Thursday, August 27, 2009

Berhargakah DIA?

3


Praktek dua bulan berakhir sudah. Perpisahan dilakukan dengan pihak gereja, dan menuai sedikit rasa sedih di dalam dada. Sedikit kenang-kenangan diberikan oleh gereja dan beberapa komisi, dengan maksud agar saya dapat mengingat mereka setiap kali melihat barang-barang itu. Ada yang memberikan seprei, handuk, buku, cd, dompet, dsb. Atas nama gereja sendiri memberikan saya sebuah bros salib yang ditempatkan dalam kotak beludru merah yang berbentuk hati. Sebuah bros yang indah. Namun jujur saja, karena saya bukan tipe orang yang suka memakai benda asing di badan saya (kecuali baju ama celana), kotak itu ku letakkan berceceran di koper saya. Koper itu pun saya ajak berkelana ke Ibu Kota dan ke kota Pahlawan, tanpa sadar bahwa bros itu masih ada di koper saya. Sesampainya di Malang, kotak merah itu tiba-tiba terlintas di mata saat saya sedang memindahkan baju yang dikoper ke dalam lemari. "Oh ya, ada bros ini ya" ungkapku, sembari teringat kembali masa-masa itu. Kemudian bros itu kugeletakan sembarangan di meja baruku yang masih berantakan. Sepertinya.... Keberadaan bros itu sepertinya tidak terlalu penting bagiku.


Sampai suatu waktu, ketika kami harus melaporkan semua barang pemberian gereja ke pihak sekolah, seorang dosen bertanya kepada saya: "Bros salibmu itu terbuat dari emas ya?". "Hah emas?? ehmmm.. Gak tau juga ya" kata saya. "Yang pasti warnanya warna kuning, dan kotaknya... ehmm... seperti kotak cincin sih". Lalu dosen itu menyuruh saya memeriksa kembali barang tersebut. (Semua pemberian harus diberitahukan secara mendetail, agar pembagian uang hasil pelayanan dapat merata ke semua mahasiswa). Sambil berjalan ke kamar, saya terus berpikir, "iya ya. jangan-jangan itu emas. Soalnya kotaknya itu seperti kotak emas. Dan apa yang diberikan oleh gereja seharusnya lebih berharga daripada pemberian dari komisi lainnya" demikian tercenung di benakku. Setibanya di kamar, saya segera membuka kotak bros itu, dan tiba-tiba saya menemukan secarik kertas kecil yang terlipat rapi menyelip di dalam kotak. Kubuka kertas itu, dan betapa terkejutnya saya bahwa ternyata bros salib itu terbuat dari emas yang memiliki nilai tinggi. Segera saja saya melaporkan hal itu kepada dosen saya. Tahu gak? setelah itu kotak yang berisi bros salib itu kusimpan baik-baik, dan mulai kuperlakukan sebagai barang yang berharga.


Melalui peristiwa itu saya mencicipi buah plajaran berharga. Dimana "Suatu yang berharga dapat menjadi berharga di hadapan kita jika kita mengenal subjek atau perihal yang berharga itu". Mungkin itu juga yang membuat banyak orang Kristen memperlakukan Kristus berbeda dalam hidupnya. Ada yang menganggap Yesus begitu berharga dalam hidupnya, sehingga ia rela berkorban apapun untuk melayani Tuhan. Mereka mau belajar mati-matian untuk mendapatkan pengajaran yang benar, dan mereka mau melayani sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik; karena mereka sudah menemukan suatu yang berharga. Mungkin itu juga yang menjadi maksud perumpamaan Tuhan Yesus tentang seseorang yang menjual seluruh ladangnya karena ia menemukan sebuah mutiara di ladang lain. Tak heran banyak martir yang rela mati untuk Kristus walaupun tidak ada seorang pun yang mengetahui pengorbanannya. Tak heran juga banyak orang yang tekun mempelajari buku-buku theologi yang berkaitan dengan Firman Tuhan, sampai waktu tidurnya banyak terbuang. Tak heran juga ada orang yang hobynya jalan-jalan, namun sepanjang tahun ia hanya berdiam dirumah untuk mempersiapkan khotbah yang terbaik. Semuanya itu saya katakan tidak heran karena mereka mengenal subjek yang berharga itu, sehingga mereka memperlakukannya secara berharga juga.


Sebaliknya ada juga orang yang sudah percaya Tuhan namun tidak menganggap Yesus sebagai suatu yang berharga. Mereka merasa tidak perlu banyak belajar Firman Tuhan. Pelayanan dilakukan hanya sebagai rutinitas dan mungkin agak sedikit terpaksa. Tidak ada kenikmatan dalam berelasi dengan Tuhan. Tuhan tidak lebih berharga dari pada keluarga dan jabatan mereka. Tuhan menjadi nomor sekian dalam hidup. Mengapa? Karena mereka tidak mengerti betapa berharganya Kristus yang mereka miliki. Mereka tidak sadar bahwa Kristus yang mereka sembah itu adalah sesuatu yang sangat berharga, sehingga mereka menggeletakkannya di sembarang tempat, sebagaimana saya memperlakukan bros salib emas itu sebelumnya.


Bercermin dari pemikiran itu, saya bertanya-tanya kepada diri sendiri. Seberapa berhargakah Yesus bagiku? Seberapa bernilaikah Dia yang sudah menyelamatkan hidupku? Seberapa jauh saya sudah menghadirkan Dia yang senantiasa menolongku? Ahh, ternyata saya belum terlalu menganggap Nya berharga. Mungkin masih banyak hal yang masih belum kumengerti, sehingga keberadaan Yesus itu seakan menjadi hal yang biasa. Hal tersebut semakin mendorong saya dan memotivasi diri untuk belajar lebih lagi. Dengan harapan ketika saya semakin mengerti, saya akan semakin menemukan betapa berharganya Tuhan yang menciptakanku. Tentu saja hal ini juga baik untuk saudara renungkan. Seberapa bernilai kah Kristus bagimu? Seberapa jauh engkau mengasihi Dia? BERHARGAKAH DIA?

Wednesday, August 19, 2009

Merdeka !!




Merdeka!!
Dirayakan dengan riuh meriah
Oleh segelintir orang berduit
Melupakan beberapa kawan...
Yang terkekang dengan kelaparan
Yang terpenjara kemiskinan

Merdeka!!
Merdeka tak hanya milik para pejabat
Merdeka itu juga milik mereka
Yang tertidur diempuknya aspal
Yang terduduk di jembatan-2 penyebrangan
Yang tidak dpat membedakan siang dan malam
Namun tiada seorang Samaria yang lewat

Merdeka!!!
Seharusnya tidak lagi ada banjir.
Banjir tangis derita.
Yang meleleh di pipi hitam debu
Yang terus meluap bak lumpur porong
Menggemparkan sukma

Merdeka!!
Merdekalah bangsaku!!
Merdekalah Negriku!!
Berantas kemiskinan
Berantas air mata
Bungkamkan jeritan manusia
Merdekalah!!

Friday, August 07, 2009

Tak Gendong Kemana-mana




“Tak Gendong kemana-mana....tak gendong kemana-mana.... enak toh....mantep toh.... daripada naik pesawat kedinginan lebih baik tak gendong.... Asyik dong....mau dong....”. Inilah sepenggal teks lagu yang melaju kepuncak akhir-akhir ini. Lagu yang sangat sangat sederhana ini berhasil menjadi top request bagi pengguna telephone seluler yang begitu banyak menginginkan lagu tersebut menjadi ring back tone di hpnya. Demikianlah lantun sederhana dari sesosok mbah Surip yang sederhana juga, yang beberapa hari ini menghiasi berita-berita televisi. Penyanyi berusia 50 tahun itu akhirnya harus mengakhiri masa hidupnya ditengah ketenarannya yang sedang di atas monas. Tanpa sempat menikmati milyaran receh yang masuk ke sakunya, iapun harus berhenti tertawa di liang kubur.


Sebenarnya ketika saya pertama kali mendengar lagu itu, respon saya pertama ialah “Lagu apaan ini? Jelek banget! Kuno! Aneh! Tidak enak di dengar! dsb.” dan segera saja saya mengganti tayangan televisi setiap kali melihat lagu itu muncul. Namun anehnya, lagu tersebut terus terngiang-ngiang di kepala saya, sehingga tanpa sadar seringkali saya juga menyanyikan walaupun saya tidak menyukainya. Mungkin saudara juga pernah mengalami hal yang sama dengan saya. Apa yang terjadi? Apakah sebenarnya saya menyukai lagu itu? Ehmm Sebenarnya tidak juga. Menurut saya, hal itu terjadi karena lirik lagu yang sederhana itu memiliki sebuah kekuatan tersendiri.


Terciptanya lagu tak gendong ini sebenarnya terjadi saat mbah Surip masih bekerja di pengeboran minyak. Di sana ia melihat banyak orang sakit, ada orang pingsan atau keseleo, dan saat itulah ia melihat ada nuansa tolong-menolong, gotong-royong, dan jiwa kemanusiaan yang kuat. Rasa kemanusiaannya pun timbul. Kemudian timbulah syair ini, “tak gendong kemana-mana”.


Kata menggendong sebenarnya merupakan sebuah kata kerja yang seringkali kita dengar dan lakukan. Umumnya, pekerjaan ini dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya yang masih kecil, atau seorang suami yang menggendong sang istri sembari merayunya, kadang juga seorang yang sehat menggendong orang yang sakit dan tidak bisa berjalan. Yang pasti pekerjaan menggendong ini dilakukan oleh orang yang lebih kuat kepada orang yang lebih lemah. Tidak pernah ada anak kecil yang menggendong ayahnya. Jarang juga saya melihat seorang istri menggendong suami. Apalagi seorang lumpuh menggendong orang yang sehat. Selain itu menggendong ini mempunyai unsur kedekatan antara seseorang dengan orang yang digendongnya. Suasana kasih, persahabatan, kepedulian tampak dari kata kerja menggendong ini. Tak heran negeri sakura, Jepang, pernah menciptakan alat bantu gendong, yang dipasang pada tubuh manusia agar dapat menggendong seseorang yang berbobot puluhan kilo sekalipun. Dengan harapan seorang yang lemah pun dapat menggendong kekasihnya dengan bantuan alat tersebut. Menggendong merupakan tanda kemanusiaan dan tanda kasih yang dapat dilakukan oleh manusia.


Menariknya, dalam Alkitab pun pernah dituliskan bahwa Tuhanpun menggendong kita. Ayat yang indah itu mengatakan “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu (Yes 46:4)”. Kata menggendong yang berasal dari bahasa ibrani lbs (sebol) ini muncul dua kali dalam ayat ini yang dapat diartikan secara harafiah: bear a heavy load,carrying a load,dan bearing iniquities. Ini merupakan bahasa antrophomorsis. Kalimat ini diucapkan di tengah-tengah kondisi Israel yang sedang menderita akibat pembuangan ke negeri Babel. Ketika tekanan itu begitu berat mereka rasakan, Tuhan berkata “Sampai putih rambutmu aku menggendong kamu, aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus”. Sungguh indah bukan.


Perkataan ini bukan hanya ditunjukkan kepada umat Israel saja. Ketika Tuhan berkata “Aku tetap Dia” itu seakan menunjukkan akan karakternya yang sigap menolong anak-anakNya yang sedang dalam kesusahan. Dan selama-lamanya Ia tetap akan menggendong anak-anakNya. Karena itu dalam perjanjian baru Ia berkata kepada semua orang “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” Menggendong dan memikul kesusahan adalah kesukaan-Nya yang ditujukan hanya kepada anak-anak yang dicintai-Nya.


Saudara, jika engkau dalam kesusahan saat ini. Jangan berputus asa dan kehilangan pengharapan. Masih ada Tuhan yang suka menggendong kita, walau pun sudah putih rambut kita. Bak seorang Ayah yang menggendong anaknya yang sedang menangis, demikian juga Tuhan akan menggendong kita yang bersusah hati. Rendahkanlah dirimu dan carilah Dia. Dia siap memikul orang-orang yang datang kepadaNya dengan hati hancur namun berserah. Ijinkan dia menggendongmu. Kelak kita akan dapat merasakan indahnya kedekatan bersama-Nya, dan kita pun dapat berkata “asyik ya, mantep ya, enak ya, digendong kemana-mana”. Dan kita pun dapat berkata kepada mereka yang belum mengenal Tuhan “Mau dong?”. GBU

Tuesday, August 04, 2009

Take Me Out Indonesia



Akhir-akhir ini sebuah tayangan besutan Indosiar cukup menarik perhatian banyak orang. Tayangan yang diberi nama “Take Me Out Indonesia” tersebut berhasil menyedot mata para penonton. Acara yang dipandu oleh Choki itu memang unik. Dalam acara tersebut ditampilkan 30 gadis yang cantik dan berpenampilan menarik, dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang pengusaha, guru, dosen, penari, juga ibu rumah tangga. Ada yang kepala 3 usianya, ada juga yang berkepala 2. Ada yang sudah punya anak, alias menjadi janda muda, dan ada juga yang pernah berselingkuh. Yang pasti mereka semua memiliki beragam tipe dan karakter yang beragam. Namun walaupun demikian, ada satu kesamaan yang mengumpulkan mereka dalam acara tersebut, di mana mereka sama-sama hendak mencari seorang pria untuk menjadi kekasih hatinya. Ke-30 wanita tersebut kemudian akan disodorkan beberapa pria (disodorkannya satu persatu). Jika pria tersebut menarik untuk dipacarin maka mereka bisa membiarkan lampu biru tetap menyala. Namun jika pria tersebut tampak tidak menarik, para wanita tersebut akan menekan tombol, dan lampu yang semula berwarna biru akan menjadi merah. Itu berarti pintu ditutup untuk pria tersebut.



Mengamati acara tersebut memang agak menggelitik tawa para pemirsa. Ada laki-laki yang ditolak wanita karena berdandan ala Michael Jackson. Ada juga yang menggunakan pakaian agama lengkap, namun ketika disuruh menampilkan kelebihan yang dimiliki, langsung berubah penampilannya menjadi kembarannya mbah Surip, penyanyi “tak gendong gendong”. Pernah juga ada seorang pengusaha depot yang cukup sukses. Ketika diperlihatkan profilnya, orang tersebut tampak menarik dengan kemapanannya. Para wanitapun tidak cepat-cepat menekan tombolnya, yang berarti masih memberikan kesempatan untuk menjadi pacarnya. Namun ketika diminta menampilkan kelebihannya, pria tersebut berpenampilan sperti nyonya-nyonya, memakai kebaya, sambil menari di atas kendi. Ternyata pekerjaan sampingannya adalah seorang penari dengan dandanan wanita. Langsung serempak para wanita tersebut menekan tombol merah, dan menutup hatinya. Banyak pria-pria yang unik yang mengikuti acara tersebut. Namun demikian, tidak sedikit pria yang mendapatkan teman hidupnya lewat acara tersebut.



Satu hal yang saya dapatkan melalui acara itu ialah: ketika seseorang sedang menilai orang lain, itu tidak akan lepas dari apa yang ditampilkan oleh orang yang dinilainya. Kebanyakan tombol merah itu ditekan karena alasan-alasan penampilan. Ada yang tidak suka karena pendeklah, kurang tajir, muka kayak preman, terlalu kurus, terlalu gemuk, dsb. Hampir semua penolakan yang dilakukan hanya didasarkan atas penampilan luarnya saja. Apakah bisa seperti itu? Tentu tidak. Memang setelah itu, take me out akan memberikan waktu beberapa minggu lagi bagi sepasang kekasih baru untuk berkenalan lebih lagi, dan jika cocok, maka mereka akan berpacaran. Namun waktu pengenalan yang hanya beberapa minggu pun saya rasa tidak cukup untuk menjajahi seseorang untuk menjadi pacar. Yah, emang bisa aja sih, jika beruntung, mereka akan melanjutkan sampai jenjang pernikahan.



Akan tetapi rasanya, setiap kita memang tidak dapat terlepas dari penampilan luar ketika sedang menilai seseorang. Kita mengatakan melihat hati, namun kita tidak dapat mengetahui isi hati seseorang. Isi hati sendiri saja seringkali kita susah menilainya. Seseorang bisa menilai hatipun itu juga melalui apa yang ditampilkan diluarnya. Karena itu Matius 15:18 mengatakan bahwa apa yang keluar dari mulut berasal dari hati. Apa yang tampak luar berasal dari dalam. Tentu saja dengan tingkat pertemuan yang intensif bersama dengan seseorang; dari keseluruhan yang ditampilkan dirumah, ditempat kerja, atau dimanapun juga, barulah kita dapat menilai “dalamnya” orang tersebut. Itupun masih ada kemungkinan salah. Tapi tingkat pengenalannya pasti lebih dalam jika kita lebih itensif bersama orang tersebut.



Karena itu saudara, kitapun harus memperhatikan apa yang kita tunjukkan atau tampilkan di luar. Jangan suka berkata “ah, gua gak peduli dengan penampilan gua, yang pentingkan dalamnya....”. Siapa yang tau dalammu jika kita tidak menunjukkan luarnya. Seorang hamba Tuhan pun akan mendapatkan penilaian dari luarnya terlebih dahulu. Jika dari luar saja jemaat merasa tidak srek dan tidak cocok, maka selanjutnya mungkin mereka tidak mau mencari hamba Tuhan tersebut untuk berbagi masalah, sampai ia menemukan ada sesuatu yang baik dari diri hamba Tuhan itu. Penampilan menyuarakan siapa kita sebenarnya. Memang kita tidak boleh menjudge seseorang by the cover-nya saja. Saya sangat setuju. Namun kitapun harus memperhatikan bagaimana penampilan luar kita, apa yang kita katakan, sikap yang kita tunjukkan, karena manusia tidak bisa lepas menilai seseorang dari apa yang ditampilkan. Intinya jangan sampai apa yang kita tampilkan menyandung orang lain untuk kita layani. Terlebih jangan sampai menghambat orang untuk datang kepada Tuhan. Penampilan bukanlah segala-galanya. Penampilan berbeda dengan isi hati. Tapi penampilan merupakan gema dari hati kita. Jadi, jangan remehkan penampilan luar kita


Saturday, August 01, 2009

Be Careful With Your Motto




Barusan ini saya mengikuti sebuah camp di Bandung. Sebuah camp yang sangat menarik. Di dalamnya kita belajar akan kedisiplinan yang akan memperlengkapi kita untuk menjadi para pelayan Tuhan dengan lebih baik. Tidak seperti bible camp lainnya, camp ini memiliki metode yang unik dan menarik. Tapi maafkan para pembaca, saya tidak diijinkan menceritakannya kepada orang lain tentang metode yang mereka gunakan. Pokoknya unik, bahkan hampir tidak ada bible camp yang menggunakan metode demikian.

Namun selama camp tersebut berlangsung, ada sebuah moto yang sangat mengusik sisi kognitif dan intuitif saya. Tentu saja karena intuitif terlebih dahulu terusik, makanya kognitif mencari tahu penyebabnya. Hati ini terusik karena telinga ini selalu dicegokin dengan sebuah moto “Bukan Soal Benar Atau Salah Tetapi Respon”. Dan penerapan yang saya dapatkan, sepertinya para panitia hendak mengajarkan akan kesabaran. Intinya seperti ini, walaupun kita benar, tapi jika kita disalahkan, kita mesti tunduk dan berespon dengan tepat. Jangan membantah dan jangan melawan. Apalagi membalasnya dengan respon yang kaya emosi kemarahan. “Yang penting respon”. Bahkan mengucapkan pembelaan pun jangan. Lalu mereka mendasarkan moto ini dari kisah penyaliban Yesus. Mereka berkata: Tuhan Yesus sendiri sewaktu melewati jalan salib sampai tergantung di kayu hina, tidak sedikitpun Ia menjawab otoritas dan Pilatus. Ia diam saja. Padahal Yesus tidak berbuat kesalahan. Tapi dia diam saja dan tidak melawan. Apakah Yesus bisa melawan? Bisa! Tapi apakah Ia melawan? Tidak!. Karena itu “Bukan Soal Benar Atau Salah, Tetapi Respon”. Sungguh argumen yang kuat bukan? Dan moto ini terus-menerus didengungkan sepanjang camp dua hari tersebut.

Namun sekali lagi saya katakan, saya terusik! Saya berinteraksi dengan moto itu sepanjang hari, dan saya menemukan bahaya besar dari kekeliruan ini. Seharusnya ketika kita hendak membuat sebuah moto atau slogan, apalagi yang berbau Kristen, kita harus melihat keseluruhan kisah Alkitab dengan baik. Tidak bisa hanya melihat sebuah perikop, peristiwa, apalagi menyomot hanya satu ayat untuk dijadikan slogan. Harus lihat konteks dan maksud dengan baik.

Jika kita melihat kehidupan Yesus secara utuh, apakah Ia memakai moto yang sama juga “Bukan Soal Benar Atau Salah, Tetapi Respon” ? Saya rasa tidak. Ketika Yesus dikatakan Beelzebul oleh ahli farisi (Mat. 12:22-37), apakah Ia diam? Tidak. Ia menjawab semua kekeliruan mereka. Ia membalikan semua argumen mereka, bahkan kalau kita lihat di ay.34 dia mengatakan “Hai kamu keturunan ular beludak....”. Apakah itu respon yang baik? Tidak! Namun itu respon yang tepat? Ya! Ia tidak diam melihat ketidak benaran. Ia berbicara ketika melihat kekeliruan. Selanjutnya dalam Markus 10:14, Yesus begitu marah terhadap murid-muridnya karena menghalang-halangi anak-anak datang pada-Nya. Kemarahan juga terjadi ketika ia melihat banyak orang berjual beli di halaman bait Allah (Mat. 21:12-17). Kita semua tau bahwa Ia membalikkan dan memporakporandakan semua dagangan-dagangan mereka dengan kemarahan yang sangat. Sekali lagi Ia berespon ketika melihat ketidak benaran terjadi. Bahkan dalam rangkaian peristiwa sebelum penyaliban pun sebenarnya tidak menunjukkan sosok Yesus yang pasif. Ia menjawab pertanyaan dari Mahkamah Agung, dan Ia juga merespon pertanyaan dari Pilatus. Jika Ia tidak merespon selama proses penyaliban itu tidak lain karena Ia tahu bahwa Salib itu merupakan tujuan akhir kehidupan-Nya di dunia ini. Karena itu Ia tidak mau melawan.

Jadi sebenarnya moto “Bukan Masalah Benar Atau Salah, Tetapi Respon” itu merupakan sebuah moto yang tidak dapat diterapkan. Mungkin lebih baik jika moto tersebut diganti demikian “Masalah Benar Atau Salah, Harus Diresponi Dengan Tepat”. Sepertinya moto seperti inilah yang dilakoni oleh Yesus. Ia secara sempurna dapat merespon semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan-Nya dengan tepat.

Jadi saudara-saudara, jangan lekas terpikat oleh sebuah moto yang terkesan indah, dengan bungkusan bahasanya yang menarik. Apalagi keburu mengajarkannya kepada orang lain. Namun mari lihat maknanya. Apa moto itu bisa dibenarkan dan dipertanggungjawabkan . Sorot kembali ke Firman Tuhan. Dan jangan sampai moto tersebut menyesatkan diri kita sendiri. Bless You.