Wednesday, June 30, 2010

Sungguh Besar Imanmu (Matius 15:21-28) #2



Iman Yang Disertai Pengharapan

Iman dan pengharapan merupakan sohib karib yang tidak dapat terpisahkan. Jika salah satu tidak lagi berfungsi maka dapat dipastikan satunya juga tidak akan berfungsi dengan baik. Perempuan Kanaan dalam cerita ini menyertai pengharapan dalam imannya. Pengharapan akan kesembuhan anaknya sangatlah besar. Pengharapan inilah yang membuatnya terus berjuang mati-matian memohon kepada Yesus untuk memberikan kemurahan kepadanya. Padahal dalam maksud menguji perempuan itu, Yesus memberikan respon yang kurang bersahabat. Ketika perempuan itu berseru, Yesus hanya diam seakan tidak peduli. Ketika ia terus berseru, Yesus memberikan jawaban yang lebih tegas “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” Yesus seakan ingin berkata kepada perempuan itu kalau Ia hanya mau melayani orang Israel dan tidak peduli dengan orang asing.

Sejauh ini apakah perempuan ini berhenti memohon? Tidak! Ayat 35 menuliskan bahwa perempuan ini lebih mendekat lagi dan memohon. Namun Yesus memberikan ungkapan yang lebih tajam lagi “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Pada waktu itu sudah merupakan pengertian umum bagi orang Yahudi bahwa mereka yang berkebangsaan Yahudi disebut anak-anak, sedangkan orang-orang non Yahudi disebut anjing. Jadi Yesus hanya mengungkapkan apa yang menjadi pandangan orang pada waktu itu. Walau demikian, pandangan tersebut memang merupakan pandangan yang merendahkan orang-orang kafir. Kira-kira kalau berada di posisi perempuan itu apakah kita akan berhenti memohon setelah diperlakukan demikian? Kalau saya jadi perempuan itu, saya kira saya akan menghentikan seruan saya. Namun perempuan ini tidak berhenti. Ia terus memohon dan berseru kepada Yesus. Mengapa? Pengharapan yang besarlah yang membuatnya teguh untuk memohon. Seorang yang memiliki pengharapan sudah pasti ia akan terus berjuang dalam menggampai pengharapannya.

Demikian juga ketika kita berdoa dan berseru kepada Tuhan. Ketika kita berdoa, hanya ada tiga kemungkinan jawaban yang dapat terjadi. Ya, tidak, atau belum. Terkadang ada kalanya Tuhan belum menjawab permohonan kita. Bahkan terkadang jalan-jalan yang kita harapkan tampak tertutup. Tuhan seakan-akan tidak peduli. Namun sebenarnya bukannya Ia tidak ingin menjawab, Ia hanya ingin menguji iman kita. Ia ingin melihat seberapa besar pengharapan yang kita miliki di dalam Dia. Ia ingin melihat seberapa sungguh kita berharap kepada Dia. Karena itu jangan pernah berhenti untuk berseru. Naikan permohonanmu dengan tak henti-hentinya. Teruslah berharap kepada-Nya.


Iman Harus Dijalani Dengan Sikap Rendah Hati.

Namun tentunya pernyataan iman harus diiringi sikap yang benar. Kesempurnaan iman terjadi pada saat diiringi sebuah sikap kerendahan hati. Orang yang rendah hati dihadapan Tuhan itu ialah orang yang menyadari bahwa dirinya orang yang terbatas. Dan bukan hanya menyadari keterbatasannya, ia juga mengakui akan kedaulatan Tuhan. Karena itu ia akan bergantung hanya kepada kemurahan Tuhan.

Sikap inilah yang ditunjukkan oleh perempuan kanaan itu. Sikap yang ditunjukkan semakin hari semakin memperlihatkan kebergantungannya kepada kemurahan Tuhan. Sejak mula perempuan ini udah menyerukan “Tuhan kasihanilah kami…. (ay. 22)”; ia sangat bergantung kepada belas kasihan Tuhan. Ketika Yesus menolak dia Alkitab menuliskan bahwa perempuan itu mendekat dan menyembah dia (ay. 25) sembari berseru “Tuhan tolonglah aku.” Kata menyembah (Proskunew) ini menggambarkan tentang seorang hamba yang bersujud kepada tuannya dengan kepala sampai ke tanah. Dalam keadaan itu kepala yang menyembah sejajar dengan kaki orang yang disembah. Ini menunjukkan akan pengakuan akan keterbatasannya. Ini juga berarti orang yang disembah itu bisa melakukan apa saja kepada orang yang menyembah. Posisi ini sudah menunjukkan akan betapa diri yang menyembah adalah sosok yang tidak layak. Bahkan ketika Yesus meresponi dengan keras “Tidak baik roti anak-anak diberikan kepada seekor anjing”, perempuan ini bukannya menentang pendapat itu, namun ia mengatakan “benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya”. Perempuan ini seakan ingin berkata “Tuhan, benar, saya memang tidak layak, saya memang ‘seekor anjing’, tapi Tuhan, setidak anjing itu bisa mendapatkan sedikit kemurahan.” Awalnya perempuan ini meminta roti, namun ketika Tuhan menolak permohonannya, ia hanya mengharapkan remah-remahnya saja. Intinya perempuan ini hanya membutuh sedikit saja kemurahan Tuhan bagi dia. Remah-remah kemurahan itu cukup bagi dia. Perempuan ini tidak memaksakan kehendaknya. Ia sadar akan siapa dirinya. Karena itu ia bergantung mutlak kepada Tuhan yang berdaulat memberikan kemurahan kepada siapa Ia mau berikan. Inilah sikap kerendahan hati.

Keluarga saya sejak dahulu selalu menggunakan pembantu untuk mengurus pekerjaan-pekerjaan rumah. Sudah banyak pembantu yang keluar masuk di rumah kami. Ketika saya mengamati saya menemukan ada dua jenis macam pembantu berkenaan dengan statusnya. Ada pembantu yang tidak sadar bahwa ia adalah pelayan dan salah dalam menggunakan kebaikan majikannya. Pembantu tersebut sering meminta sesuatu dan majikannya mengijinkan. Sampai suatu waktu ia ingin jalan-jalan bersama dengan temannya, dan ia meminta kepada kita untuk diijinkan keluar sejenak bersama temannya. Kebetulan waktu itu tidak ada orang di rumah maka untuk kali ini kami tidak mengijinkannya. Awalnya pembantu tersebut memohon baik-baik, tapi lama kelamaan ia menjadi marah karena permohonannya tidak di injinkan. Lantas ia membanting pintu kamar dan mendumel. Ia tidak sadar siapa dirinya, bahwa ia hanyalah seorang pelayan yang harus tunduk terhadap majikannya. Tapi saya pernah juga melihat pembantu jenis kedua. Ia juga pernah memohon kepada kami untuk bisa pergi karena ada urusan penting. Tapi dalam permohonannya ia mengatakan “Tapi terserah tuan, kalau tuan ijinkan saya pergi, kalau tuan tidak ijinkan mungkin lain waktu saja.” Pembantu seperti ini menyadari penuh akan statusnya sebagai pembantu. Ia tidak akan pernah marah walaupun permohonannya tidak diterima. Inilah yang dinamakan sikap rendah hati.

Demikian juga ketika kita berdoa. Milikilah kesadaran bahwa sebenarnya kita tidak layak di hadapan Tuhan. Kita ini hanyalah hamba yang bergantung kepada kemurahan Tuhan. Dan tentu seorang hamba tidak pernah memaksakan kehendaknya. Ia bisa berjuang untuk memohon, tapi ia tidak akan pernah memaksakan kehendaknya. Ia akan selalu bersyukur untuk apapun yang Tuhan beri. Walaupun doanya mungkin tidak terjawab, ia juga tetap akan mempercayakan hidupnya kedalam kedaulatan Tuhan. Ia tidak akan pernah menjadi kecewa. Sikap rendah hati seperti inilah yang harus dimiliki orang-orang yang beriman ketika ia berdoa dan berharap pada Tuhan.

****

Saudaraku, jika saat ini saudara sedang berada dalam sikon yang rumit; mungkin ada pergumulan-pergumulan yang sangat menguras tenaga dan pikiranmu; dan mungkin sebuah badai besar sedang menyerbu rumah tangga saudara saat ini; entah itu sakit penyakit, masalah ekonomi, masalah hubungan, dsb. Kesedihan, ketakutan , dan tekanan demi tekanan menyergap kita. Mari kita belajar untuk memiliki iman sama seperti perempuan Kanaan tersebut. Percayakanlah permasalahanmu kepada orang yang tepat. Serahkan semuanya ke tangan Tuhan yang berdaulat atas kehidupan manusia. Teruslah berharap dan menantikan pertolongan daripada-Nya. Jangan pernah menjadi putus asa dan kecewa kepada Tuhan. Dan ingat, sertailah dengan sikap rendah hati yang menyadari akan ketidaklayakan kita. Orang yang rendah hati akan mensyukuri setiap kemurahan Tuhan atas jawaban doa kita. Bahkan ketika doa itu tidak terjawab sekalipun, kita akan senantiasa bersyukur dan tetap percaya akan kedaulatan Tuhan. Kiranya ungkapan Tuhan “Hai saudara, sungguh besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti apa yang kau kehendaki” boleh kita alami juga.

Sungguh Besar Imanmu (Matius 15:21-28) #1



Dunia kita semakin hari bergerak menjadi dunia yang penuh kekhawatiran. Perekonomian semakin terpuruk. Harga barang semakin hari semakin mahal. Mau buka usaha apapun susah, modal besar, pendapatan sedikit. Persainganpun semakin hari semakin marak. Tak heran banyak orang tua sekarang mengeluh “Dulu kalau usaha tidak susah seperti sekarang.” Karena usaha semakin susah maka para suami harus bekerja lebih keras. Kalau dulu dari pagi sampai sore, maka sekarang dari pagi sampai malam. Bahkan kalau di rumah pun harus lembur menyelesaikan tugas-tugasnya. Selalu khawatir kalau-kalau keuangannya tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Para suami dituntut untuk berkerja lebih keras dari sebelumnya.

Akibatnya relasi dengan keluarga merenggang. Komunikasi dengan istri dan anak semakin jarang. Karena itu kesalahpahaman semakin sering terjadi. Suami istri semakin sering bertengkar, bahkan hal-hal kecil semakin sering dipertengkarkan. Lalu anak-anak ikut-ikutan stress. Mereka merasa tidak dipedulikan. Akhirnya mereka mencari penghiburan di luar rumah. Beberapa memilih untuk bermain game seharian di tempat rental. Beberapa memilih ke warnet dan melihat gambar dan film-film porno yang sangat mudah untuk di akses saat ini. Beberapa lagi memilih berkumpul bersama teman-teman yang stress lainnya, merokok bersama, melakukan kenakalan bersama, bahkan ada yang terjun dalam dunia obat-obatan. Tapi ternyata semua itu bukan menyelesaikan masalah. Anak-anak pun menjadi stress. Di rumah stress, di luar rumah juga stress. Seorang ibu yang melihat anaknya berubah dan menjadi dingin di dalam keluarga menjadi sedih. Kemudian ibu-ibu mulai mempersalahkan diri dan menyesal. Mereka pun menjadi begitu khawatir untuk masa depan anaknya. Akhirnya seisi keluarga, dari suami, istri dan anak-anak semuanya stress.

Belum lagi terkadang ada penyakit-penyakit dan kecelakaan-kecelakaan yang tidak diundang datang begitu saja. Bencana alam melanda tanpa memandang bulu. Masyarakat sekitar juga semakin hari semakin tidak bersahabat dan brutal. Yah, kira-kira itulah yang terjadi di dunia kita sekarang. Karena itu saya katakan dunia kita semakin hari bergerak menjadi dunia yang penuh kekhawatiran. Mungkin saudara sedang berada dalam posisi harap-harap cemas seperti ini.

Lantas bagaimanakah kita menghadapi dunia yang seperti ini? Bagaimana kita bisa mengatasi kekhawatiran-kekhawatiran tersebut? Saya setuju dengan seorang psikolog Kristen yang mengatakan bahwa “satu-satunya kunci agar kita menang atas kekhawatiran ini adalah dengan mengenakan langkah iman.” Namun hanya mencerna kalimat ini masih tampak begitu absrak. “Iman yang seperti apa?” hal inilah yang mau kita pelajari dari perempuan Kanaan dalam perikop ini.


Latar belakang
Perempuan Kanaan ini mengalami pergumulan yang sangat berat. Dikatakan bahwa anaknya kerasukan setan dan sangat menderita. Seorang yang kerasukan setan biasanya membuat orang tersebut kehilangan kesadaran. Perilaku, karakter, bahkan suara, semuanya berubah. Orang tersebut seakan-akan menjadi pribadi yang lain yang bukan dirinya. Orang yang kerasukan sudah pasti tidak pernah bisa tidur nyenyak dan mungkin dia tidak mau makan sesuatu apapun. Bahkan dalam kisah lain di Alkitab, seorang yang kerasukan akan diikat dengan rantai agar tidak melakukan tindakan-tindakan sembrono. Oleh karena itu ibu itu mendeskripsikan anaknya sebagai seseorang yang sangat menderita.

Sebagai seorang ibu tentunya penderitaan anak ialah penderitaan sang ibu. Bahkan acapkali sang ibulah yang jauh lebih merasakan penderitaan itu daripada anaknya sendiri. Saya teringat sewaktu kakak perempuan saya putus sama pacarnya dan mengalami stres berat, mama saya tampak lebih tertekan daripada kakak saya. Setiap hari mama saya menangis dan berdoa, bahkan bela-belain terbang ke kota pahlawan meninggalkan pekerjaannya untuk menemani kakak perempuan saya yang stress. Saya melihat acapkali diantara keluarga saya 5 bersaudara mengalami permasalahan, entah besar atau kecil, mama saya yang tampak paling bergumul. Ia berdoa lebih khusyuk dari pada anggota keluarga yang lainnya. Jika anda adalah seorang ibu, saya yakin anda akan setuju dengan saya.

Inilah yang di alami oleh perempuan Kanaan tersebut. Betapa menderitanya ia melihat penderitaan anaknya. Namun dalam penderitaan berat yang di alaminya, perempuan ini malah menunjukkan kualitas iman yang sempurna, sehingga Yesus mengatakan “sungguh besar imanmu.” Iman seperti inilah yang harus kita pelajari. Iman seperti apa?


Iman Yang Didasari Kepercayaan Pada Tuhan Lebih Dari Segalanya

Kisah ini berawal dari kepergian Yesus ke daerah Tirus dan Sidon. Ini merupakan daerah orang kafir yang jarang dikunjungi oleh seorang Yahudi. Pada umumnya orang Yahudi waktu itu tidak mau bergaul dengan orang-orang asing. Namun Yesus menghampiri daerah asing tersebut. Mungkin Ia memang sudah punya rencana terhadap perempuan Kanaan itu.

Didaerah itu terdapat kuil asing untuk menyembah dewa Esmun yang dianggap sebagai dewa penyembuh. Kebanyakan orang daerah itu menyembah dewa Esmun tersebut untuk mendapatkan kesembuhan. Saya kira perempuan Kanaan itu tau persis mengenai hal ini. Bahkan mungkin kerabat dan keluarganya ada yang turut menyembah dewa ini. Namun menariknya ibu ini lebih memilih untuk mempercayakan masalahnya kepada Tuhan Yesus. Padahal mungkin ia belum bertemu Yesus sebelumnya. Tapi kabar tentang Yesus telah tersebar kemana-mana. Dari kabar inilah ia lebih memilih untuk mempercayakan masalahnya pada Tuhan. Sebanyak tiga kali ia berseru memanggil ‘Tuhan’ yang merupakan bentuk kepercayaannya. Ketika ia mengatakan Yesus sebagai anak Daud, secara tidak langsung ia mengakui Yesus sebagai mesias / juruselamat pribadinya. Inilah iman yang benar, yaitu iman yang didasari keyakinan bahwa hanya Tuhan yang mampu menyelesaikan masalahnya.

Iman seperti ini pernah saya jumpai di anak sekolah minggu didikan saya. Namanya Ezra dan masih berusia 8 tahun. Suatu ketika ia pergi rekreasi bersama keluarganya. Ezra dan adiknya asyik bermain di taman. Sementara ibu dan ayahnya sibuk mempersiapkan makan sisang. Tiba-tiba sang ibu yang sedang mempersiapkan makanan terkejut mendengar teriakan keras anaknya. Segera ibunya pergi melihat apa yang terjadi, dan lebih mengagetkan lagi karena ia melihat Ezra tergeletak dengan keadaan tangan yang sudah tidak wajar. Ternyata ketika bermain panjat-panjatan di tempat bermain yang tersedia, si Ezra terjatuh dengan posisi yang tidak tepat. Herannya ketika ia terjatuh, teriakan pertama yang diucapkan ialah “mama….mama….doakan ma….doakan….” Dalam kesakitan yang dialaminya ia tau siapa orang yanng tepat, yang dapat menolongnya pertama kali. Itulah iman.

Saya kira setiap kita pernah mengalami pergumulan, entahkah itu berat ataupun ringan. Bahkan mungkin saat ini kita sedang menggumulkan sesuatu dan kita simpan dalam hati kita. Batin kita tidak tenang selama pergumulan itu terus ada. Fokus kita selalu tercurah kepada pergumulan tersebut. Namun jujur ketika penderitaan atau pergumulan itu menimpa, siapakah orang pertama yang kita cari? Kepada siapakah kita mempercayakan masalah-masalah itu? Keluargakah? Diri sendiri? Sahabat? Bos kita? Atau nasib dan keberuntungan? Siapakah yang kita andalkan untuk menyelesaikan masalah kita? Saudara, seorang yang beriman akan mendasarkan pertolongannya hanya kepada Allah dengan keyakinan bahwa Tuhan yang telah menyelamatkan kita dari dosa itulah juga yang akan menolong setiap pergumulan kita. Mari kita belajar seperti perempuan Kanaan tersebut; yang lebih memilih untuk berseru kepada Tuhan untuk setiap permasalahannya.

Monday, June 21, 2010

Damai Di dalam DIA



Galatia 5:22-23 menuliskan bahwa buah-buah Roh itu ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Setiap kali merenungi ayat ini, satu pertanyaan selalu timbul di benakku “Di antara buah-buah ini, buah mana yang sukar untuk saya miliki?” Dan setelah mengintropeksi diri baik-baik saya menemukan bahwa ternyata saya sukar untuk memiliki damai sejahtera. Ya, harus diakui bahwa damai sejahtera menjadi perihal yang cukup langka dalam sepanjang perjalanan kehidupanku bersama dengan Tuhan. Sehingga kadang-kadang saya berpikir bahwa saya kurang beriman karena saya seakan meragukan Tuhan. Namun bagaimana caranya mau damai jika hidup ini dipenuhi dengan pergumulan; bagaimana mau damai jika tiap hari harus melihat keluarga yang saling bertengkar; bagaimana mau damai jika kita pernah mengalami abuse; bagaimana mau damai jika ada duri dalam daging yang terus menerus merongrong kehidupan ini; dan bagaimana mau damai jika tiap-tiap hari selalu diperhadapkan dengan masalah-masalah yang datang silih berganti.


Mungkin saudara juga pernah mengalami pergumulan yang sama dengan saya. Saudara berkata “bagaimana saya mau damai jika suami saya selingkuh? Bagaimana saya mau damai jika anak-anak saya hidupnya tidak benar? Bagaimana saya mau damai jika hutang demi hutang menjerat bak lingkaran setan? Bagaimana saya mau damai jika saya dirudung sakit penyakit yang tak kunjung sembuh? Bagiamana saya mau damai jika besok saya tidak tau makan dan minum apa?” Bagaimana….bagaimana….dan bagaimana. Bukankah hal itu yang kita rasakan. Bukannya kita anti dengan kata damai. Hati kecil kita menginginkan apa itu kedamaian. Namun kita tidak tau bagaimana caranya untuk memperoleh kedamaian tersebut. Gejolak hidup ini seringkali merampas damai sejahtera dan sukacita yang diberikan oleh Tuhan.


Daud juga pernah merasakan apa yang kita rasakan. Bagaimana tidak, Alkitab mencatat bahwa Daud pernah dikejar-kejar dan hendak dibunuh oleh anaknya sendiri, Absalom. Anak yang dia kasihi malah hendak menghunuskan pedang kejantungnya. Coba bayangkan apa yang dirasakan Daud. Bayangin jika anak yang saudara cinta dan sayang dengan sepenuh hati tiba-tiba mengatakan bahwa ia membenci kita. Tentu saja perasaan sedih akan menyerang kita bukan? Apalagi jika anak itu bukan hanya membenci, namun kita tau bahwa ia juga berusaha membunuh kita. Kira-kira apakah kita tetap dapat memiliki damai? Saya kira kita tidak mungkin mengalami damai sejahtera sebelum anak tersebut kembali mengasihi kita dan menyadari bahwa kita begitu mengasihinya. Inilah yang kira-kira Daud alami. Dilematis yang rumit merasuk ranah pikiran dan perasaannya. Di satu sisi ia mempunyai kekuatan untuk melawan dan membunuh anaknya, tapi di satu sisi ia tidak tega untuk membunuh anaknya sendiri. Kondisi seperti inilah yang merengut kedamaian dalam hatinya. Mungkin saat itu ia menangis, dan ia juga bertanya “bagaimana saya bisa damai jika anak saya sendiri hendak membunuh saya?”


Namun ditengah kegalauanya, Daud menemukan bahwa ada satu hal yang dapat membuatnya merasa damai. Dalam Mazmur 62 sebanyak dua kali Ia mengatakan “Hanya dekat Allah saja aku tenang, daripada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batu dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah.” Perasaan tenang ditemukan ketika ia berada dekat dengan Tuhan. Hanya saat berintimasi dengan Tuhanlah segala kegalauan dihatinya lenyap. Daud seakan-akan mempunyai keyakinan bahwa Tuhan jauh lebih besar dari masalah-masalahnya. Ia menggambarkan Tuhan seperti sebuah gunung batu yang merupakan tempat pertahanan yang paling aman pada waktu itu. Ia juga mengumpamakan Tuhan seperti kota benteng yang menjaga sebuah kota dari musuh-musuh yang hendak menyerangnya. Sebenarnya Daud hendak menggambarkan perlindungan Tuhan yang lebih dari dua analogi tersebut. Tapi dalam pengetahuannya, ia hanya menemukan bahwa gunung batu dan kota bentenglah yang merupakan dua tempat perlindungan yang sangat aman. Karena itu ia mengatakan bahwa Tuhan adalah gunung batu dan kota bentengku. Dan oleh karena Tuhan adalah tempat perlindungan yang kokoh maka Daud mau bersandar pada-Nya. Ia mau terus mendekat kepada Allah karena hanya dekat Allah saja ia merasa tenang; sama seperti seorang anak kecil yang merasakan ketenangan ketika berada dekat orang tuanya. Inilah kunci yang diberikan untuk memperoleh kedamaian tersebut.


Tuhan Yesus sendiri dalam kemanusiaan-Nya selalu berdoa dan berintimasi dengan Allah; karena Ia sadar bahwa Allahlah sumber kekuatan-Nya. Dan dalam keilahian-Nya Ia pernah berkata “marilah datang kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” Hanya ketika kita mendekat kepada Allahlah kita akan mendapatkan kedamaian yang sejati. Ya…Kedamaian akan kita dapatkan walaupun ombak yang bergelora sedang menghantam perahu kehidupan kita.


Saudara mungkin pernah mengalami seperti yang saya alami. Ketika saya pernah mendapatkan pergumulan yang sangat berat, sayapun kehilangan rasa damai itu. Ketakutan, kekhawatiran, kesedihan, bahkan sekali-kali keputusasaan mengacaukan seluruh aspek kehidupanku. Kepada siapa saya harus meminta tolong? Orang lain tidak ada yang mengerti dan memahami. Musik dan film serta hiburan-hiburan sejenisnya hanya menenangkan sesaat. Mengandalkan diri sendiri juga tidak mungkin, karena seluruh aspek dalam hidup ini sudah dikuasai kekhawatiran yang luar biasa hebat. Akhirnya sayapun menemukan satu cara yang mampu membuatku merasa damai. YA….Ketika saya berdoa dan berseru kepada Tuhanlah kedamaian itu ada. Saya tidak tau darimana datangnya rasa damai itu. Yang pasti ada kekuatan yang timbul dari keyakinan di mana ada Allah yang Mahakuasa yang mengasihiku, yang menyediakan yang terbaik bagi anak-anakNya yang berseru, dan yang menyertai sampai akhir hidupku. Hal itulah yang membuat hati ini menjadi damai. Sehingga kini saya tau, setiap kali ada persoalan yang datang maka saya harus berdoa. Walaupun dalam doa-doa itu harus mencucurkan air mata, namun setiap cucuran itu akan digantikan dengan rasa damai yang luar biasa.


Saudara mungkin pernah merasakan seperti apa yang saya rasakan dan mengalami seperti apa yang saya alami. Namun mungkin berkali-kali kita lupa dan terjebak dengan cara yang salah untuk memperoleh kedamaian itu. Bukankah seringkali ketika kegalauan itu datang, kita lebih suka “mendamaikannya” dengan rasio dan logika kita? Atau kita lebih mengandalkan orang lain untuk menjadi obat penenang bagi kita? Bukannya kita tidak tau, tapi mungkin kita lupa bahwa hanya dekat Allah saja kita dapat memperoleh kedamaian itu. Perenungan seperti ini pun mungkin sudah sering kita dengar, dan kita mungkin sudah memahami Firman ini dengan baik. Melalui perenungan ini saya hanya ingin mengingatkan agar kita kembali mendekatkan diri kepada Tuhan untuk memperoleh kedamaian sejati. Hanya dekat Allah saja kita dapat merasa tenang. Dan biarlah terjadi seperti yang Paulus katakan dalam Filipi 4:7 “kiranya damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Yesus Kristus.” Amin

Wednesday, June 16, 2010

Reputasi yang Teriritasi



Sebuah reputasi yang mengandung manipulasi hanya akan mencoreng sebuah nama baik. Misalkan saja pesepakbola Perancis ternama Thiery Henry. Sebuah gol yang dilesatkan Perancis ketika menjamu Irlandia Utara menuai kritikan tajam. Pasalnya satu-satunya gol yang tercipta tersebut beraromakan manipulasi. Umpan jauh yang diarahkan ke striker Prancis tersebut disambut dengan menggunakan tangan di dalam kotak penalti, yang kemudian diumpan ke rekan lain yang berdiri kosong di depan gawang. Semua publik Irlandia melakukan protes, sebab gol tersebut harus membuat mereka gagal berkontribusi di piala dunia 2010. Keesokan harinya Thiery Henry pun mengaku akan kecurangan yang dilakukannya. Ia meminta maaf dengan alasan reflek. Ia merasa bola terlalu jauh terjangkau maka reflek tangannya bergerak maju. Sekalipun ia sudah meminta maaf dan bersedia untuk melakukan pertandingan ulang, nama baik Thiery Henry terlanjur tercoreng di mata pecinta sepak bola. Ia mendapat cacian dan kritikan tajam “Mengapa pengakuan ini tidak diutarakan pada saat di lapangan? Sekarang kondisi sudah tidak bisa diubah.” Bukan hanya Thiery Henry, nama pesepakbolaan Perancis pun turut tercoreng. Manipulasi yang digunakan untuk menggapai reputasi hanya akan menimbulkan iritasi.


Prinsip ini juga berlaku bagi gereja-gereja Tuhan. Penggapaian reputasi dengan menghalalkan berbagai cara yang tidak halal akan mengirritasi kemurnian sebuah gereja. Kita dapat mempelajari hal ini dari kehidupan jemaat mula-mula. Jemaat mula-mula merupakan tipikal jemaat idaman yang hendak ditiru gereja-gereja saat ini. Pola kehidupan mereka yang penuh dengan kasih, sikap saling peduli, kerendahan hati, dan kerelaan untuk saling berbagi sangat memikat untuk diteladani. Belum lagi kesehatian, kesejiwaan, dan kesepikiran yang langka ditemukan di gereja-gereja saat ini terasa sangat kental dalam tubuh jemaat mula-mula. Jemaat mula-mula berhasil membangun reputasi yang baik dengan menunjukkan kualitas jemaat yang ideal. Namun sayangnya reputasi itu tidak luput dari kecemaran dan noda. Kisah Ananias dan Safira lah yang mencemari reputasi jemaat mula-mula.


Seperti yang kita ketahui, komunitas mula-mula yang penuh dengan Roh Kudus memiliki kebiasaan untuk memberikan apa yang mereka miliki dan membagikan secara merata kepada jemaat-jemaat yang membutuhkan. Dituliskan bahwa tidak ada seorangpun yang berkata bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama (Kis. 4:32). Juga tidak ada satupun dari jemaat tersebut yang mengalami kekurangan (4:34a). Sikap unselfish, kerelaan, kerendahan hati, dan kebesaran jiwa yang dilakukan orang-orang yang membagi-bagikan milik mereka ini membuat jemaat mula-mula begitu terpandang dikalangan orang banyak. Selain mereka disukai semua orang (2:47), mereka juga dihormati orang banyak (5:13). Sepertinya Yusuf, yang disebut rasul-rasul sebagai Barnabas (yang berarti anak penghiburan) merupakan salah satu oknum yang disukai, dihormati, dan terpandang dalam komunitas jemaat mula-mula. Dengan tulus ia menjual ladangnya dan membagi hasilnya kepada mereka yang membutuhkan (4:36,37). Orang-orang seperti inilah yang membangung reputasi apik jemaat mula-mula.



Berbeda dengan Yusuf, selanjutnya Alkitab mengisahkan dua orang lain yaitu Ananias dan Safira. Mereka juga menjual sebidang tanah yang mereka punya dan membagi-bagikan juga sama seperti Yusuf. Hanya saja mereka menahan sebagian dari hasil penjualan itu dan kemudian menyerahkan setengahnya kepada rasul-rasul. Fatalnya, mereka berpura-pura seakan-akan uang yang mereka serahkan itu adalah seluruh hasil penjualan. Dengan kata lain Ananias dan Safira telah memanipulasi para rasul dan jemaat, terlebih Roh Kudus. Tidak jelas mengapa mereka melakukan hal itu. Tapi menurut hemat saya, Ananias dan Safira hendak mendapatkan penghormatan dan pujian yang ada pada orang-orang seperti Yusuf (Barnabas). Mereka ingin menggapai reputasi di tengah jemaat yang sudah terpandang dan terhormat itu. Pemberian mereka tidak berlandaskan hati yang tulus karena cinta terhadap sebuah pelayanan. Ada motif-motif keliru dibalik tindakan yang tampak rohani tersebut. Sebenarnya mungkin mereka tidak mau membagikan kekayaan yang mereka punya. Hanya saja tawaran kehormatan yang didapat jika mereka mebagi-bagikan harta mereka lebih menggiurkan. Karena itu untuk jalan tengah, mereka menyimpan sebagian uang dan menyerahkan sebagian lagi seakan-akan mereka menyerahkan seutuhnya. Penyelewengan motif seperti inilah yang mengiritasi reputasi jemaat mula-mula. Penggapaian reputasi dengan penyelewengan motivasi yang murni akan menimbulkan iritasi. Dan jelas Allah tidak berkenan dengan tindakan seperti ini. Ia yang melihat hati tidak suka melihat ketidak tulusan dan motivasi-motivasi yang keliru yang merusak kemurnian gereja. Karena itulah Ananias dan Safira mata seketika itu juga. Sungguh suatu peristiwa yang mengerikan.


Belajar dari kisah Ananias Safira sudah seharusnya anak-anak Tuhan harus bermawas diri. Sepertinya sejak mula sampai sekarang gereja selalu terancam akan noda-noda kecemaran yang hendak menjatuhkan. Selalu ada orang-orang yang yang memiliki motivasi-motivasi keliru dalam sebuah pelayanan. Ada orang yang memberikan persembahan yang besar supaya dihormati majelis gerejanya; ada orang yang mengambil pelayanan di atas mimbar supaya mendapatkan pujian dari manusia; ada juga orang yang menyibukkan diri di berbagai pelayanan agar dapat menjadi orang penting di sebuah gereja; dan masih banyak lagi orang-orang yang melayani dengan motivasi-motivasi yang terselewengkan. Di balik pelayanannya ada agenda-agenda pribadi yang hendak memuaskan hasrat pribadi. Celakanya orang-orang yang melakukan hal ini seringkali tidak sadar bahwa ada motivasi-motivasi yang keliru ketika melakukan pelayanannya. Entah sadar atau tidak, yang jelas Allah tidak berkenan dengan penyelewengan-penyelewengan motif seperti ini. Karena itu mari kita mengintropeksi diri kita sekali lagi. Apakah kita sudah menjaga motivasi kita sedemikian rupa ketika kita melayani? Adakah kemurnian, ketulusan, dan hati yang sungguh cinta terhadap pelayanan; atau jangan-jangan kita berpura-pura cinta terhadap pelayanan, padahal semua itu adalah bentuk dari cinta kita terhadap diri sendiri? Saudara milikilah motivasi yang benar, yaitu motivasi yang sungguh mencintai pelayanan karena Kristus telah terlebih dahulu melayani kita. Motivasi yang menggemari pelayanan karena ingin meneladani hati Kristus yang adalah Bapa kita. Saya percaya, reputasi itu akan diberikan Tuhan kepada mereka yang melayani dengan hati sungguh. Sebagaimana Tuhan berkata kepada dua hamba yang memiliki dua dan 5 talenta “Baik sekali apa yang telah kauperbuat hai hambaku yang setia, masuklah dalam kebahagiaan tuanmu”; saya percaya perkataan yang sama kelak juga akan diberikan kepada kita.

Monday, June 07, 2010

As For The Lord (Kol 3:22-24)



Sebuah paradigma sangat penting untuk menentukan kinerja seseorang. Paradigma yang baik akan menghasilkan kinerja yang baik, begitu pula sebaliknya. Karena itu beberapa perusahaan yang mengerti akan hal ini akan selalu berusaha untuk mengubah paradigma para pekerjanya untuk memajukan perusahaan tersebut.

Ilustrasi sederhananya dapat kita lihat dalam kisah dua orang penjual sepatu. Dimana dua salesman sepatu ini bersama-sama mencoba menjual sepatu di sebuah daerah terpencil atau pedalaman. Mereka berdua terkejut karena orang-orang yang tinggal di pedalaman itu tidak ada yang memakai alas kaki. Menariknya walaupun mereka pergi ke tempat yang sama dan melihat situasi yang sama, namun paradigma mereka berbeda. Salesman pertama dengan lesu melapor kepada atasannya “Bos, lupakanlah! Sepertinya kita tidak mungkin dapat menjual sepatu di sana. Mereka semua tidak memakai alas kaki.” Sedangkan salesman kedua berkata demikian “Bos, Peluang besar! Orang-orang di pedalaman itu tidak ada yang memakai sepatu, kurasa kita bisa menjual banyak sepatu dan mendapatkan banyak untung.” Menurut saudara, kira-kira salesman mana yang akan menunjukan kualitas kerja yang lebih baik? Saya kira kita sepakat salesman kedualah orangnya. Dari kisah ini kita dapat melihat betapa pentingnya sebuah paradigma.

Tampaknya perubahan paradigma ini yang diupayakan Paulus ketika ia berkata kepada jemaat di Kolose “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Perkataan ini ditujukan kepada para hamba (Kol. 3:22) atau budak-budak Kristen yang cukup mayor pada masa penjajahan Romawi. Keadaan budak-budak pada waktu itu sangat nelangsa. Mereka tidak mempunyai hak apapun (berbeda dengan sekarang di mana ada hukum-hukum perburuhan, dan budak atau buruh memiliki hak tertentu; bahkan sekarang ada hari buruh untuk menghormati para buruh). Mereka mungkin tidak dianggap sebagai manusia melainkan sebagai “it” atau benda yang harus tunduk penuh kepada tuannya. Nyawa budak dalam kebudayaan Romawi mungkin tidak lebih berharga dari kasut tuannya. Syukur-syukur kalau mendapat tuan rumah seseorang yang baik hati yang memperlakukan mereka dengan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Tapi jika tidak, itu berarti mereka harus berbesar hati menjalani nasib hidup mereka.

Dari sudut pandang psikologi, berbagai macam respon bisa saja terjadi. Mereka bisa hidup tanpa harapan dan putus asa; bisa jadi sebagian meresponinya dengan emosi yang membara dan merencanakan pemberontakan (namun tentu saja mereka harus siap mati jikalau ingin memberontak); sebagian mungkin meresponinya dengan bersungut-sungut dan berbicara dibelakang dengan rekan-rekan seperjuangan. Respon-respon seperti ini bisa saja terjadi. Yang pasti tidak ada orang yang senang berada dalam posisi budak. Keadaanlah yang memaksa mereka untuk menjadi budak.

Ditengah keadaan itulah Paulus berkata “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.” (Kol. 3:22-24) Paulus bukannya ingin menyetujui atau melegitimasi perbudakan. Dengan gamblang ia juga memberikan peringatan kepada tuan-tuan dalam memperlakukan hambanya dengan adil dan jujur (Kol. 4:1). Tapi ia sadar bahwa menegur / menasehati para tuan tidak akan menghapuskan perbudakkan. Karena itulah Paulus juga hendak memberikan paradigma baru kepada mereka yang menjadi bawahan atau budak.

Paradigma apa yang ditawarkan? Paulus ingin mengingatkan bahwa ada Tuan yang sejati yang harus mereka layani. Tuan sejati itu tidak lain adalah Tuhan sendiri. Tuhan adalah Tuan berdaulat atas seluruh manusia. Ia bukan hanya berdaulat atas nyawa dan kehidupan para budak, namun Ia juga yang berdaulat atas kehidupan majikan-majikan mereka. Jadi bukan tuan yang di dunia yang memiliki mereka. Tuhanlah pemilik kehidupan mereka. Sifat kepemilikan tuan yang didunia hanya sementara, tetapi tuan di Surgalah yang berdaulat atas kehidupan kekal setiap manusia. Jika Tuhan yang memiliki hidup mereka maka upah /gaji pun berasal dari pada Tuhan. Oleh sebab itulah Paulus berkata “lakukanlah pekerjaanmu dengan tulus karena takut akan Tuhan; apapun yang kamu lakukan, lakukanlah seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Upah kita berasal dari Tuhan.” Inilah paradigma yang Paulus tawarkan. Dengan berpikir demikian, maka sudah pasti para budak itu akan bekerja lebih giat, lebih bertanggung jawab, lebih jujur, tidak bersungut-sungut dan tentunya banyak orang yang akan terberkati dengan sikap anak-anak Tuhan yang demikian. Orang Kristen akan semakin memuliakan Allah.

Saya kira paradigma ini masi relevan bagi kita. Apapun profesi yang kita jalankan saat ini “lakukanlah segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Jika saudara adalah seorang pegawai yang mendapatkan intimidasi dari atasan “lakukanlah segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Jika saudara adalah seorang wirausahawan yang sedang berjuang “lakukanlah segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Jika saudara adalah seorang ibu rumah tangga yang penuh pergumulan “lakukanlah segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Apapun juga profesi yang saudara jalankan saat ini “lakukanlah segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Ini berarti walaupun kita tidak mendapatkan pujian atau penghargaan kita tetap akan bekerja segiat-giatnya. Ini juga berarti walaupun kita diintimidasi, kita tetap akan menjalankan pekerjaan kita dengan tanggung jawab. Ini juga berarti walau kita berada dalam keadaan yang terdesak, kita tetap akan memelihara integritas Kristen dan kejujuran dalam bekerja. Dan ini berarti, walaupun badai dan masalah datang menerpa, kita tetap akan percaya akan kedaulatan Tuhan atas hidup kita. Have a nice job with God.

Friday, June 04, 2010

Heart Of Servant (Luk 10.25-37) #2



2. Kasih yang mau berkorban tanpa menuntut balas

Lebih menarik lagi, kasih yang diberikan orang Samaria itu bukan hanya tidak melihat batasan-batasan yang ada, namun iapun mengasihi orang yang terluka itu dengan tindakan yang tuntas tanpa menuntut balas.

Kalau kita membandingkan lagi antara imam, orang lewi dan orang Samaria tersebut, sekali lagi kita melihat perbedaan yang sangat mencolok. Ketika para imam dan orang Lewi itu melewati orang yang sekarat tersebut, mungkin hatinya menjadi berbelas kasihan. Tapi hanya sampai pada tahap kasihan, tanpa tindakan sama sekali. Ada penafsir yang mengatakan bahwa hal ini mungkin terjadi dikarenakan mereka baru saja pulang dari bait Allah di Yerusalem untuk melakukan beberapa ritual keagamaan. Mungkin saja mereka mengira orang itu sudah mati. Menurut Hukum Taurat, mereka tidak diperbolehkan menyentuh mayat. Bila mereka melanggar perintah tersebut, mereka akan menyusahkan diri mereka secara sosial (tidak tahir), secara finansial (membayar biaya penguburan), dan secara profesional (tidak bisa mengikuti pelayanan keimaman dan imamat). Karena itu imam dan orang lewi itu berhenti hanya pada rasa belas kasihan, tapi tidak mau bertindak. Mereka tidak mau bekorban untuk membagi kasih kepada orang yang sekarat tersebut. Kepentingan pribadi jauh lebih besar.

Orang Samaria sekali lagi melakukan hal yang berbeda. Ia bukan hanya menaruh belas kasihan, namun juga bertindak secara penuh sampai tuntas. Dikatakan bahwa ia membalut luka-lukanya, menyirami dengan minyak dan anggur lalu menaikan orang itu ke atas keledai tunggangannya, membawa ke penginapan dan membayar penginapan itu total. Dari segi tenaga ia jelas bekorban dengan menggendong dan memapah orang sakit tersebut. Dari segi waktu ia harus mengorbankan waktu yang semestinya bisa ia gunakan untuk berdagang. Dari segi materi jelas ia mengeluarkan banyak uang untuk mengobati dan menolong orang sakit tersebut. Ia harus memerbani orang tersebut mungkin dengan pakaian yang ada padanya. Dan ia harus memberikan minyak dan anggur kosumsi pribadinya untuk merawat orang itu. Belum lagi biaya yang mahal yang harus dikeluarkan untuk biaya penginapan dan tips-tips bagi orang penginapan yang merawatnya. Orang Samaria ini memiliki perikemanusiaan dan tenggang rasa kepada orang yang sakit itu. Dalam hatinya memiliki apa yang namanya kasih terhadap sesama manusia. Orang seperti inilah yang Tuhan Yesus katakan sebagai “sesama manusia.” Sebagai sesama manusia kita harus belajar untuk mengasihi walaupun ada harga yang harus kita bayar. Inilah teladan sebuah hati sebagai hamba. Yaitu sebuah hati yang mau menghambakan diri untuk mengasihi Allah dan melayani sesama tanpa pamrih.

Berbicara mengenai Heart of Servant, saya sangat mengagumi sosok bunda Theresa. Ia adalah orang yang mendedikasikan diri untuk melayani negri India. Hatinya berkobar-kobar untuk mengangkat martabat orang miskin yang ada di India. Betapa besar pengorbanannya untuk melayani. Dia mau mengajar anak-anak kecil yang masih buta huruf dengan sabar. Dia mau menolong orang-orang sakit yang tak terawat di jalan-jalan. Orang-orang yang terkena borok digendongnya, dirangkul dan dirawat. Ia tidak jijik dengan luka-luka yang sudah bau dihinggap lalat. Ia juga tidak terganggu tinggal ditengah-tengah rakyat kecil yang tidak pernah membersihkan diri selama beberapa minggu. Bahkan ia rela tidur di jalan bersama dengan orang-orang tersebut. Ia terus melayani walau ia pernah dianiaya. Hidupnya seakan-akan diserahkan karena kasihnya yang besar kepada orang-orang India.

Saudara, seseorang yang mengasihi sesamanya itu mau berkorban menolong sesama tanpa menuntut keuntungan sedikitpun. Ini jugalah yang Tuhan tuntut dalam kehidupan kita saat ini. Di akhir dari perumpamaan ini Yesus mengatakan demikian: “Pergilah dan perbuatlah demikian.” Tuhan mengkehendaki kita menjadi orang-orang Samaria jaman ini, yang senantiasa menunjukkan sikap hospitality kepada orang-orang yang membutuhkan. Mari kita belajar untuk mengasihi dan melayani sesama kita tanpa mengharapkan imbalan atau keuntungan sedikitpun dari orang yang kita layani. Tapi mari kita layani sesama kita dengan dasar kasih.

Milikilah A heart of Servant. Hati yang menghamba bukan cuma kepada Allah, tapi juga kepada sesama. A heart of servant tidak meninggikan diri, dan memandang orang lain lebih rendah dari pada dirinya. A heart of servant memiliki hati yang berperikemanusiaan kepada semua insan, dan kesiapan untuk bekorban tanpa menuntut balas. Mari kita penuhi dunia ini dengan anak-anak Tuhan yang berhati hamba. Sehingga kasih Kristus terpancar melalui hidup kita. Amin

Heart Of Servant (Luk 10.25-37) #1



Berbicara mengenai orang Samaria yang baik hati, dari waktu ke waktu kita dapat menemukan ada orang-orang seperti orang Samaria yang dikisahkan dalam Alkitab. Misalkan seorang yang bernama Agus Bambang Priyanto. Suatu ketika sementara ia membaca koran di malam hari di daratan Kuta Bali, tiba-tiba ia mendengar bunyi ledakan kencang pada pukul 23.15. Pertama ia mengira bahwa itu adalah suara pesawat yang jatuh. Iapun segera bergegas ke lokasi kejadian yang hanya 500 meter dari rumahnya. Betapa terkejutnya ia ketika ia melihat Legian sudah dilalap oleh api yang merajalela. Malam itu ia melihat begitu banyak orang yang tergelepar mengerang kesakitan, dan iapun melihat ada banyak orang-orang yang tubuhnya tercabik-cabik penuh luka. Berjalan di tengah genangan air yang bercampur darah, tiba-tiba pak Agus ini mendapatkan dorongan dan kekuatan yang luar biasa, dan hatinya tergerak untuk menolong korban-korban yang ada pada malam itu. Segera ia langsung berteriak dan memberikan komando kepada semua warga Kuta untuk menolong korban-korban tersebut. Ia mencari orang-orang yang masih hidup, dan yang dapat diselamatkan nyawanya. Hampir sepanjangan setengah hari sampai besok siang, ia terus mencari dan menolong korban-korban itu dengan baju yang sudah bersibak darah segar. Ia tidak takut akan api atau pecahan-pecahan kaca yang mungkin dapat melukai dirinya. Ia juga tidak khawatir akan bom susulan yang mungkin masi bisa terjadi. Dalam hatinya cuma satu pada malam itu, ia harus menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Selama beberapa hari Pak Agus terus melakukan evakuasi untuk mencari korban yang masih mungkin dapat ditolong.

Menariknya pada saat peringatan bom Bali setahun kemudian, banyak keluarga korban yang berasal dari Australia menawarkan hadiah padanya sebagai ucapan terima kasih. Namun ia menolak. Bahkan saat dirinya dinobatkan sebagai “Asian Hero 2003” oleh majalah TIME, dirinya tidak datang untuk menerima penghargaan. Padahal selain penghargaan dia juga mendapatkan uang senilai Rp. 150 juta. Pak Agus mengaku dia tidak mencari uang, evakuasi yang dilakukannya semata-mata karena kemanusiaan. Sampai suatu ketika dalam acara tv swasta “Kick Andy”, waktu beliau ditanya apa yang memotivasi dirinya untuk melakukan tindakan evakuasi tanpa mengenal pamrih. Pak Agus berkata: “saya membayangkan bagaimana kalau salah satu dari korban ledakan tersebut adalah keluarga saya.” Ia tau bahwa keluarganya tidak ada dalam kobaran api dan timbunan puingan tersebut. Dia hanya membayangkan bahwa mereka itu adalah keluarganya sendiri yang membutuhkan pertolongan darinya.

Inilah contoh “seorang Samaria yang baik hati” abad 21. Ironinya, justru sikap seperti ini seringkali tidak kita temukan dalam kehidupan orang Kristen. Orang Kristen yang memiliki Tuhan yang penuh kasih dan yang selalu mengulurkan tangan-Nya kepada orang yang membutuhkan, justru seringkali berdiam diri tak berkutik ketika melihat sesamanya menderita (entah kemiskinan, aniaya, pelecehan, ketakutan, dsb). Tidak ada kepedulian, kasih, dan kepekaan ketika melihat tangan-tangan yang gemetar yang terulur minta tolong. Mungkin kita yang membaca saat ini salah satu jenis orang Kristen seperti ini. Tidak ada tindakan ketika melihat orang yang kesusahan menangis.

Padahal Tuhan Yesus sendiri mengajarkan bahwa semua hukum taurat tercakup dalam satu hukum “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ini hukum yang saling berkaitan. Kasih terhadap Allah tidak bisa dilepaskan dengan kasih terhadap manusia.
Perintah ini cukup universal dan luas, sehingga seringkali kita bingung dengan perintah mengasihi sesama kita manusia. Mungkin kita bertanya “bagaimana cara kita mengasihi?” Atau mungkin kita bertanya “siapakah sesama kita manusia?” Kebingungan ini juga yang ditanyakan oleh seorang ahli Taurat kepada Yesus. Menjawab kebingungan seperti inilah Yesus menyampaikan sebuah perumpamaan tentang seorang Samaria yang baik hati.


****
Dikisahkan pada waktu itu ada seseorang (yang tidak dikenal siapa) turun dari Yerusalem ke Yerikho. Jalan dari Yerusalem ke Yerikho ini menurun sepanjang 27 km. Dalam sepanjangan jalan tersebut tidak ada penduduk, juga tidak ada tanaman. Yang ada hanya batu-batu kapur yang besar-besar, goa-goa, dan dikelilingi oleh jurang-jurang di sisi-sisi jalannya. Biasanya banyak para perampok yang bersembunyi di goa-goa atau di balik batu kapur tersebut. Karena mereka tau bahwa banyak peziarah atau pedagang yang sering lewat di jalan tersebut. Karena itu pada zaman Alkitab dulu, jalan dari Yerusalem ke Yerikho disebut “jalan berdarah.” Alkitab memberitaukan bahwa orang tersebut kemudian jadi korban perampokkan, dipukul dan ditinggalkan tergeletak setengah mati.

Kemudian datanglah seorang imam, yaitu seorang pelayan utama bait Allah pada waktu itu. Ia melewati orang yang sekarat itu, tapi ia melewatinya begitu saja. Kemudian datang pula orang Lewi, yaitu orang yang juga dipercayakan untuk melayani di bait Allah. Namun Orang Lewi inipun melalui orang yang sekarat ini begitu saja. Kemudian Yesus memberikan sebuah ironi dengan menampilkan seorang Samaria. Seorang Samaria ini kebanyakan adalah seorang pedagang dan bukan seorang tokoh agama. Namun justru orang seperti inilah yang mau menolong orang yang sekarat tersebut. Yesus seakan meminta “umat pilihan” untuk belajar tentang kasih kepada orang-orang yang mereka anggap “bukan umat pilihan.” Teladan kasih apa yang dapat kita pelajari dari orang Samaria tersebut?


1. Kasih tanpa memandang batas-batas perbedaan.


Sebenarnya perumpamaan ini diberikan kepada seorang imam yang bertanya kepada Yesus “siapakah sesamaku manusia?” Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan yang cukup aneh. Kalau kita ditanyakan pertanyaan itu saat ini, mungkin kita akan berkata “Udah tau nanya. Jelaslah, yang namanya sesama manusia ialah semua mahluk yang kayak kita-kita gini.” Namun ternyata bagi orang Yahudi berbeda. Bagi mereka yang termasuk sesama manusia itu dapat dibagi dalam beberapa lingkaran. Pusat lingkaran adalah diri mereka sendiri. Lingkaran terdekat ialah kerabat terdekat, diikuti dengan sanak family mereka. Kemudian lingkaran yang paling luar adalah sesama bangsa Yahudi. Sedangkan diluar lingkaran ini, termasuk orang kafir atau orang-orang yang berasal dari bangsa lain bukanlah dianggap sebagai sesama manusia. Karena itu ketika imam dan orang lewi melihat ada orang asing yang tergeletak, mereka langsung melewatinya begitu saja. Mereka tidak menganggap orang yang terluka itu sebagai sesama mereka.

Tapi berbeda dengan orang Samaria dalam cerita ini. Orang Samaria merupakan orang yang terkucilkan. Mereka adalah kaum minoritas yang seringkali mendapatkan intimidasi. Mungkin pedagang Samaria yang diceritain Tuhan Yesus ini termasuk salah satu orang yang sering mendapatkan intimidasi. Namun menariknya, orang Samaria ini tidak memandang perbedaan sebagai batasan. Baginya seorang yang menderita itu harus ditolong. Perbedaan-perbedaan suku, agama, dan derajat tidak penting baginya. Dia tidak bertanya apakah korban yang terluka itu orang Yahudi, Romawi, Yunani, atau Siria. Baginya, orang yang telanjang, terluka, dan setengah mati itu adalah saudara yang membutuhkan pertolongan. Dia melihat sesamanya yang membutuhkan pertolongan dan dia membantunya.

Orang Samaria ini sebenarnya merupakan gambaran kecil dari apa yang dilakukan Yesus. Dalam seluruh kehidupan-Nya kita dapat melihat bagaimana Yesus sendiri menyediakan diri-Nya untuk menolong orang-orang disekitar-Nya tanpa melihat batas-batas perbedaan yang ada. Ia mau menolong para wanita yang dianggap masyarakat kelas dua pada waktu itu. Ia mau duduk makan bersama dengan orang-orang berdosa. Ia mau menyentuh orang-orang Samaria yang dikucilkan. Yesus membagi kasih-Nya kepada siapa saja tanpa batas.

Sudah semestinya kitapun harus belajar mengasihi orang lain tanpa melihat batas-batas perbedaan. Tidak peduli apa latar belakang orang itu, suku apa, siapa dia, agama apa, apa warna kulitnya, apa logatnya, apapun perbedaan yang ia miliki; kita harus memberikan kemurahan / hospitality kepada setiap sesama kita yang membutuhkan.

Tapi jujur kalau melihat realita saat ini begitu susah bagi kita untuk menyatakan kasih itu. Ditengah kejahatan dan modus-modusnya yang makin picik, semakin susah bagi kita untuk memberikan pertolongan. Yang ada malah rasa curiga. Suatu ketika pernah ada seorang perempuan yang sedang mengendarai mobilnya. Ditengah jalan ia bertemu dengan seseorang yang melambaikan tangannya karena mobilnya mogok dijalan. Kemudian wanita ini beriktikar baik dengan menawarkan bantuan untuk mengantarkan pria ini pulang. Akhirnya pria itupun menumpang di mobil wanita itu. Tapi apa yang terjadi? Wanita itu dibawa oleh pria itu bukan ke rumahnya, tapi ke tempat yang sepi dan kemudian dipukul dan diperkosa. Wanita ini stress dan kemudian dia sangat trauma untuk menolong orang lain.

Mungkin kitapun pernah mengalami hal yang sama walau tidak seekstrim itu. Kita pernah menolong orang lain, tapi bukannya berterima kasih, orang tersebut malah menyindir dan mengejek kita. Atau kita menolong orang lain tapi malah dimanfaatkan. Kita kasih pinjaman uang untuk hal kebaikan, tapi orang itu malah memanfaatkan uang itu untuk hal-hal yang tidak baik. Akhirnya kita jadi orang yang penuh kecurigaan terhadap orang lain. Bahkan mungkin kita menjadi negatif thinking kepada mereka yang meminta tolong kepada kita. Lantas kita mulai mebatas-batasi kriteria-kriteria orang yang perlu mendapat bantuan dan yang tidak. Kita mulai seperti orang Yahudi, dan mengkategorikan orang-orang siapa saja yang harus kita tolong. Dan kebanyakan kita memilih hanya mau menolong orang-orang yang kita kenal, bahkan hanya orang yang dekat dengan kita. Untuk mereka yang tidak kita kenal tidak akan mendapatkan uluran tangan kita.

Saudara, memang ada benarnya bahwa kita harus berhati-hati ketika memberikan bantuan kepada orang lain. Tapi jangan sampai sikap hati-hati itu membuat kita enggan sama sekali untuk menolong sesama kita. Kita harus tetap memiliki hati seperti orang Samaria yang mau menolong orang yang membutuhkan walaupun memiliki banyak perbedaan, bahkan sekalipun kita tidak mengenal orang tersebut. Minggu depan kita akan bersama menyambut teman-teman dari remaja yang akan naik ke pemuda. Mungkin kita tidak kenal siapa mereka satu persatu. Tapi mari kita menyambut mereka dengan keramahan, dan bersiap sedia jika mereka membutuhkan pertolongan kita. Karena dengan melakukan hal tersebut sebenarnya kita sedang meneladani Kristus.