Wednesday, August 24, 2011

Menghadapi Dilema Dalam Kehidupan Kristiani (Daniel 1) # 3




Menariknya di tengah-tengah usianya yang masih sangat hijau, ternyata dikatakan bahwa Daniel beketetapan hati untuk tidak menyantap makanan raja. Kata berketetapan ini sama dengan bertekad dari hati yang paling. Dengan kata lain, ia lebih memilih untuk taat kepada Tuhan dari pada manusia. Ia memilih untuk menyukakan Tuhan daripada menyukakan hatinya. Dan ia memilih untuk keluar dari zona aman demi melakukan sesuatu yang benar. Singkat cerita akhirnya Daniel dkk memilih untuk memakan sayur-sayuran dan tidak menyentuh makanan raja. Awalnya penjenangnya tidak mengijinkan karena jika perihal itu ketahuan oleh Raja Nebudkanezar, maka kemungkinan hukuman mati bukan hanya di alami oleh Daniel dkk, tapi tentunya penjenang itu juga akan dihukum berat karena melawan titah raja. Setelah sepakat bersama akhirnya mereka memutuskan untuk melakuakn pencobaan selama 10 hari. Daniel dkk memakan sayur mayur, sementara teman-teman yang lain memakan daging-dagingan makanan milik raja. Secara logika jelas para pemakan daging akan lebih gemuk, lebih sehat, dan berenergi kan? Tapi Alkitab dengan jelas menggambarkan sebaliknya, Daniel dkk jauh lebih subur dan diberkati Tuhan. Mengapa bisa? Jelas karena Tuhan berkenan terhadap hambanya yang setia, yang hidup takut akan Tuhan, yang senantiasa memegang komitmennya untuk tetap berada di jalur yang benar. Bagi Tuhan sebuah komitmen dan kesetiaan itu jauh lebih baik daripada daripada semua pelayanan kita. Ketaatan kepada perintah Tuhan jauh lebih penting daripada semua talenta kita. Tuhan berkenan terhadap orang-orang yang setia yang penuh dengan komitmen.

Seorang CEO hendak mewariskan perusahaan besar kepada karyawan terbaiknya. Untuk itu ia memanggil seluruh karyawannya, memberikan masing² sebutir BENIH di tangannya dan berkata, "Sirami dengan teratur, rawat, dan kembalilah setahun dari sekarang dengan membawa tanaman yang tumbuh dari benih ini. Yang TERBAIK, pemiliknya akan menjadi penggantiku sebagai CEO perusahaan ini. Seorang karyawan, Rahmat, pulang ke rumah. Setiap hari disiraminya dengan air dan pupuk. Setelah 6 bln, di kantor, eksekutif lainnya saling membicarakan tanaman mereka, sedangkan Rahmat melihat TIDAK ADA PERUBAHAN yang terjadi pada benih miliknya. IA MERASA GAGAL.

Setelah setahun, seluruh eksekutif menghadap CEO, memperlihatkan hasil benih tersebut. Rahmat berkata pada istrinya bahwa ia tdk akan membawa pot yang kosong... ia tergoda untuk mengganti benihnya itu dengan benih yang lain. Namun istrinya mendorongnya untuk menyatakan yang sebenarnya. Rahmat menyadari bahwa istrinya menyarankan HAL YANG BENAR. Tuhan tidak suka jika ia berbuat curang dan tidak jujur. Memasuki ruangan meeting, Rahmat membawa sebuah pot kosong. Seluruh mata memandangnya kasihan. Ketika Sang CEO memasuki ruangan, ia memandang keindahan seluruh tanaman itu, hingga akhirnya berhenti didepan Rahmat yang tertunduk malu. Sang CEO memintanya ke depan dan menceritakan TRAGEDI yang menimpanya. Ketika ia selesai bercerita, Sang CEO berkata, "berikan tepuk tangan yang meriah untuk Rahmat, CEO yang baru". Ia berkata, “Aku memberikan kepada kalian sebutir benih yang sebelumnya TELAH KUREBUS DI AIR PANAS hingga mati dan tidak mungkin untuk tumbuh. Melihat bahwa benih itu tidak tumbuh, kalian menukarnya dan berbohong kepadaku. Lain halnya dengan Rahmat, dia mau berkata yg sebenarnya terjadi. Akhirnya perusahaan besar itu diwariskan kepada Rahmat.

Biarlah kitapun tetap menjaga komitmen kita sebagai anak-anak Tuhan ketika menjalani kehidupan di dunia ini. Berkat Tuhan diberikan kepada barangsiapa ia berkenan. Mungkin berkat-berkat itu tidak terlihat saat ini, dan bahkan mungkin kita merasa orang-orang yang hidup tidak setia jauh lebih diberkati Tuhan. Namun ingat, pada akhirnya nanti, barangsiapa yang senantiasa menjaga komitmennya di hadapan Tuhan untuk setia, merekalah yang diangkat Tuhan jauh lebih tinggi daripada orang-orang yang tidak lagi setia. Karena itu dalam dilema apapun yang kita hadapi saat ini, mari kita belajar untuk memilih apa yang menjadi kesukaan Tuhan. Entah itu disekolah, di gereja, di tempat usaha kita, di lingkungan sekitar, juga di keluarga kita, mari kita belajar untuk hidup menjaga komitmen kita sehari-hari, yaitu komitmen untuk hidup bagi Tuhan, menyenangkan Tuhan, bahkan walaupun harus mengorbankan diri kita, mari kita tetap setia dan memegang komitmen kita dihadapan Tuhan.

Menghadapi Dilema Dalam Kehidupan Kristiani (Daniel 1) # 2




Seorang tokoh Alkitab yang baru kita baca juga pernah menghadapi dilema yang berat dalam hidupnya. Dilema apa itu? Mari kita bayangkan bersama. Waktu itu negara Israel baru saja kalah perang oleh negeri Babel dan semua rakyat, baik petinggi, baik rakyat kecil semuanya diangkut ke negeri Babel. Semua orang yang melawan langsung dibunuh, sedangkan orang yang mau ikut aturan akan diangkut ke negeri Babel. Tentunya mereka di ajak kenegeri Babel bukan sebagai orang bebas, tapi sebagai tawanan yang harus bekerja bagi orang-orang Babel. Dan tentunya juga mereka tidak memiliki hak yang sama dengan warga Babel. Mereka hidup tidak merdeka. Mungkin sama seperti sewaktu bangsa kita dijajah oleh negeri Belanda. Kita yang punya kekayaan, kita yang disuruh kerja keras, tapi mereka yang menikmati hasilnya. Orang-orang Indonesia tidak memiliki hak senyaman orang-orang Belanda yang menjajah kita. Mereka bisa berbuat apa saja sesuka hati mereka. Mungkin ini sedikit gambaran keadaan Israel waktu itu. Betapa mereka hidup di zaman yang susah dan berat. Mungkin itu masa terberat sepanjang perjalanan kehidupan bangsa Israel.

Nah, Daniel hidup di zaman seperti ini. Dia adalah salah satu masyarakat tawanan yang tidak memiliki hak apapun juga. Singkat cerita, dari negeri Babel hendak mencari orang-orang dari berbagai macam daerah untuk dapat dipakai dalam pemerintahan. Alkitab menuliskan “ Lalu raja bertitah kepada Aspenas, kepala istananya, untuk membawa beberapa orang Israel, yang berasal dari keturunan raja dan dari kaum bangsawan, yakni orang-orang muda yang tidak ada sesuatu cela, yang berperawakan baik, yang memahami berbagai-bagai hikmat, berpengetahuan banyak dan yang mempunyai pengertian tentang ilmu, yakni orang-orang yang cakap untuk bekerja dalam istana raja, supaya mereka diajarkan tulisan dan bahasa orang Kasdim.”

Saya kira ini taktik yang cerdas dari orang-orang Babel. Mereka mencari anak-anak muda (kalau menurut penafsir masih berusia dibawah 15 tahun), mengapa? Karena orang-orang ini mudah dibentuk dan diajar, dan mereka jarang melawan. Tahun lalu saya melayani di komisi pemuda, dan tahun 2011 ini saya melayani di komisi remaja. Kalau di Pemuda untuk memutuskan sesuatu kita harus bahas bersama dulu, berdiskusi, banyak perdebatan, baru mencapai suatu keputusan. Kita tidak bisa langsung mempengaruhi orang karena mereka sudah punya prinsip-prinsip tersendiri. Namun ketika memegang remaja caranya berbeda. Hampir 90 % mereka mengikuti apa yang pembinanya katakan tanpa memperdebatkan ini dan itu. Anak remaja masih mudah dibentuk dan diatur. Karena itulah raja Babel mencari anak-anak yang demikian untuk dibentuk. Terus mereka mencari anak-anak keturunan raja dan bangsawan, yang memiliki banyak talenta agar dapat dipakai untuk mengembangkan Babel. Dan saya kira mereka berharap ketika para tawanan ini sudah dibentuk sedemikian rupa, dan ketika dewasa mereka mulai menganggap bangsa Babel adalah bangsanya sendiri, mereka-mereka ini yang akan diperalat untuk menguasai rakyat bangsa mereka masing-masing. Dengan demikian pemerintah akan lebih mudah mengatur para tawanan yang bukan berasal dari daerahnya. Raja Babel sangat pintar dalam mempersiapkan strategi yang jitu seperti ini. Karena itulah diadakan Babel Got Talent, untuk merebut talent-talent muda dari berbagai negara, salah satunya Israel.

Daniel adalah salah satu dari para remaja yang terpilih. Ia bersama Sadrakh, Mesakh, Abednego, merupakan orang-orang yang dipersiapkan untuk masuk dalam pemerintahan. Semuanya tampak baik-baik saja. Tentunya sebagai anak remaja mereka bangga bisa masuk dalam pemerintahan, walaupun status mereka masih sebagai tawanan. Namun sampai suatu ketika ada peraturan yang mengejutkan dimana raja meminta agar semua anak-anak remaja itu diwajibkan untuk menyantap makanan dan minuman yang biasa disantap raja. Saya membayangkan banyak anak remaja yang bergirang karena membayangkan makanan raja yang tentunya lezat-lezat.

Tapi bagi Daniel dan Sadrakh, Mesakh, Abednego ini merupakan sebuah dilema yang sukar. Mengapa? Karena bagi mereka memakan makanan dan minuman raja itu berarti ketidaktaatan kepada Allah. Bagaimana mungkin? Pertama, dalam makanan orang Babel biasa terdiri dari daging babi dan kuda. Dan daging-daging itu merupakan daging-daging yang dilarang oleh hukum Taurat untuk dimakan. Kedua, orang Yahudi dilarang memakan darah (Im. 3:17;17: 10-14). Namun hal itu tidak dilarang di Babel. Ada kemungkinan mereka juga memakan darah binatang. Dan point ketiga yang sangat penting juga karena biasanya makanan tersebut merupakan makanan yang dipersembahkan kepada dewa orang Babel. Jika ada orang yang memakannya, itu menunjukkan bahwa ia tunduk dan menyembah kepada dewa tersebut. Tentu saja hal itu tidak menyukakan Tuhan.

Tapi disisi lain kalau mereka tidak memakannya maka beberapa resiko yang akan dihadapi antara lain: pertama, mereka tidak tau apa yang harus mereka makanan. Dan tentunya mereka harus memakan makanan yang berkualitas lebih rendah dari makanan raja. Kedua, saya kira mereka akan kehilangan jabatan mereka di pemerintahan dan kembali hidup sebagai budak karena tidak memenuhi syarat. Dan lebih berat lagi karena (ketiga) harus diingat bahwa ini adalah perintah raja Nebudkanezar. Menolak perintah raja akan mendatangkan hukuman mati atas diri mereka.

Karena itu Daniel dkk mengalami dilema yang sangat. Apalagi usia mereka masih remaja, yaitu usia dimana seseorang masih begitu mudah terombang-ambing. Mereka bingung haruskah mereka mengikuti kenikmatan dunia, atau mentaati Tuhan. Apakah mereka harus setia kepada raja atau setia kepada Tuhan. Apakah mereka harus mengambil zona aman untuk menyelamatkan nyawa mereka dengan memakannya, atau memilih untuk menaruh hormat kepada Tuhan.

Ketika kalian diperhadapkan dengan dilema seperti ini kira-kira apa yang akan kalian lakukan? Tentunya zaman sekarang sudah tidak berbicara soal makanan minuman. Tapi tetap dalam kehidupan kita sebagai anak-anak Tuhan di dunia ini kita tidak akan lepas dari dilema-dilema semacam ini. Misalkan atasan menawarkan kenaikan gaji asalkan kalian melakukan tindakan-tindakan yang kalian tahu persis bahwa itu tidak benar. Atau lebih parahnya, anda dipaksa melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip Alkitab, karena jika tidak melakukannya anda akan dipecar dari perusahaan. Apa yang anda lakukan? Atau misalkan sahabat atau teman kita meminta kita untuk berbohong terhadap sesuatu hal, yang membuat kita bingung karena jika tidak melakukannya bisa jadi hubungan kita dengan sahabat kita menjadi retak. Apa yang akan kita pilih? Menyukakan sahabat kitakah? Atau mungkin keluarga kita atau orang terdekat (entah itu sahabat atau pacar kita) sendiri yang meminta kita melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan, yang jelas-jelas hal itu tidak menyukakan hati Tuhan. Dan semua itu menghasilkan dilema-dilema yang membingungkan. Apa yang menjadi keputusan kita? Menyukakan hati manusia atau menyukakan hati Tuhan? Mengikuti kata hati kita, perasaan aman kita, atau berani mengambil resiko yang besar dengan menjalani ketaatan terhadap Firman Tuhan?

Menghadapi Dilema Dalam Kehidupan Kristiani (Daniel 1) # 1




Suatu saat, ada seorang anak kecil yang masih berusia 3 tahun. Seperti biasanya yang namanya anak kecil mereka suka sekali menyantap makan-makanan yang manis-manis, goreng-goreng, serta segala macam jenis kerupuk. Dan makanan-makanan seperti itu tidak jarang membuat anak-anak menjadi batuk dan sakit tenggorokan. Dan karena itulah kita sering mendengar para orang tua berkata demikian “Ga boleh minum es / makan krupuk / makan coklat dulu ya, nanti batuknya ga sembuh-sembuh”. Anak 3 tahun tersebut juga dilarang demikian oleh mamanya karena ia sedang batuk. Namun suatu ketika, saat ia sedang asyik main, ia melihat di atas meja makan terpajang sebuah krupuk udang favoritnya. Anak ini terus melihat kearah kerupuk itu. Ia mulai menorehkan pandangannya ke kiri, ke kanan, dan dilihatnya bahwa mamanya tidak ada di sekitar, ia pun mulai mendekati meja makan. Sampai meja makan ia teringat akan perkataan mamanya “Ingat ya ko, kamu batuk, ga boleh makan kerupuk dulu.” Tapi dia bingung karena didepan mata sudah ada krupuk favoritnya. Ia mengalami dilema antara apakah harus mentaati perintah orangtuanya, ataukah mengikuti keinginan hatinya. Sekali lagi ia melirik kekiri dan ke kanan, dan sekali lagi ia tidak menemukan mamanya ada di sekitarnya. Dan kemudian dia membuka toples itu perlahan-lahan dan iapun memilih untuk memakan kerupuk itu. Sembari memakannya, iapun mulai menutup toples itu perlahan, dan perlahan meninggalkan meja makan.

Waktu dia mau pergi tiba-tiba mamanya keluar dari dalam kamar, dan terheran melihat anaknya sedang mengunyah sesuatu. Mamanya langsung melihat meja makan dan menemukan toplesnya sudah longgar terbuka. Dan bukti paling kuat ada pada remah-remah krupuk yang hinggap bercemotan dipipinya. Tapi mamanya cukup bijak, ia tidak mau langsung menuding anaknya, dan iapun bertanya “koko makan apa itu”. Ditanyai seperti itu langsung anak 3 tahun ini kebingungan untuk menjawabnya. Ia tau mamanya akan marah jika tau kalau ia makan kerupuk yang ada di atas meja. Tapi sekolah minggu mengajarkan dia untuk tidak boleh berbohong. Jadi anak ini mengalami dilema yang kedua. Dia berpikir-dan berpikir, dan kemudian ia menjawab “saya makan Cuma dikit kok ma”. Ditanya makan apa, jawabnya cuman dikit; tidak nyambung.

Inilah dilema-dilema yang sering dihadapi oleh seorang anak kecil. Dilema antara mengikuti kata mamanya ataukah mengikuti keinginan hatinya. Dilema antara mengikuti kata guru sekolah minggunya, atau mengikuti perasaan takutnya. Mungkin kita sering melihat kejadian seperti ini dan kita tersenyum melihat tingkah anak-anak seperti demikian. Tapi sadarkah bahwa dalam hidup kitapun ada banyak dilema-dilema yang acapkali membingungkan kita? Entah itu dalam keluarga, pekerjaan, kehidupan pribadi, dan bagian-bagian lain dalam kehidupan ini, ada banyak dilema yang harus kita hadapi setiap hari.

Apalagi sebagai seorang anak Tuhan maka goncangan akibat dilema itu akan semakin besar kita rasakan. Mengapa? Karena dunia membenci anak-anak Tuhan. Alkitab dengan jelas mengatakan hal ini. Yoh 15:19 “Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.” Yoh 17:14 “Aku telah memberikan firman-Mu kepada mereka dan dunia membenci mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia.” 1Yoh 3:13 “Janganlah kamu heran, saudara-saudara, apabila dunia membenci kamu.” Dunia ini adalah dunia yang dikuasai dosa, dan ia tidak suka dengan sesuatu yang tidak sejalan dengannya. Karena itulah dunia membenci Tuhan, dan jelaslah juga bahwa duniapun membenci kita yang adalah anak-anak Tuhan. Sama seperti si A memusuhi si B. Si A benci sekali sama si B. Maka istrinya, anak-anaknya, semua yang berhubungan dengan dia akan ikut dibenci sama si A. Atau sama seperti kita benci sama tikus. Gak peduli itu anak tikus, istrinya tikus, atau baby tikus, tetap kita akan ga suka. Begitu juga dengan dunia. Karena dunia membenci Tuhan, maka dunia juga membenci kita anak-anak Tuhan.

Karena itulah si jahat yang berasal dari dunia ini akan terus menggoda, mencobai, dan terus berusaha menggocoh kita untuk jatuh dalam dosa dan perlahan meninggalkan kesetiaan kepada Tuhan. Kita akan diperhadapkan dengan dilema-dilema dalam setiap aspek kehidupan kita, antara ketaatan kepada Tuhan ataukah ketaatan kepada dunia. Dilema antara mengikuti keinginan hati atau mengikuti keinginan Tuhan. Dilema antara mengikuti sesuatu yang benar, atau berjalan berdasarkan perasaan kita. Dilema antara menyenangkan hati Tuhan atau menyenangkan hati manusia. Tentunya kita semua tau jelas bahwa kita harus mengikuti kehendak Tuhan, tapi jujur saja bukankah seringkali dalam menghadapi kenyataannya kita lebih sering mengikuti maunya dunia? Magnet dunia tampak begitu kuat mempengaruhi kita. Bagaimana tidak? Karena kita tinggal di dunia ini.

Sunday, August 14, 2011

Just Give Thanks (Filipi 4:4)




Suatu ketika ada seorang guru memberi tugas kepada anak-anak yang diajarnya, “Anak-anak sekarang tugas kalian adalah menuliskan 7 Keajaiban Dunia yang kalian ketahui saat ini. Tuliskan itu diselembar kertas!” Sesaat sebelum bel pulang berbunyi, semua siswa bergegas mengumpulkan tugas mereka kemeja guru. Semuanya mengumpulkan dengan penuh semangat, kecuali seorang gadis kecil yang pendiam; kelihatannya dia ragu-ragu untuk mengumpulkan tugasnya. Malam hari, si guru memeriksa tugas para murid untuk memberi nilai. Meskipun berbeda urutannya, tetapi pada umumnya siswa mendaftarkan 7 keajaiban dunia ini: (1) Piramid; (2) Tajmahal; (3) Tembok Besar Cina; (4) Menara Pisa; (5) Kuil Angkor; (6) Menara Eifel; dan (7) Kuil Parthenon. Sudah hampir semua kertas diperiksa dan jawaban yang didapatkannya tidak jauh berbeda, hanya urutannya saja yang berbeda. Namun ia tertegun ketika sampai lembar yang terakhir, yang adalah milik gadis kecil yang dikenalnya sebagai remaja yang pendiam itu. Anak itu memberikan daftar 7 Keajaiban Dunia yang sangat berbeda dengan teman-temannya: (1) Bisa melihat; (2) Bisa mendengar; (3) Bisa menyentuh; (4) Bisa disayangi; (5) Bisa mengecap; (6) Bisa tertawa; (7) Bisa mencintai. Tujuh keajaiban Dunia versi gadis kecil itu membuat sang guru terdiam. Ia menyimpan semua lembaran kerja para muridnya, kemudian menundukkan kepala dan berdoa. Ia mengucap syukur atas seorang gadis kecil pendiam dikelasnya yang telah mengajarkan akan arti bersyukur kepadanya. Gadis itu dapat mensyukuri segala sesuatu yang ada padanya shingga ia menyebutkannya sebagai sebuah keajaiban.

Dalam dunia ini banyak orang yang susah untuk mensyukuri kehidupannya. Apalagi ketika masalah-masalah yang harus dihadapi semakin hari semakin kompleks maka semakin banyak orang yang tidak dapat mensyukuri kehidupannya. Saya pernah mendengar seseorang berkata demikian “Bagaimana saya dapat bersyukur jika harga barang semua melambung tinggi, usaha makin sepi, anak-anak ga jelas kerja apa, belum lagi banyak sakit penyakit yang menimpa keluarga saya, bagaimana mungkin saya dapat bersyukur?” Selagi hidup penuh dengan berkat maka akan mudah bagi kita untuk berysukur, namun ketika hidup penuh dengan “sial” maka betapa mudahnya seseorang menggantikan sikap bersyukur itu dengan sikap bersungut-sungut. Jadi orang miskin ngomongnya “aduh enak ya si acong itu kaya raya, kemana-mana naik mobil, coba saya jadi orang kaya.” Tapi ada juga orang yang kaya yang tidak bisa bersyukur.

Memang itulah ciri manusia, susah sekali untuk mengucap syukur. Mungkin saudara yang ada disini juga merupakan salah satu orang demikian. Kalau saudara melihat kehidupan anda belakangan ini, secara jujur apakah kita lebih banyak mengucap syukur atau jangan-jangan kita lebih memilih untuk memelihara perasaan khawatir itu dalam diri kita?

Sebagai anak-anak Tuhan semestinya kita harus dapat selalu bersyukur dalam setiap keadaan. Karena mengucap syukur itu merupakan ciri khas dari pada orang Kristen. Ketika rasul Paulus berkata dalam ayat yang singkat barusan “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan, sekali lagi kukatakan bersukacitalah” sebenarnya itu berbicara juga tentang mengucap syukur. Ucapan ini dikatakan kepada jemaat Filipi yang mungkin sedang dalam tekanan pemerintah Romawi pada waktu itu. Ditengah tekanan-tekanan yang berat itu Paulus meminta orang-orang Filippi untuk bersukacita senantiasa. Tapi tentunya orang yang tidak dapat bersukacita jika ia tidak dapat bersyukur akan hidupnya bukan? Sukacita itu berkaitan erat dengan bersyukur. Orang tidak mungkin dapat bersukacita jika tidak ada rasa syukur dalam hatinya. Dengan kata lain Paulus ingin berkata kepada jemaat Filipi “walaupun kalian sedang dalam tekanan sekalipun, ayo tetap belajar untuk bersyukur” Ini adalah sesuatu yang penting sampai-sampai Paulus mengulangi kalimat ini sebanyak dua kali “Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan, sekali lagi kukatakan bersukacitalah”. Dengan kata lain, sudah semestinya dalam keadaan apapun juga kita harus tetap dapat mengucap syukur.

Mungkin saudara pernah mendengar lelucon tentang lagu orang Kristen yang dapat gajian. Diceritakan ada orang Kristen yang suka memuji Tuhan. Ketika tnggal 1 baru dapat gaji masih nyanyi “Nanananana,...bersyukurlah kepada Tuhan, sebab ia baik-2”.... Tanggal 5 lagunya juga masih girang “Sungai sukacitamu, melimpah dalamku...oh yes...yes.yes.yes” Masuk tanggal 15 lagunya sedikit lebih pelan “ooh Tuhan pimpinlah langkahku, ku tak brani jalan sendiri.” Lalu masuk tanggal 20 lagunya makin pelan “Ku tahu Tuhan pasti buka jalan, kutahu Tuhan pasti buka jalan...” Terakhir waktu masuk akhir bulan lagunya demikian: “Ketika aku berbeban berat... kudatang kepada Yesus” Nah apakah orang Kristen seperti demikian? Kalau dapat gaji, kalau uang banyak berysukurlah? Tapi kalau dompet lagi kurus kering tidak dapat bersyukur? Tidak! Paulus mengingatkan kepada kita untuk bersyukur senantiasa dalam keadaan apapun juga. Baik itu dalam keadaan penuh berkat, maupun ketika keadaan susah bahkan sekarat sekalipun kita harus tetap belajar untuk senantiasa bersyukur.

Bagaimana dengan saudara di tempat ini? Ketika pekerjaan lagi banyak masalah; ketika sakit penyakit menghampiri keluarga kita; ketika ada musibah yang menimpa usaha atau kelurga kita; apakah kita masih tetap dapat bersyukur? Atau kita memilih untuk bersungut-sungut? Atau jangan-jangan kita marah dan kecewa dengan Tuhan? Ingatlah Firman Tuhan yang mengatakan bahwa dalam keadaan apapun juga kita harus dapat tetap mengucap syukur. Bukan hanya pada saat-saat tertentu saja. Ada sebuah pernyataan indah yang mengatakan: Bukan karena kita bahagia maka kita dapat bersyukur, justru ketika kita dapat bersyukurlah maka hidup kita akan bahagia. Kebahagiaan kita bukan tergantung dari apa yang ada di luar kita, tetapi kebahagiaan kita tergantung dari apa yang ada dalam diri kita, yaitu seberapa jauh kita dapat bersyukur dengan keadaan kita.

Ketika Paulus mengatakan kalimat ini, sebenarnya rasul Paulus juga sedang menghadapi masa-masa yang tidak mudah. Ia tidak sedang melakukan city tour di kota Roma yang begitu eksotik dan indah. Dia juga tidak sedang mendapatkan sesuatu berkat materi yang berlimpah, sebaliknya Paulus sedang berada di dalam Penjara. Salah satu tempat dimana seseorang tidak memiliki pengharapan ialah penjara. Ia sedang dipenjara ketika menuliskan surat Filipi. Memang penjara zaman dulu berbeda dengan zaman sekarang. Namun dari abad- keabad, yang namanya penjara itu merupakan tempat penghukuman. Karena itu tidak pernah ada penjara yang dapat dikatakan nyaman. Namun demikian dia tetap dapat bersukacita dalam menghadapi situasi yang dialaminya? Mengapa demikian, karena saya yakin hidup Paulus limpah akan ucapan syukur, karena itulah dia dapat bersukacita senantiasa walaupun ia dalam penjara.

Kita pun harus belajar bersyukur dalam setiap keadaan. Sebenarnya kalau mau belajar bersyukur janganlah melihat keadaan orang yang ada di atas, tapi selalu lihatlah keadaan orang-orang yang ada di bawah kita. Jika kita selalu melihat keadaan diatas tidak akan habis-habis. Karena keinginan kita tidak akan pernah terpuaskan, dan kita tak akan pernah dapat bersyukur. Namun kalau kita melihat kebawah kita akan menemukan betapa kita adalah orang-orang yang sangat beruntung.

Di sebuah website yang meniliti tentang data-data kekayaan didunia berdasarkan pendapatannya (www.globalrichlist.com), pernah saya mencoba memasukan dengan seandainya gaji yang diterima seseorang adalah Rp.1.000.000, (anggap saja sebagai UMR), maka orang yang memiliki gaji sedemikian merupakan orang yang ke-1,488,503,335 terkaya didunia. Dengan kata lain, jika penduduk di dunia saja yang kurang lebih ada 6 milyar manusia, maka orang yang berpenghasilan Rp.1.000.000 perbulannya jauh lebih kaya daripada 4,5 milyar orang didunia ini.

Kalau kita melihat dari data-data tersebut maka kita akan menemukan bahwa ada begitu banyak orang yang tidak seberuntung kita. Karena itu jika saudara mengeluh akan susahnya jalankan usaha anda, ingatlah ada orang-orang yang tidak dapat memiliki usaha sama sekali. Ketika saudara mengeluh tentang keluarga saudara, ingatlah ada banyak orang yang tidak punya keluarga. Ketika saudara mengeluh tentang kesehatan saudara, ingatlah bahwa masih banyak yang memiliki tubuh yang cacat dan tidak seberuntung kita. Kalau kita mengeluh tentang pakaian, ingatlah ada orang yang masih bergantung dengan pemberian orang lain. Karena itu belajarlah menghargai apa yang kita miliki sekarang. Bersyukurlah!

Wednesday, August 03, 2011

Penyesalan Yang Terlambat (Luk 16:19-31) #2



Sebenarnya jika kita berbicara tentang penginjilan (sesuai dengan tema gereja kita), maka setiap tindakan kasih kita akan sangat mendukung jalannya penginjilan. Bahkan seorang pengkhotbah besar pernah berkata bahwa khotbah yang terbaik bukanlah khotbah yang diutarakan di atas mimbar. Tapi khotbah terbaik adalah khotbah yang berasal dari hidup kita sendiri. Yaitu hidup yang memancarkan kasih Kristus. Setiap tindakan kecil kita dapat membawa jiwa-jiwa untuk percaya kepada Tuhan

Saya pernah membaca kesaksian dari seorang yang dulunya pembenci Kristus namun kini bertobat. Ia terlahir dari sebuah agama yang mengajarkan untuk membenci kekristenan. Bagi mereka orang Kristen itu adalah orang kafir yang jahat dan harus dibasmi. Pikiran itu tertanam dalam dirinya, sehingga ia sangat membenci orang-orang Kristen. Sampai waktu ia mulai memasuki masa remaja ia mulai beraksi. Ketika melewati depan rumah seorang pendeta, yang pada waktu itu lagi bersih-bersih halaman rumahnya, dengan sengaja ia menyerempetkan motornya hingga pendeta itu terjatuh. Tapi diapun juga terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Dan tanpa diduga, pendeta yang terjatuh itu duluan berdiri dan menepuk pundaknya. Ia tersenyum sambil berkata “Saya tidak apa-apa, bagaimana dengan kamu? Baik-baik saja?” Anak remaja ini terkejut dan dari sana ia mulai bepikir bahwa orang Kristen itu tidak seperti yang diduga. Waktu kuliah ia berjumpa lagi dengan temannya seorang Kristen yang sangat baik terhadap dirinya. Merekapun bersahabat. Sampai suatu waktu temannya ini mengajak dia mengikuti sebuah kkr yang diadakan dikampus itu. Ia pun memutuskan untuk mengikutinya sesekali. Ketika ia menghadiri kkr itu ia mulai tertarik dengan ajaran Kristen yang baginya berbeda dari apa yang ia pelajari selama ini. Setelah itu temannya yang lain lagi memberikan Alkitab kepada dia. Pada kesempatan itulah dia seringkali diam-diam membaca Alkitab dirumahnya. Perlahan-lahan ia mulai mengenal Tuhan. Dan sampai ketika diadakan lagi kkr oleh seorang hamba Tuhan, akhirnya ia memutuskan untuk percaya dan mengaku Tuhan sebagai juruslamat. Ketika ia bersaksi dalam buku yang saya baca: ia mengatakan bahwa ia bertobat bukan hanya karena pendeta yang memberi kkr terakhir dan membuat ia bertobat. Tapi ia bertobat karena ada pendeta yang tersenyum ketika ia berusaha menyakitinya, karena ada juga sahabat Kristennya yang begitu baik dan menyatakan kasih kepadanya, karena ada juga orang yang bermurah hati yang mau memberikannya sebuah Alkitab. Dan tentunya oleh pendeta yang telah membuatnya bertobat. Ia mengakui bahwa kehidupan orang-orang Kristen yang ia temuilah yang membawanya untuk mengenal Tuhan.

Jelas bahwa setiap perbuatan baik kita berperan penting dalam pemberitaan injil. Karena itu mari kita isi hidup ini dengan perbuatan kasih kepada orang-orang yang membutuhkannya. Dengan perbuatan itu kita sudah menyatakan kasih Kristus, dan secara tidak langsung kita sudah memberitakan injil. Memang perbuatan kasih terhadap orang yang tidak dekat dengan kita itu tidak mudah (Apalagi jika kita tidak mengenalnya). Dibutuhkan pengorbanan tenaga, waktu, dana, pikiran, dsb. Dibutuhkan juga penyangkalan diri untuk tidak hanya memikirkan kesenangan diri sendiri saja. Tapi ingatlah, bahwa itulah perintah Tuhan, yaitu menjadi saksi bagi banyak orang. Setiap orang yang sudah diselamatkan harus menyatakan anugerah itu kepada orang lain. Jangan sampai kita seperti orang kaya itu yang menyesal kemudian, karena terlalu banyak memikirkan diri sendiri, tapi tidak pernah peduli dengan keadaan sekitar kita, sampai akhirnya kita harus dihakimi oleh Tuhan karena ketidakpedulian kita.