  Suatu ketika Yesus sedang jalan-jalan dengan muridnya mampir kesebuah kampung.  Disana ia berjumpa dengan sahabatnya, marta dan maria.  Tentu saja kehadiran Yesus dikampung itu bikin heboh.  Saat itu Yesus sudah begitu terkenal.  Ia pelayanan keliling kota, menyembuhkan orang sakit.  Ia mengajar dengan hikmat sampai semua orang terkagum-kagum.  Saya bayangkan kalau misal Pak Jokowi hadir di perumahan kita atau di blok kita, pasti blok kita jadi ramee banget.  Karena banyak orang mau liat, mau dengar, mau tau apa yang pak Jokowi bilang dan lakukan.   Nah, jadi dapat dipastikan pada saat itu ada banyak sekali tamu yang mampir liat-liat kerumah marta maria.  Minimal petinggi-petinggi kampungnya datang.  Ketua rt, rw, camat lurah dsb.  Pasti mereka datang karena penasaran dan pengen berjumpa dengan Yesus.

Nah, sebagai tuan rumah yang baik tentu saja marta bergegas mempersiapkan pelayanan terbaik.  Ini saatnya berjumpa dengan orang-orang besar dirumahnya.  Karena itu Alkitab mencatat bahwa marta sibuk melayani.  Mungkin dia membuatkan makanan-makanan ringan, dia membuatkan minuman terbaik, ia menyiapkan basuh kaki untuk tamu-tamu, ia merapikan semua barang, sandal-sandal dirapikan.  Dsb.  Ia sibuk sekali.  Sementara maria, apa yang maria lakukan?  Dia duduk-duduk dekat Yesus, dengar-dengar apa yang Yesus bilang.  Wajar saja kemudian Marta ngomel dan ngadu ke Yesus dan berkata:  guru, liatlah, tamu banyak, tapi masa kau biarkan maria diam-diam disana.  Tegur dong guru.  (gambarannya, kepanitiaan di tim dekor ada 5 orang, 4 orang cape kerja, 1 orang dengar2 spotify pakai earphone.  Pasti ada yang ngomel, atau ngadu kepembina, suruh kerja, masa dia santai santai).  Jadi wajar sekali kalau marta ngomel dan ngadu ke Yesus. Harapannya, Yesus tegur maria didepan umum, biar dia malu dan kapok.  Kalau marta yang tegur mungkin bosen. Berbusa-busa ga didengerin

Tapi yang menarik adalah bagaimana respon Yesus setelah mendengar keluhan marta.  Bukannya menegur maria seperti yang diharapkan sama Marta, Yesus malah mengatakan “marta, marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu:  mari telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya.”  Loh maksudnya apa?  Bukannya marta sudah melakukan yang terbaik?  Tanpa marta, mungkin pertemuan hari itu akan berjalan dengan tidak baik bukan?   But why.  Mengapa Yesus menegur marta dan bukan maria?   Kalau ngikuti jaman now, yang lagi rame-ramenya: “Seberapa gereget anda”.  Marta mau bilang:  saya yang capek-capek kerja, ehh maria yang dipuji.
Mengapa? Saya kira jawabannya karena Yesus melihat Marta telah salah dan gagal dalam menentukan mana yang penting.  Marta gagal find the core. Marta salah dalam memikirkan apa yang Tuhan mau.   Marta kira Tuhan Yesus pengen kalau dia datang disambut baik-baik, bak bangsawan, diperlakukan dengan baik, dilayani dan sebagainya. Itu penting, tapi bukan itu yang Tuhan Yesus mau.  Saya membayangkan bahwa Yesus pada saat itu merasa heran dengan marta.  Marta berpikir dia sudah memberikan yang terbaik, tapi bagi Yesus bukan itu yang Dia mau.  Yesus jauh-jauh datang ketempat marta dan maria untuk apa?  Buat apa Yesus jauh-jauh kerumah mereka?  Buat dilayani saja?  Kayaknya, kalau pengen dilayani ya mending kepenginapan yang terkenal pada saat itu.  Mungkin pelayanannya jauh lebih memuaskan daripada pelayanan marta.  Tapi saya kira Yesus mau kerumah marta dan maria karena mereka udah kayak sahabat bagi Yesus (ingat Yesus menangis ketika marta dan maria menangis).  Yesus ingin relasinya, Yesus ingin kebersamaannya.  Yesus ingin waktu nya. 
Itu sebabnya Maria yang tidak bikin apa-apa, yang diam-diam, tapi malah mendapat pujian dari Yesus.  Mengapa bisa?  Karena dibalik sikap diamnya maria, Yesus tau,  maria itu pengen deket dengan Tuhan, Maria itu pengen dengar apa yang Yesus katakan, Maria ingin memiliki relasi yang dekat dengan Yesus.  Dan hal itu justru yang Yesus inginkan.  Tuhan tidak hanya ingin anaknya beraktivitas untuk dia, tetapi lebih dari itu, Tuhan ingin kedekatannya.  Apa yang dilakukan marta itu bagik, sangat baik, tapi bukan itu yang terutama.  Yang dilakukan maria itu jauh lebih baik.

Dari sini kita bisa melihat bahwa betapa Tuhan itu menginginkan spiritualitas, bukan sekedar aktivitas. Spiritual itu inti, aktifitas itu dampak dari spiritualitas. Tuhan ingin kita menjalin relasi dengan Dia.  Memaknai setiap Firman Tuhan sampai masuk dihati.  Memaknai setiap pengalaman dalam hidup sebagai bagian dalam rencana Tuhan dalam memakai kita.  Bagaimana kita membentuk spiritualitas yang kuat, itu yang tuhan mau.  Bukan sekedar pelayanan yang bersifat aktivitas.  Sebab apa artinya pelayanan atau aktivitas tanpa spiritualitas?
Analoginya Itu sama seperti kalau kita punya pacar, tapi pacar nya kita itu pacaran sama kita ya, karena malu lah, masa usia begini gua ga punya pacar.  Ya udah kita pacaran aja. Selama pacaran dia tetap perhatian belikan makanan, antarin kemana, temanin ke futsal, telponan, chat, tapi kalau ditanya:  kamu cinta ga?  Gak terlalu sih.  Loh, kok pacaran kalau gitu. Katanya: Ya jalani aja, supaya status gua ga single, supaya kalau kemana mana ada gandengan.?  Mau ga dapat pacar gitu?  Kasi kegiatannya, berlaku persis sebagai pacar kamu, tapi hatinya ga sungguh sayang sama kamu.   (udah gpp, daripada ga ada gua ga nikah-nikah, biar deh.)  Yah itu mah kebelet.  Tapi secara jujur kita tidak mau bukan hal demikian?  Begitu juga Tuhan dengan kita, segala  kegiatan pelayanan kita jika tidak disertai dengan spiritualitas yang deket dengan Tuhan, maka itu semua sia-sia.

Dari hal ini kita bisa menarik beberapa point:
1. Aktivitas pelayanan tanpa spiritual yang benar itu sia-sia
Jangan sibuk cari pelayanan ini dan itu.  Tapi kita malah tidak memusingkan kerohanian kita, saat teduh kita, hidup doa kita.   Jangan!  Karena pelayanan kita tidak ada artinya dimata Tuhan jika, kita tidak punya spiritualitas yang baik dihadapan Tuhan.  Semua itu tampak kosong.  Tidak ada artinya.  Sebab itu jangan bangun pelayanan sebelum kita mebangun hati yang benar.  Rakit dulu hatimu sebelum engkau merakit kegiatan pelayananmu.
Sewaktu saya bergereja di makassar, saya membimbing banyak pemuda pemudi.  Suatu saat kami mengadakan acara Hut komisi pemuda.   Dihadiri oleh lebih 170 orang.  Wah panitia semangat sekali mengerjakan.  Mereka ingin memberi yang terbaik.  Salah satu yang terbaik yang mereka ingin siapkan adalah dari segi konsumsi.   Mereka mau buat mini bazar, jadi banyak stand dan tersedia banyak makanan, kayak es kepal, nasigoreng gila, coklat dsb.  Sangking sibuknya, sampai hari H hut berlangsung, panitia masi sibuk mendesign booth booth yang belum selesai.  Ibadah mulai, mereka masi sibuk urus itu, bahkan saat Firman, mereka masi sibuk mengurusi booth.  Saya langsung turun dan berkata kepada mereka:  Semua kegiatan harus dihentikan, lebih baik ga ada konsum, daripada kalian panitia malah ga dengar Firman.
Seringkali demikian ya, kalau ada acara-acara besar digereja, eh malah pelayanannya yang sibuk dibelakang, malah ga ikut ibadahnya ga dengar Firman dsb.  Buat apa?  Buat apa kita pleyanan kalau spiritual kita sendiri.  Kepada pemuda saya dimksar sya ingatkan lagi, kalau ada acara, semua persiapan harus selesai sebelum acara.  Kalau sudah firman semua harus duduk tenang, dengarkan.  Bangun spiritualitasmu melalui Firman.  Sebab segala aktivitas rohani kita tanpa spiritualitas, tanpa ada hati didalamnya, itu sama saja dengan kosong. Jadi bagaimana kita melayani?

2. Pelayanan itu harus lahir dari spiritual yang terbangun
Jadi pelayanan yang benar itu harusnya lahir dari  spiritualitas yang benar.  Kita melayani karena kita mengasihi Tuhan.  Kita melayani, karena kita tau bahwa itu menyukakan Tuhan kita.   Kita melayani, karena ini untuk Tuhan, bukan untuk kita. Kita melayani karena ini bagian untuk lebih mengenal Tuhan.  Saya kegereja karena saya pengen lebih mengerti kehendak Tuhan dan sebagainya. Jadi pelayanan itu terjadi karena ada hati terlebih dahulu untuk Tuhan.  Jadi aktivitas rohani mu didasari dengan spiritualitas mu yang deket sama Tuhan. Saya men
Analoginya seprti jika kita mengasihi seseorang.  Entah kita mengasihi pasangan kita, atau kita mengasihi anak kita, atau mengasihi sahabat kita. Pernah gak kita begitu mengasihi seseorang?  Kalian sayang sama pacar kalian?  Kalau orang bener-bener menyayangi seseorang, pernah ga rasa, kita berkorban apapun jadi enteng rasanya.   Dia sakit kita mau korbanin waktu kita untuk jaga dia.  Dia butuh sesuatu, kita rela keluarkan uang kita demi dia.  Kita rela kasi waktu kita ke dia.  Kita rela sakit agar dia ga sakit, dan sebagainya.  Mengapa bisa terjadi?  Karena ada hati terlebih dahulu, akibatnya semua yang kita lakukan kepadanya menjadi begitu indah karena berasal dari hati.
Demikian juga dengan aktifitas gereja kita semestinya.  Segala aktivitas rohani kita, harus kita dasari spiritual yang kuat.  Karena kita ingin menyenangkan Tuhan.  Karena kita mengasihi dia.  Karena kita bersyukur Tuhan baik sama kita.  Karena itu kita mau melayani.  Saya mau main musik, karena saya mau memuji Tuhan.  Hati saya bersyukur karena kebaikannya.  Saya mau jadi pengurus, karena saya mau memberkati jemaat gereja ini, sebagaimana tuhan sudah memberkati saya limpah.  Kira kira seperti demikian.
Spiritualitas yang baik itu dan yang benar, dia akan mendorong kita untuk melakukan aktivitas rohani.   Tidak cukup doa pribadi saat teduh pribadi, tapi kalau ditawari pelayanan tidak mau, nah itu berarti spiritualitasnya kurang cocok.

3. Lebih baik spiritual kita baik daripada sekedar pelayanan kita yang baik.
Mengapa bisa?  Kalau spiritual kita baik, pelayanan kita jauh akan memberkati.  Karena Tuhan itu berkenan dengan pelayanan yang sungguh dari hati dan relasi dekat dengan dia.  Sebaliknya kalau aktivitas pelayanan baik, tanpa spiritual yang dipersiapkan dengan baik, maka pelayanan itu tidak akan terlalu berdampak.
Di Makassar saya mengambil pelayanan panggung.  Beberapa teman-teman yang pelayanan panggung sering merasa begini:  Adakalanya toh, spiritualitas kita lagi ga baik.  Hubungan sama Tuhan lagi kering.  Dan kehidupan doa lagi ga intim.  Tapi kita pelayananan.  Semua berjalan dengan baik.  Tapi dibawah, temen-temen yang dibawah dia bisa ngerasain, hari ini worshipnya kosong.  Kayak something kurang persiapan.    Sebaliknya ketika kita rasa dekat sama Tuhan, hubungan spiritualitas lagi baik.  Waktu pelayanan, ada salah salah dikit, salah lirik, musiknya salah dikit.  Tapi pas turun, eh, ada yang bilang:  terimakasih, pelayananmu hari ini memberkati sekali.  Bukan cuma saya yang mengalami hal demikian, namun banyak yang merasakan hal yang sama.  Karena itu bangun dulu kualitas kerohaniamu, sebelum kamu membangun profesionalitas pelayananmu. 
Rata-rata digereja umumnya kurang orang yang mau pelayanan kan.   Ada yang pelayanan itu syukur.  Di gereja saya juga demikian, sama saja.  Tapi Saya berani ngomong sama pelayan pelayan:  Kalau kamu lelah, kamu merasa pelayanan udah boring, kayak rutinitas, mending berhenti dulu sementara waktu.  Dengan catatan berhenti untuk disegerkan kembali.  Bukan berhenti selamanya.  Berhenti dalam jangka waktu, sampai kamu siap kembali, baru pelayan kembali.  Mending seperti itu, agar pelayanannya bisa lebih berdampak.

4. Hati hati dengan Jebakan-jebakan Spiritualitas.
Kita harus hati-hati dengan hal yang bisa menjebak kita, menjadikan spiritualitas kita jadi sekedar aktifitas.  Pertama hati-hati dengan jebakan rutinitas. Segala sesuatu yang kita lakukan berulang-ulang kalau kita tidak hati-hati kita dapat kehilangan maknanya.  Demikian juga dengan kegiatan spiritualitas kita.  Kalau itu terjadi secara rutin (tiap hari kegereja, tiap hari saat teduh, tiap hari pelayanan, gereja jadi rumah kedua (karena tiap hari ada kegiatan digereja), dan sebagainya), saat itu terjadi hati-hatilah, jangan sampai rutinitas membuat inti kekristenan itu malah jadi sekedar aktifitas.
Kedua hati-hati dengan jebakan tradisi.  Saya percaya tradisi yang terjadi itu bukan terjadi begitu saja.  Ada nilai-nilai positif yang terdapat di dalamnya.  Tapi kita perlu ingat bahwa tradisi itu acapkali terbentuk untuk menjawab konteks pada jaman itu.  Ada kalanya kita terjebak tradisi, hanya melakukannya karena dari dulu semua orang gitu.  Kenapa kalau mau pelayanan sebelumnya doa bersama, tradisinya begitu.  Kenapa gak boleh makan di gereja, tradisinya begitu.  Kenapa ga boleh makan di atas panggung, tradisi bilang hal itu ga sopan sama Tuhan.  Kalau kita tidak hati-hati kita bisa terjebak dalam tradisi tanpa mengerti makna sesungguhnya. Hati hati.
Bukankah para ahli taurat adalah orang-orang yang sudah terjebak dan terperangkap oleh rutinitas dan tradisi?  Akitifitas yang mereka lakukan saya kira sangat baik.  Berpuasa, berdoa sehari 5 kali, memberi sedekah, mempelajari Firman setiap hari, menghapal ayat, dan sebagainya.  Tapi kenapa Tuhan bilang mereka seperti kuburan yang luarnya bagus, tapi dalamnya bobrok?  Kenapa Tuhan katakan mereka keturunan ular beludak?  Kenapa Tuhan berkali-kali menyebut bahwa mereka itu Munafik? Karena mereka melakukan semua itu hanya sekedar aktifitas.  Tapi hati mereka, jauh dari Tuhan.  Tuhan tidak mau akan hal itu.
Sebab itu mari kita uji spiritualitas kita.

5. Spiritualitas yang benar itu bukan hanya didalam gereja, tapi disetiap hidup kita.
Ya, spiritualitas yang sejati harus tercermin dalam setiap aspek kehidupannya.  Bukan Cuma pada saat digereja.  Tapi bagaimana kalian diskolah, dikampus, dirumah, sudahkah spiritualitas itu memancar.  Atau jangan-jangan hanya pada saat mau pelayanan mingu, duh baru beberapa hari sbelumnya baik-baik, jadi senyum2, jadi murah hati, dsb.  Harusnya ga demikian ya.  Spiritualitas yang terbangun harusnya disetiap waktu disetiap saat. Ada integritas di tengah spiritualitas yang benar.