Friday, May 28, 2010

Doa Teragung



Dalam sepanjang sejarah kehidupan kristen ada begitu banyak doa-doa yang begitu indah yang tergaung dan tercatat dalam buku-buku. Misalnya doa Fransiskus Asisi yang terkenal di mana ia menyuarakan kedamaian di dalam kehidupan ini. Atau doa Ibu Theresa yang penuh dengan nuansa kasih sayang. Dan banyak lagi doa-doa dari orang-orang suci yang dibukukan karena keindahannya.
Dalam Alkitab sendiri banyak dituliskan doa-doa yang begitu indah. Dari PL sampai PB bertaburan doa-doa khusyuk dari orang-orang yang berkenan di hadapan Tuhan. Namun jika ada orang yang bertanya kepadaku “Doa mana yang paling agung atau indah dalam Alkitab?” Saya mungkin tidak akan menjawab doa Bapa Kami. Saya juga tidak akan menjawab doa Raja Daud yang berpoleskan kata-kata indah. Bukan juga Doa Yabes yang begitu menyenangkan hati.

Bagiku…. doa yang paling terdengung agung ialah doa Tuhan Yesus sendiri ketika Ia berada di taman Getsemani. Dengan hanya ditemani rembulan dan murid-murid yang tertidur; dalam keheningan malam itu terdengar sayup-sayup getar yang berujar kepada langit “Ya Bapa, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Mungkin air mata-Nya keluar menghangati dinginnya tanah tempat Ia merebahkan diri. Sebuah air mata yang terdorong oleh kesedihan dan kegentaran yang bergejolak dalam diri-Nya.
Satu kali….dua kali…. Tiga kali… ya….Sebanyak tiga kali Yesus mengucapkan doa yang sama.

Sepertinya doa itu berasal dari keinginan hati yang terdalam sehingga harus diucapkan sebanyak tiga kali. Sepintas teringat akan doa Paulus agar duri dalam dagingnya dikeluarkan dari dalam dirinya. Sebanyak tiga kali juga Paulus memohonkan hal yang sama kepada Sang Khalik dengan cucuran air mata. Sepertinya ada sesuatu yang begitu menekan dirinya sehingga ia harus mengucapkan doa yang sama sebanyak tiga kali. Mungkin tekanan seperti itu juga yang Yesus rasakan. Seluruh langit gelap di malam itu seakan-akan mau menimpa diri-Nya. Tanah-tanah Getsemani tempat lututnya berpijak seakan-akan hendak menelan habis raga-Nya. Tak heran ia berseru-seru memohon kepada Bapa dengan sangat “Sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu daripadaku….” Keinginan yang kuatlah yang mendorongnya untuk berdoa memohonkan hal yang sama berulang kali. Yesus menjadikan dirinya seperti seorang perempuan dalam perumpamaan yang diciptakan-Nya sendiri, yang meminta-minta kepada sang hakim sampai keinginannya dikabulkan.

Sebenarnya saya tidak dapat berempati penuh akan pergumulan yang dialami Yesus. Tidak ada seorang insanpun yang akan pernah dapat berempati penuh dalam pergumulan Ilahi tersebut. Tapi dalam keterbatasan empati yang dikaruniakan-Nya, saya dapat merasakan sedikit kegetiran yang Ia alami. Kebutuhan yang besar, keinginan yang kuat, permohonan yang kaya air mata, kesedihan yang mendalam, penderitaan yang limpah, dan harapan yang sangat untuk bisa melewati cawan tersebut; saya kira semuanya ini merajalela dalam ranah pikiran dan perasaan Yesus pada malam itu. Sehingga terucaplah kata yang bersumber dari dasar hati “Sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu daripadaku….”

Namun seiring ungkapan tersebut, sebanyak tiga kali juga terdengung ucapan “….tetapi janganlah seperti yang kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Ungkapan inilah yang menunjukkan kilau agung doa tersebut. Ditengah-tengah keinginan yang begitu kuat untuk keluar dari pergumulan-pergumulan-Nya, hatinya tetap ditundukkan kepada keinginan sang Bapa. Dalam ungkapan inilah terdapat penyangkalan diri yang utuh yang bisa dilakukan oleh seorang manusia. Perkataan “Jangan seperti yang kukehendaki” itu diucapkan ketika kehendak-Nya sedang menguasai seluruh dirinya. Dan perkataan “melainkan seperti yang Engkau kehendaki” ini diungkapkannya ketika Ia sendiri mengharapkan agar kehendak Bapa itu tidak terjadi. Seakan-akan terjadi suatu dilematis dalam diri-Nya. Ditengah-tengah dilematis itulah Ia memilih untuk tunduk kepada kehendak Bapa. Mata-Nya lebih terfokus kepada kehendak Bapa-Nya. Dalam doa seperti inilah tercipta kerendahan hati yang sempurna. Kerendahan hati yang berasal dari iman yang paling dalam, di mana ada keyakinan bahwa kehendak Bapa jauh lebih baik dari pada kehendak kemanusiaan-Nya.

Doa seperti inilah sangat menggetarkan hatiku. Doa ini jugalah yang tampak begitu Agung dalam hematku. Kini dalam segala keadaan, akupun ingin belajar untuk mengatakan hal yang sama “Tuhan, jikalau mungkin, kiranya pergumulan ini boleh berlalu daripadaku, tetapi janganlah seperti yang kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Saya yakin Bapa di Surga akan tersenyum melihat kerendahan hati anak-anak-Nya yang berkata demikian. Sama seperti hatiku pernah tersenyum ketika melihat bocah 3 tahun (yang akrab denganku) mendatangiku dan berkata “Susuk, main bola ini sama aku yuk! Tapi kalau susuk sibuk tidak apa-apa, Kepin (Kevin) bisa main sendiri kok.” Ya, ungkapan sederhana ini menggetarkan hatiku. Karena dalam ungkapan itu saya melihat ada kebesaran hati. Kevin sangat ingin bermain denganku, tapi dia mendahulukan “kepentinganku” di atas “kepentingannya.” Maka sayapun tersenyum. Mungkin pula Bapa kita tersenyum ketika kita berkata “kiranya bukan kehendakku yang jadi, melainkan seperti yang Bapa kehendaki.” Ia tersenyum dengan anak-anak-Nya yang memiliki kerendahan hati.

Saudara, marilah kita belajar mengungkapkan doa yang begitu agung ini. Saya tidak pernah mengetahui apa yang menjadi pergumulan dan harapan saudara saat ini. Tiap-tiap orang tentu memiliki keinginan, kebutuhan, harapan, dan pergumulan yang berbeda-beda. Namun dalam segala perbedaan itu, mari kita belajar untuk menyatakan doa yang agung ini “Tuhan, jikalau mungkin, kiranya pergumulan ini boleh berlalu daripadaku, tetapi janganlah seperti yang kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Nyatakan itu dengan hatimu yang terdalam. Nyatakanlah doa ini dengan keberserahan penuh, dan dengan iman yang kuat bahwa kehendak Bapa adalah kehendak yang terbaik yang harus terjadi. Biarkanlah orang berkata “Doamu tidak punya iman! Doa yang beriman harus berkata PASTI dapat, PASTI bisa, dan PASTI aku akan menerima”, biarkanlah orang-orang itu. Ya….Biarkanlah mereka yang tidak memahami apa artinya ketundukan kepada kehendak Bapa. Tapi kita, mari kita katakan dengan kesungguhan hati “tetapi janganlah seperti yang kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Biarlah Tuhan boleh tersenyum mendengar doa kita. Dan biarlah Tuhanpun dapat melihat ada kilauan agung dalam doa-doa kita. Amin

Friday, May 21, 2010

Turn Your Eyes Upon Jesus (2 Taw 20) # 2




Tapi tentunya mencari Tuhan harus dengan sikap yang benar. Ada yang mencari Tuhan untuk menuntut Tuhan. Ada juga yang mencari Tuhan hanya untuk meinta-minta. Mari sekali lagi kita belajar dari Yosafat. Isi doa Yosafat mengajarkan kita akan sikap yang berkenan di hadapan Tuhan.

Isi Doa Yosafat

Pertama, dalam doanya Yosafat mengakui kedaulatan dan kemahakuasaan Tuhan. Di ayat 6 Yosafat mengatakan “Ya Tuhan, Allah nenek moyang kami, bukankah Engkau Allah di dalam sorga? Bukankah Engkau memerintah atas segenap kerajaan bangsa? Kuasa dan keperkasaan ada di dalam tangan-Mu, sehingga tidak ada orang yang dapat bertahan melawan Engkau.” Sebagai pendahuluan dari doanya, Yosafat lebih memilih untuk menyatakan kuasa Tuhan atas bangsa-bangsa di mana tidak ada satu bangsapun yang dapat mengalahkan kedaulatan Allah. Saya kira pendahuluan doa seperti ini sangat baik untuk kita terapkan saat ini. Ketika kita dalam masalah mari kita terlebih dahulu mengakui kedaulatan dan kuasa Tuhan. Sekarang ini kebanyakan orang berdoa bukannya mengakui akan kedaulatan dan kuasa Tuhan tetapi malah mempertanyakan kuasa-Nya. Tidak heran kita sering mendengar orang berkata “Tuhan mengapa begini, dimana Engkau, mana kuasa-Mu, dsb.” Tapi sebenarnya ketika kita mengakui kedaulatan
Tuhan, disitulah kita akan melihat bagaimana kemurahan-Nya tercurah untuk kita.

Kedua, mengingat kembali akan janji Tuhan (dapat dilihat di ayat 7-9). Yosafat mendasari permohonannya kepada janji Tuhan. Tuhan pernah berjanji bahwa jika umat Israel berseru di rumah Tuhan maka Tuhan akan menyelamatkan mereka. Yosafat pun teringat akan bagaimana Tuhan sudah menolong Israel selama ini. Atas dasar inilah Yosafat menaikan seru doanya. Ia meyakini akan janji Tuhan yang teguh yang tidak pernah berubah. Saudara, Tuhan pernah bernjanji untuk beserta dengan kita senantiasa. Setiap kali kita merasa takut, mari kita berdoa berdasarkan janji Tuhan akan penyertaan-Nya untuk kita.

Ketiga,Yosafat membawa permohonannya kepada Tuhan (10-12a). Setelah mengakui kedaulatan Tuhan dan mengingat akan janji Tuhan, barulah Yosafat membawa pergumulan yang sedang ia hadapi saat itu. Ia menyatakan permasalahan-permalasahan dan kekhawatiran-kekhawatiran yang ia rasakan, lalu ia memohon kepada pertolongan Tuhan semata. Saudara, saya kira pola doa seperti ini mirip dengan doa bapa kami. Doa bapa kami mengajarkan: “Bapa kami yang ada diSurga, dikuduskanlah namamu, datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga….Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya, dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami…dst.” Dalam doa Bapa kami ini kita melihat bagaimana Yesus sendiri mengajarkan untuk menyatakan pengagungan atas kedaulatan Allah terlebih dahulu sebelum menaikan permohonan pribadi. Kitapun sebenarnya harus belajar untuk menyatakan kedaulatan Allah sebelum kita menaikan permohonan-permohonan kita.

Keempat, menyatakan keterbatasan diri dan keberserahan penuh akan pertolongan Tuhan (12b). Di akhir doanya Yosafat mengatakan kalimat yang sangat indah “Karena kami tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi laskar yang besar ini, yang datang menyerang kami. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan, tetapi mata kami tertuju kepada-Mu.” Dalam doanya ini, Yosafat mengakhiri dengan menyatakan bahwa dirinya terbatas. Mereka sadar bahwa mereka tidak punya kekuatan untuk menghadapi musuh yang ada di depan mereka. Karena itu Yosafat mengatakan: “Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan.” Tapi Yosafat juga sadar bahwa ada Tuhan yang beserta dengan dia. Karena itu dengan penuh iman, ia berkata “tetapi Mata kamu tertuju kepada-Mu.” Mata Yosafat memandang kepada Tuhan dan menantikan pertolongan-Nya. Yosafat mengandalkan Tuhan semata. Saudara, Tuhan berkenan terhadap orang yang mau merendahkan diri dan mengandalkan Tuhan.

Di Alkitab banyak sekali kisah-kisah tentang orang-orang yang berdoa seperti ini. Dan Tuhan berkenan atas doa-doa seperti demikian. Raja Hizkia pernah menderita sakit dan hampir mati, lalu dia menangis dan mengandalkan Tuhan, Tuhan menyembuhkannya; Manasye, seorang raja yang sangat jahat, pernah di tawan oleh musuh dan kemudia ia menangis tersedu-sedu dihadapan Tuhan. Ia sadar akan keterbatasannya, dan ia bergantung penuh kepada Tuhan. Tuhan mau melayakkan dia dan melepaskan dia dari tawanan musuh; dsb. Mata Tuhan tertuju kepada orang yang rendah hati dan mengandalkan Dia.

Sebenarnya bukan metode doa yang dilihat, namun sikap dalam doa itu sendiri yang dipandangnya. Sikap doa yang dinyatakan Yosafat itu menunjukkan akan kerendahan hati Yosafat untuk mengakui kedaulatan Allah dan mengakui keterbatasannya. Dan dalam keterbatasan itulah yang terbatas berserah kepada yang tidak terbatas. Disitulah Tuhan melihat hati yang sungguh dan merendah, dan ia berkenan terhadap anak-anakNya yang bersikap demikian. Bukan hanya berkenan, Ia pun akan bertindak untuk mereka.

****

Jika kita memperhatikan kisah selanjutnya, kita akan menemukan bagaimana Tuhan bertindak menolong umat Israel. Setelah Yosafat berdoa, FT datang kepadanya bahwa Tuhanlah yang akan berperang untuk Israel, umat Israel disuruh diam saja. Keajaibanpun terjadi. Ketiga musuh ini tiba-tiba saling berperang dan membunuh satu dengan yang lain. Mungkin terjadi kesalahpahaman ditengah-tengah mereka. Tetapi FT mengatakan bahwa Tuhanlah yang berperkara melakukan perhadangan di tengah-tengah 3 bangsa itu. Sehingga ketika umat Israel datang, mereka tinggal menikmati harta-harta yang tertinggal di perkemahan mereka. Begitu banyaknya sampai-sampai dikatakan merekapun tidak dapat membawanya. Tuhan sudah bertindak untuk anak-anakNya yang mencari dan mengandalkan Dia dengan sepenuh hati. Tindakan Tuhan ini menunjukkan bahwa Tuhan berkenan terhadap orang-orang yang merendahkan hati dan mengarahkan matanya kepada Tuhan dalam segala permasalahannya.

Karena pemazmur pernah mengatakan: “Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku.” “Singa-singa muda merana kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatupun yang baik.” “Bermegahlah di dalam nama-Nya yang kudus, biarlah bersukahati orang-orang yang mencari TUHAN!.” Berbahagialah orang-orang yang mencari Tuhan dengan kerendahan hati. Karena Tuhan akan memberikan uluran tangannya kepada orang-orang yang demikian.

Saudara, carilah Tuhan senantiasa. Luangkan beberapa waktu untuk berdoa kepada-Nya. Datanglah kepadanya dengan kerendahan hati. Bawalah segala pergumulan saudara kehadapan Tuhan. Mata Tuhan tertuju kepada orang-orang yang rendah hati, yang mau mencari dan mengandalkan Tuhan senantiasa. Dalam setiap pergumulan, mari kita arahkan pandangan kita kepada Tuhan. Dan lihat bagaimana Tuhan akan bertindak mendengar setiap seruan kita. Tidak peduli apa latar belakangmu, seberapa bobroknya hidupmu dahulu, yang penting saat ini, mari kita datang mencari Tuhan dengan segenap hati. Kemurahan-Nya diberikan kepada mereka yang rendah hati. Carilah Dia dalam waktu teduh dan waktu doamu.

Turn Your Eyes Upon Jesus




Kehidupan manusia itu seperti berada dalam sebuah permainan Labirin (permainan seperti jalan tikus). Ketika seseorang masuk di dalamnya, ia akan berusaha untuk menyelesaikan labirin kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Orang itu berusaha untuk mencapai garis finish, namun seringkali malah dibingungkan oleh begitu banyaknya jalan yang harus dipilih. Terkadang jalan itu bisa begitu lancar, dan tampak begitu terbuka. Namun terkadang ada saatnya kita harus menghadapi jalan buntu. Sehingga harus mengulangi jalan yang pernah dilalui sebelumnya karena sudah salah jalan.

Inilah kehidupan manusia. Terkadang jalan hidup kita tampak begitu lancar di mana kita bisa melangkahkan kaki kita dengan kepastian dan kemantapan hati. Pekerjaan lancar, keluarga sehat-sehat, relasi dengan sesama juga baik. Tidak ada suatu hambatan yang cukup berarti. Namun terkadang kita harus menghadapi sebuah jalan buntu yang membuat kita bingung, khawatir, bahkan putus asa. Sakit penyakit mulai merudung; relasi mulai retak; pekerjaan tidak jelas; study juga tersendat-sendat. Itulah yang dinamakan labirin kehidupan. Penuh lika-liku yang membingungkan didalamnya. Kadang jalan terbuka, namun kadang kita tidak dapat menghindari jalan buntu. Tidak ada satu orangpun yang terlalu kuat dalam menghadapi kebuntuan-kebuntuan hidup. Saya pernah melihat seorang pria yang sangat berani. Ia tegar dan kuat ketika menghadapi gelombang-gelombang kehidupannya. Tapi sampai suatu ketika, sewaktu istrinya jatuh sakit dan hampir meninggal, Pria yang gagah berani inipun menjadi takut setengah mati. Ia seakan sedang menghadapi jalan buntu.

Saudara, suatu saat kitapun akan masuk dalam kondisi seperti ini. Akan ada masa di mana kita akan menemukan kebuntuan dalam hidup yang tidak bisa dihindari. Ketakutan-ketakutan itu dapat datang sewaktu-waktu. Sekarang pertanyaannya sebagai anak Tuhan, hal apa yang seharusnya kita lakukan ketika menghadapi jalan buntu tersebut? Apakah kita akan menyerah? Atau apakah kita berusaha mencari pertolongan dari orang lain? Siapakah yang akan kita andalkan? Hari ini mari kita belajar dari seorang tokoh Alkitab, yaitu seorang raja Israel yang bernama Yosafat.



Yosafat juga pernah mengalami apa yang namanya jalan buntu. Perikop ini mengisahkan bahwa Israel dibawah kepemimpinan raja Yosafat berada dalam sebuah ancaman besar. Tiga bangsa disekitar yang besar yakni: Amon, Moab dan orang-orang Meunim (salah satu pasukan dari suku edom) bersekongkol untuk menggempur habis Israel. Keadaan lebih genting karena tiga bangsa tersebut sudah menyeberangi laut mati dan berada di en-gedi yang jaraknya hanya 25 mil dari Yerusalem tempat Yosafat berdiam. Jadi kurang lebih jarak dari En-Gedi ke Yerusalem hanya berkisar 37 km. Hanya butuh waktu setengah hari untuk berjalan menggempur Yerusalem.

Musuh sudah di depan mata. Secara kekuatan militer tentu saja Israel kalah jauh. Yosafat dipojokkan dan diperhadapkan dengan sebuah jalan buntu. Tak heran Alkitab menuliskan bahwa Yosafat menjadi takut dan gentar. Kekalahan dan kegagalan seakan ada di depan mata. Namun menariknya, Yosafat tidak pernah berpikir bahwa itu merupakan akhir dari pemerintahanya. Dia tau apa yang harus ia lakukan.


Bagaimana sikap Yosafat?
Jika kita melihat di ayat 3a dikatakan “Yosafat menjadi takut, lalu mengambil keputusan untuk mencari Tuhan.” Sungguh merupakan sikap yang sangat luar biasa. Walaupun Yosafat mengalami ketakutan yang amat dasyat; namun dari dasar hatinya masih tersimpan sebuah pengharapan di mana Ia tau bahwa ada Tuhan yang berkuasa, yang sanggup menolongnya. Karena itu ia mengambil keputusan untuk mencari Tuhan. Ya, Ditengah ketidak berdayaannya, Yosafat lebih memilih untuk mencari Tuhan.

Kata “mencari” sendiri berasal dari kata daras yang berarti mencari dengan teliti atau mencari dengan sungguh-sungguh. Dari kata daras inilah kemudian kita ketahui ada yang namanya Madrasah (tempat kumpulan orang-orang yang berusaha untuk menggali kitab suci dengan teliti dan sungguh-sungguh). Mungkin sama seperti seorang yang mencari butiran mutiaranya yang berharga di dalam tumpukan jerami, demikianlah yang dilakukan oleh Yosafat. Ia mencari Tuhan dengan kesungguhan hati. Bukan hanya mencari Tuhan dengan kesungguhan hati, Yosafatpun mengajak seluruh umat Yehuda untuk berdoa dan berpuasa untuk memohon pertolongan kepada Tuhan. Sebenarnya Yosafat dapat meminta bantuan kepada bangsa-bangsa lain seperti Mesir, Aram, dsb. Namun Yosafat lebih memilih untuk mencari Tuhan sebagai jalan pertama. Ia menatikan pertolongan Tuhan.

Bagaimana dengan kita? Ketika kita menghadapi jalan buntu, siapakah yang pertama kali kita cari? Teman-teman kita? Pacar? Atau kita lebih mengandalkan pikiran dan solusi-solusi pikiran kita? Namun pernahkah mencari Tuhan terlebih dahulu sebelum kita memikirkan solusi-solusi lain? Saya pikir dalam hubungan dengan Tuhan terkadang memang kita harus belajar memiliki hati seperti seorang anak kecil. Saya teringat waktu minggu lalu pemuda Zion rekreasi ke pantai Limbunan. Ketika memperhatikan Ekin (bocah berusia 10 bulan) saya mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga. Setiap kali Ekin digendong oleh orang lain dan ketika ia mulai menangis, siapakah orang yang pertama kali dicarinya? Orangtuanya! Matanya yang bercucuran air mata itu tetap terbuka sambil melihat kerumunan orang banyak itu untuk mencari dimana oragtuanya. Setelah ia melihat mama atau papanya, tangannya langsung terbuka lebar seakan menyuruh mamanya merebut dia dari gendongan orang lain itu. Dan ketika orangtuanya sudah memeluk dia, barulah dia dapat diam tenang.

Saudara, mungkin kitapun harus memiliki sikap seperti itu. Ketika kita menghadapi jalan buntu dalam hidup ini; atau ketika kita mendapatkan persoalan yang besar, mari kita arahkan mata kita kepada Tuhan. Mari kita mencari Dia sebagai sumber pertolongan kita yang utama. Berserulah kepada-Nya. Mungkin saat ini banyak kekhawatiran yang menimpa kita: bagi teman-teman yang sebentar lagi akan menikah ada kekhawatiran tersendiri. Mungkin kita takut kalau-kalau kita tidak bisa menjadi bapak atau ibu yang baik; bagi teman-teman yang kuliah mungkin ada ketakutan sendiri juga. “Mau kerja apa setelah ini, bagaimana membuat proposal skripsi, apakah saya bisa menyelesaikan skripsi” merupakan pikiran-pikiran yang cukup mengkhawatirkan; Bagi teman-teman yang bekerja juga ada ketakutan tersendiri. Pikiran yang sering muncul ialah: “apakah pekerjaan ini bisa mencukupi masa depanku, apakah saya bisa jujur dalam menjalankan bisnis ini, dsb.” Sekuat-kuatnya manusia, suatu saat tetap kita akan mengalami apa yang namanya ketakutan dan kekhawatiran. Tapi biarlah setiap kali kita merasakan takut atau khawatir, mari kita mencari Tuhan terlebih dahulu. Mari kita belajar seperti raja Yosafat yang mengambil keputusan untuk mencari Tuhan.

Sunday, May 16, 2010

Hidup Adalah Karya Seni



Saya seorang pecinta seni…. lebih tepatnya penikmat seni. Segala bentuk seni entah lukisan, pahatan, sastra, syair, puisi, musik, tarian, dan sebagainya seringkali dapat menambah gairah kalbu. Ada perasaan yang bergejolak ketika menatap atau mendengar karya-karya yang beraromakan seni. Walau saya tidak bisa menciptakan karya-karya itu dengan tangan saya sendiri (kecuali beberapa lagu dan karya-karya tulis seperti ini), namun saya bisa menikmati karya-karya itu seolah-olah sayalah penciptanya. Ah…mengapa saya begitu mencintai seni? Saya kira alasannya jelas, yaitu karena karya seni itu berjiwa dan bernyawa. Karya seni yang tampak bisu itu seringkali berbicara lebih banyak daripada ungkapan-ungkapan verbal dan mampu mendarat kedasar hati manusia.

Salah satu karya yang pernah berbicara banyak dalam hidupku ialah karya lukis Rembrandt yang berjudul “The Prodigal Son.” Lukisan ini pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang Bapak Rohani saya di Seminari Alkitab Asia Tenggara. Saya diberikan buku karangan Henry Nouwen yang mengupas kehidupan Rembrandt dan makna-makna di setiap goresan dalam karya itu. Jujur lukisan ini banyak berbicara di telinga hatiku. Setiap kali menatap kumpulan warna itu hati ini jadi terenyuh oleh kasih Bapa yang teramat besar bagiku, seorang pendosa ini.

Pada zaman Rembrandt (1662), orang-orang dalam lukisan-lukisan Alkitab tampak seperti pahlawan luar biasa, hanya sedikit berbeda dari para dewa dan manusia setengah dewa seperti yang digambarkan dalam lukisan-lukisan mitologis. Tidak demikian halnya pada lukisan Rembrandt. Ia menunjukkan kemanusiaan sebagaimana adanya: cacat, berdosa dan membutuhkan keselamatan. Kepiawaiannya menggunakan chiaroscuro – suatu teknik yang mengontraskan latar belakang gelap dengan cahaya yang menyoroti figur dalam gambar adalah ciri khas karya Rembrandt. Pekatnya warna gelap seringkali dengan jelas memperlihatkan cahaya spiritual yang begitu indah.
Lukisan ini sendiri dapat menjadi begitu hidup karena dibuat oleh seorang pendosa yang pernah menghidupi kehidupan sebagai seorang pemboros. Kehidupan Rembrandt begitu bobrok dan rusak, namun kemudian hari ia menemukan Kristus dan mengalami kasih-Nya. Kasih Allah inilah yang mendorongnya untuk melukis “The Prodigal Son.” Sebuah lukisan hati yang menunjukkan ketulusan. Mungkin setiap kali ia melemparkan kuasnya, air matanya turut tertumpah sebagai curahan syukur atas kasih Allah. Melalui lukisan ini, Rembrandt ingin menyatakan syukurnya akan kasih Allah sekaligus ingin mengajak kepada penikmat lukisannya bahwa betapa perlunya dunia akan keselamatan dan kasih Allah.

Lukisan hati inilah yang kemudian berbicara bagi banyak orang di zamannya. Banyak yang tersentuh akan kasih Allah melalui karya-Nya. Bahkan sampai abad 21 sekarang ini banyak orang yang masih menikmati suara seni yang terucap dari lukisan bisu itu. Saya sendiri menaruh lukisan ini di meja makan saya, agar dapat senantiasa menghayati kebesaran kasih Allah dalam hidupku. Karya seni itu sudah berbicara sangat banyak.

Saudara, tahukah bahwa hidup kita ini juga merupakan karya seni? Tuhanlah pelukis-Nya. Setiap peristiwa dan pengalaman yang kita alami merupakan goresan-goresan warna yang saling melengkapi. Karakter dan kepribadian kita yang tidak ada duanya di dunia ini juga merupakan ciri khas dari seni itu sendiri. Latar belakang dan lingkungan yang membentuk kita merupakan bingkai-bingkai yang sudah disiapkan khusus untuk kita. Hidup kita seutuhnya sudah dipersiapkan untuk menjadi sebuah karya seni yang indah, hidup, dan bermakna. Segala tinta-tinta gelap, nada-nada minor, syair-syair pesimis, dan tari-tarian perkabungan hadir untuk memperkaya karya seni dalam hidupmu. Jadi nikmatilah karya seni yang ada dalam dirimu. Bukan hanya untuk dinikmati, mari kita jadikan diri kita sebagai karya seni yang hidup, yang berbicara banyak bagi orang sekitar kita. Mari kita memberitakan kasih Tuhan dalam seluruh aspek hidup kita. Dalam profesi apapun, latar belakang apapun, dimanapun kita berada, dan dalam segala keadaan apapun; entah engkau kaya atau miskin, engkau menikah atau selibat, engkau bahagia atau menderita; mari kita nyatakan keindahan karya seni yang dirancang Tuhan dalam hidup kita. Amin

Tuesday, May 04, 2010

Holy Spirit's Concern




Bulan ini kita akan memperingati kenaikan Tuhan dan hari turunnya Roh Kudus (RK) di hari Pentakosta. Merebaknya ajaran mengenai RK yang bervariasi akhir-akhir ini tentunya cukup memutar pikiran kita sampai-sampai pita otak kitapun menjadi kusut. “Apasih yang dilakukan oleh RK dalam hidup manusia?” Saya kira ini pertanyaan yang cukup penting mengenai topik ini. Ada ajaran yang mengatakan bahwa RK akan membuat kita sukses dan menjadi kaya harta. Tak heran orang-orang seperti ini akan berkata jika kita tidak sukses maka kita tidak memiliki RK. Ada juga yang mengatakan bahwa RK tugasnya hanya untuk menghibur kita, sehingga setiap kali kita mengalami masalah kita akan dikuatkan. Ada juga yang mengatakan bahwa RK berfungsi untuk menjaga dan mengawali kita seperti bodyguard pribadi kita. Tak heran beberapa pengkhotbah terkadang berdoa seakan-akan membentak-bentak RK dan menjadi ‘tuan’ atas RK. Tapi sebenarnya apa sih peran RK yang sesungguhnya? Saya kira Kisah Rasul 1:6-8 menjelaskan kepada kita akan peran RK.

Ayat 6 diawali dengan kata “maka” / alla (Grk.) yang melanjutkan topik sebelumnya mengenai baptisan Roh Kudus (ay.5). Mulanya para murid memiliki presepsi bahwa RK yang akan tercurah itu berperan untuk memulihkan keadaan Israel dari segala penjajahan dan mengembalikan Israel kepada teokrasi politik yang mereka damba-dambakan. Pemikiran seperti ini sudah terjadi sejak murid-murid itu mengekori Yesus. Pemulihan kerajaan, pengembalian takhta Daud, menjadi raja dunia, membangun kerajaan fisik, siapa yang duduk disebelah kanan dan kiri, dan pikiran-pikiran yang sejajar dengan itulah yang selalu ada dalam benak murid-murid. Tak heran di ayat 6 mereka bertanya “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” Sebuah pertanyaan yang memojokkan seseorang untuk menjawab: mau atau tidak mau.

Namun Yesus memiliki alternatif jawaban sendiri. Ia tidak mau di atur oleh pertanyaan retoris murid-murid-Nya. Di ayat 7 Yesus menjawab “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya.” Jawaban ini tentu tidak menjawab pertanyaan murid-murid, sebaliknya malah mengoreksi pertanyaan itu beserta konsep-konsep yang tersembunyi di baliknya. Jawaban ini menyiratkan bahwa apa yang dipikirkan murid-murid itu tentang RK tidaklah demikian. Pemulihan Kerajaan Israel secara fisik bukanlah konsentrasi dari pekerjaan RK Ada hal yang jauh lebih penting yang menjadi fokus dari pekerjaan RK. Hal penting itu dibukakan di ayat 8: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” Sebagai ganti dari kekuasaan politik yang ada di benak murid-murid, Roh Kudus juga akan memberi kuasa, namun bukan untuk membangun kerajaan secara fisikal melainkan untuk menjadikan murid-murid sebagai saksi-saksi kerajaan Allah.

Sedari PL para nabi-nabi sudah memberitakan kepada umat Allah untuk menjadi saksi-saksi Allah yang memproklamasikan kemuliaan Allah (mis. Yes. 43:10; Yes. 44:8). Sampai zaman PB pun berita untuk menjadi saksi-saksi Kristus pun sangat kuat. Murid-murid diharapkan untuk menjadi saksi Kristus di Yerusalem (Kis. 1-7), menentang pemimpin-pemimpin agama yang melakukan penyelewengan teologi dan praktisi agama. Murid-murid juga diminta menjadi saksi bagi orang-orang Samaria (Kis. 8:1-11:18) yang selalu mereka jauhi dengan tatapan jijik, seperti Yesus mau bersaksi bagi perempuan Samaria. Dan murid-murid diharapkan menjadi saksi sampai ke ujung dunia untuk menceritakan Kristus kepada semua orang yang tidak mereka kenal. Inilah konsentrasi pekerjaan RK: yaitu memberi kuasa untuk menjadi saksi. Agar setiap anak-anak Tuhan menjadi saksi-saksi Kristus yang benar dalam pengajaran dan praktika sehari-hari.

Karena itu Yohanes 14:16 mengatakan bahwa RK itu disebut Roh Kebenaran, seorang Penolong kita untuk menyaksikan kebenaran. Roh Kudus inilah yang akan mengajarkan segala sesuatu dan mengingatkan kita akan semua yang Yesus sudah katakan (Yoh 14:26). Sama seperti Petrus yang dikuasai RK dan mampu menyaksikan Kristus di depan para Mahkamah Agama sampai mereka tercengang-cengang, demikian juga kita akan ditolong dan diajarkan dalam terang FT untuk bersaksi tentang Kristus.
RK juga dikatakan sebagai seorang Penghibur bagi kita. Seorang yang mengalami kedukaan atau kesedihan yang berat dan tidak dapat bangkit dari keputusasaan tidak akan dapat bersaksi tentang Kristus secara leluasa. Fokus pikiran kita akan tertuju pada permasalahan-permasalahan sendiri. Disitulah RK akan menghibur kita, sehingga kita bisa bangkit kembali dari jurang keputusasaan untuk kembali menyaksikan Kristus sumber kemenangan.

Roh Kudus ini jugalah yang akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman (Yoh 16:8). Saya kira RK-lah yang terus mengerjakan proses pengudusan setiap anak-anak Tuhan, agar kesaksian mengenai Kristus juga tampak dari integritas hidup setiap anak-anak Tuhan.

Jadi semua pekerjaan RK berkonsentrasi untuk menjadikan kita saksi-saksi Kristus. RK bukan alat pembuat kita kaya. RK juga bukan sekedar konselor yang tugasnya hanya menghibur serta memberi ketentraman jiwa. Dan RK bukan bodyguard yang membuntuti kita dan bisa kita perintah seenak-enaknya. RK berperan untuk senantiasa memperlengkapi kita dan menjadikan kita sebagai saksi-saksi Kristus berdasarkan kebenaran FT. Mengapa saya mengatakan berdasarkan kebenaran? Karena saat ini banyak orang yang menyaksikan Kristus tidak berdasar dari kebenaran FT, namun dari hasrat dan nafsu pribadi yang begitu serakah.

Jadi….Sudahkah RK ada dalam diri saudara? Sudahkah kita digerakkan untuk menjadi saksi-saksi Kristus yang benar? Apakah kehidupan sehari-hari kita menyaksikan Kristus atau malah mempermalukan-Nya? Biarlah secuplik renungan ini boleh menolong kita. Amin