Thursday, September 29, 2011

Tanggung Jawab Sosial #3



Satu prinsip yang perlu kita perhatikan untuk pelayanan ini adalah prinsip “menjadi miskin”. Apa itu prinsip menjadi miskin? Saya yakin tidak ada seorangpun ingin jadi miskin. Tapi inilah prinsip pelayanan kasih, yaitu sebuah pelayanan yang memiskinkan diri untuk memperkaya orang lain. Mungkin gambaranya dapat dilihat jelas dari seorang ibu yang mengandung. Ketika seorang ibu mengandung, anaknya masihlah sangat lemah. Untuk itu sang ibu akan memberikan semua gizi, kalsium, zat-zat, yang ada pada dirinya untuk semua kebutuhan si anak. Tak heran para ibu lebih cepat mengalami tulang keropos daripada kaum bapak. Si ibu menjadi miskin, sedang si anak menjadi kaya. Itulah kira-kira prinsip menjadi miskin. Memperkaya orang lain dengan mengorbankan apa yang ada pada diri kita. Hal ini yang disaksikan oleh Paulus. Ketika ia menulis surat kepada jemaat di Korintus, Paulus meminta agar jemaat Korintus belajar dari teladan jemaat Makedonia. Teladan apa? Dalam ayat 2 dituliskan “Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan”. Jemaat Makedonia sedang mengalami pergumulan yang berat. Mereka bukan hanya banyak pergumulan, tetapi mereka adalah jemaat-jemaat yang kurang mampu, sehingga Paulus mengatakan bahwa mereka sangat miskin. Namun dalam keadaan itu mereka kaya akan kemurahan. Bahkan Paulus mengatakan bahwa jemaat Makedonia memberikan lebih dari apa yang mereka miliki.

Mengapa mereka dapat melakukan hal yang demikian? Di ayat 9 dijelaskan karena Yesus yang telah menyelamatkan mereka, telah lebih dahulu menjadi miskin untuk setiap kita, padahal Ia kaya, pemilik alam zagat raya dan semua ciptaan. Tapi Yesus rela kedunia, lahir dikandang binatang, hidup dalam penghinaan, bahkan mati secara tidak layak. Ia menjadi miskin supaya kita menjadi kaya, kaya akan anugerah keselamatan. Inilah dasar bagi jemaat Makedonia rela menjadi miskin untuk sesamanya. Karena Yesuspun sudah rela menjadi miskin untuk diri mereka.

Saya tertarik dengan sebuah tayangan “Kick Andy” pada tanggal 16 September 2011. Pada hari itu narasumber yang dipanggil adalah orang-orang yang dianggap luar biasa, mengapa? Karena orang-orang itu adalah orang yang sangat-sangat terbatas baik secara dana ataupun kemampuan fisik, namun mereka tertangkap kamera dalam acara “Tolong” juga “Minta Tolong” baik di SCTV maupun di RCTI. Nah Kick Andy mengumpulkan narasumber yang seperti ini.

Rinto Kanafi misalnya. Pria berusia 43 tahun yang kehilangan kaki karena kecelakaan itu tiba-tiba dihadapkan kepada seseorang yang minta tolong kepadanya. Seorang ‘talent’ yang sudah dipersiapkan sebelumnya berpura-pura minta tolong kepadanya untuk mengantarkan kiriman roti kepada salah seorang pemesan yang sedang berulang tahun. Sang talent sudah berupaya mencari “korban”untuk menolong dirinya namun tidak berhasil, sehingga tibalah akhirnya bertemu dengan Rinto Kanafi yang kala itu sedang ada di depan kios rotan dan warung es kelapa muda. Setelah sang talent merengek, diluar dugaan, Rinto Kanafi yang hanya berkaki satu itu mengantarkan roti pesanan orang itu dengan biaya sendiri.

Kisah lainya adalah seorang sopir angkot yang sedang pusing memikirkan biaya pengobatan anaknya. Suprihatin, demikian nama sopir angkot itu didatangi seorang nenek yang mencoba menjual ikan asin sisa untuk membeli beras. Suprihatin ragu-ragu ketika akan menolong nenek itu karena ia sendiri juga dalam keadaan susah. Sang Nenek ternyata pantang menyerah dan terus ‘mencoba mengganggu’ Suprihatin untuk membeli ikan asinya. Ternyata hati Sang Sopir angkot akhirnya luluh dan menolong nenek itu membelikan beras sebanyak 10 kilogram. “Saya tidak tega melihat nenek yang katanya cucunya sudah dua hari tidak makan. Saya jadi teringat nenek saya dulu,” ujar Suprihatin memberi alasan kenapa akhirnya dia mau menolong Sang Nenek.

Sementara apa yang dilakukan Karsimah benar-benar tidak masuk akal. Karsimah yang baru kehilangan suaminya akibat meninggal dunia itu kini berprofesi sebagai penambal ban di daerah Semarang, Jawa Tengah. Ia berprofesi sebagai penambal ban karena terpaksa menggantikan suaminya untuk mencari nafkah. Ketika sedang menunggu pelanggan, tiba-tiba datang seorang nenek yang pura-pura tersesat dan minta tolong dirinya untuk mengantar ke Salatiga. Karsimah tertegun sejenak melihat Sang Nenek yang katanya mengaku sudah dua hari berusaha minta tolong kepada beberapa orang tapi tak satu pun yang bersedia menolong. Walau agak ragu-ragu, Karsimah kemudian menutup kios tambal ban nya dan segera menggandeng nenek dan menumpang bus ke jurusan Salatiga.

Mereka bertiga ini tidak pernah tau sebelumnya bahwa mereka akan di shooting dalam salah satu acara di televisi. Yang pasti mereka adalah orang-orang yang mau bekorban untuk menolong sesamanya. Dan menariknya, di akhir tayangan ini Andy Soraya menyimpulkan: Ternyata berdasarkan pengalaman para kru di lapangan, justru orang dari kalangan bawahlah yang ringan tangan membantu kepada orang yang membutuhkan. Mereka tanpa banyak pertimbangan langsung memberi bantuan.
Saya kira kondisi ini mirip seperti jemaat Makedonia. Dan saya kira bukan hanya jemaat Korintus yang harus belajar dari jemaat di Makedonia, tetapi kita sebagai jemaat GKKA pun harus belajar dari mereka. Mari kita mengambil pelayanan ini, pelayanan menjadi miskin untuk memperkaya orang lain. Tidak ada satu orangpun yang dapat berkata bahwa saya terlalu banyak masalah untuk menolong orang lain. Tidak ada satu orangpun juga yang dapat berkata bahwa ia tidak memiliki sesuatu untuk dibagikan. Jemaat Makedonia sudah memberikan contoh kepada kita. Ingat, berbagi kasih kepada orang yang membutuhkan adalah perintah Tuhan. Selain itu, hal tersebut juga bukti bahwa kita mengasihi Tuhan. Biarlah perenungan ini boleh memotivasi kita untuk lebih giat mengasihi dan melayani sesama kita. Amin

Tanggung Jawab Sosial #2

Kedua, setiap tindakan kasih kita terhadap sesama menunjukkan bahwa kita sungguh mengasihi Tuhan. Dalam salah satu ajaran Tuhan mengenai penghakiman terakhir Tuhan Yesus pernah mengajarkan bahwa semua bangsa akan dikumpulkan dihadapan-Nya, dan Ia akan memisahkan mereka menjadi orang yang dilayakan untuk masuk dalam kerajaan Surga sama orang yang patut dimurkai. Apa dasar pemisahnya? Tuhan mengatakan demikian “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku dalam penjara kamu melawat Aku.” Lalu orang-orang itu bertanya? Bagaimana mungkin kami melakukan itu semua pada saat Engkau lapar, haus, orang asing, telanjang, dan sakit? Ini pertanyaan yang wajar karena semua orang tidak bisa membayangkan bahwa Tuhan dapat lapar, haus, telanjang dan sakit. Tapi kemudian Tuhan menjawab demikian: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Sebaliknya untuk mereka yang dihukum Tuhan mengatakan sebaliknya “Karena segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.”

Menarik sekali kalau kita perhatikan, Tuhan mengindentifikasi/menyamakan tindakan sosial kita kepada orang-orang terbuang, orang-orang kecil, orang-orang tersisihkan, sebagai tindakan untuk Tuhan. Karena itu setiap tindakan kasih kita terhadap sesama adalah sama dengan tindakan kasih kita kepada Tuhan. Dan jika kita ingin membalas cinta kasih Tuhan yang begitu besar terhadap hidup kita salah satunya adalah dengan berbuat kebajikan, dengan berbagi kasih kepada mereka yang membutuhkan.

Pesan inilah yang ditangkap oleh orang seperti bunda Theresa. Dengan kerelaan ia terpanggil untuk melayani orang-orang miskin di India. Disana ia mendidik anak-anak kecil. Mengobati orang yang terkena lepra. Merangkul anak-anak jalanan. Mengayomi para jompo dsb. Semua ini dilakukannya bukan sekedar karena ia mengasihi orang India. Tapi justru karena ia ingin mengasihi Tuhan, maka ia menaruh kasih kepada orang-orang kecil di India.

Karena itu mari kita peduli dengan permasalahan sosial yang ada disekitar kita. Kehidupan sosial sejati harus sejalan dengan kehidupan sosial kita. Bukankah ada begitu banyak orang yang miskin disekitar kita. Ada begitu banyak orang-orang yang membutuhkan perhatian dari kita. Ada banyak rintihan-rintihan yang membutuhkan telinga kita. Mari kita berbuat sesuatu untuk Tuhan dengan melayani orang-orang yang membutuhkan tersebut.

Ada banyak hal yang dapat kita lakukan. Dengan uang yang kita punya kita bisa berbagi kepada orang-orang kecil yang berkekurangan. Atau mungkin dana kita bisa kita sumbangkan ke bagian sosial untuk pekerjaan-pekerjaan sosial di gereja kita. Atau mungkin kita bisa menyumbangkan baju-baju yang masih layak pakai kepada panti asuhan atau lembaga semacamnya. Selain dengan uang kita juga bisa menunjukkan tanggung jawab sosial itu dengan perhatian dan pelayanan kita. Menghadiri keluarga yang sedang berduka karena kehilangan orang yang dikasihi atau karena bencana yang menimpa rumahnya juga merupakan aksi sosial. Mendengarkan keluh kesah orang-orang yang sedang mengalami tekanan. Dengan menjadi pendengar yang baik bagi mereka yang berkeluh kesah saja kita sudah melakukan tindakan sosial. Bahkan mengikuti undangan makanpun juga salah satu tindakan sosial. Ingat, salah satu pelayanan yang Yesus berikanpun yaitu dengan makan bersama dengan orang-orang berdosa. Mari kita lakukan pekerjaan sosial untuk membalas cinta kasih Tuhan yang besar dalam hidup kita.

Tanggung Jawab Sosial #1




Bulan Oktober 2010 yang lalu negeri kita dilanda bencana dimana salah satu gunung api teraktif di dunia, yaitu gunung merapi, mengeluarkan larva panas dan mengirimkan abu kemana-mana. Akibat hal tersebut beberapa desa yang berdekatan dengan kawasan gunung harus mengungsi dari rumah kediamannya pergi ketempat yang di luar daerah bahaya. Akibatnya pemerintah membuka beberapa tempat umum sebagai tempat pengungsian para korban bencana tersebut. Salah satu majalah Kristen inspirasi sempat mewawancarai salah satu sukarelawan Kristen yang menyediakan rumahnya yang tidak terlalu besar sebagai tempat penampungan korban letusan. Orang ini bersaksi demikian “Awalnya saya kira tidak masalah menyediakan rumah sebagai tempat pengungsian. Kami hanya cukup memberikan space yang cukup dan membantu menyediakan minuman dan makanan untuk beberapa orang. Tapi di luar dugaan ternyata tidak semudah itu. Karena kebanyakan mereka berasal dari desa yang sederhana maka ada beberapa barang kami yang rusak. Mereka duduk duduk-duduk di meja sampai rusak. Dispenser saya dipakai sembarangan sampai pegangannya patah; anak-anak main-main di dalam rumah dan beberapa barang saya pecah; dan banyak lagi barang-barang saya yang rusak.” Lalu reporter inspirasi melanjutkan “lantas mengapa anda masih bersedia menerima mereka sampai saat ini?” Dan orang Kristen itu menjawab “Awalnya saya marah, dan hampir menutup rumah saya sebagai tempat penampungan. Tapi suara hati saya berbisik: ‘bahwa mereka membutuhkan saya.... ya...Mereka membutuhkan pertolongan saya. Kesusahan mereka jauh lebih besar dari kesusahan saya. Saya hanya kehilangan beberapa barang saya, tetapi mereka kehilangan rumah mereka.’” Dan majalah inspirasi menganggap kisah orang Kristen ini sebagai contoh teladan yang harus ditiru oleh orang-orang Kristen lainnya.

Memang sebagai manusia kita merupakan makhluk sosial. Kita adalah mahluk yang membutuhkan orang lain, dan orang lainpun membutuhkan kita. Kita adalah ciptaan yang saling membutuhkan. Contoh sederhana kalau kita pergi potong rambut. Mungkin ada pemangkas rambut yang begitu ahli memangkas. Tapi sehebat apapun dia, dia harus meminta tolong orang lain untuk memangkas rambutnya sendiri. Begitu juga dengan dokter bedah. Selihai apapun dia membedah seseorang, ketika ia yang terkena sakit penyakit itu, ia membutuhkan orang lain untuk mengoperasi dirinya. Ponari si dukun cilik yang terkenal mampu menyembuhkan orang banyak lewat batu ajaibnya itu saja pernah kelelahan dan jatuh sakit dan harus di bawa kerumah sakit. Itulah manusia. Sejak kecil kita diciptakan sebagai mahkluk sosial yang saling membutuhkan.

Karena itu betapa egoisnya jika kita hanya berdiam diri melihat kebutuhan-kebutuhan orang yang ada di sekitar kita. Betapa egonya kita, ketika kita menjauhkan diri dari kehidupan sosial. Sebenarnya setiap orang Kristen memiliki kewajiban dan bertanggung jawab untuk segala permasalahan sosial yang ada disekitar kita. Ada 2 alasan:

Pertama, Itu merupakan perintah Tuhan dalam kehidupan umat-Nya. Sejak awal Tuhan sudah meminta umatnya untuk memperhatikan masalah sosial. Dalam Perjanjian Lama, ketika umat Israel baru terbentuk dalam sebuah komunitas, Tuhan memberi hukum-hukumnya lewat Musa. Menariknya kalau kita perhatikan, hukum-hukum yang diberikan Tuhan bukan hanya hukum yang bersifat vertikal (yaitu hubungan manusia dengan Tuhan), tapi juga bersifat horisontal (hubungan sesama manusia, atau hubungan sosial). Tuhan pernah mengatur bagi mereka yang punya ladang, agar ketika menuai buah dari ladang atau kebunnya, setiap buah yang jatuh jangan diambil supaya jika ada orang miskin datang mereka bisa mengambil buah-buah yang jatuh itu. Tuhan juga memperhatikan para budak. Ada hukum yang mengatur jika ada seorang budak bekerja selama 6 tahun, di tahun yang ke-7 tuan dari budak itu wajib melepaskannya. Tuhan juga menyuruh Musa untuk membuat kota perlindungan, guna kalau ada orang yang tidak sengaja membunuh sesamanya (misal lagi menebang kayu, kapaknya jatuh dan membunuh temannya) mereka bisa berlindung disana. Ada banyak lagi hukum-hukum yang mengatur dan berbicara tentang kepedulian sosial terhadap sesama manusia.

Dalam Perjanjian baru tentu kita mengingat beberapa ajaran Tuhan Yesus juga menekankan kepada kita untuk menyatakan jiwa sosial kita kepada orang banyak. Pernah ketika ada seorang kaya hendak mengikut Yesus, Yesus meminta dia untuk menjual seluruh hartanya dan membagikannya kepada orang-orang miskin. Yesus juga pernah memberikan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, yang berjiwa sosial mau menolong orang yang mengalami kesusahan karena dirampok diperjalanan. Sementara para ahli taurat dan orang lewi lewat begitu saja membiarkannya. Yesus meminta kita untuk meneladani orang Samaria tersebut yang peduli terhadap orang kesusahan walau tidak dikenalnya. Yesus sendiri berkali-kali menunjukkan jiwa sosialnya dengan menyembuhkan orang-orang miskin, merangkul anak-anak yang tersisihkan, makan bersama orang berdosa, dan menolong perempuan sundal yang hendak di lempari batu. Karena itulah Yesus memerintah kita untuk mengasihi sesamamu manusia seperti kamu mengasihi diri sendiri.

Jelas secara keseluruhan Tuhan mengkehendaki setiap umatnya untuk peduli akan sesamanya. Itu adalah perintah Tuhan. Satu minggu yang lalu ketika saya menelepon mama saya di Samarinda, beliau bercerita tentang pelayanan seorang hamba Tuhan yang cukup unik. Awalnya ia melayani dalam sebuah gereja sebagai mana kebanyakan hamba-hamba Tuhan lainnya. Namun suatu saat ia bermimpi bahwa ia harus melayani orang-orang yang susah dan tertekan. Setelah mendapat mimpi itu keesokan harinya ia menemukan ada begitu banyak orang-orang gila yang berkeliaran di kota itu. Ia tau bahwa Tuhan menyuruhnya untuk melayani orang-orang gila tersebut. Mulailah dia membawa beberapa orang-orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut. Beberapa orang gereja yang memiliki keluarga yang demikian, orang-orang yang terganggu karena stress, juga dititipkan untuk dilayani disana. Disana pendeta itu dan istri memandikan orang-orang gila yang lama tidak pernah mandi, merawat mereka, mengkonseling mereka, bahkan setiap hari ia mengadakan persekutuan bersama dan tiap hari juga ia berkhotbah kepada mereka. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya khotbah di depan orang-orang gila. Tapi pendeta ini dan istri mau melakukan itu semua. Itu jelas, karena Tuhan sendiri yang memberikan perintah kepada dia.

Saya kira kitapun wajib peduli terhadap masalah sosial karena ini adalah perintah Tuhan. Walaupun kita tidak pernah mendapatkan mimpi seperti pendeta yang saya ceritakan barusan, tapi kita tahu persis bahwa sikap sosial itu merupakan perintah Tuhan yang jelas tertera dalam Firman Tuhan. Karena itu sudah menjadi tanggung jawab kita untuk melakukan tindakan sosial. Ini bukan sekedar menjadi tanggung jawab para pengurus gereja, para hamba Tuhan, atau tim diakonia saja. Tapi ini perintah Tuhan untuk kita semua. Sebab itu marilah kita berbagi kasih kepada sesama yang membutuhkan.

Saturday, September 17, 2011

SEPADAN DENGAN PANGGILAN (Efesus 4:1-2)




Saya suka sekali melihat film-film yang berbau kerajaan. Karena bagi saya elegansi, etika, problema serta budaya kerajaan memiliki nilai estetika tersendiri. Kalau saya mengamat-ngamati kebiasaan orang-orang yang tinggal di lingkungan istana, umumnya mereka memiliki pola hidup dan etika yang berbeda jika dibanding dengan orang-orang yang tinggal di luar lingkungan istana. Caranya berjalan, caranya bercanda, cara berbicara, cara berpakaian, bahkan cara makanpun tidak sama dengan orang-orang yang tinggal di luar komunitas mereka. Hal itu disebabkan karena mereka memiliki pola didik yang berbeda dari pada yang lain. Biasanya dalam kerajaan ada pendidikan-pendidikan khusus yang diberikan kepada anak-anak di dalamnya yang tidak bisa ditemukan di lingkungan di luar istana. Mengapa demikian? Karena mereka harus memiliki kehidupan yang sepadan dengan status yang disandangnya, yaitu sebagai orang kerajaan. Oleh sebab itu sikap dan pola hidup mereka haruslah menunjukkan sikap dan pola hidup kerajaan.

Sewaktu saya belajar di seminaripun tidak jarang rektor kami, juga bapak / ibu asrama mengumpulkan kami untuk memberi ceramah tentang etika-etika yang harus kami miliki sebagai seorang hamba Tuhan. Kalau masuk kamar orang harus ketuk pintu, seupaya mungkin tidak berhutang, menghormati orang yang lebih tua, bersabar walau dikritik, hati-hati berbicara tentang uang atau fasilitas, makan tidak boleh mengecap, dsb. Ada banyak ajaran yang disarankan untuk kami lakukan agar hidup kami sepadan dengan status hamba Tuhan yang kami sandang.

Sebenarnya dalam kehidupan setiap anak-anak Tuhanpun demikian. Selain disebut sebagai anak-anak Tuhan setiap orang Kristen yang sungguh-sungguh percayapun terbilang sebagai anggota kerajaan Surga atau kerajaan Allah. Ada banyak ayat Alkitab yang menekankan hal ini, bahwa kita adalah anggota-anggota kerajaan Allah. Tentu saja sebagai anggota kerajaan kitapun harus hidup sesuai dengan etika dan aturan atau juga pola hidup yang ditetapkan oleh pemimpin kerajaan tersebut. Karena itulah Paulus berkata “aku menasihatkan....supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil itu berpadanan dengan panggilan itu.” Setiap orang yang sudah percaya, yang sudah dipanggil keluar daripada kegelapan harus memiliki kehidupan yang sepadan dengan panggilan itu.

Hidup seperti apa itu? Ayat berikutnya Paulus memaparkan “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut dan sabar.” Yang pertama yang diminta adalah kita memiliki karakter-karakter Kristus antara lain: kerendahan hati, kelemah lembutan, dan kesabaran. Sikap-sikap ini adalah sikap yang susah-susah gampang. Sikap yang sangat mudah dimengerti dan dipahami namun sangat sukar untuk dilakukan. Kita semua tau dan mengerti apa itu rendah hati, tau juga bagaimana bersikap lembut, juga mengerti apa arti kesabaran, tapi untuk bisa memiliki sikap-sikap itu secara sempurna sangatlah susah. Sikap-sikap seperti inilah yang dituntut dalam kerajaan. Yesus sendiri pernah berkata demikian “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu” Tuhan menuntut sikap-sikap seorang pelayan dan seorang hamba. Dan itu semua memerlukan kesabaran, kelemahlembutan, juga kerendahhatian.

Pertanyaan sebagai anggota kerajaan Allah sudahkah kita memiliki sikap yang demikian? Ketika mungkin kita menjabat posisi yang tinggi dalam bidang kita adakah kita tetap rendah hati menyadari bahwa itu semua hanya anugerah Tuhan? Atau jangan-jangan kita diam-diam menyombongkan diri dan merasa diri lebih baik dari orang lain? Adakah kita dikenal sebagai seorang yang berhati lembut? Atau kita terkenal angkuh dan kasar? Ketika kita menghadapi banyak tantangan, dan mungkin ada orang yang bertindak tidak adil terhadap diri kita, apakah kita tetap sabar?

Hal yang kedua yang diminta oleh Paulus adalah agar setiap kita “menunjukkan kasih dalam saling membantu”. Kasih merupakan hal yang wajib dilakukan bagi orang-orang yang berada dalam kerajaan Allah. Mengapa? Karena setiap tindakan kasih kita akan dapat menyatakan kasih Kristus kepada dunia yang haus akan kasih itu. Kasih itu harus ditunjukkan secara aktif dan berinisiatif, dan tidak pasif. Kasih juga membutuhkan pengorbanan. Semakin banyak pengorbanan itu maka kasih itu akan bernilai sangat kuat. Kristus sendiri menunjukan kasihnya kepada kita secara aktif, dan Ia sendiri yang berinisiatif untuk datang ke dunia menyelamatkan hidup kita. Kasih-Nyapun penuh dengan pengorbanan, dimana Ia memberikan dirinya sendiri untuk mati dikayu salib menebus dosa kita. Karena itu jika pemimpin kita melakukan kasih yang aktif dan berinisiatif dan penuh pengorbanan, maka kitapun sebagai bawahan wajib melakukan kasih yang seperti demikian. Saya suka sekali pernyataan yang mengatakan demikian “Penyakit yang terbesar saat ini bukanlah penyakit kanker dsb, tapi kehilangan kasih sayang.” Ya... banyak orang yang membutuhkan uluran tangan kita, dan kasih kita. Karena itu mari kita menunjukkan kasih itu dengan hidup saling membantu dan memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan.

Orang yang paling berkenan dalam sebuah kerajaan adalah jika orang-orang yang mau mengikuti kehidupan yang diajarkan dan diharapkan oleh pemimpinnya. Karena itu mari kita menjadikan hidup kita sepadan dengan panggilan yang Tuhan berikan kepada kita sebagai anggota kerajaan Allah. Miliki kerendahan hati, kelemahlebutan, dan kesabaran dalam menjalani segala sesuatu. Dan aktif lah mengasihi sesama manusia walaupun harus dijalani dengan penuh pengorbanan. Biarlah kita menjadi orang-orang yang berkenan dihadapan Tuhan dengan kesepadanan hidup yang kita tunjukkan. Amin

Saturday, September 10, 2011

KEEP THE FIRE BURNING #3




Kedua, mari kita menjauhkan diri dari segala dosa. Dosa itu bagaikan air yang hendak memadamkan api rohani kita. Kebanyakan kasus yang terjadi mengapa orang Kristen kehilangan semangat atau api dalam dirinya ialah karena ia hidup berdampingan atau terikat dengan dosanya sendiri, entah itu dosa yang disadari atau tidak. Tapi kebanyakan orang kristen tidak menyadari hal ini, lantas mereka mulai menyalahkan lingkungan, situasi, keadaan, dsb yang dapat dijadikan kambing hitam. Padahal dosa mereka sendirilah yang membuat mereka undur daripada Tuhan.

Kisah dalam Alkitab yang paling jelas mengenai hal ini adalah kisah tentang Raja Saul. Kita tau sejak awal dia adalah raja yang diurapi Tuhan. Ketika umat Israel memberontak kepada Tuhan, tidak mau lagi dipimpin oleh Tuhan, dan mereka meminta raja, Tuhan mengabulkannya dengan mengurapi seorang raja yang bernama Saul. Awalnya ia begitu berkuasa, sampai ia kemasukan roh seperti para nabi dan dapat bernubuat. Begitu berkuasanya sehingga tidak ada musuh yang dapat mengalahkannya berperang. Itu semua jelas karena Tuhan yang memberinya kuasa untuk menjalani kehidupannya. Namun seiring berjalannya waktu, dimana ia semakin hari semakin sukses, ia pun mulai sombong. Ia mulai merasa diri benar, dan tidak lagi mengindahkan perintah Tuhan. Pernah ketika Tuhan meminta ia menumpas seluruh musuhnya termasuk hewan ternaknya, ee dia malah mengambil ternak-ternak yang terbaik. Ketika ditegur oleh Samuel dia malah berkelit menyalahkan rakyatnya. Pernah juga ketika orang Filistin hendak menyerang Israel, dan ia disuruh Samuel sebagai nabi Allah untuk sabar menunggu sampai ia datang mengambil keputusan; tapi karena panik, ia langsung pergi mempersembahkan korban di mezbah. Padahal hanya seorang imam yang boleh mempersembahkan korban bakaran waktu itu. Dengan demikian Saul berdosa kepada Tuhan dengan tidak mentaati perintah Tuhan. Karena dosa-dosa dan kesombongan yang diperbuatnya itulah maka roh yang ada padanya semakin hari semakin memudar dan memudar. Bahkan kita tahu karena api yang semakin hari semakin kecil itulah maka Saul seringkali diganggu oleh roh jahat. Dan pada akhirnya ia harus mengakhiri hidupnya dengan membunuh dirinya sendiri. Dosanya sendirilah yang memadamkan roh dalam dirinya.

Karena itu jangan pernah bermain-main dengan dosa. Ketika melihat kisah raja Saul, terkadang saya menjadi takut. Bisa saja baik disadari atau tidak saya akan mengalami apa yang dialami raja Saul, jika saya tidak serius terhadap dosa. Dosa itu kerjanya mengerikan. Ia selalu menawarkan yang menggiurkan sehingga kita akan menikmatinya. Dosa itu tidak tampak menakutkan, tapi tampak nikmat. Tapi dibalik kenikmatan itu ada jerat yang siap membunuh kita.

Kalau diumpamakan dosa itu seperti umpan pancing, dan kita adalah ikan-ikannya. Untung mendapatkan ikan, kita cuma butuh umpan. Tidak ada umpan ikan yang berbentuk ikan hiu, yang bisa bergerak-gerak sendiri mengejar ikan-ikan. Umpan seperti itu hanya membuat ikan-ikan menjauh. Tapi cukup dengan umpan yang disukai para ikan. Ditaruh dalam pancingan dan dibiarkan tenang didalam air. Ikan-ikan akan tergoda dengan sendirinya. Keinginan untuk makan akan muncul, dan ketika ia makan, mungkin sentuhan pertama begitu menggoda, namun setelah ia melahap umpan itu, ia akan tertangkap kail, dan pada saat itulah pancing akan menyeretnya kedarat dan binasalah ikan itu.

Demikian juga dosa. Ia tampak menyenangkan sehingga kita betah untuk melakukannya. Namun ketika kita menikmati dosa-dosa itu, perlahan-lahan ia akan memadamkan api rohani kita. Sampai akhirnya api dalam diri kita benar-benar mati seperti Saul yang rohnya perlahan-lahan padam akibat dosanya sendiri. Karena itu saudara, mari kita menjauhkan diri dari dosa. Mungkin dosa itu sudah menjadi kebiasaan saudara. Mungkin dosa itu tampak kecil di mata saudara. Mungkin dosa itu tidak diketahui oleh satu orangpun juga. Ingatlah, dosa-dosa itu juga yang akan membunuh dan memadamkan api saudara. Karena itu mari kita berjuang keras untuk mengatasi pikiran-pikiran kotor kita, hasrat-hasrat yang tidak baik, kebencian, kesombongan, dendam, dan segala dosa yang hanya saudara yang tau.

Ketiga, cara untuk menjaga agar api iman kita untuk tetap padam ialah dengan terus menerus mengingat akan kebaikan Tuhan dalam hidup ini. Saya suka sekali lyric dalam sebuah lagu di KPPK yang mengatakan “..... Hitung berkat satu-persatu...dan lihatlah karya Tuhanmu...Hitung berkat satu persatu...hitung berkat yang melimpah padamu” Sungguh benar apa yang dikatakan pujian ini. Kalau kita mau mengingat satu-persatu kebaikan Tuhan dalam hidup ini, maka kita akan menemukan betapa besar kebaikan Tuhan untuk kita. Bukan hanya telah menyelamatkan hidup kita, Tuhanpun memberikan berkatnya setiap hari kepada kita bukan? Kesempatan untuk hidup; makanan setiap hari; udara; kita masih memiliki keluarga yang mengasihi; kalaupun tidak mungkin kita punya teman-teman atau sahabat yang memperhatikan kita; Bahkan kalau kalian bisa kuliah atau bekerja bukankah itu juga pertolongan Tuhan? Saya kira kalian lebih tau apa saja yang Tuhan perbuat dalam hidup kalian. Dan inilah langkah untuk kita bisa kembali mengobarkan api yang ada dalam diri kita, yaitu dengan mengingat selalu akan kebaikan Tuhan. Kebaikan Tuhan seharusnya mampu membakar iman percaya dan semangat kita untuk kembali melayani dengan hati bersyukur.

Kalau saya mengingat apa yang Tuhan lakukan dalam hidup saya, saya menemukan betapa saya harus bersyukur akan kebaikan Tuhan. Kalau bukan karena kebaikan Tuhan mungkin saya tidak akan berdiri melayani sebagai seorang pengkhotbah saat ini. Memasuki semester 4 di SAAT, saya mendapatkan pergumulan yang berat. Saya menemukan bahwa saya adalah seorang yang sangat banyak kekurangan, yang sangat terbatas, dan saya merasa sangat tidak layak untuk menjadi seorang hamba Tuhan. Ditambah waktu itu teman saya yang saya anggap seorang yang sangat rendah hati harus meninggalkan seminari karena ada masalah keluarga. Saya berkata kepada Tuhan: “Tuhan... sebenarnya saya yang seharusnya keluar....orang itu jauh lebih layak daripada saya.” Malam itu saya bergumul dan bergumul. Dan dari pergumulan itu saya memutuskan untuk berhenti melanjutkan studi saya di seminari, dan saya memutuskan untuk keluar dalam waktu dekat. Tapi di waktu yang sama, tiba-tiba saya mendapatkan telpon dari mama saya. “dek, kamu dapet praktek di mana?” “Di pedalaman Kal-Tim ma” saya menjawab. “hah kok gak di gereja kota besar sih?” mama saya agak kecewa. Lalu saya menjawab “gak pa pa lah ma, justru ini kesempatan istimewa, tidak semua orang dapat kesempatan ini, gereja toh kapan-kapan juga bisa”. Tiba-tiba mama saya berkata “kamu memang dipilih Tuhan. Dek, kamu tau gak, waktu mengandung kamu, mama mau menggugurkan kamu. Mama lagi stress waktu itu, jadi mama suruh orang pijet kandungan mama, makan nanas muda, kerja keras, dan minum obat-obatan. Namun suster bilang kalau bayimu terlalu kuat, gak bisa di gugurkan. Tiba-tiba ada teman mama nyeletuk: kalau sampai bayi ini lahir, bayi ini pasti cacat.” Mama saya tertegur dan berdoa “Tuhan, ampuni kelakuan saya, jika Engkau mau titipkan bayi ini kepada saya, saya terima, tapi tolong jangan sampai bayi ini cacat”. Setiap malam mama saya berdoa dan Tuhan mengabulkan doa mama. Lalu mama saya berkata kepada saya “kamu memang dipilih Tuhan”. Hari itu saya menangis, karena jelas bahwa Tuhan masih mau memakai saya. Meski saya tidak layak, Tuhan masih memandang saya Tuhan masih terlalu baik sama saya. Saat ini jika setiap kali saya merasa lelah untuk melayani, saya akan mengingat kembali apa yang telah Tuhan kerjakan dalam hidup saya. Bagaimana Tuhan menyelamatkan nyawa saya, dan bagaimana Tuhan masih berkenan memakai saya untuk melayani Tuhan.

Saudara saya percaya saudara di tempat ini juga punya kisah masing-masing akan kebaikan dan pertolongan Tuhan, yang saya percaya masing-masing punya keunikannya sendiri. Karena itu setiap kali saudara mulai merasa jenuh atau lesu untuk melayani Tuhan, mari kita ingat kembali akan semua kebaikan Tuhan dalam hidup kita; Baik itu bagaimana ia telah menyelamatkan kita; atau bagaimana Tuhan sudah campur tangan dalam setiap permasalahan kita pribadi. Mari kita terus mengingat akan kebaikan Tuhan. Biarlah kebaikan Tuhan itu sendiri yang akan memompa dan menyalakan kembali api yang ada pada diri kita untuk melayani Tuhan.

KEEP THE FIRE BURNING #2




Untuk itulah saya akan memberikan beberapa tips-tips untuk dapat tetap mempertahankan kobaran api.

Pertama, Dengan konsisten menjaga kehidupan spiritual kita yaitu dengan bersaat teduh dan doa. Ketika mengikut camp di alam terbuka, biasanya kita membutuhkan api unggun. Api unggun itu diperlukan untuk membantu menghangatkan tubuh kita menghadapi malam yang dingin. Namun tentunya jika ingin api tersebut terus menyala maka kita harus terus menambahkan kayu bakarnya agar api itu tidak padam. Saya kira ketika Paulus mengatakan “Jangan padamkan roh”, itu dengan kata lain kita harus terus menerus mengisi amunisi kita setiap hari untuk menjaga agar api itu tidak padam, melainkan terus menyala dengan berkobar.

Jemaat Tesalonika adalah salah satu orang Kristen mula-mula yang ada melalui pelayan Paulus. Pada awal pelayanan ini ada begitu banyak orang-orang Yahudi dan non Yahudi yang salah paham akan gerakan keKristenan. Maklum saja, sesuatu yang baru pastinya akan dikritisi sekritis-kritisnya. Karena itu kondisi ini tidak mudah bagi anak-anak Tuhan yang sungguh-sungguh mau percaya dan melayani Tuhan. Mereka mendapat tekanan, kecaman, bahkan mungkin siksaan-siksaan. Persoalan ini tidak diragukan lagi akhirnya membuat banyak orang Kristen mundur dari pelayanan. Mereka mundur dari ibadah dan persekutuan mereka. Karena itu Paulus menasihati mereka untuk “Jangan padamkan Roh”. Ketika masalah kita harus menyikapinya bukan dengan memadamkan roh itu, tapi justru kita harus mempertahankannya dengan menjaga hubungan yang intim dengan Tuhan. Karena relasi dengan Tuhan itulah yang akan menjadi kekuatan kita.

Seringkali orang menyangka ketika ia mulai merasa jenuh melayani atau ketika ia sedang menghadapi begitu banyak persoalan dan tekanan hidup, maka ia harus berhenti melakukan aktifitas-aktifitas rohani. Seorang teman pernah mengatakan “Saya mau berhenti pelayanan dulu, karena pekerjaan saya sangat sibuk dan butuh konsentrasi tinggi” Terus saya bertanya: “terus bagaimana kehidupan saat teduh dan doamu?” Ia menjawab: Sudah ga ada waktu, dari pagi sampai malam saya harus memikirkan pekerjaan dan hidupku, ga sempat untuk melakukan itu. Yang penting tiap minggu saya masih ke gereja.” Saya kira ini sikap yang keliru. Justru pada saat kita mulai merasa kering, justru pada saat kita mendapatkan tekanan-tekanan hidup, kita membutuhkan asupan-asupan firman Tuhan dan doa. Mengapa orang Kristen bisa mundur dari imannya? Mengapa orang Kristen bisa pudar semangat pelayanannya? Karena pada saat mereka lemah, mereka malah menjauh dari hal-hal yang berbau rohani. Padahal ketika mereka menjauh itulah yang kemudian akan benar-benar memadamkan api dalam diri mereka.

Karena itu saudara, jangan pernah mundur dari kebiasaan-kebiasaan rohani kita seperti saat teduh dan berdoa. Ketika kita mulai merasa jenuh, justru kita harus memaksakan diri untuk membaca dan merenungkan Firman Tuhan. Mungkin berhenti sejenak untuk melayani di gereja itu tidak masalah. Tapi jangan pernah berhenti untuk bersaat teduh dan berdoa. Itu yang biasa saya lakukan. Setiap kali mulai merasa jenuh, rasanya malas sekali untuk membuka Alkitab untuk hari itu. Yang terjadi jika saya mengikuti kata hati untuk tidak saat teduh, maka keesokan harinya kita akan semakin malas. Tapi jika saya memaksakan diri untuk bersaat teduh, pada saat itulah perlahan-lahan kekeringan rohani itu diisi. Karena itu mari kita asup api iman kita dengan terus bersaat teduh dan berdoa secara konsisten, supaya api kita tetap menyala.

KEEP THE FIRE BURNING #1




1 Tesalonika 5:19 “Janganlah padamkan Roh”
Rm 12:11 Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.


Acapkali dalam kehidupan ini kita menemukan kenyataan bahwa: membangun atau meraih sesuatu itu lebih mudah daripada mempertahankannya. Dalam pertandingan sepakbola misalnya. Musim lalu ketika klub Arsenal melawan Newcastle di liga Inggris, di atas angin Arsenal sudah tampak menguasai lapangan, dan begitu mudahnya mereka melesatkan 4 gol di gawang lawan. Secara logika tim Arsenal hampir dipastikan bahwa tim Newcastle mampu membalas ketinggalan dari 4-0 menjadi 4-4. Mempertahankan lebih sukar dari pada meraih.

Dalam relasipun demikian. Dalam pengalaman saya menjalin persahabatan dengan seseorang, akan begitu mudahnya kami menemukan kecocokan-kecocokan yang membuat kami bisa bersahabat. Namun untuk mempertahankannya itu yang sangat susah. Entah karena ia berpindah tempat, entah karena perselisihan, rasa bosan dsb. Akhirnya terjadilah seperti yang kebanyakan orang katakan bahwa sahabat dalam hidup ini datang dan pergi. Semua ini karena memulai persahabatan itu tidak sesukar mempertahankannya. Kalau kita bertanya kepada orang-orang yang menikah: apakah lebih susah mendapatkan pasangannya (entah suami / istri) ataukah mempertahankannya? Saya yakin mereka akan menjawab, jauh lebih berat mempertahankan hubungan itu, karena untuk mendapatkannya mungkin hanya membutuhkan waktu 1 sampai 2 tahun, tapi untuk mempertahankannya membutuhkan waktu seumur hidup. Hampir dalam setiap aspek kita akan menemukan bahwa mempertahankan jauh lebih sukar daripada memulainya.

Tahukah saudara bahwa dalam kehidupan kerohanian kitapun demikian. Betapa susahnya kita mempertahankan hati yang mengasihi Tuhan seperti pertama kali kita mengenal Tuhan. Betapa susahnya kita mempertahankan semangat pelayanan seperti semangat awal yang pernah kita alami saat perjumpaan dengan Tuhan. Betapa susahnya mempertahankan iman kita di hadapan Tuhan. Betapa sukarnya kita menjaga api itu untuk tetap menyala.

Ada seorang pelayan Tuhan yang dulunya aktif melayani. Dari remaja ia sudah terlibat dalam kepengurusan, dan pernah menjadi ketua dalam sebuah organisasi gereja. Semua orang tidak meragukan akan cintanya akan Tuhan. Karena itu banyak orang mencari dia untuk terlibat dalam panitia ini dan itu. Namun beberapa tahun kemudian tanpa angin tanpa hujan ia tidak lagi terlihat di gereja. Ia mulai sibuk bekerja dan tidak lagi pernah terlibat dalam pelayanan. Ketika ditanyakan hal itu iapun menjawab: Saya sudah jenuh dan bosan melayani. Sekarang saya mau fokus bekerja saja. Dan iapun mundur dari pelayanan.

Ada juga seorang hamba Tuhan yang awalnya berkobar-kobar melayani. Dengan semangat 45 ia masuk ke sekolah teologi dan belajar Alkitab sebaik-baiknya. Selesai mendapat gelar dari sekolah teologi, dengan semangat juga ia masuk ke ladang pelayanan untuk membagikan apa yang sudah dipelajarinya selama kurang lebih 4 tahun. Tapi beberapa tahun kemudian tersiarlah berita bahwa hamba Tuhan tersebut sekarang sudah tidak lagi melayani sebagai hamba Tuhan di gereja. Ia berhenti dari pelayanan di gereja dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Semangatnya yang dulu berapi-api mulai pudar, dan imannya mulai goyah, ia pun tidak dapat mempertahankan semangat yang ia miliki semula.

Saya kira hal demikian juga bisa menimpa saudara dan saya. Ada banyak hal yang bisa memudarkan semangat tersebut. Bisa jadi karena masalah-masalah dan tekan hidup yang terlalu berat terjadi dalam hidup kita membuat kita kehilangan semangat itu. Mungkin kita mendapat sakit penyakit, masalah keuangan, masalah relasi, dsb, yang membuat kita mau-tidak mau harus lebih banyak meluangkan waktu memikirkan masalah itu, dan kitapun mulai mundur dan kecewa sama Tuhan karena masalah itu tidak kunjung selesai; Bisa jadi juga karena dosa-dosa yang kita perbuat sendiri. Kita terus melakukan dosa-dosa yang tidak pernah kita bereskan, yang akhirnya memberikan perasaan tidak layak untuk melayani Tuhan; Atau bisa jadi juga hanya karena pelayanan-pelayanan itu sudah menjadi rutinitas dalam keseharian kita yang membuat kita bosan untuk melayani.

Ada banyak hal yang dapat menjadi faktor penghambat iman dan semangat kita dalam melayani Tuhan. Tapi dari kesemuanya itu penyebab utamanya adalah karena iblis tidak suka kalau anak-anak Tuhan memiliki iman yang berkobar-kobar kepada Tuhan. Iblis tidak suka jika anak-anak Tuhan melakukan pelayanan yang penuh kuasa yang memberkati banyak orang. Karena itu ia akan terus menghambat, bahkan berusaha memudarkan api yang ada dalam diri anak-anak Tuhan dengan memberikan permasalahan-permasalahan dan cobaan-cobaan yang dapat membuat kita jatuh dalam dosa, hingga pada akhirnya kita mundur dan berhenti untuk melayani Tuhan, bahkan mungkin berhenti untuk percaya kepada Tuhan.

Saudara....mungkin anda yang ada disini (atau yang sedang membaca tulisan ini) berada dalam posisi itu saat ini. Mungkin kita belum sampai memutuskan untuk berhenti percaya kepada Tuhan. Namun iman dan semangat kita sudah memudar tidak seperti pertama kali kita mengenal Tuhan. Mungkin tiap minggu kita rutin datang ke persekutuan namun itu hanya karena rutinitas belaka. Sesungguhnya hati kita jauh daripada Tuhan. Bahkan mungkin kita melayani Tuhan, namun itu hanya karena terpaksa. Pelayanan menjadi beban dalam diri kita. Kobaran itu sudah hampir padam, sama seperti sumbu api yang hampir pudar tertimpa oleh angin.
Jika saudara berada dalam posisi itu saat ini, ingat Firman Tuhan mengatakan: 1Tesalonika 5:19 “Janganlah padamkan Roh” Rm 12:11 Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. Tuhan menginginkan kita untuk tetap memiliki api itu. Jangan sampai iman kita, jangan sampai semangat kita, jangan sampai kobaran api dalam diri kita itu menjadi pudar. Untuk itulah saya akan memberikan beberapa tips-tips untuk dapat tetap mempertahankan kobaran api.

Saturday, September 03, 2011

Iman Ditengah Api Pencobaan (Daniel 3) # 3




Selanjutnya yang kedua, bukan saja memiliki iman yang meyakini bahwa Tuhan dapat menolong kehidupan kita, iman yang harus kita miliki juga adalah iman yang percaya bahwa Tuhan berdaulat meskipun apa yang terjadi tampak buruk di mata kita. Perhatikan kata-kata mereka berikutnya: Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu. Sungguh ini pernyataan iman yang luar biasa indah. Mereka sadar penuh bahwa Tuhan dapat menolong mereka. Tapi jika Tuhan tidak menolong mereka, mereka akan tetap setia kepada Tuhan. Itulah iman yang kuat dari anak-anak Tuhan. Mereka punya harapan tersendiri, namun ketika harapan itu tidak terjadi mereka tidak akan bersungut-sungut dan kecewa. Mereka tidak berkata “Tuhan kalau engkau tidak lepaskan kami dari perapian ini, kami tidak lagi mau menyembah engkau.” Sebaliknya justru karena mereka sudah mempercayakan diri sepenuhnya kepada Tuhan sebagai satu-satunya Tuhan yang berdaulat dalam hidup mereka. Dengan iman seperti inilah mereka ingin menyatakan: “Bahkan walau kami harus mengalami hal yang buruk, bahkan walau kami harus menderita, dan bahkan walaupun kami harus mati, kami akan tetap setia kepada Tuhan yang berdaulat.”

Sayang sekali saat ini ada orang-orang Kristen yang tidak memiliki iman seperti ini. Mereka berharap ini dan itu kepada Tuhan, tapi ketika Tuhan tidak mengabulkan permintaannya, mereka menjadi kecewa, marah, putus asa, dan bersungut-sungut kepada Tuhan. Dalam sebuah drama di Amerika dikisahkan ada seorang gadis berkulit hitam yang hidup dalam keluarga miskin akibat depresi ekonomi yang melanda. Namanya Beneatha. Dia gadis yang cukup pandai, dan memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Tapi karena mereka sangat miskin maka impian itu sepertinya sukar untuk terealisasi. Sang ibu yang walaupun tau bahwa impian anaknya itu sukar untuk digapai, namun ia tidak mau menciutkan harapan anaknya dan ia berkata “Beneatha, tentu saja, bila Tuhan mengkehendaki kamu akan menjadi seorang dokter suatu saat kelak”. Dikatakan seperti itu oleh ibunya lantas mata Beneatha tiba-tiba berubah menjadi galak. Dan iapun berkata “Mama, Tuhan tidak ada sangkut pahutnya dengan urusan ini! Bila Tuhan tidak mampu mengangkat kita dari kemiskinan, Ia pasti juga tidak mampu menjadikan aku seorang dokter.” Ternyata ia telah kecewa sama Tuhan karena tidak bisa membawa keluarganya keluar dari masalah ekonomi. Dan hal itu meruntuhkan imannya untuk lagi percaya kepada Tuhan. Iman seperti ini juga sama dengan iman yang kerdil. Yaitu iman yang dibatasi oleh kemauan dan harapan pribadi.

Iman yang besar tidak seperti demikian. Iman yang besar adalah iman seperti Sadrak, Mesak, Abednego, yang mengatakan bahkan jika Tuhan tidak menolong, kami akan tetap setia kepada Tuhan. Jika Tuhan tidak menolong, kami akan tetap cinta Tuhan, kami akan tetap melayani dan menyembah Tuhan.

Saudara, iman seperti apa yang saudara miliki saat ini? Iman yang kerdilkah, atau iman yang besar? Adakah kita tetap beriman dan setia kepada Tuhan walaupun masalah-masalah dalam kehidupan kita tidak mendapat jalan keluar? Adakah kita dapat tetap memuji dan menyembah Tuhan meskipun jalan hidup kita tampak rumit dan penuh liku? Sudahkah kita memiliki iman yang percaya bahwa Tuhan berdaulat atas seluruh hidup kita? Adakah kita memiliki iman yang dapat berkata “Tuhan itu baik” justru ditengah-tengah penderitaan yang kita alami?
Saudara milikilah iman seperi Sadrak, Mesak, dan Abednego. Yaitu iman yang percaya penuh bahwa Tuhan kita berkuasa menolong kita dari segala persoalan hidup. Juga iman yang percaya kepada akan kedaulatan Tuhan atas seluruh aspek kehidupan kita. Ketika kita memiliki iman seperti ini, saya yakin sama seperti raja Nebudkanezar yang pada akhirnya menyembah Tuhan, pasti akan banyak orang-orang di sekitar kita yang juga akan menjadi percaya karena kesaksian iman kita, dan hidup kitapun menjadi berkat bagi banyak orang.

Iman Ditengah Api Pencobaan (Daniel 3) # 2



Hari ini kita akan melihat dan belajar tentang kisah iman yang luar biasa dari Sadrakh, Mesakh, dan Abednego ketika mereka menghadapi ujian dan pencobaan dalam hidupnya. Dikisahkan waktu itu raja Nebudkanezar yang terkenal sangat sombong (yang acapkali menganggap dirinya adalah Allah) sedang membuat patung yang besar, yang terbuat dari emas, yang kemudian dianggapnya sebagai dewa. Lalu dia mengumpulkan semua petinggi-petinggi baik kelas nasional, maupun kelas daerah, semua dipanggil untuk datang ke pentahbisan patung itu. Diumumkanlah bahwa semua pejabat dan para petinggi itu harus menyembah kepada patung itu ketika bunyi sangkakala, kecapi, gambus, dsb dibunyikan. Mungkin tujuan Nebudkanezar adalah supaya di tengah negara yang begitu besar dan beragam, ada satu hal yang menjadi pengikat dan pemersatu mereka yaitu patung yang besar itu. Karena itulah semua pemimpin negara dan pejabat daerah sampai kebendahara-bendahara daerah wajib menyembah patung yang sama. Jika pemimpin sudah diatur demikian rupa, dapat diperkirakan sudah pasti rakyatnya akan lebih mudah ditangani dan disatukan. Oleh sebab itu hukuman bagi mereka yang tidak menyembah patung itu adalah mereka akan dibakar dalam perapian yang menyala-nyala.

Singkat cerita dilaporkanlah kepada raja bahwa ada tiga orang Yahudi yang tidak tunduk terhadap perintah raja. Dan sudah pasti respon Nebudkanezar waktu itu menjadi marah besar, dipanggilnyalah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego untuk menghadap. Di depan sidang pengadilan, raja menitahkan mereka bertiga untuk membuktikan bahwa perkataan orang yang melapor itu salah. Mereka diminta untuk segera menyembah patung itu di depan orang banyak. Tentu saja keadaan ini sangat memojokkan Sadrak, Mesak, dan Abednego. Ketidak taatan untuk tidak menyembah patung dengan jelas hukumannya adalah mati. Tapi dengan menyembah patung itu, jelas juga bahwa mereka melanggar hukum kedua dari 10 hukum yang berkata “janganlah kamu menyembah patung yang menyerupai apapun juga”. Disinilah iman mereka diuji.

Menariknya, di tengah mengalami dilema yang sukar itu, mereka memilih untuk tetap beriman kepada Tuhan. Iman seperti apa? Mari kita fokus pada kalimat di ayat 16-18 “Lalu Sadrakh, Mesakh dan Abednego menjawab raja Nebukadnezar: "Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.”

Yang pertama, yang dapat kita pelajari adalah mereka punya keyakinan dan kepercayaan yang kuat bahwa Tuhan berkuasa untuk menolong mereka dari segala persoalan yang mereka alami. Dalam perkataannya mereka berkata bahwa: Allah yang kami puja sanggup melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala. Secara logika memang seakan akan mereka sudah tidak ada jalan keluar. Kepastian yang terjadi hanya satu: yaitu mati terpanggang dalam perapian itu. Hukuman mati sudah jelas-jelas ada dihadapan mereka. Tapi iman mereka mengatakan bahwa Tuhan pasti sanggup melepaskan kami dari segala permasalahan kami. Mereka tidak mengatakan “Mati mi sudah.... inilah akhir hidup kami....” Tidak! Dalam pikiran mereka Allah yang mereka sembah adalah Allah yang mahakuasa, yang sanggup melakukan segala perkara. Bagi mereka tidak ada sesuatu apapun yang mustahil bagi Tuhan.

Tentunya keyakinan ini bukan iman yang buta, yang asal percaya tanpa ada dasar. Saya yakin mereka sudah mendengar begitu banyak karya Tuhan di masa lampau bagi umat Israel. Mereka tahu bagaimana Tuhan pernah dengan kuasanya memberikan seorang anak kepada Abraham ketika ia sudah berusia 100 tahun. Mereka tentu tahu bagaimana Tuhan membebaskan mereka dari perbudakan Mesir dengan tulah-tulah yang mengerikan. Mereka tahu bahwa umat Israel pernah berjalan di tengah-tengah laut terberau yang terbelah dua. Mereka tahu bagaimana Tuhan memimpin Israel melewati padang gurun dengan tiang api dan tiang awan. Mereka tahu bagaimana dengan kekuatan Tuhan tembok Yerikho yang begitu kokoh dapat dihancurkan. Dan banyak lagi kejadian masa lalu yang menunjukkan kuasa Tuhan. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Karena itu ketika mereka mendapatkan tekanan dan cobaan, iman mereka jelas mengatakan bahwa Tuhan pasti mampu membawa mereka keluar dari kesulitan ini. Mereka yakin bahwa Tuhanpun sanggup melepaskan mereka dari kesusahan itu.

Inilah iman yang harus kita pelajari, yaitu iman yang meyakini bahwa Tuhan yang kita sembah itu adalah Tuhan yang mahakuasa dan sanggup menolong kita dengan cara-caranya yang ajaib. Seorang yang pernah saya kenal pernah mengalami hal ini: teman saya berasal dari keluarga sederhana. Ketika ia dipanggil Tuhan ia memutuskan untuk masuk seminari dengan bantuan beasiswa dari orang lain. Karena ia sudah berkeluarga maka ia diwajibkan tinggal di luar. Maka uang yang ia miliki habislah terpakai untuk mengontrak rumah kecil yang berlokasi di tempat terpencil. Ia punya dua anak yang masih kecil. Yang satu sudah mau masuk sekolah, sedangkan yang satu lagi baru saja lahir. Uangnya sudah habis untuk biaya sekolah anaknya dan biaya melahirkan. Ia tidak memiliki uang sama sekali untuk membeli susu anaknya. Dia bingung, tak berdaya. Lantas ia berdoa, menangis dihadapan Tuhan. Teman saya tidak pernah mau menceritakan masalahnya kepada kami. Ia sungkan untuk menceritakannya karena taku terkesan meminta-minta uang. Tapi apa yang terjadi, keesokan harinya setelah ia berdoa, di box (locker) nya tiba-tiba ada sebuah amplop yang tidak tau siapa pengirimnya, tapi di dalamnya ada uang dengan tulisan: ini uang untuk susu. Bayangin saudara, ia tidak cerita siapa-siapa, tiba-tiba saja ada orang yang memberikan amplop yang sesuai dengan kebutuhannya. Kalau bukan keajaiban Tuhan apa lagi.

Kita harus menyadari bahwa kita mempunyai yang mahakuasa. Ia berkuasa menolong kita dengan cara-caranya yang tak terpikirkan. Bahkan kadang dengan cara yang tidak masuk di logika kita. Ingat: Apa yang tampak tidak mungkin bagi kita itu mungkin bagi Tuhan. Acapkali kita memiliki iman yang terlalu ‘kerdil’. Ketika kita menghadapi masalah, kita tau Tuhan berkuasa, tapi kita tidak sungguh yakin bahwa Tuhan dapat menolong kita. Mungkin kita berdoa, tapi sesungguhnya hati kita lebih mengandalkan pertolongan dari manusia atau kemampuan kita. Kita tidak sungguh-sungguh percaya bahwa Tuhan dapat mengatasi segala persoalan kita. Itulah iman yang ‘kerdil’. Iman yang dibatasi oleh keraguan dan ketidak percayaan. Ingatlah saudara, Tuhan kita mahakuasa, Ia sanggup menolong kita dari pergumulan yang paling rumit sekalipun. Saat ini saya tidak tahu apa yang menjadi pergumulan saudara-saudara yang ada di tempat ini. Mungkin saudara sedang mengalami pergumulan yang sangat rumit, yang seakan-akan tidak ada jalan keluar. Sudah bertahun-tahun saudara menggumulkan persoalan tersebut, tapi seakan-akan Tuhan tidak menjawabnya. Jika saudara sedang berada di posisi itu saat ini, tetaplah beriman kepada Tuhan dengan kepercayaan yang total, tanpa meragukan sedikitpun akan kuasanya yang besar.

Iman Ditengah Api Pencobaan (Daniel 3) # 1



Setiap kita orang Kristiani selain dikenal sebagai anak-anak Tuhan, kita juga dikenal sebagai orang-orang percaya / orang-orang beriman. Mengapa demikian? Karena sikap beriman merupakan salah satu ciri khas orang Kristen yang
harus di miliki oleh semua orang Kristen.

Namun iman seperti apa? Kata ‘iman’ saat ini terlalu mudah diucapkan tanpa kita memahami artinya dengan baik dan tepat. Bahkan menjadi kata yang teramat mudah dan murah diucap-ucapkan hingga terkadang menimbulkan kesan diobral. Padahal iman tidaklah sesederhana dan semudah seperti yang diucapkan. Ada seorang ibu yang mendatangi seorang pendeta untuk berkonsultasi dan ia berkata “pak, mengapa anak saya suka sekali bertanya tentang Tuhan, dosa, keselamatan, dsb?” Kemudian pendeta itu jelaskan mengapa itu terjadi, dan ibu itupun menutup percakapan dengan perkataan demikian “Memang anakku satu itu tidak beriman seperti kakaknya yang rajin ke gereja tanpa pernah mempertanyakan ini dan itu.” Bagi ibu ini anak yang banyak tanya itu tidak beriman. Sebaliknya anak yang banyak diam dan rajin mengikuti kegiatan agama itulah orang beriman. Apakah benar demikian? Saya juga pernah mendengar seorang pengusaha kristen yang mendapat kesempatan berbicara didepan mimbar berkata demikian: “mengapa saya bisa berhasil? Karena saya beriman. Kalau kalian sampai saat ini belum mencapai keberhasilan dan kesuksesan, coba cek, apakah kalian sudah sungguh beriman kepada Tuhan?” Dengan demikian pengusaha menganggap orang yang beriman itu pasti kaya raya. Pernah juga ketika kami sedang mengunjungi seorang remaja yang sedang terbaring sakit. Tiba-tiba datang seorang ibu masuk dan bertanya: apakah yang sakit ini orang Kristen? Kami menjawab iya. Kemudian dia melihat-lihat anak remaja itu dan berkata, “kamu terlalu banyak dosa. Karena itulah kamu sakit. Kamu suka melawan orangtua, kamu tidak sungguh-sungguh menyembah Tuhan, dan kamu tidak beriman kepada Tuhan. Sini saya doakan” Dengan kata lain ibu ini mau mengatakan orang yang beriman itu tidak boleh sakit.

Pertanyaannya benarkah semua itu dapat kita sebuh sebagai iman? Benarkan orang yang beriman harus sehat dan tidak pernah sakit? Benarkah orang yang beriman itu tidak boleh meragukan dan mempertanyakan apa yang ia percaya? Kalau kita mau melihat pendapat orang banyak, kita akan menemukan bahwa ada begitu banyak konsep tentang iman yang berbeda, bahkan ada yang saling bertentangan.
Jadi sebenarnya apa itu iman? Asal kata iman ini berakar dari kata ‘pistis’ yang berarti percaya. Saya kira definisi iman menurut R.C. Sproul cukup baik. Ia mengatakan bahwa iman itu dalam istilah sederhana berarti “Sikap percaya kepada Allah untuk sesuatu hal di masa yang akan datang berdasarkan iman kita pada apa yang telah dicapai oleh Allah pada masa lampau”. Iman adalah sikap percaya kepada Allah untuk sesuatu hal yang akan terjadi di masa depan yang sama sekali tidak kita ketahui. Tapi percayanya tentu bukan percaya buta, yang asal percaya tanpa tahu apa yang dipercaya. Sebaliknya percaya yang didasarkan janji-janji dan bukti karya-karya Allah disepanjang sejarah kehidupan manusia. Sama seperti waktu saya pertama kali dibawa papa saya naik sepeda motor. Awalnya saya takut sekali. Saya khawatir, bagaimana kalau saya jatuh dsb. Tapi saya percaya sama papa saya. Tidak asal percaya, tapi ada dasar yang kuat. Pertama karena papa saya sudah janji bahwa saya akan baik-baik saja. Kedua saya sendiri sudah sering melihat bukti bahwa papa saya sering mengendarai sepeda motor, bahkan ia sering membonceng koko saya kemana-mana. Janji dan bukti-bukti inilah yang kemudian membuat saya berani untuk naik motor bersama papa saya, walaupun untuk pertama kali naik motor saya tutup mata di sepanjang jalan hanya memeluk badan papa saya. Tapi itulah iman, iman adalah sikap percaya terhadap sesuatu yang lebih berkuasa dari pada kita, berdasarkan janji dan bukti yang pernah ia kerjakan.

Tentunya percaya ini bukan hanya to believe melainkan to trust. Bukan hanya percaya kepada Tuhan tetapi mempercayakan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Percaya itu gampang, misal: Anda percaya kalau saya orang jujur? Percaya. Gampang kan. Sekarang bagaimana kalau anda menitipkan semua harta uang tabungan saudara kepada saya? Tidak segampang perkataan pastinya. Ketika kita berkata beriman kepada Tuhan itu berarti kita belajar untuk mempercayakanan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan bukan sekedar percaya di mulut.

Sesungguhnya dalam kehidupan kita sebagai anak-anak Tuhan, iman kita akan sangat teruji ketika kita harus menghadapi masa-masa sukar. Karena pada umumnya seseorang dapat sungguh-sungguh percaya ketika ujian dan pencobaan sedang menghadang dirinya. Yakobus sendiri berkata “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” Yakobus menyamakan pencobaan dengan ujian terhadap iman. Dan ketika iman kita di uji melalui pencobaan, dari situlah akan menghasilkan kesempurnaan dalam iman kita.