Monday, August 30, 2010

Behind The Negative Word (Yeremia 38:1-6)




“Kamu pasti bisa! Yakin Hidup Sukses! Kamu pasti menang!” merupakan beberapa ungkapan favorit yang sangat digemari akhir-akhir ini. Dalam teori kepemimpinan tampaknya kata-kata seperti ini sering tergema. Optimisme mutlak dan percaya diri berarus positif menjadi syarat utama bagi seorang pemimpin. Sebaliknya sikap pesimistis merupakan sebuah batu sandungan yang harus dienyahkan dari harddisc otak kita.

Salah satu buku karya Rhonda Byrne “The Secret” yang didukung oleh Jack Canfield (penulis Chicken Soup) dan Oprah Winfrey (seorang ratu talkshow) juga mengatakan bahwa sebuah kesuksesan dapat diraih melalui pikiran kita. Pikiran merupakan sebuah magnet yang dapat menarik apa saja yang kita inginkan. Tentunya semua itu didapat dengan pikiran yang positif. Melalui pikiran positif kita dapat mendapatkan dan mengubah segala sesuatu. Sebaliknya pikiran negatif adalah sebuah ancaman bagi sebuah kesuksesan. Keberhasilan buku ini menjadi the fastest selling book memberi konfirmasi kepada kita akan general agreement terhadap pandangan di dalamnya.

Dalam dunia kedokteranpun kata-kata positif sangat bermanfaat untuk kesembuhan. Tersebar isu dimana pasien yang bermentalkan “saya pasti sembuh” akan lebih mudah ‘direparasi’ dari pada pasien yang bermentalkan “Saya pasti mati.” Tak heran beberapa dokter menyarankan kepada pasiennya agar tidak berpikir yang buruk mengenai masa depannya. Hidup harus punya harapan, karena itu hidup harus diisi dengan pikiran-pikiran positif.

Saya kira kita semua sepakat dengan hal ini. Perbendaharaan kata-kata positif harus lebih ditingkatkan dan sebisa mungkin kata-kata negatif dimasukan dalam recycle bin guna membentuk dunia yang lebih baik. Saya pun setuju dengan pandangan ini, yang sudah umum dikumandangkan dalam percakapan sehari-hari, pelatihan-pelatihan kepemimpinan, dan status-status motivasi via facebook dan sms.

Namun saya menemukan sebuah pemaknaan yang sedikit berbeda ketika membaca kitab Yeremia 38:1-6. Yeremia yang merupakan nabi Allah memiliki tugas untuk menyampaikan apa yang menjadi pesan Allah kepada umat. Tentu saja seorang nabi yang baik harus mengungkapkan apa yang Allah ungkapkan tanpa memperhalus bahasa, mengurangi, apalagi menambahkan apa yang Allah katakan, sehingga suara nabi itu sama dengan suara Tuhan.

Nah, dalam perikop ini nabi Yeremia sedang menyuarakan suara Tuhan kepada Israel. Waktu itu Israel sedang dalam keadaan terdesak oleh gempuran Babel. Babel yang mulai berkembang menjadi negara adikuasa, berusaha mengeskpansi diri dengan menjajah bangsa-bangsa disekitarnya termasuk Israel. Israel menjadi seperti anak ayam dihadapan serigala buas yang hendak menyantapnya. Ditengah kondisi yang terpojok seperti ini tentunya umat Israel membutuhkan kata-kata motivasi dan dukungan semangat yang ekstra untuk dapat bertahan dan berjuang dalam mempertahankan diri. Mereka mengharapkan para pemimpin, termasuk para nabi untuk menyuarakan kata-kata yang berbau positif.

Tapi apa yang dikatakan oleh Yeremia? Apakah perkataan positif yang dilontarkan? Tidak! Di ayat 2 Yeremia menubuatkan demikian “Beginilah Firman Tuhan: Siapa yang tinggal di kota ini akan mati karena pedang, karena kelaparan dan karena penyakit sampar; tetapi siapa yang keluar dari sini mendapatkan orang Kasdim (orang Babel), ia akan tetap hidup. Nyawanya akan menjadi jarahan baginya dan ia tetap hidup.” Dengan kata lain Yeremia menyuarakan kepada Israel untuk menyerah kepada Babel. Kehidupan didapatkan malah ketika mereka mengangkat bendera putih dan membiarkan diri diperbudak oleh negeri Babel. Sama sekali tidak ada kata-kata motivasi yang bisa menyegarkan sendi-sendi bangsanya yang sedang terpojok. Dorongan untuk menyerah tentu saja akan semakin memperlemah moral umat Israel.

Tampaknya perkataan Yeremia bukanlah sebuah usul yang baik. Kebanyakan pihak menganggap bahwa tindakan memperlemah moral merupakan sebuah pengkhianatan. Yeremia dianggap bersekutu dengan Babel karena menyuarakan pengangkatan bendera putih. Tak heran dia mengalami pemenjaraan yang ketiga (dalam perikop ini) karena ucapan-ucapan negatifnya. Nubuatnya kalah dengan nubuat tandingan dari nabi-nabi lain yang mengumandangkan kata-kata positif “Kamu pasti menang, jangan khawatir, Allah besertamu.”

Namun sejarah menunjukkan bahwa nubuat Yeremialah yang merupakan suara Tuhan. Mereka yang tidak mau menyerah kepada Babel nyatanya harus menyerahkan nyawanya dengan menggenaskan. Justru mereka yang ditawan kenegri Babel tetap di biarkan hidup. Setidaknya keadaan mereka jauh lebih baik daripada mereka yang menuruti suara-suara nabi palsu itu.

Disini kita menemukan bahwa ternyata dibalik kata-kata negatif dapat mengandung sebuah kebenaran yang signifikan. Kata-kata berbau negatif terkadang bisa merupakan suara Tuhan yang harus ditaati. Tentu saja suara negatif dari Tuhan memiliki tujuan yang positif. Dalam konteks ini, perintah untuk menyerah ke negeri Babel bertujuan untuk pembentukan umat Israel sendiri yang sudah hidup jauh dari Tuhan. Menyerah kepada Babel malah berarti berserah kepada kehendak Tuhan.

Aplikasi praktisnya ialah jangan pernah kita menjadi antipati dengan kata-kata negatif dengan menutup telinga erat-erat. Walau acapkali kata-kata negatif mengundang kejatuhan mental, namun bukan berarti tujuannya akan selalu buruk. Ada kalanya mental kita harus dihancurkan terlebih dahulu untuk mengikis kesombongan yang ada dalam diri yang dapat menghambat pertumbuhan kerohanian kita. Ada kalanya juga mental kita perlu dijatuhkan agar kita dapat lebih bersandar dan berpaut kepada Tuhan. Sometimes behind the negative word bring a goodness for us.

So....bagaimana bila kata-kata itu bersoar-soar di telinga kita? Pertama mari kita menyambutnya dengan hati yang lapang. Kedua, minta hikmat Tuhan untuk menimbang apakah perkataan-perkataan negatif itu seiring dengan apa yang Tuhan ingin katakan kepada kita. Ketiga, jika tidak sesuai belajarlah untuk mengabaikan kata-kata itu. Tapi jika itu benar mari kita belajar rendah hati menerima kenyataan dan minta pertolongan Tuhan untuk menguatkan kita keluar dari kenyataan yang berat tersebut. Terakhir, buatlah kata-kata tandingan yang positif agar tidak berlarut dalam keadaan down. Misalkan ada kata-kata yang kita dengarkan ialah “Kamu pasti akan gagal,” bisa ditandingkan dengan kata-kata “Walau aku gagal kali ini, namun kegagalan-kegagalan itu akan mengantar kepada kemenangan kelak.” Ingat, kata-kata positif itu bukan sebagai pengganti, namun sebagai tandingan. Dengan demikian kita dapat mengolah kata-kata negatif itu dalam diri kita dengan bijak, dan kita dapat bertumbuh semakin serupa Kristus. Sekali lagi, dibelakang kata-kata negatif bisa tersimpan sebuah kebenaran, mari dengan hikmat kita mengolah kata-kata negatif itu, bukan menolaknya.

Monday, August 23, 2010

Bentuk Aku (Yeremia 18:1-6)


Masa kanak-kanak merupakan masa dimana seseorang berada dalam fase pembentukan yang intensif. Bagaikan sebuah bahan mentah yang masih harus terus dibentuk dan diolah sedemikian rupa, begitulah masa kanak-kanak. Saya ingat sewaktu kecil banyak sekali pelajaran-pelajaran dan pembentukan yang diberikan orangtua saya. Saya diajar menyapa orang yang lebih tua, sehingga setiap kali lupa pasti saya diingatkan dan ditegur. Bagaimana mengambil makanan harus memakai tangan kanan, kalau memakai tangan kiri akan dicubit. Saya diikutkan kursus ini itu dan diwajibkan belajar setiap malam. Dan banyak lagi pembentukan-pembentukan yang diberikan oleh mereka ketika saya masih kanak-kanak.

Dalam proses pembentukan tersebut terkadang ada pembentukan-pembentukan yang tidak dimengerti dan dipahami oleh seorang anak. Saya ingat pada suatu hari karena merasa bosan dan jenuh, saya merencanakan bolos sekolah. Saya tidur-tiduran dirumah dan bermalas-malasan. Ketika papa pulang dari toko dan melihat saya tidak sekolah beliau langsung bertanya dengan nada tegas "mengapa kamu tidak sekolah?" Sayapun menjawab "malas pa. Bosen sekolah terus." Seketika itu juga papa langsung mengambil rotan memukul saya dan dengan kemarahannya berkata "Mau jadi apa kamu kelak?" Sudah tentu saya menangis kencang waktu itu. Tetapi walaupun saya menangis papa saya tetap tidak berhenti memukul saya dengan rotannya. Sepertinya tangisan saya tidak cukup meluluhkan hatinya. Bukan hanya sakit di fisik, tapi hatiku juga sakit. Tahukah saudara bahwa dalam benak saya waktu itu berkata bahwa papa jahat. Papa tega mukulin saya. Papa gak sayang sama saya.

Namun seiring berjalannya waktu yang menghantar diri menuju kedewasaan, kusadari bahwa pukulan-pukulan itu sangatlah berharga. Saya mulai paham bahwa pukulan-pukulan yang diberikan itu bertujuan kebaikan diri saya sendiri. Pukulan itu membuat saya menjadi pribadi yang lebih disiplin dan belajar untuk tidak selalu mengikuti kata hati. Pukulan itu juga membuat saya menjadi orang yang lebih dewasa. Lalu tersimpulah pemikiran bahwa terkadang cara yang tegas dan keras itulah yang dapat membentuk hidup saya.

Ini hanyalah sebuah kisah kecil yang mewakili realita kehidupan yang lebih luas lagi. Dalam hidup kita sebagai anak-anak Tuhan tentunya ada banyak pembentukan-pembentukan yang diberikan Tuhan kepada kita. Dan terkadang pembentukan itu tidak kita mengerti. Bisa jadi melalui penyakit. Bisa jadi melalui kesusahan ekonomi dan kejatuhan karier. Bisa jadi melalui masalah-masalah yang hadir dalam keluarga. Dapat juga melalui meninggalnya orang yang sangat kita kasihi.

Beberapa cara-cara pembentukan Tuhan ini mungkin tidak kita pahami, sehingga bisa saja terlontar perkataan dari benak dan mulut kita "Tuhan jahat; Tuhan tidak peduli; Tuhan tidak sayang kita; Tuhan tidak mengerti perasaan kita."

Umat Israel pernah mengalami pembentukan yang keras ini dari Tuhan. Sebagai anak dan umat Tuhan mereka pernah dibuang ke negeri Babel selama 70 tahun. Tentunya pembuangan ini sangat menyiksa batin umat Israel. Beberapa dari mereka kehilangan keluarga yang mereka kasihi. Mereka kehilangan rumah dan harta benda. Mereka diangkut dari Tanah Kanaan yang merupakan tanah yang dijanjikan Tuhan, di mana mereka mempunyai keyakinan bahwa di tanah itulah Tuhan akan menyertai mereka. Israel kehilangan tanah yang subur. Status sebagai orang merdeka berubah menjadi orang-orang yang diperbudak. Dan bait Allah yang merupakan pusat kehidupan spiritual dan politik dihancur luluhkan oleh tentara-tentara Babel. Jika berada dalam pembuangan hanya dalam 1 sampe 2 tahun tentu saja itu hukuman ringan. Namun Tuhan menghukum mereka selama 70 tahun lamanya. Tentu saja ini hukuman yang sangat keras bagi umat Israel.

Mengapa Tuhan harus menghukum Israel? Jawabannya tidak lain ialah karena banyak noda yang terdapat dalam diri Israel sendiri. Mereka hidup tidak sesuai dengan hukum dan perintah Tuhan. Secara spiritual mereka menyembah dan 'berselingkuh' dengan ilah-ilah lain. Secara moral mereka sudah menyimpang. Para imam dan para nabi banyak yang melakukan manipulasi. Mereka melakukan persundalan bakti dan berjinah dengan gampangnya. Tidak ada keadilan, kejujuran, serta tidak ada rasa hormat dan takut pada Tuhan lagi dalam umat Israel. Mungkin mereka merasa bahwa mereka tidak memerlukan Tuhan. Berkali-kali Tuhan mengirim nabi-nabi-Nya untuk mengingatkan dengan lembut kepada Israel, namun Israel tidak mau mendengar. Lantas Tuhan mengingatkan dengan lebih keras; alhasil Israel tetap mengabaikan peringatan itu. Karena itulah Tuhan mendidik mereka dengan lebih keras dengan membuang mereka ke negeri Babel.

Bagi beberapa umat Israel pembuangan ini merupakan hukuman yang kejam dari Tuhan. Mereka bertanya "mengapa Tuhan meninggalkan mereka. Mengapa Tuhan tega melakukan hal ini kepada Israel." Namun bagi Tuhan tentunya ini bukan sekedar hukuman. Ini juga merupakan suatu pembentukan kepada umat yang dikasihi-Nya. Tuhan menggambarkannya seperti sebuah bejana ditangan tukang periuk. Tuhan yang adalah tukang periuk itu dengan telaten dan sabar membentuk tanah liat itu untuk menjadi sebuah alat yang berguna dan berharga. Terkadang bejana tanah liat itu harus dihancurkan kembali karena dalam diri periuk masih ada kotoran-kotoran yang harus dibersihkan. Memang sang tukang periuk bisa saja tetap melanjutkan pekerjaan itu. Namun bejana dengan kualitas bahan yang seperti itu akan mudah rusak dan hancur dengan sendirinya. Karena itu tukang periuk akan dengan sabar dan telaten akan terus membentuk bejana itu sampai mencapai kesempurnaan. Inilah pembentukan Tuhan.

Memang pembentukan Tuhan seringkali tidak kita mengerti. Tuhan bisa membentuk dengan cara lembut, tapi terkadang bisa dengan cara yang agak keras. Namun semua pembentukan itu sudah pasti memiliki tujuan kebaikan bagi setiap anak-anak-Nya. Penulis kitab Ibrani mengatakan jika kita tidak dididik dan bebas dari ganjaran maka kita akan menjadi anak-anak gampang. Justru karena kita ini anak yang dikasihinya makanya Ia mau terus membentuk kita menjadi orang-orang yang semakin serupa dengan diri-Nya.


Terkadang Tuhan ingin membentuk kita dengan cara-Nya yang tidak terpikirkan oleh kita. Terkadang Tuhan memakai masalah-masalah atau mungkin penderitaan-penderitaan untuk memoles dan mengasah kita menjadi bejananya yang lebih sempurna. Mungkin cara itu tampak begitu keras bagi kita. Di mata kita mungkin Tuhan seakan-akan begitu kejam karena tega melakukan ini semua kepada kita. Namun di mata Tuhan berbeda. Bagi Tuhan terkadang cara keraslah yang merupakan cara terbaik untuk mengeluarkan kotoran dari bejana hidup ini. Memang Tuhan menerima kita apa adanya tapi Ia tidak mau kita menjadi apa adanya. Karena itu Ia akan terus membentuk dan membentuk kita untuk semakin hari semakin sempurna. Sama seperti sebuah mutiara yang terbentuk dari sebutir pasir yang melukai dirinya. Dalam kesusahan justru ada keindahan yang begitu berharga.

Karena itu mari kita menjalani hidup kita dengan tegar. Segala permasalahan dan pergumulan yang kita alami saat ini memang tidak enak untuk kita jalani. Tapi saya yakin dalam setiap masalah dan pergumulan yang dihadapi anak-anak Tuhan, ada suatu maksud Tuhan yang tersembunyi; yang begitu indah bagi setiap kita. Yaitu Ia ingin membentuk kita menjadi semakin serupa dengan gambaran-Nya yang sempurna. Karena itu ketika permasalah dan ujian datang menimpa kita, mari kita jangan bersungut-sungut dan mengasihani diri. Justru inilah saatnya kita belajar merendahkan hati dan berkata kepada Tuhan "Tuhan, bentuk aku. Bentuk aku menjadi bejana seperti yang Kau inginkan."

Wednesday, August 11, 2010

Jika Yang Tertinggal Hanyalah Sebuah Komitmen. . . .



Setiap tahun angka perceraian di Indonesia semakin bertambah. Orang semakin mudah menceraikan pasangannya tanpa perasaan bersalah. Sepertinya pernikahan bukanlah suatu hal yang sakral lagi. Ikatan perjanjian yang dilantunkan pada mulanya hanya seperti sebatang lidi yang begitu mudah untuk dipatahkan. Pasangan dianggap seperti sebuah pakaian yang bisa di ganti-ganti sewaktu-waktu sesuai dengan selera. Jika ditanya alasan mengapa menceraikan pasangannya, beberapa dari mereka menjawab dengan sangat simpel “Aku sudah gak ada rasa” atau “Aku sudah tidak cinta dia lagi, jika tidak cinta bagaimana bisa meneruskan hubungan.” Dengan kata lain, kasih dalam rumah tangga mereka sudah menjadi luntur, tidak seperti dulu ketika pertama kali mereka pacaran. Inilah yang menyebabkan mereka memutuskan untuk bercerai.


Namun demikian ada juga beberapa orang yang memilih untuk tetap mempertahankan hubungan dan kesakralan pernikahan mereka. Padahal kasih di tengah keluarga itu juga sudah luntur. Yang tertinggal hanyalah sebuah komitmen. Ya....Hanya sebuah komitmen. Sementara kasih itu sendiri sudah pudar. Bagi mereka lebih baik begitu daripada memutuskan untuk bercerai. Komitmen menjadi alasan satu-satunya untuk melanjutkan hubungan mereka. Yang tertinggal hanyalah sebuah komitmen.


Namun apakah hubungan seperti ini baik dalam sebuah keluarga? Dapatkah sebuah keluarga bertumbuh dengan baik tanpa ada kasih yang hangat seperti sedia kala? Saya tidak bisa membayangkan jika sebuah keluarga tidak lagi memiliki kasih semula yang berapi-api di dalamnya. Dingin, kaku, dan suasana hambar akan tercipta ditengah-tengah keluarga itu. Mungkin mereka masih melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti dahulu; mungkin mereka masih sering pergi makan bersama; mungkin mereka masih tidur bersama dan segala sesuatu mereka lakukan bersama. Tapi hubungan itu sendiri sudah menjadi hambar. Saya kira sebuah hubungan yang tidak lagi memiliki kasih bukanlah sebuah hubungan yang sehat.


Demikian juga hal nya dengan relasi kita dengan Tuhan. Ketika relasi anak-anak Tuhan dengan Tuhan yang tertinggal hanya sebuah komitmen maka hubungan itu sudah menjadi hubungan yang tidak sehat. Jemaat Efesus pernah ditegur Tuhan karena hal ini. Padahal mereka melakukan pelayanan mereka dengan giat. Dikatakan bahwa mereka adalah orang yang tekun, dan berjerih payah. Mereka mengerjakan tugas-tugas mereka tanpa mengenal lelah. Tidak ada tugas dan pelayanan yang terbengkalai. Mereka membenci kejahatan. Secara doktrin pun mereka sangat kuat. Mereka bisa menguji apakah ajaran yang diberikan seseorang itu benar atau salah. Hal itu tidak mengherankan karena di sana ada sekolah teologi yang cukup terkenal yang bernama Tiranus. Pemahaman teologi jemaat Efesus sudah sangat mendalam. Saya kira betapa membanggakannya jika mempunyai jemaat seperti ini (dibanding gereja saat ini jika diadakan program PA pasti peminatnya sedikit). Ditambah lagi di ayat 3 dikatakan bahwa jemaat Efesus rela menderita demi nama Tuhan. Dengan kata lain mereka rela menanggung salib yang harus mereka pikul seperti yang diperintahkan Tuhan. Wow.... Betapa mengagumkannya memiliki jemaat yang seperti ini. Karena hal inilah jemaat Efesus yang dipuji oleh Tuhan.


Walau demikian Tuhan menegur keras mereka. Apa penyebabnya? Dengan jelas di ayat 4 dikatakan karena mereka telah meninggalkan kasih yang semula. Bahasa Inggris menterjemahkannya sebagai first love. Memang mereka giat melayani, memang mereka tekun bekerja tanpa mengenal lelah, memang mereka membenci tindakan-tindakan kejahatan, memang mereka memiliki pemahaman yang tinggi akan FT, dan memang mereka tabah dan sabar untuk memikul salib menderita bagi Kristus; namun semuanya itu tidak lagi dilandaskan oleh kasih seperti pertama kali yang mereka lakukan untuk Tuhan. Kasih itu tidak lagi berapi-api dan terasa mulai hambar dalam jemaat Efesus. Yang tersisa hanyalah sebuah komitmen. Komitmen yang tidak diiringi dengan kasih yang semula.


Karena itu Tuhan menegur mereka. Bukan dengan teguran yang biasa, namun dengan teguran yang sangat keras. Di ayat 5 Tuhan berkata “Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukan lagi apa yang semula engkau lakukan.” Tuhan tidak mengatakan “ayolah, upayakan lagi agar kamu memiliki kasih mula-mula,” kata-kata teguran yang diungkapkan begitu tegas “Bertobatlah....Betapa dalamnya kamu telah jatuh.” Kehilangan kasih dalam pelayanan bukanlah suatu kesalahan ringan, sehingga Tuhan meminta mereka sebuah pertobatan dan kembali ke jalan yang semestinya. Memang setiap pelayanan dan relasi dengan Tuhan yang tidak lagi didasari kasih maka pelayanan itu tidak lagi berkualitas. Paulus berkata dalam 1 Kor 13:1 “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.” Kasih harus menjadi dasar yang tidak boleh kita tinggalkan dalam pelayanan dan relasi kita dengan Tuhan. Tanpa kasih sebenarnya kita sama juga dengan sebuah apel yang tampak segar dan harum, namun setelah di makan dalamnya ternyata busuk penuh dengan ulat.


Setiap kali merenung hal ini seringkali seringkali saya menjadi sedih dan mengangis. Jujur dalam kehidupan pelayanan dan relasi dengan Tuhan, saya sadari bahwa seringkali saya telah kehilangan kasih itu. Kesibukan, rutinitas, masalah-masalah, dan banyak faktor lain yang membuat saya kehilangan kasih semula itu. Bahkan terkadang terlalu banyak membaca buku tentang dunia Alkitab bukannya membuat hati ini semakin mengasihi Tuhan melainkan malah membuat hati menjadi kering. Sehingga yang tertinggal hanyalah sebuah komitmen, tanpa ada rasa kasih. Saya tetap bisa melayani, bahkan bisa menyibukkan diri dalam pelayanan; tetapi tidak lagi dengan kasih yang berapi-api. Namun saya bersyukur kepada Tuhan. Berkali-kali kebenaran FT dan kejadian-kejadian dalam hidup ini membuatku tersadar dan menggerakkan hati yang beku ini untuk boleh mengasihi seperti kasih semula yang pernah kurasakan.


Bagaimana dengan saudara? Sekian tahun mengikut dan melayani Tuhan, apakah kasih yang semula itu masih ada dalam diri kita. Masih adakah perasaan yang berkobar-kobar, semangat untuk memuji Tuhan, dan kerinduan untuk bersaksi, sama seperti pertama kali kita memutuskan untuk percaya kepada Tuhan? Atau mungkin kasih itu sudah menjadi hambar? Jangan-jangan kesibukan, masalah, dan rutinitas mencuri perasaan kasih itu sehingga yang tertinggal hanyalah sebuah komitmen. Sehingga semua pelayanan, ibadah, kebiasaan doa dan saat teduh itu hanya menjadi program dan kewajiban yang tidak dilandasi oleh kasih. Jika kita berada dalam posisi itu, berarti betapa dalamnya kita sudah jatuh. Tuhan mengkehendaki kita bertobat dan kembali memiliki kasih yang semula. Mari kita kembali menemukan kasih yang hilang itu. Hangatkan kembali hati yang beku. Jadikan kasih yang murni kepada Tuhan itu sebagai dasar setiap pelayanan kita.

Monday, August 09, 2010

Save The Earth # 3



Tentu saja dengan suhu bumi yang meningkat akan banyak dampak yang terjadi. Bukan hanya akan banyak dampak, namun dampak itu sudah jelas-jelas nyata terjadi ditengah-tengah kita. Inilah dampak-dampak yang mungkin terjadi:


Akibat pertama yang mungkin terjadi adalah banjir di mana-mana. Logikanya jelas. Kalau suhu bumi meningkat tentu es-es yang ada dikutub-kutub utara dan kutub selatan akan mencair. Akibatnya volume air meningkat. Waktu 100 tahun lalu ketika suhu bumi meningkat 0,5 derajat celcius saja, permukain air laut naik sebanyak 10 cm. Saat ini sudah ada dua pulau yang tenggelam karena naiknya permukaan air laut. Ada satu negara yang bernama Tuvalu mengalami perpindahan penduduk yang sangat besar. Negara mereka terlalu dekat dengan permukaan air. Waktu air meluap banjir terjadi di mana-mana. Khawatir negara kepulauan mereka tenggelam maka mereka memutuskan untuk mengungsi. Naiknya air laut ini paling mengancam negara-negara kepulauan seperti Indonesia. Ditambah lagi, kalau volume air semakin banyak dan suhu semakin meningkat maka jelas curah hujan akan semakin banyak dan menyebabkan banjir dimana-mana bukan? Tak heran banyak daerah yang sering kebanjiran saat ini. Terutama kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Iklim menjadi tidak menentu dan tidak teratur. Diperkirakan tahun 2022 air laut akan naik sebanyak 1 meter dan akan meneggelamkan 2000 pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia.


Akibat kedua, tanah menjadi kering dan tumbuh-tumbuhan menjadi cepet mati. Bakteri yang merusak tanaman sangat bertumbuh subur di cuaca yang panas. Akibatnya banyak tumbuh-tumbuhan yang mati terserang bakteri-bakteri itu. Kekeringan yang melanda ini akhirnya berdampak juga kepada kebakaran hutan. Tak heran di daerah-daerah yang banyak hutan seperti Kalimantan sering sekali terjadi kebakaran di mana-mana. Kekeringan dan matinya beberapa tumbuhan ini akhirnya berdampak kepada gangguan ekosistem. Keseimbangan alam menjadi goyah dan tentu saja hal itu mengancam kelangsungan kehidupan manusia. Mungkin puluhan tahun kedepan kita tidak lagi bisa menyantap ikan-ikan segar yang ada di perairan Indonesia ini, karena banyak makhluk hidup yang akan punah.


Akibat ketiga, penyakit menular semakin berkembang biak. Mungkin saudara sadari akhir-akhir ini banyak sekali teman-teman atau sanak family kita yang terkena penyakit demam berdarah, malaria, disentri, dan sejenisnya. Bahkan demam berdarah semakin hari semakin mengerikan. Jika dulu ciri-cirinya jelas di mana selalu ada bintik-bintik merah ditubuhnya, sekarang ciri-ciri itu sudah tidak jelas. Ada yang Cuma sakit di lambungnya dan Cuma mengalami panas ringan, namun setelah diteliti ternyata itu demam berdarah. Ada juga yang Cuma flu dan sedikit demam, ternyata setelah di cek ke dokter trombositnya sudah turun drastis. Semua ini termasuk efek dari Global warming. Semakin tinggi suhu bumi, kecepatan berkembang biak nyamuk semakin tinggi juga. Nyamuk yang tadinya ngak bisa hidup ditempat yang dingin, sekarang di tempat yang sama masih mampu bertahan hidup. Dan sudah jutaan orang yang menjadi korban akibat keganasan nyamuk-nyamuk ini.

Dan masih banyak lagi akibat-akibat lain dari global warming ini. Akibatnya hidup manusia menjadi lebih menderita. Bukan hanya manusia, tapi semua mahkluk hidup juga turut merasakan penderitaan itu.


Karena itu mari kita bersama-sama mengambil bagian dalam menghentikan global warming ini. Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menghentikan global warming tersebut. Penelitian mengatakan bahwa setiap tindakan kecil yang kita lakukan sangat bermanfaat, karena memang penyebab global warming terbesar bukan karena pabrik-pabrik yang besar saja melainkan karena masing-masing pribadi dalam sebuah rumah tangga.


Mungkin ada hal-hal yang susah kita lakukan seperti menanam pohon, membersihkan sungai, dan kegiatan-kegiatan besar lainnya. Namun ada begitu banyak hal-hal kecil yang dapat kita lakukan untuk mencegah global warming.


- Kita bisa menghemat pemakaian listrik dirumah kita. Pilih bohlam yang wattnya gak terlalu besar. Kalo ada lampu yang bisa dimatikan sebaiknya dimatikan. Jangan sering-sering buka kulkas. Sekali kita buka kulkas energi yang dibutuhkan semakin besar. Maknya kalau buka kulkas seperlunya saja. Kalau misal cuaca tidak terlalu panas, usahakan pake kipas angin atau buka jendela saja. Kalau memang kita kepanasan baru pasang ac. Mengapa? Pmbangkit listrik membutuhkan batu bara untuk menjalankan tugasnya. Semakin banyak penggunaan listrik maka makin banyak juga batu bara yang dibakar. Dan batu bara yang dibakar ini menimbulkan zat karbondioksida yang menyebabkan efek rumah kaca tadi. Kalau saja tiap rumah mematikan satu lampu saja itu sudah sangat mengurangi pencemaran udara.


- Selain itu mari kita juga menghemat pemakaian air. Usahakan air dipakai secukupnya. Misal: Waktu sikat gigi, selama kita menggosok jangan biarkan keran menyala. Demikian juga waktu cuci piring, sewaktu menyabun biarkan air mati dulu.


- Dalam perjalanan, kalau jarak yang kita tempuh dekat usahakan tidak menggunakan kendaraan. Jalan kaki atau naik sepeda lebih baik. Hemat-hemat dalam memakai kendaraan bermotor, karena asap motor itu menyebabkan gas rumah kaca. Kalau misal knalpot mobil motor kita mengeluarkan asap yang banyak, cepet-cepet diperbaiki.


- Jangan membuang sampah sembarangan. Sampah yang tercecer dan jika jatuh di tanah akan menghambat pertumbuhan tanaman-tanaman hijau. Dan itu membuat pohon menjadi kering dan mati. Padahal pohon-pohonan itu sangat penting untuk menyerap karbondioksida dan menukarnya dengan oksigen, sehingga dapat mencegah terjadinya pemanasan global tersebut. Kalau bisa yah mari kita tanam pohon-pohonan di lingkungan kita.


Saudara bumi kita juga punya usia, suatu saat saya kira bumi ini akan hancur. Tapi kita mempercepat kehancuran itu dengan sikap kita. Saat ini dunia sudah menyadari akan bahaya lingkungan ini. Noble-noble penghargaan banyak diberikan kepada mereka yang sangat berperan dalam menjaga lingkungan alam kita. Banyak gerakan-gerakan dari para pecinta lingkungan yang berusaha untuk menyelamatkan dunia ini. Sungguh ironi jika kita anak-anak Tuhan atau umat Kristen yang seharusnya memiliki kewajiban dalam mengelola dan memelihara bumi ini malah tidak sadar akan tanggung jawab kita, terlebih parah jika kita malah menjadi orang-orang Kristen yang suka mencemari lingkungan dengan sikap-sikap kita. Biarlah renungan kita hari ini ‘Save The World” bisa menjadi mendorong kita untuk bisa berperan aktif dalam menjaga lingkungan sekitar. Beraksilah untuk menyelamatkan lingkungan, sekecil apapun aksi itu. Karena meskipun kecil, tetapi bila dilakukan bersama dan kontinu maka dampaknya tetap luar biasa. Kiranya nama Tuhan dipermuliakan melalui siakp dan tindakan setiap kita.

Save The Earth # 2



Namun jika kita melihat bagaimana kondisi bumi sekarang, apakah keadaan bumi kita semakin baik? Tidak! Sebaliknya bumi kita memasuki masa-masa krisis saat ini. Hal ini dapat di lihat daripada fenomena-fenomena yang nyata-nyata ada disekitar kita akhir-akhir ini:


Fenomena pertama, dulu waktu kecil saya ingat betul kalau masuk bulan 4 sampai bulan 10 selalu kita akan menghadapi musim kemarau. Dan dari bulan 11 sampai bulan 3 Indonesia akan memasuki musim hujan. Namun saat ini cuaca sangat tidak menentu. Menjelang memasuki bulan Juli, dimana seharusnya di wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau,ternyata banyak daerah yang diterjang banjir,bahkan di Jakarta, akibat hujan sehari semalam sebagian wilayah di Jabodetabek terendam air. Gelombang air laut besar terjadi dihampir semua perairan Nusantara,yang mengakibatkan para nelayan takut untuk melaut. Musim yang tidak menentu,cuaca yang berubah-ubah membuat para petani semakin terpuruk. Banyak panen gagal. Bukan hanya di Indonesia, kekacauan musim terjadi hampir diseluruh daratan yang ada di bumi kita. Ada tempat yang curah hujannya makin tinggi, ada juga daerah yang suhunyaa mengamuk sampai mencapai 45 derajat celcius. Tentu saja perubahan musim ini sedikit banyak sudah memakan banyak sekali korban jiwa.


Fenomena kedua, kalau kita perhatikan bencana alam semakin sering terjadi bukan? Banjir melanda di mana-mana. Longsor semakin sering terjadi. Gempa bumi semakin sering marak menimpa beberapa daerah. Pernah ada penelitian yang pernah menghitung berapa kejadian gempa terjadisetiap abadnya. Dan hasilnya ternyata cukup mengejutkan. Pada abad 15 terjadi 150 kali gempa. Abad 16 terjadi 153 kali. Abad 17 terjadi 378 kali. Abad 18 terjadi 340 kali. Abda 19 terjadi 2119 kali. Sedangkan abad 20 terjadi lebih dari 30.000 kali gempa di berbagai tempat didunia ini, termasuk gempa-gempa ringan. Bencana-bencana ini jelasa menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres dalam bumi kita.


Fenomena ketiga, yang begitu nyata kita rasakan saat ini. Mungkin saudara merasakan bahwa akhir-akhir ini suhu udara semakin panas. Di sini saya sering mendengar: Sekarang Malino tidak sedingin dulu. Dulu kalau ke Malino harus pakai pakaian tebal, sekarang celana pendek sama kaosan aja juga bisa. Bukan hanya di Sulawesi, sewaktu saya di Bandung orang juga mengeluh hal yang sama “Dulu Bandung dingin, enak, gak sepanas sekarang.” Begitu juga sewaktu di Malang. Biasanya orang-orang Malang biasanya suka pergi ke batu, terawas atau teretes karena cuacanya yang sejuk dan dingin. Tapi sekarang orang mengeluh bahwa tempat-tempat itu sudah tidak sedingin yang dulu; sudah kurang nyaman untuk di jadikan tempat rekreasi. Dari sini kita bisa melihat bahwa hampir semua tempat di Indonesia, bahkan saya katakan di dunia, mengalami apa yang namanya peningkatan suhu. Orang tidak bisa lagi hidup tanpa ac / pendingin. Bukan karena orang zaman sekarang semakin manja, namun lebih karena memang kondisi bumi kita yang semakin memanas dan menggila.


Apa sih yang menjadi penyebab dari fenomena-fenomena ini? Hari ini kita akan melihat salah satu penyebab utama kerusakan bumi kita ialah karena adanya pemanasan global atau biasa disebut sebagai global warming. Bumi kita memiliki lapisan atmosfer yang melindunginya dari dampak radiasi sinar matahari. Setiap hari, panas matahari masuk ke bumi menembus lapisan atmosfir berupa radiasi gelombang pendek. Sebagian diserap bumi, sisanya dipantulkan lagi ke angkasa. Pada lapisan atmosfer Bumi tersebut, terdapat selimut gas yang biasa disebut Gas Rumah Kaca. Gas ini berfungsi menahan panas Matahari agar tidak dilepas kembali seluruhnya ke angkasa, sehingga bumi tetap hangat. Selama bumi masih dalam temperatur 16 C, pemanasan atau penghangatan bumi adalah hal yang baik. Tetapi ketika terjadi peningkatan konsentrasi Efek atau Gas Rumah Kaca yang melebihi batas normal, panas bumi akan terperangkap dan tidak bisa dipantulkan lagi ke angkasa. Panas matahari akan terus terjebak untuk berada dalam bumi. Bumi akan semakin panas dan akhirnya timbullah pemanasan global / global warming.


Efek rumah kaca ini disebabkan kebanyakan dari asap-asap karbondioksida hasil dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak / batu bara), asap kendaraan bermotor, limbah yang ada di laut, minimnya tumbuh-tumbuhan hijau yang bertugas mengganti karbondioksida menjadi oksigen, dan karena penggunaan bahan-bahan kimia dimana-mana. Penyebabnya bukan hanya berasal dari limbah-libah pabrik dan perusahaan-perusahaan kimia; namun juga banyak disebabkan oleh sikap-sikap manusia itu sendiri dalam kesehariannya. Hal-hal inilah yang kemudian mempertebal gas rumah kaca yang menyebabkan cahaya matahari tidak dapat terpantul kembali, dan bumi makin memanas. Penelitian menunjukkan bahwa suhu bumi kita tiap abad terus meningkat. Dari tahun 1900 sampai 2000 suhu bumi sudah meningkat 2 derajat celcius. 10 tahun lagi bumi diperkirakan suhunya akan meningkat menjadi 3,5 derajat celcius; dan 1 abad lagi diperkirakan suhu bumi bisa meningkat sebanyak 5,5 derajat celcius.

Save The Earth # 1



Pada tahun 1998 saya meninggalkan kampung halaman Samarinda dan merantau ke kota pahlawan Surabaya. Di tempat yang baru tentu saya harus beradaptasi dengan banyak hal, apalagi dengan berpisahnya dengan kedua orang tua saya yang saya kasihi. Jika dahulu segala sesuatu diurusi oleh orangtua saya, sekarang apa-apa harus ngurus diri sendiri. Salah satunya: Jika di Samarinda dulu saya tidak pernah peduli dengan keadaan rumah saya. Mau kotor mau bersih, mau rusak, mau berantakan terserah, “kan ada papa mama yang perbaiki semua” ujar saya. Tetapi sesampainya di Surabaya keadaan jadi berbeda. Di Surabaya kami (saya dan saudara-saudara saya) yang bertanggung jawab untuk menjaga rumah. Ada pagar berkarat kita yang cat; rumput panjang kita yang cabut; buang sampah ga bisa sembarangan lagi karena kita yang akan repot bersihinnya; dsb. Segala sesuatu harus dibereskan sendiri. Cece saya yang paling tua sering berkata demikian “Jaga baik-baik rumah ini ya, ingat ini adalah rumah kita.” Perkataan itu sedikit banyak membuat saya bersikap beda dibanding waktu di Samarinda dahulu. Saya jadi lebih merasa memiliki rumah itu, dan perasaan memiliki itu membuat saya lebih serius dalam menjaga rumah saya. Kesadaran bahwa itu adalah rumah milik saya membuat saya lebih serius dalam menjaga & memelihara rumah itu.


Saya kira prinsip yang sama dapat kita terapkan dalam bumi kita yang luas ini. Seandainya setiap orang memiliki kesadaran bahwa bumi ini merupakan tempat tinggal kita dan rumah kita bersama, pasti sikap kita akan berbeda. Namun sayangnya banyak orang yang tidak menyadari bahwa bumi ini adalah rumah milik mereka. Ketidaksadaran itu membuat banyak orang tidak peduli dengan keadaan lingkungannya; mereka merusak, mengotori, menghancurkan, mengacaukan dan tidak menjaga lingkungan bumi ini. Akibatnya bumi semakin tidak terawat, dan dampaknya hidup manusia pun menjadi tidak nyaman. Tak heran bencana terjadi di sana-sini itu sebenarnya banyak disebabkan oleh ulah manusia juga. Semua ini disebabkan karena tidak adanya kesadaran bahwa bumi ini adalah rumah kita. Seandainya setiap kita sadar bahwa bumi ini adalah tempat tinggal kita, pasti setiap kita akan merawat dan menjaganya baik-baik. Pasti kita tidak akan sudi jika melihat bumi yang kita tinggali ini menjadi hancur berantakan. Kita akan mengelola sebaik mungkin seperti kita mengelola rumah sendiri.


Tuhanpun sebenarnya mengkehendaki kita manusia untuk mengelola bumi ini. Sejak awal bumi diciptakan untuk menjadi rumah tempat tinggal manusia yang harus dijaga dengan baik. Keberadaan bumi seutuhnya ada dalam kuasa manusia. Manusia diharapkan untuk menaklukan dan menguasai bumi ini. Kejadian 1:28 menuliskan “Penuhilah dan taklukanlah bumi....Berkuasalah atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, dst.” Dengan kata lain, karena manusia yang diminta untuk menguasai bumi, maka keadaan bumi menjadi tanggung jawab manusia. Mau dibawa kemana bumi ini semuanya berada dalam tanggung jawab manusia. Saya kira logikanya jelas. Jika seorang anak berada dalam kuasa dari orangtuanya, maka kedua orang tua bertanggungjawab untuk mendidik anaknya. Atau jika kita menjadi penguasa dari sebuah perusahaan, maka apapun yang terjadi dalam perusahaan itu menjadi tanggung jawab penguasa itu bukan? Demikian juga ketika Tuhan menyerahkan kepada manusia untuk menguasai bumi itu berarti kita bertanggung jawab terhadap apapun yang terjadi dengan bumi.


Ketika Tuhan mengkehendaki kita untuk menguasai bumi tentu ada maksudnya. Manusia tidak diminta menguasai untuk mengeskploitasi hasil bumi dan menikmati bumi dengan semena-mena. Kejadian 2:4b-5 dengan jelas mengatakan “ketika Allah menjadikan bumi dan langit, belum ada semak apapun di bumi; belum timbul tumbuh-tumbuhan apapun di padang, sebab Tuhan Allah belum menurunkan hujan di bumi, dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu.” Dan dengan jelas Kejadian 2:15 juga mengatakan “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Disini jelas bahwa manusia di beri kuasa atas bumi agar manusia dapat mengusahakan dan memelihara bumi ini. Namun harus diingat sekali lagi manusia menguasai bukan untuk mengeksploitasi dan menghancurkannya melainkan untuk memelihara dan mengelolanya.


Inilah sebabnya dalam kehidupan umat Israel setiap tahun ke tujuh mereka harus berhenti untuk menanam dan mengolah tanah. Mengapa? Karena tanah juga perlu diistirahatkan untuk merestorasi keadaanya kembali sehingga tercipta kestabilan lingkungan. Ini merupakan hukum yang ditetapkan Tuhan. Dengan kata lain Tuhan mengkehendaki manusia untuk mengelola alam ini sebaik-baiknya agar tercipta alam yang asri yang sejuk, yang ujung-ujung bermanfaat untuk kepentingan manusia sendiri. Saya kira orang yang tidak turut menjaga dan memelihara lingkungan, bahkan mengambil bagian dalam pengrusakan bumi ini bisa dikategorikan sebagai perbuatan-perbuatan dosa; karena sudah melanggar perintah yang diberikan oleh Tuhan. Segala sesuatu tindakan yang kita lakukan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan tentu dapat kita katakan sebagai sebuah dosa. Karena itu manusia harus terus menjaga dan memelihara bumi ini dengan baik.

Tuesday, August 03, 2010

Beri Terbaikmu (Mark 12:41-44) #2



2. Pemberian Yang Terbaik Adalah Pemberian dengan Hati yang berserah.


Mengenai sebuah pemberian ada dua cerita yang memiliki paradoks. Pernah ada seorang sepasang suami istri yang memutuskan untuk pergi ke konselor untuk menyelesaikan masalah rumah tangga mereka. Ketika diminta untuk mengungkapkan perasaannya, si istri berkata “Suami saya sudah tidak memperhatikan dan mempedulikan saya.” Lalu si suami menjawab “Bisa-bisanya kamu berkata begitu, aku dah bekerja untuk memenuhi kebutuhanmu; bukankah rumah, mobil, perhiasan dan kuberikan semua kepadamu.” Lalu sang istri menjawab “Aku ga butuh itu semua, aku hanya butuh dirimu seutuhnya.” Ini cerita pertama.


Cerita kedua mengisahkan tentang seorang anak kecil berusia 7 tahun yang memberikan sebuah kotak kado kepada sang ayah tiap hari. Sang anak memesankan agar kadonya itu harus dibuka ketika dikantor saja. Hari pertama si ayah membuka ternyata isinya kosong. Demikian juga terjadi di hari-hari berikutnya, kotak itu selalu kosong. Lalu si ayah mulai jengkel dan berkata kepada anaknya “Nak kamu jangan bermain-main dengan ayah ya. Jangan berikan kepada ayah kotak yang kosong, ayah tidak akan membawanya ke kantor lagi.” Lalu sang anak berkata “Kotak itu tidak kosong yah, setiap pagi saya memberikan banyak ciuman di kotak itu. Jadi kalau ayah kangen ayah bisa mengambil satu ciuman sepanjang hari.” Mendengar hal itu sang ayah pun berubah pikiran. Setiap hari dia membawa kotak itu dengan hati yang bersukacita. Dari kedua kisah ini, kisah yang mana yang menunjukkan pemberian yang terbaik? Saya kira kita sepakat bahwa cerita kedualah yang menunjukkan akan sebuah pemberian yang terbaik. Mengapa? Karena pemberian itu diberikan dengan hati.


Sejak awal Alkitab selalu menyoroti akan perhatian Tuhan terhadap apa yang ada dalam hati. Tuhan tidak melihat apa yang tampak luar melainkan hati. Memberikan yang terbaik memang tak pernah bicara tentang jumlah. Memberikan yang terbaik berbicara tentang bagaimana hati kita saat memberikan atau melakukan sesuatu bagi sesama maupun bagi Tuhan.


Salah satu pertanyaan saya ketika merenungkan kisah janda ini adalah: Mengapa Yesus mengatakan bahwa pemberian janda itu jauh lebih banyak dari pada orang-orang kaya yang memberikan persembahan itu? Bukankah secara kasat mata janda itu memberikan sangat sedikit? Dua peser itu merupakan koin tembaga yang memiliki nilai terkecil di mata uang Yahudi. Jika disamakan seperti saat ini berarti dua koin cepekan. Dibanding dengan orang-orang kaya lainnya yang juga memberi bukankah persembahan janda itu tidak ada artinya? Namun mengapa Tuhan menyebut dia memberi lebih besar dari orang lainnya?


Setelah merenungkannya lebih lanjut akhirnya saya menemukan jawabannya. Persembahan itu lebih besar karena persembahan itu diberikan dengan hati yang terdalam kepada Tuhan. Kalau kita perhatikan cerita ini, dengan jelas Yesus mengatakan bahwa janda itu memberikan seluruh nafkahnya. Dua peser yang merupakan harta satu-satunya yang ia miliki itu semuanya dipersembahkan kepada Tuhan. Artinya setelah itu ia tidak lagi mempunyai uang sama sekali untuk kehidupan selanjutnya. Saya terus bertanya, bagaimana janda ini akan membeli makannya? Apakah ia sudah tidak berniat hidup lagi? Ataukah ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Saya kira tidak.


Mengapa ia mampu memberi semua nafkahnya tidak lain karena janda ini memiliki kepercayaan yang radikal kepada Allah, di mana Allah akan memelihara dan akan mencukupi segala kebutuhannya. Dia tahu bahwa Allah memiliki semuanya. Dia adalah pencipta dan penebus. Dan Allah berdaulat atas seluruh kehidupan manusia termasuk dirinya. Karena itu dia memilih untuk bersandar dan berserah penuh kepada Tuhan. Janda ini tidak menkhawatirkan akan kehidupannya. Sebaliknya ia menaati perintah Yesus dalam Matius 6:33 yang berkata “Carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan di tambahkan kepadamu.” Inilah pemberian yang terbaik. Persembahan yang kecil itu diberikannya dengan hati yang besar. Yaitu hati yang berserah kepada Tuhan. Atau dengan kata lain ia memberikan seluruh hidupnya kepada Tuhan.


Kita tidak tahu bagaimana nasib janda itu setelah cerita ini. Apakah setelah itu ia menjadi kaya raya? Apakah ia menjadi seorang yang begitu diberkati Tuhan? Ataukah setelah itu ia akan mati karena kelaparan? Kita tidak pernah tau. Namun bukan hasil akhir yang menjadi fokus perhatian Tuhan. Yang Tuhan lihat adalah bagaimana sikap hati yang berserah penuh kepada Tuhan. Tuhan melihat sejauh mana seseorang dapat memberikan hidupnya pada Tuhan. Itulah yang dipuji dan berkenan dihadapan Tuhan.


Suatu ketika ada seorang pendeta menaiki sebuah pesawat dalam rangka pelayanan. Ditengah perjalanan tiba-tiba lampu sabuk pengaman dinyalakan dan semua penumpang diharapkan untuk duduk karena akan ada badai. Tidak lama kemudian badai datang dengan kekuatannya yang dasyat. Letusan-letusan yang menyeramkan dapat didengar di atas gemuruh mesin pesawat. Kilat-kilat dan halilintar silih berganti menerangi pesawat itu. Pesawat itu diombang-ambingkan, sebentar diangkat, sebentar terturun, seakan-akan sudah mau jatuh. Tentu saja semua penumpang menjadi panik. Ada yang berteriak, ada yang menangis, ada yang berdoa, dsb. Hampir semua peserta tampak cemas pada waktu itu. Pendeta itupun tidak bisa memungkiri bahwa hatinya juga merasakan ketakutan sama seperti penumpang lainnya. Ditengah kepanikannya tiba-tiba dia terheran-heran melihat seorang anak gadis yang duduk disebelahnya. Anak itu duduk bersila dan dengan tenang membaca buku bacaannya. Kelihatannya ia tidak terpengaruh dengan badai itu sama sekali. Selama bermenti-menit para penumpang mengalami kepanikan karena badai yang semakin mengganas, anak itu tetap tenang dan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya sedikitpun. Pendeta itu terheran-heran melihat sikap gadis itu. Sekian waktu lamanya akhirnya pesawat dapat mendarat dengan selamat. Beberapa penumpang segera turun dari pesawat itu dengan wajah ketakutan. Si pendeta inipun mencari kesempatan untuk berbicara kepada anak gadis itu. Ia bertanya “Nak, apakah kamu tidak merasa takut ketika melewati badai tadi?” “Tidak” jawab anak itu ringan. Lalu pendeta itu bertanya “Mengapa kamu tidak merasa takut sementara semua penumpang mengalami ketakutan?” Lalu dengan lugu gadis ini berkata “Tuan, pilot pesawat itu adalah ayahku, dan aku tau ia pasti akan membawaku pulang. Jadi mengapa aku harus takut.” Saudara, pendeta itu terdiam. Gadis ini memberikan yang terbaik bagi ayahnya. Dimana ia mempercayakan seluruh hidupnya dengan hati yang berserah penuh kepada ayahnya.


Mari kitapun belajar untuk memberi yang terbaik bagi Tuhan, yaitu seluruh hidup kita kepada Tuhan. Mari kita belajar menyerahkan hidup kita kepada kedaulatan Tuhan. Karena memberi dengan hati yang berserah merupakan pemberian yang terbaik. Memberi hidup kita itu berarti membiarkan Tuhan memakai kita dengan leluasa untuk melakukan pekerjaan-Nya. Memberi hidup dengan hati yang berserah itu juga berarti bahwa kita akan melakukan segala sesuatu hanya untuk kemuliaan Tuhan. Hati yang berserah itu berbeda dengan hati yang menyerah. Orang yang menyerah adalah orang-orang yang berhenti berjuang karena mengalami putus asa. Akhirnya ia tidak mau melakukan apapun juga untuk Tuhan. Tetapi orang-orang yang berserah sebaliknya. Ia adalah orang yang berjuang untuk terus melakukan yang terbaik untuk Tuhan. Entah dalam pekerjaan, pelayanan gereja, dalam keluarga, ia akan berusaha semaksimal mungkin melakukan segala sesuatu untuk Tuhan. Walaupun akan ada banyak pergumulan yang begitu berat yang harus ia hadapin; walaupun banyak godaan-godaan yang menggocoh dan menekannya, Ia tidak akan pernah menyerah. Ia akan menaikkan pujian demikian: “Ku tak akan menyerah pada apapun juga sebelum kucoba semua yang kubisa, tetapi ku berserah kepada kehendak-Mu, hatiku percaya Tuhan punya rencana.” Ia tidak akan pernah menyesal dan kecewa karena telah memberi hidupnya kepada Tuhan. Sebaliknya ia akan memberikan seluruh hidupnya, baik pikiran, tenaga dan waktunya untuk kemuliaan Tuhan. Dengan satu keyakinan yang mendasari, bahwa Tuhan yang sudah menebus hidupnya, Tuhan jugalah yang akan berdaulat atas seluruh kehidupannya.


Sejak awal kisah ini disebut kita tidak tahu siapa nama janda yang memberi persembahan tersebut. Sampai akhir hidupnya juga tidak ada satu orangpun yang mengetahui siapa nama janda ini. Bahkan para ahli sejarah di abad-abad pertama tidak pernah mengetahui siapa nama janda ini. Tidak ada seorangpun yang mengetahui nama dari janda tersebut. Tapi satu yang pasti, janda ini mendapatkan pujian dari Tuhan. Karena ia sudah memberi yang terbaik untuk Tuhan. Saudara, mari kita belajar untuk memberi yang terbaik. Memberi yang terbaik tidak pernah berfokus pada diri sendiri. Dan pemberian yang terbaik adalah pemberian dengan hati yang berserah penuh. Mungkin kita tidak akan pernah menjadi orang besar menurut dunia ini. Mungkin nama kitapun tidak akan diingat oleh kebanyakan orang. Namun biarlah Tuhan sendiri yang memberikan pujian itu kepada kita ketika kita memberikan yang terbaik bagi Tuhan.

Beri Terbaikmu (Mark 12:41-44) #1



Setiap perusahaan atau pelayanan jasa seringkali memiliki sebuah slogan. Salah satu slogan yang menarik perhatian saya dari sebuah perusahaan yang pernah saya kunjungi berkata demikian “Kami selalu memberi yang terbaik.” Slogan ini terpampang disetiap sudut ruangan, baik di xbanner, di poster, brosur, dan di mana-mana. Namun demikian walaupun slogan itu berkata “kami selalu memberi yang terbaik” tetap saja ada orang-orang yang tidak puas dengan pelayanan perusahaan itu. Mereka berkata “Pelayanan ini kok gak ada, kerjaannya kok mengecewakan, pelayanannya tidak ramah, atau perusahaan ini tidak menjamin; gini kok katanya selalu memberi yang terbaik?” Beberapa melontarkan nada-nada kekecewaan didalamnya. Di sisi yang lain ada orang-orang yang puas dengan pelayanan dari perusahaan itu. Dari sini saya mengamati bahwa ternyata apa yang dianggap terbaik menurut seseorang belum tentu dianggap terbaik menurut orang lain. Seseorang bisa merasa sudah memberikan sebaik-baiknya, namun orang lain menganggap kita belum memberi yang terbaik.


Sebuah pertanyaan ketika melihat tema HUT kita sepanjang minggu ini “beri terbaikmu”, apakah kita sudah memberi yang terbaik untuk Tuhan? Mungkin kita berpikir bahwa kita sudah memerikan yang terbaik selama ini. Kita sudah mengambil bagian dalam pelayanan, kita memberikan persembahan dan perpuluhan, kita datang tiap minggu kegereja, bahkan kita sudah terlibat dalam kepengurusan. Lalu kita berkata “Tuhan saya sudah memberi yang terbaik.” Namun pertanyaan selanjutnya yang perlu kita pikirkan “Apakah menurut Tuhan pemberian saudara sudah merupakan pemberian yang terbaik?” Jangan-jangan kita merasa sudah memberi yang terbaik selama ini, namun Tuhan sebagai objek yang diberi menganggap bahwa kita belum memberi yang terbaik.


Lantas bagaimana kita tau bahwa kita sudah memberikan yang terbaik bagi Tuhan? Dalam perikop yang sudah kita baca, kita dapat mempelajari pemberian terbaik seperti apa yang diharapkan oleh Tuhan. Janda dalam kisah ini sudah menunjukkan kepada kita.

1. Pemberian Yang Terbaik Adalah Pemberian Tidak Berfokus Pada Diri Sendiri


Dalam memberi bisa saja tersisip motif-motif pribadi untuk medapat keuntungan pada diri sendiri. Ada pemberian sebagai bentuk sogokan; Ada pemberian supaya ia mendapat pemberian yang lebih dari orang yang diberi; Ada pemberian untuk memperalat orang; Ada juga pemberian untuk menguasai orang lain; dsb. Kebanyakan orang memberi dengan maksud yang tidak murni. Pemberian itu seakan-akan tulus untuk kebaikan orang lain, padahal tujuan utamanya adalah untuk kebaikan sang pemberi sendiri. Namun di poin ini saya ingin mengatakan bahwa sebuah pemberian yang terbaik adalah pemberian yang tidak berfokus kepada kepentingan diri sendiri.


Janda tua ini telah menunjukkannya. Ia memberi tanpa berfokus pada dirinya sendiri. Pemberiannya hanya ditujukan kepada Tuhan yang ia sembah tanpa embel-embel dibelakangnya. Bagaimana kita dapat mengetahuinya? Mari kita amati sejenak kondisi seorang janda pada waktu itu.


Kondisi perempuan zaman itu berbeda dengan kondisi sekarang. Pernah ada lagu yang melantunkan “wanita sejak dulu dijajah pria.” Jika lagu ini dinyanyikan di zaman ini saya kira sudah tidak terlalu cocok. Wanita sudah memiliki posisi yang cukup kuat. Gerakan feminisme berkembang subur disana-sini. Hak-hak wanita pun semakin hari semakin diperjuangkan. Namun ungkapan dalam pujian ini sangat cocok jika dilantunkan pada zaman Yesus. Zaman itu masih menggunakan sistem patriakal dimana eksistensi perempuan tidak dihargai. Perempuan merupakan masyarakat kelas dua dalam strata sosialnya. Sebab itu Paulus tidak memperkenankan mereka untuk mengajar karena alasan otoritas. Dalam bait Allah pun para wanita memiliki tempat untuk beribadah dibelakang para pria. Penyebutan jumlah orang di kitab Injilpun cukup menunjukkan hal ini, mis: penyebutan ‘5000 orang laki-laki’, perempuan jarang terhitung sebagai kumpulan masyarakat. Karena itu gaji mereka hanya separuh dari gaji pekerja pria. Jadi bisa dibayangkan betapa bergantungnya para perempuan-perempuan yang hidup di zaman ini terhadap suaminya. Harkat dan penghidupan mereka sangat bersandar dari keberadaan suaminya.


Perempuan dalam perikop ini merupakan korban dari sistem tersebut. Dikatakan bahwa ia berstatuskan janda yang berarti ia sudah tidak memiliki suami. Tentu saja kehidupannya sangat merana. Ditambah dengan sistem patriakal yang menyebabkan perjuangan yang ekstra keras untuk memenuhi kebutuhannya. Lebih parahnya, kalau kita baca di ayat 40 para rohaniawan yang menamakan diri sebagai ahli Taurat sering memakan rumah janda-janda yang tidak berdaya. Mungkin ia adalah salah satu korban para ahli Taurat itu. Tak heran jika Alkitab mengatakan ia sebagai seorang janda yang miskin. Kata miskin yang dipakai di sini “ptochos” memiliki makna keberadaan seseorang yang benar-benar miskin dan sangat bergantung kepada orang lain. Inilah keadaan janda tersebut: seorang janda yang kesepian, miskin, menderita dan tidak berdaya.


Namun menariknya, dalam keadaanya yang demikian ia masih memberikan persembahannya kepada Tuhan. Padahal janda ini berada dalam keadaan yang sukar. Ia sendiripun memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus ia penuhi. Namun ia memilih untuk mempersembahkan seluruh harta yang dimilikinya. Persembahan yang dilakukan pada waktu itu merupakan persembahan sukarela. Ia bisa saja berkata kepada Tuhan “Tuhan saya sudah tidak punya uang, kali ini gak usah persembahan dulu ya” atau mungkin dia bisa saja berkata “Tuhan saya kasih 1 keping saja ya, inikan sudah separuh dari miliku. Orang-orang kaya itu belum tentu dapat memberikan separuh hartanya.” Tidak, Ia lebih memilih untuk memberikan seluruhnya kepada Tuhan. Fokusnya yang pertama jelas tertuju kepada Tuhan.


Jika kita meneropong lebih jauh lagi, persembahan itu biasa akan digunakan sebagai diakonia untuk menolong mereka yang kekurangan. Dalam keadaannya yang begitu miskin ia masih mampu memberi kepada orang miskin lainnya. Selain kepada Tuhan fokusnya juga tertuju kepada sesamanya. Sedikitpun tidak ada fokus untuk dirinya sendiri. Ketika seorang memberi tanpa berfokus kepada diri sendiri maka pemberian tersebut dapat dikatakan sebagai pemberian yang terbaik.


Saat ini ada banyak produk yang menawarkan sebuah pemberian yang tampaknya menarik namun ternyata ada embel-embelnya. Ada kartu hp yang memasang iklannya besar-besar “GRATIS telpon ke mana saja”. Wah tampaknya begitu menarik dan memikat. Namun ternyata disudut bawah ada bintang kecil dengan keterangan “berlaku setelah menit kesekian.” Artinya pemberiannya tidak sepenuhnya gratis. Karena itu kita kalau membaca iklan perhatikan bukan apa yang menjadi tulisan utamanya saja, perhatikan juga tiap tulisan-tulisan kecil yang biasa tercantum disudutnya. Pernah juga saya melihat penjual langsat yang menulis besar-besar dikertas dengan spidol demikian “Cuman Rp. 3000 /kg”, namun dibawahnya ada tulisan kecil dengan pensil ¼ . Tentu saja orang yang sudah datang sungkan untuk tidak membeli. Pemberian yang ditawarkan ternyata tidak murni. Tetap ada embel-embel untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Fokus pemberian tetap kepada keuntungan pribadi. Yah, mungkin dalam perdagangan itu sikap yang wajar. Yang tidak wajar ialah ketika anak-anak Tuhan melakukan hal yang sama ketika memberikan sesuatu kepada Tuhan.


Saya kira ada banyak orang-orang Kristen yang melakukan hal demikian kepada Tuhan. Dalam pemberian kita kepada Dia, entah itu persembahan, pelayanan, atau ketaatan kita, seringkali kita masih berfokus pada diri sendiri. Mungkin kita memang giat melayani, namun motif dibalik itu adalah agar kita memperoleh banyak berkat dan perhatian dari Tuhan. Ada juga orang yang memberi persembahan dengan catatan pinggir bahwa Tuhan akan membalas berlipat ganda. Ada embel-embel di balik pemberian kita kepada Tuhan. Ujung dari pemberian seperti ini hanyalah kenikmatan kepada diri kita sendiri. Ketika hal itu terjadi maka di mata Tuhan itu bukan lagi sebagai pemberian yang terbaik. Mari kita belajar dari janda itu. Ditengah kondisi yang sukar; ditengah kemiskinan dan kesepian yang melandanya; dan sudah layak jika ia banyak berpikir tentang penghidupannya; ia tetap memberi dengan fokus kepada Tuhan dan pelayanan terhadap sesama. Orang yang memberi tanpa berfokus pada diri tidak akan pernah mengeluh walaupun banyak kesulitan yang menimpa dia. Ia tidak akan berkata “Tuhan, bukankah aku sudah memberi dan melayani Engkau? Mengapa ini masih menimpa kepadaku?”


Walaupun kita sendiri disergapi dengan berbagai kebutuhan hidup yang tak habis-habisnya, mari kita belajar memberi kepada Tuhan dengan fokus untuk kepentingan Tuhan dan sesama. Sebenarnya justru di saat kita mengalami perkara sulit dalam hidup, saat itulah hidup kita akan teruji, apakah kita benar-benar sudah memberikan yang terbaik dalam hidup kita. Karena itu jika kita memberikan persembahan, mari kita berikan itu untuk pekerjaan Tuhan. Dan jika kita melayani, mari kita melayani untuk kemuliaan Tuhan. Mari kita belajar seperti Yohanes yang berkata “Dia harus makin bertambah, sedangkan aku harus makin berkurang.” Pemberian yang tidak berfokus pada diri sendiri inilah yang merupakan pemberian terbaik di mata Tuhan.