Sunday, July 26, 2009

Tangis Tawa Ku....




Aku Tertawa....
Tertawa menatap ketidakbenaran
Geli Menggelitik
Melihat orang mencabut kelapa di pohon nanas

Aku Menangis....
Menangis memandang ketidakbenaran
Yang disembah bak raja segala raja
Dijadikannya sebagai kebenaran



Mengapa?
Mengapa banyak yang menaruh hati padanya?
Mungkin karena tidak sukar....
Memetik kelapa di pohon nanas


Ah....
Kini ku tertawa....
Mentertawakan dukaku sendiri
Yang tak mampu mengayunkan tangan


Dan....
Aku pun menangis....
Menangis pada-Nya
Memohon tuk membenahi semua

Thursday, July 23, 2009

Kisah Hizkia Mengajarkan Pentingnya Doa #2 (Ye 38-39)




Alasan kedua, mengapa kita harus berdoa adalah:
2. Orang yang tidak berdoa menjatuhkan dirinya sendiri (Psl. 39).

Sepertinya semua manusia ini tidak ada yang sempurna. Termasuk juga Hizkia. Walaupun secara keseluruhan dia adalah seorang yang berkenan di hadapan Tuhan, namun Hizkia pun pernah terjatuh dan mengandalkan kemampuannya sendiri. Kehidupan spiritualitasnya naik turun.

Dalam pasal 39 diceritakan bahwa raja Babel yaitu Merodakh Baladan mengirimkan utusannya ke raja Hizkia. Ada yang mengatakan, bahwa selain mengucapkan selamat atas kesembuhan Hizkia, sebenarnya Baladan hendak mengajak koalisi untuk menggempur Asyur. Hizkia yang merasa ketakutan terhadap Asyur segera saja menerima tawaran negri Babel. Bahkan Hizkia memamerkan semua kekayaan istananya kepada utusan itu untuk menunjukkan kesetujuannya atas tawaran Babel. Selain terlihat kseombongan Hizkia, sebenarnya ini menunjukkan bahwa Hizkia lebih memilih untuk bergantung kepada manusia. Padahal Tuhan sebelumnya (psl 38) sudah mengatakan bahwa Ia sendiri yang akan memagari Yehuda dan melindunginya. Namun Hizkia lebih memilih untuk bergantung kepada Babel. Bukannya berdoa mencari kehendak Tuhan, ia malah mengikuti kehendaknya sendiri. Ini sungguh kontras dengan pasal sebelumnya.

Akibatnya, kebergantungan kepada diri sendiri dan kepada Babel menjatuhkan dirinya sendiri. Hizkia tidak tahu akan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Namun Tuhan mengetahuinya. Karena itu melalui nabi Yesaya, Tuhan menubuatkan bahwa tindakan Hizkia ini akan membawa Yehuda masuk ke dalam tawanan Babel. Babel akan begitu mudahnya menyerang Yehuda karena sudah mengetahui seluk beluk kerajaan itu. Hal ini tergenapi 100 tahun kemudian setelah kematian Hizkia. Kesalahan Hizkia mengambil bagian dalam kejatuhan negeri Yehuda. Kebergantungannya akan diri sendiri, membuat Hizkia terjatuh.

Jika kita memperhatikan Alkitab kita, kita akan melihat bagaimana orang yang tidak berdoa, atau yang bergantung pada manusia, seringkali akan membawa mereka kepada kejatuhan. Sebaliknya, orang yang berdoa akan mendapatkan kuasa yang berlimpah dari Tuhan.

Sebenarnya ketika kita sudah jatuh di dalam dosa, kita sama seperti orang-orang yang cacat, yang membutukan belas kasihan Tuhan. Kita tidak mungkin dapat mencapai keselamatan. Kita tidak mungkin bisa berbuat apa-apa, karena kecacatan kita telah melumpuhkan kita.

Sebuah klip video yang berjudul “Father Heart” selalu menyentuh hati kecil saya. Berulangkali memutarnya, berulangkali juga air mata mengalir. Klip berdurasi 6 menitan itu mengisahkan tentang seorang anak yang terlahir cacat. Ia tidak dapat berbicara dan berjalan. Hal ini membuatnya tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian ia disekolahkan di SLB di daerahnya. Suatu saat, ayahnya membelikan alat bantu tulis dengan otak. Ia menyampaikan kepada sang ayah bahwa ia ingin mengikuti lomba atletic (lari, renang, bersepeda) sejarak 5 mil. Sang ayah bukanlah seorang pelari. Ia sudah cukup tua untuk berlari sejauh itu. Namun demi permintaan sang anak, ia pun menyanggupi. Sepanjang 5 mil ia berlari dengan mendorong anaknya di kursi roda. Ia berenang sambil mengikat tali perahu karet yang ditumpangi anaknya. Ia bersepeda dengan menaruh si buah hati di depannya, seperti seorang tukang becak. Dan akhirnya mereka pun berhasil mencapai garis finish. Si anak tidak dapat mencapai garis finish tanpa ayah yang bekerja, karena anak itu cacar. Dan si ayah tidak mungkin membawa anaknya ke garis finish jika anak itu tidak meminta. Dan di akhir klip tersebut, sebuah pesan yang selalu menyegarkan saya berkata “DONT RUN ALONE”. Pesan ini terus menyadarkan saya, bahwa kita adalah manusia terbatas yang membutuhkan Tuhan.

Saudara, jangan pernah berjalan sendiri. Kita tidak mungkin mampu melewati tantangan kita seorang diri. Kebergantungan kita akan menjatuhkan diri kita. Karena sebenarnya memang kita tidaklah mampu dengan kekuatan kita. Keberdosaan kita telah melumpuhkan kita. Tidak ada sesuatu yang dapat diharapkan lagi pada diri manusia. Sebenarnya ketika kita berdosa, kita ini seperti seseorang yang sedang berdiri di tebing yang licin dan curam. Sekali kita berjalan, kemungkinan besar kita terjatuh. Kita membutuhkan tangan yang terulur agar kita bisa melewati tebing licin itu setahap demi setahap. Kebergantungan kita pada diri sendiri beresiko menjatuhkan kita.

Karena itu berdoalah. Kalau perlu curahkanlah air mata kita dihadapan Tuhan. Karena Tuhan yang kita miliki adalah Tuhan yang berkenan terhadap doa dan air mata. Saya sangat meyakini bahwa doa dan air mata kita kelak akan menjadi senjata yang sangat kuat dalam menghadapi segala pergumulan kehidupan kita. Amin.

Kisah Hizkia Mengajarkan Pentingnya Doa #1 (Yes 38-39)




Seorang tokoh Reformasi yang begitu terkenal yaitu Martin Luther pernah mengatakan sebuah frasa yang menarik dalam bahasa latin yang berbunyi demikian: Preces et lacrimae sunt arma ecclesia (doa dan air mata adalah senjata gereja).

Tentu saja ungkapan ini bukanlah sekedar ungkapan yang asal keluar dari bibir sang reformator. Namun ungkapan ini muncul dikarenakan oleh pergumulan-pergumulan serta pengalaman hidup yang ia alami. Perjuangannya menegakkan kebenaran, melawan arus kesesatan yang dilakukan gereja pada itu, berkali-kali mengancam nyawanya, sehingga ia harus terus menerus berpindah-pindah dari daerah satu ke daerah lainnya untuk menyelamatkan hidupnya. Nyawanya terus-menerus terancam sepanjang tahun, sehingga hidupnya seakan-akan seperti dikejar-kejar oleh maut. Ditengah-tengah perjuangan yang berat itu lah muncul perkataan ini: doa dan air mata adalah senjata gereja. Luther sadar bahwa dengan kekuatannya ia tidak mungkin sanggup menghadapi semua permasalahan gerejanya. Ia sadar bahwa bahwa dirinya tidak berkuasa untuk melakukan apapun tanpa bantuan Tuhan. Ia membutuhkan Tuhan. Tak heran, setiap hari Martin Luther menyisihkan waktu 3 jam untuk berdoa. Dia sadar doa dan air mata adalah hal terpenting dalam menjalani hidup.

Jika demikian benarlah pepatah bahwa doa merupakan nafas kehidupan. Manusia membutuhkan nafas. Dan nafas merupakan hal terpenting bagi setiap manusia. Namun pada kenyataannya sama seperti manusia seringkali melupakan bahwa ia perlu untuk bernafas, seringkali kita sebagai anak-anak Tuhan melupakan bahwa kita perlu untuk berdoa. Bedanya nafas secara otomatis kita lakukan, sedangkan doa membutuhkan inisiatif kita.

Buktinya lihat saja digereja-gereja manapun juga, yang namanya persekutuan doa selalu dihuni oleh sedikit orang daripada persekutuan-persekutuan lainnya. Mengapa? karena dirasakan kurang terlalu penting. Karena doa dirasakan membosankan. Dan lebih parahnya, biasanya yang menjadi penghuni persekutuan doa itu kebanyakan para lansia dan ibu-ibu. Sedangkan di mana para pria? Tidak tau. Mungkin saja mereka merasa sudah lelah bekerja. Atau mungkin merasa bahwa doa itu bagian ibu-ibu saja. Atau mungkin, kebanyakan para pria menganggap bahwa doa itu tidak penting sama sekali.

Banyak orang yang tidak lagi menyadari akan pentingnya doa. Padahal doa merupakan suatu hal yang sangat penting, yang harus menjadi bagian dalam kehidupan kita. Alkitab sendiri sejak PL sampe PB berulangkali menekankan akan pentingnya doa. Setidaknya dalam perikop Yesaya 38-39 ini menunjukkan ada dua alasan mengapa doa dikatakan penting.


1. Tuhan mengasihi orang yang berdoa (Psl. 38)


Doa selalu membawa kita mendekat kepada Tuhan. Di pasal 38, dikisahkan tentang bagaimana raja Hizkia sedang mengalami sakit keras. Hizkia merupakan raja dari kerajaan Yehuda. Kalau kita baca di kitab 2 raja-raja yang pararel dengan ini, kita menemukan bahwa Hizkia merupakan seorang raja yang benar dan mengasihi Tuhan.
Dalam perikop ini ia sedang mengalami penyakit semacam barah yang sangat parah. Sehingga nabi Yesaya mengatakan bahwa ia akan mati, dan Hizkia harus menyampaikan pesan terakhir, yang barangkali merupakan wejangan-wejangan atau salam perpisahan kepada sanak keluarga.

Tentu saja hal ini mendukakan hati Hizkia. Mengapa? Karena yang pertama ia merasa tugasnya belum selesai. Daerah Yehuda pada waktu itu sedang dikepung oleh Asyur, dan Hizkia sebagai raja merasa bertanggung jawab untuk melindungi bangsanya. Kedua, Hizkia belum mempunyai anak pada waktu itu, ia sedih karena tidak ada yang meneruskan perjuangannya. Dan hal ketiga yang membuatnya sedih adalah karena pada kepercayaan zaman dulu, orang yang mati muda, apalagi karena penyakit yang memalukan, merupakan kutukan karena ia berbuat dosa kepada Allah. Dalam perikop ini Hizkia masih berusia 39 tahun, dan ia terkena penyakit barah yang memalukan. Tentu saja semuanya ini membuat dirinya sedih.

Ditengah kesedihannya, dikatakan di ayat 2 bahwa Hizkia memalingkan mukanya ke tembok dan berdoa. Ia memalingkan mukanya ke tembok karena ia tidak ingin terlihat lemah di depan prajuritnya. Namun ia lebih hanya terlihat lemah dihadapan Allah. Hizkia berdoa meminta belaskasihan Tuhan atas hidupnya. Ia menyadari bahwa kesembuhan hanya dari Tuhan. Bahkan lebih jauh lagi, dalam puisi selanjutnya, ia menyadari bahwa keselamatan itu datangnya hanya dari Tuhan. Intinya, Hizkia memilih untuk bergantung kepada Tuhan dalam setiap pergumulannya. Bahkan di akhir ayat tiga dikatakan bahwa Hizkia menangis dengan sangat.

Apakah Tuhan diam saja? Tidak! Tuhan kita adalah Tuhan yang mendengar doa dan melihat setiap tetesan air mata. Tidak lama setelah Hizkia berdoa, Tuhan meresponnya. Perkataan pertama yang dikatakan adalah “Telah kudengar doamu, dan telah kulihat air matamu”. Sepertinya hal itu yang mendasari tindakan Tuhan selanjutnya, dimana ia memperpanjang umur Hizkia 15 tahun lagi, bahkan Tuhan menjanjikan bahwa ia akan terluput dari serangan bangsa Asyur, di mana Tuhan sendiri yang melindungi Yehuda dengan memagarinya. Di sini kita dapat melihat bahwa Tuhan mengasihi orang yang berdoa, terlebih disertai dengan air mata. Benarlah ungkapan yang Luther katakan bahwa doa dan air mata merupakan senjata gereja. Karena di balik doa dan air mata, ada Tuhan yang bekerja.

Sebenarnya ketika kita berdoa dan menangis, itu menunjukkan akan kebergantungan kita kepada Tuhan. Doa membuat kita bergantung kepada kehendak-Nya. Dan tangisan mengisyaratkan akan ketidakmampuan dan keterbatasan kita. Inilah yang berkenan di hati Tuhan. Jika pada saat ini kita sedang menghadapi banyak pergumulan, baik itu di perkerjaan kita, atau mungkin di keluarga kita; mungkin kita sedang merasa kesusahan dalam keuangan; atau mungkin kita merasa gagal menjalankan peran kita; Atau mungkin ada pergumulan-pergumulan pribadi yang terus menerus kita gumulkan tiada henti; datanglah pada Tuhan, berserulah kepadanya, serahkan semua pergumulan kita kepadanya. Karena Tuhan yang kita miliki ialah Tuhan yang mendengar doa dan melihat air mata kita. Ia yang mendengar doa dan seruan kita, Ia juga yang akan memberikan kepada kita uluran tangan-Nya. Bukankah Tuhan Yesus sendiri mengatakan “mintalah maka akan kuberikan kepadaMu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah maka pintu akan dibukakan kepadamu”. Ia sudah menyediakan tangannya untuk menolong kita sambil menunggu kita berdoa.

Monday, July 20, 2009

Saturday, July 18, 2009

Forgiveness 77 (Matius 18:21-35) 2



Saudara sebenarnya alasan utama mengapa kita harus mengampuni sesama kita adalah:

Karena Tuhan lebih dulu mengampuni setiap kesalahan kita maka kitapun harus mengampuni kesalahan orang lain

Perumpamaan yang diberikan Tuhan setelah itu begitu jelas. Dikisahkan suatu ketika ada seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan terhadap hamba-hamba-Nya. Kemudian diperhadapkanlah seorang yang berhutang 10.000 talenta. Namun karena orang itu tidak dapat melunaskan hutangnya, maka seperti kebiasaan pada waktu itu bahwa dia dan anak istrinya haruslah di jual. Karena begitu sedih, hamba ini sujud menyembah kepada raja tersebut, dan hamba ini memohonkan kemurahan dari sang raja. Dan bersyukur karena raja yang ia miliki adalah seorang raja yang bermurah hati dan penuh kasih. Sehingga di ayat 27 dikatakan “lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu.” Kemudian raja tersebut menghapuskan semua hutangnya.

Namun ironinya, baru saja setelah hamba itu dapat pengampunan, ketika hamba itu baru saja keluar, ia ketemu hamba lain yang berhutang kepadanya 100 dinar saja. Ia malah menangkap dan mencekik kawannya. Padahal disebut sebagai kawan, berarti orang tersebut dekat dengan dia. Kawannya ini juga meminta belaskasihan terhadap hamba tersebut, sama seperti hamba itu meminta belas kasihan kepada rajanya. Tapi hamba itu menolak, bahkan memenjarakan kawannya sampai lunas hutangnya. Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan raja itu. Jika Raja itu tergerak untuk memberikan pengampunan dan kemurahan, hamba itu malah menuntut hutang-hutang kawannya.

Padahal perbandingan jumlah utang mereka begitu jauh sekali. Bayangkan saja, hamba itu berhutang kepada raja 10.000 talenta. 1 talenta itu sudah sangat berharga. Dalam PL tertuilis bahwa dengan dua talenta sudah bisa membeli sebuah gunung. Bayangin aja berapa berharganya jumlah 1 talenta. Nah, 1 talenta itu = 6000 dinar. Jadi 10.000 talenta itu = 60 juta dinar. Ini jumlah yang sangat-sangat mahal. Ada yang mengatakan jumlah segini tidak mungkin dapat dilunasi. Sedangkan 1 dinar itu adalah upah pekerja selama satu hari. Kalau 1 hari 1 dinar, berarti 1 tahun 365 dinar kan. Sedangkan jika kita bekerja 80 tahun (yang hampir pasti tidak mungkin terjadi) itu kita hanya dapat mengumpulkan 29.200 dinar. Itupun masih jauh dari utang yang dimiliki. Kerja seumur hiduppun juga tidak akan dapat membayar utang.

Sekarang bandingin aja utang hamba itu kepada raja 60 juta dinar. Tapi kawannya itu berhutang kepada dia hanya 100 dinar. Kalo di kalkulasikan ke rupiah (dengan asumsi uang kerja 1 hari 20rb) itu berarti ia berhutang 1200Mlyr. Sedangkan kawannya hanya berhutang 2jt rupiah. Utangnya yang 1200M dihapus. Namun ia tidak mau menghapus kawannya sendiri yang berhutang hanya 2jt rupiah. Bukankah itu namanya tidak tau diri dan tidak tau berterima kasih? Ia sudah mendapat kemurahan tapi ia tidak mau memberikan kemurahan itu.

Karena itu ketika si Raja mendengar hal itu, raja menjadi marah besar dan menyerahkan hamba yang jahat itu ke algojo-algojo sampai hamba itu dapat melunasi hutangnya. Menarik kalau kita perhatikan ayat 33 raja itu berkata “Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?”. Raja itu mengatakan “harus”. Itu berarti suatu yang mutlak, kudu, absolut, gak bisa tidak, hamba itu harus melakukan sama seperti apa yang raja itu lakukan.

Saudara, sebenarnya perumpamaan ini hendak berbicara kepada kita bahwa kitapun harus mengampuni orang yang berbuat salah kepada kita. Alasan utamanya ialah karena Tuhan sudah lebih dahulu mengampuni segala dosa-dosa kita. Hutang kita adalah dosa. Dimana kita tidak mungkin dapat membayarnya. Walaupun seumur hidup kita berbuat baik, kita melakukan banyak hal untuk Tuhan, itu tetap tidak dapat melunasi hutang dosa kita. Terlalu besar hutang yang kita punya. Dan sudah semestinya kita harus dibinasakan dalam api neraka yang kekal. Namun karena kasih dan kemurahanlah, Tuhan mau melunaskan semua hutang-hutang dosa kita. Bahkan Petrus mengatakan, bukan dengan barang yang fana, bukan dengan emas, bukan dengan perak, tapi dengan darah yang mahal. Hati-Nya tergerak oleh belas kasihan karena kita. Ia begitu mengasihi kita.

Bagaimana pengampunan Allah yang besar itu mungkin dapat kita refleksikan dalam kisah berikut. Saya pernah menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana seorang suami yang suka mabuk-mabukan begitu marah kepada istrinya, karena istrinya ketahuan selingkuh. Betapa ia murka terhadap si istri. Memang suaminya terkenal begitu keras dan pemarah. Istrinya dipukul dan dicaci. Sampai di puncak kemarahannya, malam itu, dikeluarkanlah kata-kata ‘kita cerai’. Lalu si suami hendak meninggalkan rumah itu. Si istri lalu menangis sambil memeluk kaki suaminya ia berkata “jangan pa, jangan, ampuni aku, ampuni aku”. Si suami tidak peduli, ia terus berjalan, sehingga istrinya terseret-seret sambil memegang kakinya. Sementara si istri terus teriak “pa, jangan, jangan, ampuni aku” si suami terus berjalan. Tiba-tiba si suami terdiam. Ia berhenti berjalan, dan berhenti berbicara. Lalu suaminya menutup mata, dan apa yang terjadi? Suaminya yang begitu pemarah dan keras itu menangis meraung-raung dan terduduk. Ia seakan tidak bisa memungkiri bahwa ia tetap mengasihi istrinya. Ia tidak dapat memungkiri walaupun istrinya telah begitu melukai hatinya, ia tetap mencintainya, sehingga ia tidak dapat menceraikannya. Secara tidak langsung, suaminya yang jahat itu sudah mengampuni istrinya.

Saudara, saya membayangkan bahwa jika suami itu saja, yang suka mabuk-mabukan, masih mau mengampuni istrinya karena kasihnya kepada istrinya, apa lagi Tuhan. Bukankah seringkali kitapun melukai hati Tuhan dengan dosa-dosa kita. Dosa kita terlalu besar, lebih parah dari dosa perselingkuhan, hingga tidak lagi layak untuk diampuni. Sudah semestinya hubungan kita terputus dengan Dia. Bahkan Alkitab mengatakan, setelah kita berbuat dosa ‘tidak ada seorangpun yang mencari Allah, seorangpun tidak’. Namun Tuhan tetap tidak dapat menahan kasihnya kepada kita, ia tidak dapat menceraikan kita, karena ia begitu mengasihi kita. Terlebih, ia mau mengampuni setiap dosa kita, dengan mengorbankan dirinya sendiri di kayu Salib.

Saudara, jika Tuhan sudah sedemikian mengasihi kita dengan mengampuni dosa-dosa kita, tidakkah kitapun sudah seharusnya juga harus mengampuni orang yang berbuat salah kepada kita? Betapa tidak tahu dirinya kita, jikalau kita tidak mau mengampuni. Seharusnya pengampunan yang Tuhan berikan kepada kita cukup untuk menyentuh hati kita agar kitapun dapat mengampuni orang lain, termasuk paa teroris yang tidak berperasaan itu.

Saudara, sebenarnya ada satu hal yang mengganggu saya ketika mempelajari perumpamaan itu. Jika kita melihat kisah ini, kita tahu bahwa pada akhirnya orang yang utangnya sudah dilunasi itu, dituntut kembali utangnya karena ia tidak mau menghapus utang kawannya. Dan di ayat 35 Tuhan mengatakan “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” Apa maksudnya? Apakah pengampunan dosa akan ditarik? Sepertinya tidak mungkin. Jujur saya memang belum menemukan jawabannya. Namun yang pasti, setiap orang yang tidak mengampuni akan menerima kemarahan Tuhan. Pengampunan merupakan syarat penting yang harus dilakukan bagi semua orang yang sudah menerima pengampunan dari Tuhan.

Jadi saudara, ampunilah orang-orang yang pernah melukai hatimu. Walaupun orang tersebut sudah begitu sangat menyakiti hati kita, bahkan mungkin mengkhianati kita, tetap ampunilah dia dengan kasih yang tulus. Memang pengampunan itu sulit dihadapan Tuhan. Bahkan mungkin hal yang tersulit untuk dijalani. Namun mari kita mengingat bagaimana pengampunan Tuhan kepada kita. Kesalahan yang orang lain perbuat kepada kita tidak ada apa-apanya dibanding dosa kita dihadapan Allah.

Jika saat ini kita bergumul untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita, mari kita datang kepada Tuhan. Mari kita mengakui segala kesalahan-kesalahan kita. Berkatalah pada –Nya “Tuhan, saya ingin mengampuni dia, tapi begitu sukar bagiku, tolong berikan aku kekuatan untuk dapat mengampuni dia”. Kiranya doa kita dan kehidupan kita berkenan di hadapan Tuhan.

Forgiveness 77 (Matius 18:21-35) 1



Teror kembali terjadi di negara kita tercinta. Ledakan Bom di Jakarta (17 Juli) memakan 62 korban (9 diantaranya tewas). Berita ini tentunya menyayat hati bangsa, menguras banyak air mata, dan memupuskan beberapa harapan-harapan. Sungguh perbuatan keji yang menghina martabat bangsa. Tangisan korbanpun menjadi tangisan bangsa.
Banyak yang mengutuk para teroris untuk pergi ke neraka. Ada juga yang berkata ‘semoga ibu bapakmu yang dibom’. Bahkan tidak sedikit orang yang mengumpat dengan kata-kata kasar dan cacian yang menyamakan mereka dengan hewan. Ingin rasanya bersama para korban mengutuki para otak biadab, yang tidak kenal perasaan dan cinta. Seandainya orang yang saya kasihi ikut menjadi korban, mungkin saya akan mengeluarkan cacian itu dari mulut kecilku.

Namun apa dikata, Firman Tuhan yang sedang saya pelajari, dan yang akan saya sampaikan di sebuah gereja di Bandung berbicara mengenai pengampunan. Saya memberi judul Forgiveness 77 yang sudah saya persiapkan jauh-jauh hari sebelum terjadi peristiwa pengeboman. Ini membuat saya gusar. Bagaimana menyampaikan berita pengampunan sementara hati ini tanpa sadar mengumpat para perusuh bangsa. Sungguh tidak mudah. Kucoba untuk merefleksikan kembali dan terus berulang sebelum saya menyampaikan, namun jawaban yang kutemukan tetap hanya satu kata “Pengampunan”.

Pengampunan yang seperti apa?

Di perikop tersebut dikisahkan di mana Petrus mendatangi Yesus dan bertanya “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku?”. Pertanyaan ini saya katakan merupakan pertanyaan sepanjang zaman, selama masih ada kebencian dan pertikaian terjadi dalam diri manusia. Sehingga pertanyaan “Tuhan berapa kali kah saya harus mengampuni orang itu?” juga sering kita ungkapkan. Menarik kalau kita perhatikan, Petrus sendiri langsung memberikan jawabannya “tujuh kali kah?”. Angka Tujuh merupakan angka yang sempurna di mata orang Yahudi. Dapat mengampuni orang sebanyak tujuh kali mungkin bisa dikatakan sebuah prestasi yang luar biasa. Bayangin aja jika orang yang kita kasihi berkhianat, terus bertobat, lalu berkhianat, lalu bertobat lagi, terus berulang sampai 7 kali. Dapatkah kita mengampuni? Jika kita bisa mengampuni sebanyak 7 kali, tentu itu hal yang sangat baik. Para rabi Yahudi saja mengajarkan bahwa pengampunan hanya cukup tiga kali untuk sebuah kesalahan yang sama. Selanjutnya, jika orang itu berbuat salah maka ia tidak perlu diampuni lagi.

Namun apa jawab Yesus? Di ayat 22, Yesus berkata "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Bukan tujuh tapi 70 x 7 = 490. Sebenarnya dalam teks bahsa Yunani ini juga dapat diartikan sejumlah 77x. Apa maksudnya? Jika 7 merupakan angka yang sempurna bagi manusia, maka 77 merupakan angka yang sangat sempurna dan tidak terbatas. Jika diterapkan untuk pengampunan, berarti pengampunan itu tidak terbatas, harus terus dilakukan, dan harus terus diberikan kepada mereka yang berbuat salah kepada kita. Pengampunan Haruslah SEMPURNA.

Pengampunan yang sempurna itu bukan berarti kita mau mengampuni tapi kita tidak mau ngomong lagi sama dia. Sempurna itu juga bukan berarti bahwa kita mau mengampuni, asalkan dia minta maaf. Pengampunan yang sempurna juga bukan berarti bahwa orang yang kita ampuni tidak boleh lagi berbuat salah. Tidak! Pengampunan yang sempurna adalah pengampunan yang terus-menerus dilakukan walaupun orang itu berbuat salah. Dan ketika saya merenung lebih dalam, pengampunan yang sempurna adalah pengampunan yang dapat menggiring kita untuk dapat mengasihi orang yang dulunya kita benci. Itulah pengampunan yang sempurna.

Memang pengampunan yang sempurna sangatlah susah untuk dilakukan. Suatu ketika, dalam sebuah kisah nyata, ada seorang suami yang berselingkuh dengan wanita lain. Hal itu diketahui istrinya dan sangat memukul perasaan sang istri. Hatinya sangat terluka. Si suami meminta maaf untuk hal itu. Istrinyapun mau memaafkan suaminya. Betapa senangnya ia bahwa istrinya mau mengampuni dia.

Sampai suatu waktu, sang suami pulang lebih cepat dari kantornya, dan sesampainya di rumah, ia hendak memberikan kejutan kepada sang istri. Mengendap-ngendap ia berjalan, dan ia mulai mencari istrinya. Namun ia heran, mengapa istrinya tidak ada. Tiba-tiba ia melihat bahwa pintu kamar terbuka kecil, dan ketika ia mengintip, ia menemukan bahwa sang istrinya sedang berdoa. Ia pun mendengar si istri berdoa dengan jerit tangis berkata “Ya Tuhan, saya tidak dapat mengampuni dia. Saya tidak bisa menerima kesalahannya. Saya berkata mengampuni dia, tapi hati saya masih hancur Tuhan. Saya tidak bisa mengampuninya. Tuhan, berikanlah saya kekuatan dan kemampuan untuk mengampuni suami saya.” Si suami yang mendengar hal itu, menangis, dan menyadari bahwa betapa mahalnya harga pengampunan itu.

Saudara, pengampunan memang perlu berkorban. Harga pengampunan memang mahal. Dan itu memang hal yang sangat-sangat sulit untuk kita jalankan. Namun pengampun yang sempurnalah yang Tuhan ingin kan kita perbuat. Hati yang penuh kebencian, sakit hati, dan dendam tentunya bukanlah sesuatu yang baik dan berkenan di hadapan Tuhan.
Walaupun pengampunan itu sangat sukar, dan harganya mahal, Tuhan menginginkan kita untuk mengampuni orang yang pernah berbuat salah kepada kita, termasuk para pengebom di Jakarta tersebut. Sekalipun orang yang kita ampuni itu sangat menjengkelkan, pernah menghancurkan harapan dan menyakiti hati ktia, serta berulang kali melakukan kesalahan, kita tetap harus mengampuni dia. Bahkan kita harus bisa memberikan pengampunan yang sempurna, di mana kita bisa mengasihi orang-orang tersebut. Karena itu Yesus pernah mengajarkan jika engkau ditampar pipi kananmu, berikanlah juga pipi yang satunya. Bila ada yang merampas jubahmu, berikan juga bajumu. Dan jika ada yang meminta berjalan 1 mil, berjalanlah 2 mil bersamanya. Semua ini menunjukkan akan pengampunan yang sempurna kepada mereka yang pernah berbuat salah kepada kita.
Yesus sendiri ketika tergantung di kayu salib; ketika ia masih merasakan sakitnya pukulan, sakitnya hinaan, pengkhianatan, penolakan dan penyangkalan, ketika itu juga ia berkata “Bapa....Ampuni mereka”. Dapatkah kita mengampuni seseorang jika kita masih dalam keadaan terluka? Tentu itu sangat sukar.

Friday, July 10, 2009

Charater is Number One




Pemilu Indonesia sudah terlewati selama tiga hari yang lalu. Hasilnya memang belum dapat di fix-kan. Namun dari perhitungan KPU sementara dan QuickCount, semuanya menyantumkan kemenangan telak pasangan SBY-Boedhiono dengan total suara sekitar 61%. Dengan demikian, kemungkinan besar pemilu satu putaran pun terlaksana. Beberapa pihakpun sudah memberikan ucapan selamat kemenangan kepada calon presiden yang berslogankan “lanjutkan” tersebut. Bahkan capres lainnya, yaitu pak JK sudah menelepon untuk memberi selamat atas perhitungan QuickCount yang sudah dilakukan.

Beberapa pengamat politik melihat ada beberapa faktor penyebab bagi kemenangan pasangan nomor dua tersebut. Ada yang mengatakan tentang posisinya yang kuat. Ada juga yang mengatakan bahwa masyarakat puas akan kepemimpinannya sebelumnya. Namun yang menarik, banyak sekali pengamat politik yang melihat bahwa kemenangan SBY itu tidak lepas dari karakter dan kepribadiannya yang sangat disukai oleh masyarakat. Seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lili Romli, menilai bahwa keunggulan Yudhoyono merupakan hasil perpaduan antara figur dan pencitraan. Hal yang sama diungkapkan oleh direktur Eksekutif Cirus Surveyors Group, Ardrinof A Chaniago. Menurutnya, dalam memilih, rakyat menempatkan porsi kepribadian lebih besar dari pada kemampuan. Sikapnya yang tenang dan bersahaja, kecintaannya akan damai, kejujuran dan keramahannya, sangat memikat hati masyarakat Indonesia. Bukan hanya para ibu-ibu, para kaum bapak pun banyak yang tertarik dengan karakteristik yang dimilikinya.

Saya sendiri mengamat-ngamati selama kampanye ini, bahwa beliau memiliki kepribadian yang baik. Diantara ketiga capres yang giat berkampanye, hanya beliaulah yang tidak pernah memberikan serangan-serangan terhadap capres-capres lainnya. Sedangkan dua capres lainnya sangat intens menembakkan peluru-pelurunya untuk menjatuhkan pesaingnya. Saya hanya berpikir, bagaimana mungkin saya memilih pemimpin yang suka menyerang dan menjatuhkan. Kelak ketika ia benar-benar menjadi pemimpin, bukankah orang-orang yang dijatuhkan itu akan menjadi orang atau kelompok yang mengalami sakit hati atas peluru-peluru yang ditembakkan tersebut. Dan kemudian perpecahan akan semakin parah. Untungnya pak SBY memiliki karakter yang bersahaja. Meskipun ia paling banyak menerima peluru, tidak sedikitpun dia mau menarik rudalnya untuk menembak lawan. Sebaliknya ia lebih memilih untuk bersikap sabar dan fokus akan rencana-rencananya bagi kepentingan bangsa.

Satu hal yang saya tangkap dari pesta demokrasi ini adalah: Character is number one. Jika seseorang dipercayakan untuk menjadi pemimpin, maka ia harus siap untuk memperbaiki karakternya dan senantiasa memperhatikan kepribadiannya. Seorang yang suka berkata “yah, inilah diriku apa adanya, kalau orang gak bisa terima ya udah”, kurasa tidak akan dapat menjadi pemimpin yang baik. Sebaliknya pribadi yang mau terus dibentuk dan diubahkan, saya yakin ia merupakan orang yang memang ditetapkan untuk menjadi seorang pemimpin handal.

So, teruslah bentuk dirimu. Tentu saja, cara terbaik dalam membentuk karakter kita adalah dengan terus-menerus berinteraksi dengan Alkitab yang adalah Firman Tuhan. Alkitab merupakan buku yang jauh lebih berguna dari pada buku psikologi manapun, sekalipun ia bukanlah buku psikologi. Melaluinya kita dapat bercermin tentang siapa kita, apa yang harus diubah, apa yang salah, dan kekotoran apa yang masih ada dalam diri kita. Dengan demikian karakter kita akan semakin diasah dan diukir untuk semakin serupa dengan-Nya. Tentu saja kita harus berinteraksi dengan Firmannya di dalam kerendahan hati, dan sikap yang mau dibentuk. Tanpa itu semua percuma saja.
Jadi kawan, bercerminlah sekali lagi akan kepribadianmu dan karaktermu. Perbaikilah apa yang masih dapat diperbaiki. Saya yakin, dengan demikian, kalian pun dapat menjadi pemimpin-pemimpin yang luar biasa.

Mazmur 119:105 Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.

Wednesday, July 08, 2009

Hikmat Dalam Sosok Pohon Korma




Seorang yang berhikmat haruslah memiliki pengetahuan tentang alam. Bukan hanya memiliki pengetahuan, namun ia dapat merefleksikan mengenai pelajaran apa yang dapat ditarik di dalamnya. Salomo, orang yang dikatakan memiliki hikmat yang luar biasa, seringkali belajar dari hikmat yang terselip di dalam alam. Misalkan, dapat kita lihat di kitab Amsal, bagaimana ia memaparkan tingkah laku semut, belalang, pohon-pohonan, buah-buahan dan sebagainya. Yesus sendiri pernah mengangkat pamor seekor burung untuk mengingatkan umatnya untuk tidak khawatir.

Saat ini saya ingin membagikan apa yang telah saya dengarkan (sewaktu ibadah di GKT Antiokia Malang oleh Pdt. Stephanus bulan April 2009) dan saya refleksikan, yang boleh menguatkan kehidupan saya.

Pelajaran yang berharga dan kaya hikmat itu diambil dari kehidupan pohon korma. Pohon korma itu banyak bertumbuh di perbatasan Israel. Jika kita menyusuri negeri yang kaya akan madu dan susu itu, kita akan menjumpai begitu banyak tertanam pohon korma tersebut. Alkitab sendiri membuktikan bahwa pohon ini sudah sering digunakan di daerah Israel, yang seringkali digunakan untuk berteduh, menghias bait Allah dan membuat pondok-pondok (karena daunnya yang rimbun). Tidak jarang dipintu-pintu gerbang istana terukir gambar pohon tersebut. Sepertinya pohon ini merupakan pohon yang berdaun indah sehingga banyak orang yang menggunakan gambarnya sebagai lukisan dan ukiran. Bahkan dalam Kidung Agung, keindahan tubuh wanita itu digambarkan seperti sesosok pohon korma.



Jujur saya belum pernah melihatnya langsung akan keindahannya. Namun keindahan itu semakin sempurna ketika saya mengetahui proses pertumbuhannya. Biasanya sejak awal pertumbuhan, pemilik pohon akan langsung menindisnya dengan sebuah batu yang cukup besar. Tentu saja jika kita membayangkan, pohon itu akan mengalami kematian. Namun ternyata tidak. Justru sebaliknya, pohon itu malah semakin bertumbuh dengan baik. Mengapa? Karena tindisan batu yang menekan pohon tersebut ternyata membuat akarnya akan semakin menancap ke dalam. Dengan demikian setelah akarnya kuat dan kokoh, pohon korma tersebut akan bertumbuh dengan lebih gagah, kokoh, dan lebat. Pohon korma yang ditindih batu selalu memiliki kualitas yang lebih baik daripada pohon yang tidak ditindih dengan batu. Yang tidak ditindih biasanya memiliki akar yang kurang kuat untuk menopang pohon itu ketika menghadapi tekanan-tekanan dari luar. Walaupun pertumbuhannya lebih cepat, namun hasilnya tidaklah memuaskan.

Sebenarnya demikian juga dengan kehidupan kita. Tidak jarang kita harus mengalami tekanan dan “tindihan” dari beban yang menyiksa kita. Mungkin dalam perspektif kita, tekanan itu akan menghambat pertumbuhan kita, bahkan mungkin membunuh kita. Sehingga tanpa sadar atau dengan sadar, kita suka mengeluh dan bersungut-sungut kepada Tuhan, seakan-akan Tuhanlah penyebab semuanya itu. Padahal kenyataannya, tindihan-tindihan itu kadang disengaja agar iman kita lebih berakar di dalam Tuhan, pengharapan kita lebih menancap pada janji-janji-Nya, dan karakter kita semakin serupa dengan Kristus. Semua itu akan menggiring kita pada pertumbuhan yang ideal dan sempurna. Kokoh dan tangguh menghadapi rintangan. Bahkan menghasilkan ‘daun-daun’ yang begitu indah dipandang.

Jujur jika memperhatikan kehidupan orang-orang di sekitar saya, saya bisa melihat kenyataan itu begitu jelas. Orang yang hidup enak, berada, segala keinginan selalu terpenuhi, di manja orang tua, jalan hidup mulus, dan tidak pernah mengalami pergumulan yang berat, mereka akan lebih mudah tertekan bahkan stress, jika sedikit badai menimpa mereka. Walaupun secara tampak luar mereka tampak begitu tangguh dan kokoh. Sebaliknya mereka yang hidup penuh dengan pergumulan dan penderitaan, akan bertumbuh menjadi sosok jiwa yang kuat, tabah, dan tenang ketika menghadapi tindihan-tindihan itu. Walaupun air mata mereka lebih terkuras, namun air mata itulah yang menyirami dirinya sendiri, dan membuatnya makin bertumbuh selayaknya pohon yang ditanam di tepi aliran air.

Karena itu saudaraku, janganlah engkau berputus asa jika dirimu saat ini berada dalam tekanan-tekanan dan tindihan yang begitu menyiksa. Jangan seperti orang-orang yang tak bepengharapan yang kemudian lebih memilih untuk mengakhiri kehidupan mereka. Sebaliknya, berinteraksi lah dengan tekanan yang engkau hadapi. Berproseslah dengan penderitaan itu. Bertumbuhlah bersamanya. Tekanan itu akan membuat engkau menjadi seorang yang tangguh dan kuat dalam Tuhan.

Oh ya. . . satu hal lagi. Pohon korma itu biasanya ketika akarnya sudah tertancap kuat, ia akan menggulingkan sendiri batu yang menindihnya, tanpa bantuan seorang pun. Demikian juga kita. Jika akar kita sudah begitu kokoh menancap di dalam Tuhan karena tekanan-tekanan itu, kelak kita akan menggulingkan batu itu dengan kekuatan kita yang sudah berakar itu. So... enjoy your stone. GBu

Friday, July 03, 2009

Si Bijaksana Vs Si Bodoh (Mat 25:1-13)




Setiap kita pasti pernah mengalami apa yang namanya perpisahan. Ada pertemuan, tentu ada perpisahan. Dalam sebuah perpisahan itu selalu mengandung unsur kesedihan, apalagi jika orang tersebut adalah orang yang dekat dengan kita. Semakin dekat, maka kita akan semakin sedih. Namun tidak hanya mengandung unsur kesedihan, biasanya dalam perpisahan itu juga biasanya terselip pesan-pesan yang harus dijalankan selama mereka berpisah. Dan biasanya pesan-pesan itu merupakan pesan yang sangat penting.

Contohnya: Seorang ayah yang sedang berpergian ke luar kota, biasanya akan memberi pesan kepada anak-anaknya untuk rajin belajar, jangan bolos, nuruti mamamu, dsb. Sepasang kekasih, yang suatu ketika laki-lakinya hendak pergi berperang, satu sama lain memesankan untuk saling mendoakan, jaga diri baik-baik, jangan lupa tulis surat dsb. Saya sendiri, masih teringat dalam benak saya, ketika saya ingin merantau ke Surabaya (karena saya orang Kalimantan) untuk menempuh study yang lebih baik, tiba-tiba mama saya menangis dan mencium saya sambil berkata, jaga diri baik-baik ya, jangan lupa berdoa. Pendeta saya yang ada di Surabaya, sebelum ia meninggal, perkataan yang terus dikumandangkan adalah “tolong gembalakan domba-domba ini, tolong”. Baginya domba-domba itu terpelihara dengan baik jauh lebih penting daripada kepentingan pribadinya.

Saudara, dalam kehidupan orang Kristen pun, sebenarnya banyak pesan-pesan penting yang dititipkan Tuhan kepada kita. Sebelum Yesus naik kesurga, ia memberikan begitu banyak pesan yang penting bagi setiap kita, mengenai apa yang harus kita lakukan selama kita tidak bersama-sama dengan Tuhan.

Dalam perikop di atas mengenai perumpamaan 10 gadis pembawa pelita; merupakan salah satu pesan penting yang diberikan Tuhan kepada setiap kita.
Pasal 24 dan 25, dimana perikop yang kita baca terletak di dalamnya, itu merupakan kumpulan khotbah tentang akhir zaman (dapat kita lihat di judul di atas pasal 24). Dalam pengajaran Yesus mengenai akhir zaman bukanlah suatu hal yang mudah, karena itu Ia memberikan kepada kita dalam bentuk perumpamaan-perumpamaan. Perumpamaan itu diberikan agar kita mudah mengerti. Sama seperti seorang ayah yang ingin menjelaskan tentang kejujuran kepada anaknya yang masih duduk di kelas 1 sd. Tidak mungkin ayahnya memberikan konsep-konsep, karena anak itu tidak akan nyampai pikirannya. Tapi mungkin dengan memberikan banyak contoh seperti: jangan ambil permen orang lain, jangan nyontek, dsb; akan memberikan pengertian tentang kejujuran kepada anak itu, walaupun tidak utuh. Demikian juga dengan perikop ini. Kerajaan Surga bukan suatu hal yang dapat dimengerti manusia. Karena itu Ia memberikan perumpamaan agar kita para pembaca dapat mengerti.

Apa sih yang hendak di ajarkan? Tuhan bukannya mau memaparkan tentang kondisi tentang Surga atau keadaannya pada saat kita di sana nanti, seperti yang sedang dicari oleh kebanyakan orang saat ini. Namun yang jauh lebih penting, perumpamaan-perumpamaan ini sebenarnya lebih mengajarkan tentang bagaimana kita harus bersikap sembari menanti kedatangan Tuhan yang kedua kali. Dan tentunya ini merupakan perintah penting bagi setiap kita yang mengaku percaya kepada Tuhan.

Dalam perumpamaan yang kita baca dikisahkan ada 10 gadis, yang belum menikah, yang hendak menyongsong kedatangan pengantin pria. Jika diperhatikan, sejak awal Tuhan sudah memberi cap kepada mereka bahwa lima diantaranya bijak, dan lima lagi bodoh. Mengapa?

Tentu sebelum kita memasuki lebih jauh, kita harus memahami budaya pernikahan pada waktu itu. Orang Yahudi biasa melakukan pesta pernikahan pada malam hari. Biasanya pengantin pria harus melakukan negosiasi dengan pihak keluarga perempuan dengan tawar-menawar tentang mas kawin. Pembahasan mas kawin ini akan menghabiskan banyak waktu dan berlarut-larut, sehingga wajar jika pengantin pria akan datang terlambat. Itu sudah lumrah, karena pengantin pria tidak akan pergi sebelum kontrak perkawinan ditanda-tangani pihak keluarga perempuan. Setelah semuanya selesai barulah pengantin pria bersama beberapa temannya menghampiri rumah pengantin wanita. Kapan datangnya tidak ada yang tahu. Yang pasti dalam waktu dekat, tidak mungkin bulan depan baru datang. Pernikahan sudah diumumkan, tinggal menanti kedatangannya saja.

Dipihak wanita, mempelai wanita akan menunggu dirumahnya. Biasanya rumahnya itu akan dijadikan tempat pesta. Selama menunggu kedatangan mempelai pria, biasanya ada 10 kawan gadisnya yang belum menikah untuk menjadi pengiring dan pembawa pelita. Gadis pembawa pelita ini bukanlah orang yang penting dalam pesta tersebut. Justru ini merupakan kesempatan yang berharga bagi para gadis itu untuk membawa pelita dalam pesta. Justru jika mereka tidak membawa pelita mereka akan dianggap sebagai perusak pesta. Mungkin kalau jaman sekarang mereka itu seperti pagar ayu.

Pada jaman itu, pelita yang dipakai bentuknya seperti obor, dengan tongkat yang ujungnya ada semacam mangkok tembaga yang berisi minyak. Kemudian di mangkuk itu ditaruh sumbu yang agak panjang di mana sebagian sumbu itu dicelupkan kedalam minyak, dengan tujuan agar apinya dapat menyala terang dan indah. Karena sumbu itu akan membuat api lebih menyala, sebab itu minyak akan mudah habis. Beberapa peneliti mengatakan bahwa minyak yang dituang itu akan habis dalam waktu 15 menit.

Disitulah inti permasalahannya. Lima gadis yang bijak itu membawa persediaan minyak, karena ia mengetahui bahwa mempelai laki-laki itu datangnya tidak dapat ditentukan, dan karena minyak yang ia gunakan akan cepat habis. Mereka berjaga-jaga dan mempersiapkan diri dengan baik. Sebaliknya, lima gadis bodoh itu pantas di bilang sebagai gadis bodoh. Sudah tau biasanya mempelai datangnya tidak tentu, dan sudah tau juga bahwa minyak terlalu sedikit akan cepat habis, jadi mengapa mereka tidak membawa cadangan minyak? Oleh karena itulah sejak awal Tuhan menekankan bahwa mereka bodoh. Mereka tidak berjaga-jaga dan tidak mempersiapkan diri dengan baik.

Jika diumpamakan, orang bodoh itu sama seperti situasi di sebuah desa yang terletak dibawah kaki gunung merapi. Pada tahun 1994 mereka sudah diingatkan bahwa gunung merapi akan segera meletus. Meski diperkirakan beberapa bulan lagi, namun mereka diharapkan untuk waspada dan segera pergi meninggalkan daerah mereka. Beberapa dari mereka ada yang pergi, namun ada yang tidak mau meninggalkan kenyamanan mereka. Mereka pikir meletusnya masih lama sehingga mereka tidak perlu berwaspada. Akibatnya pada 22 Nov 94, awan panas berkecepatan 300 km/jam dengan suhu 600 derajat celcius melanda desa itu dan memakan korban 100 jiwa, serta melukai 68 orang, dan meluluh hancurkan ribuan rumah menjadi puing-puing. Mereka bodoh karena tidak mau berjaga-jaga dan hanya memikirkan kenyamanannya saja.

Begitu juga dengan 5 gadis itu. Sebenarnya ketika mereka tidak membawa minyak itu mengisyaratkan bahwa mereka adalah orang-orang yang egois, yang mau enak-enakan saja. Mereka mau menikmati acara pesta, namun mereka tidak mau berkorban untuk membeli minyak. Memang jika membeli minyak lebih akan membutuhkan biaya lebih, dan tentunya membuat mereka repot, karena tangan yang satu harus memegang pelita dan satunya lagi memegang obor. Mereka hanya mau enaknya saja.

Akibatnya ketika mempelai datang, mereka tergopoh-gopoh kebingungan. Mereka meminta minyak ke lima gadis bijak, tapi itu tidak mungkin, karena mereka bersepuluh akan kekurangan minyak nantinya. Akhirnya 5 gadis itu pergi membeli minyak. Namun ketika mereka kembali, pemilik rumah menutup pintu dan mereka tidak dapat masuk. Dan ketika mereka berteriak untuk membukakan pintu, pemilik rumah hanya menjawab “sesungguhnya aku tidak mengenal engkau”.

Kalimat ini adalah kalimat yang sangat menyakitkan. Bayangkan saja jika kita pergi ke sebuah pesta pernikahan pejabat atau orang besar. Sesampainya disana kita tidak diijinkan masuk, dan mereka mengatakan “siapa kamu? Kami tidak kenal engkau?” Tentunya itu akan menjadi pengalaman yang memalukan bagi kita. Kalimat “saya tidak mengenal engkau” ini sama seperti yang terdapat dalam Matius 7, di mana banyak orang yang berkata Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Tetapi Yesus berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!". Itu dikatakan bagi mereka yang tidak melakukan kehendak Bapa. Sebenarnya dari perkataan ini kita dapatkan beberapa kesimpulan. Pertama, gadis-gadis itu tidak memiliki relasi yang dekat dengan tuan rumah. Dan yang kedua gadis-gadis itu hidup seenaknya tanpa memikirkan kehendak tuan rumah yang mengkehendaki mereka menjadi pembawa pelita.

Pelajaran apa yang dapat kita petik? Perumpamaan ini hendak mengajarkan agar kita senantiasa untuk berjaga-jaga dan mempersiapkan diri dalam menyambut kedatangan Tuhan yang kedua kali. Tuhan sang mempelai pria sudah mengatakan bahwa Ia akan datang kembali untuk menjemput setiap umat percaya. Sembari menanti, ia terus mengajarkan kita untuk berjaga-jaga. Dalam Alkitab ada 20 kali kata berjaga-jaga digunakan. Ini menunjukkan bahwa pesan ini merupakan yang sangat penting. Tuhan mengharapkan kita untuk berjaga-jaga dan mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangannya.

Berjaga-jaga itu memiliki arti:
- Memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan. Memiliki relasi yang baik, yaitu dengan senantiasa mencari kehendak Tuhan melalui Firmannya. Dan tentunya dengan doa, karena Tuhan memakai sarana doa untuk senantiasa berseru dan berharap kepadaNya.

- Mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menyambut kedatangan Tuhan.
Begaimana mempersiapkan diri? Yaitu dengan menjaga hidup kudus dengan menjauhi dosa; Melakukan pelayanan dengan giat; dsb. Berjaga-jaga itu bukannya hidup seenaknya, seperti yang di lakukan beberapa orang. Banyak orang kristen yang berpikir karena mereka sudah diselamatkan, mereka dapat hidup seenaknya. Mereka tidak peduli lagi dengan hukum-hukum dan aturan yang harus kita jalankan. Hidup sesuka hati. Saudara, sebenarnya orang seperti ini mungkin harus bertanya, “apakah saya sudah diselamatkan?”. Sebab jika seseorang telah diselamatkan, RK akan membawanya untuk terus mengintropeksi diri, berjaga-jaga, dan terus menerus berjuang untuk hidup kudus bagi Tuhan.

Bis, sudah berjaga-jagakah kita? Sudahkah kita memiliki relasi yang baik dengan Tuhan? Atau selama ini kita sibuk dengan pekerjaan dan keluarga kita, tapi kita menutup telinga dan mata kita untuk mengetahui apa kehendak Tuhan? Dan sudahkah kita menyiapkan diri kita dengan menjaga hidup kita kudus? Sebagai orang merdeka, sudahkah kita menghargai kemerdekaan itu, atau kita menyalahgunakannya yang mengurung kita kembali di dalam dosa-dosa kita?

Jangan kira orang yang tidak berjaga-jaga akan aman-aman saja. Orang yang tidak berjaga-jaga pasti akan menerima resikonya. 5 gadis bodoh itu menerima resiko untuk tidak mengikuti pesta perjamuan karena kelalaiannya. Intinya relasi terputus dengan tuan rumah. Kitapun demikian. Kita akan menerima akibatnya jika kita tidak serius dalam menjalani hidup ini. Memang kita tidak bisa tau jelas akibat apa yang akan diterima. Karena fokus perumpamaan ini berbicara tentang sikap yang harus kita miliki. Namun yang pasti, ketika relasi kita terputus dengan Tuhan, hidup ini akan menderita. Yang pasti ada akibat yang tidak enak, jika kita tidak sungguh-sungguh berjaga-jaga.

1 Februari 2003, sebuah kecelakaan pesawat luar angkasa milik NASA menimbulkan kesedihan yang mendalam. 7 orang austronot tewas seketika. Keluarga korban berduka, tim NASA berduka, dan Colombia berduka. Apa yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi? Selidik punya selidik ternyata ditemukan bahwa ketika para astronot itu mengudara ada lobang kecil di bagian sayap bawahnya. Namun para astronot itu mengabaikannya. Mereka menganggap bahwa lobang itu terlalu kecil sehingga tidak akan menyebabkan apa-apa. Namun apa yang terjadi? Beberapa menit seblum mereka mendarat kebumi, ketika pesawat hendak memasuki atsmosfer, ternyata tekanan atsmofer itu langsung menekan lewat kelobang kecil itu, tidak tau prosesnya bagaimana, dan akhirnya menyerang bahan bakar pesawat. Dalam waktu seketika, pesawat itu hancur, dan 7 orang di dalamnya tewas. Kesalahan kedua mereka sebenarnya ialah mereka melanggar aturan main. Seharusnya ketika berangkat dan mendarat, mereka harus memakai pakaian pelindung yang lengkap. Namun mereka mengabaikan hal itu. Mereka melepas semua itu, dan bersukacita dengan yakin bahwa mereka akan mendarat dengan selamat. Seandainya mereka memakai pelindung itu, masih ada kemungkin selamat dari kecelakaan itu. Kesalahan terbesar mereka ialah karena mereka tidak waspada dan tidak berjaga-jaga.

Sama seperti pesawat tersebut, demikian jugalah kita. Jika kita tidak berjaga-jaga dan memberi ruang untuk menjauh dari kehendak Tuhan, dan mungkin semakin dekat dengan kehendak si jahat atau kedagingan kita; maka kita sedang berada dalam keadaan yang kritis, yang akan membawa kita kepada kehancuran. Kehancuran karena kerterpisahan dari kehendak sang Bapa.

Karena itu berjaga-jagalah. Seorang Pendeta yang bernama Jimmy, sebelum ia meninggal, ia terus mengatakan sebuah pesan kepada anaknya “Cari 1 jiwa lagi, cari 1 jiwa lagi”. Pesan itu begitu merasuk kedalam hati anaknya, sehingga anaknya saat ini menjadi penulis buku yang begitu ternama, ia bernama Rick Warren. Biarlah kita bisa seperti seorang Rick yang mau menyimpan pesan dari atasan kita dengan sebaik-baiknya.

Saudara, berjaga-jagalah dan terus berjuang. Kelak kita akan menerima undangan untuk semeja perjamuan dengan Tuhan. Masa-masa itu akan menjadi masa yang indah, karena Tuhan begitu nyata dinyatakan di hadapan kita. Sukacita kita akan penuh. Dan mungkin, ketika kita sedang berdiri dihadapannya ia akan berkata kepada kita “bagus sekali hambaku yang baik dan setia, masuklah dalam kebahagiaan tuanmu”. Amin