Wednesday, March 27, 2013

Pilatus & Yesus (Yohanes 18:28-38a) #2





Nah, dalam perikop ini kedua pemimpin ini bertemu untuk pertama kalinya.  Pertemuan ini bukanlah pertemuan yang terjadi sebuah perjanjian.  Bukan!  Tapi karena orang-orang yang membenci Yesus ini akhirnya berhasil menangkap Yesus, dan kemudian mereka hendak membunuh Yesus dengan memberikan hukuman mati.   Tapi hukum waktu itu mengatakan bahwa mereka tidak boleh main hakim sendiri.  Dan mereka mau merayakan paskah, sebab itu mereka tidak mau menajiskan diri dengan menghukum mati Yesus.  Itu sebabnya mereka menyeret Yesus ke Pilatus untuk diadili.  Berharap Yesus akan dihukum oleh Pilatus.  Disinilah perjumpaan Yesus yang pertama kali dengan Pilatus.  Dua pemimpin penting waktu itu bertemu.  Dan dalam perikop yang kita baca, terciptalah percakapan-percakapan penting yang dapat kita pelajari, terutama yang keluar dari mulut Yesus.
Setelah didesak oleh orang Yahudi untuk menghukum Yesus, Pilatus yang sedang mencari pencitraan diri ini kemudian memanggil Yesus dan bertanya “Engkau inikah raja orang Yahudi?”  Pilatus mempertanyakan hal itu karena itulah yang menjadi hasutan oleh orang Yahudi.  Orang Yahudi menghasut dengan mengatakan bahwa Yesus mengaku diri-Nya adalah raja, supaya hal itu bisa dibicarakan lewat hukum.  Sebab di dalam kekaisaran Romawi, tidak boleh ada raja lain selain kaisar.  Ketika diketahui ada raja lain, itu sama saja dengan pemberontakan.  Sebab itu Pilatus mempertanyakannya.
Namun menarik sekali, Yesus tidak menjawab ya atau tidak, tapi Ia bertanya balik:  Apakah engkau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?  Dengan kata lain Yesus ingin bertanya: Apakah pengakuanmu bahwa Aku adalah raja itu sungguh-sungguh dari dirimu, ataukah karena kamu hanya ikut-ikutan kata orang?   Yesus tahu isi hati Pilatus.  Yesus tahu bahwa Pilatus tidak sungguh-sungguh mengatakan hal itu dari hatinya.
Ketika saya merenungkan hal ini, saya berpikir, sepertinya pertanyaan inipun layak dipertanyakan kepada setiap kita.   Kita mungkin sering menyatakan dari mulut kita “Tuhan, Engkaulah raja, Engkau penguasa semesta ini, ya… Engkau Raja”  Tetapi, apakah semua itu kita katakan dari hati kita sendiri?  Ataukah kita mengatakannya hanya karena ikut-ikutan?  Mungkin kita terbiasa menyanyikan puji-pujian yang menyatakan bahwa Yesus adalah raja.  Misal: Mulia sembah raja mulia bagi Yesus segala hormat sembah puji.  Seberapa sering kita menyanyikan lagu ini.  Seberapa sering kita ungkapkan dari mulut kita bahwa Yesus adalah raja.  Namun pertanyaannya:  apakah semua yang kita katakan itu dan semua pengakuan kita tentang Tuhan berasal dari hati kita?
Saudara, Yesus tahu hati kita sama seperti Ia mengetahui hati Pilatus.  Kalau sungguh berasal dari hati kita bahwa Tuhan adalah raja, seharusnya kita akan membiarkan Firman Tuhan yang menguasai seluruh hidup kita.  Menguasai seluruh hidup itu berarti kita membiarkan Firman Tuhan yang menguasai pikiran, perkataan, serta perilaku kita.   Sehingga apapun yang kita pikirkan, apa yang kita katakan, dan apa yang kita lakukan, sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan.  Tapi jika hidup kita masih dikuasai oleh dosa, entah itu dosa kebencian, kemarahan,  dosa seksual, dosa kesombongan, dan sebagainya, itu sudah menunjukkan bahwa hati kita belum sungguh-sungguh menjadikan Tuhan sebagai raja.   Mari kita intropeksi diri kita.  Sudahkah kita mengakui Tuhan sebagai raja dari hati kita yang terdalam?   Tuhan juga ingin bertanya kepada setiap kita:  Apakah engkau menjadikan Aku sebagai raja berasal dari hatimu yang terdalam?
Mari kita melihat kembali percakapan yang terjadi antara Yesus dan Pilatus.  Setelah mempertanyakan hal itu, Pilatus kembali bertanya dengan sinis:  “Apakah aku seorang Yahudi?  Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam kepala yang menyerahkan Engkau kepadaku; apakah yang telah Engkau perbuat?”  Kali ini Pilatus dengan nada menyindir bertanya kepada Yesus.   Tetapi dengan tegas Yesus menjawabKerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, ….tetapi kerajaan-Ku bukan dari sini.”  Ya…. Kerajaan Yesus bukan dari dunia ini.  Kerajaan Yesus berbeda dengan kerajaan Romawi.  Kerajaan didunia terus berganti.  Dulu raja Asyur berkuasa, kemudian diganti raja Babel, kemudian Babel dikalahkan Persia dan kerajaan Babel hancur.  Selanjutnya Kerajaan Yunani menghancurkan persia.  Dan kemudian kerajaan roma yang menguasai Yunani.  Kerajaan dunia terus berganti.  Tapi kerajaan Surga kekal, kokoh sampai selamanya. 
Apa maknanya bagi kita?  Itu berarti kalau kita menganggap Yesus sebagai raja, maka kita harus menyadari bahwa kerajaan kitapun bukan dari dunia, melainkan warga kerajaan Surga sama seperti Yesus yang adalah raja kita.  Jika kerajaan dunia sangat menekankan kekuasaan, kedudukan, materi, kekayaan, kekuatan dan segala cara dilakukan untuk meraih semua itu.  Tidak demikian dengan kerajaan Surga.  Kerajaan surga menekankan kebenaran, keadilan, kasih, belas kasihan, kepedulian, kelemah lembutan dan kerendahan hati sama seperti yang dikerjakan Yesus di dunia ini.  Itulah yang membedakan antara Pilatus dan Yesus.  Pilatus mendapatkan kedudukan dengan kekuasaan, tangan besi, otoritas, kekerasan dan cara-cara dunia.  Namun Yesus berbeda.  Ia menjadi pemimpin yang diikuti karena pelayanannya, cinta kasihnya, pengorbanannya, kemurahan dan keadilannya.  Ia tidak memimpin dengan kekerasan.  Tapi Ia memimpin dengan kasih sayang.
Karena itu sebagai warga kerajaan surga, tentu kita harus memiliki karakter seperti Yesus yang adalah raja kita.  Kalau kerajaan kita bukan dari dunia ini maka jangan hidup seperti orang yang tinggal dalam kerajaan didunia.  Ketika orang-orang dunia memakai kekerasan dan kelicikan untuk mendapatkan apa yang di keinginkannya,  orang kristen harus menyatakan kasih, kejujuran dan kebenaran.  Ketika orang dunia membalas kejahatan dengan kejahatan, kita harus membalasnya dengan kebaikan dan pengampunan.  Ketika orang-orang kerajaan dunia hendak mendapatkan kedudukan dengan tangan besi, Yesus berkata bahwa kedudukan kerajaan Surga justru didapatkan ketika kita melayani.   Ketika orang dunia mengandalkan kekuatan manusia untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, warga kerajaan surga harus mengandalkan kekuatan Bapa di Surga.  Inilah ciri anak-anak kerajaan surga.  Kita harus belajar seperti yang Yesus lakukan. 
Bahkan seharusnya kita harus bangga bahwa kita terhitung sebagai warga kerajaan Surga.  Pernah suatu ketika pdt Stephen Tong berjumpa dengan mantan Presiden RI Gus Dur.  Merekapun berbincang-bincang.   Dan dalam perbincangan itu ada sebuah candaan Gus Dur yang berkata kepada Stephen Tong “Coba anda tidak jadi pendeta, anda mungkin bisa jadi presiden.”  Menariknya Stephen Tong menjawab demikian “Mana mau saya jadi Presiden, turun pangkat dong saya.”  Sebuah ungkapan candaan tapi menunjukkan bahwa Stephen Tong jauh lebih bangga menjadi orang kewargaan Surga daripada penguasa dunia.
Bagaimana dengan kita?  Sudahkah kita menyadari bahwa kita adalah warga kerajaan Surga?  Apakah kita bangga menjadi warga kerajaan Surga?   Kalau kita bangga menjadi warga kerajaan Surga, mestinya kita bangga jika hidup kita dipenuhi karakter-karakter Yesus dan dipenuhi oleh buah-buah roh.  Namun acapkali apa yang kita banggakan sama seperti apa yang dibanggakan oleh orang-orang dunia.  Kita jauh lebih bangga jika kita mendapatkan kedudukan.  Kita bangga ketika kita mendapatkan banyak harta.  Kita bangga ketika kita memiliki kuasa.  lebih berkuasa dari sesama kita.  Kita bangga jika kita lebih kuat dan lebih pintar dari yang lain.  Bukankah kebanggaan-kebangaan demikian adalah kebanggaan dari kerajaan dunia ini?    
Mengapa kita seringkali lebih bangga dengan apa yang dibanggakan oleh orang dunia?  Karena seringkali kasat mata kita tertipu bahwa kekuasaan dan kerajaan dunia jauh lebih besar daripada kerajaan Surga.   Saya yakin semua orang dipengadilan waktu itu menyaksikan bahwa Pilatus  jauh lebih berkuasa dari Yesus.  Semua mata menyaksikan bahwa Pilatuslah yang sedang mengadili Yesus.   Yesus dipukul, didera, disiksa, dan tapi Ia tidak dapat membalas.  Yesus tampak kalah.  Pemimpin dunia seakan lebih berkuasa dari pemimpin kerajaan Surga.  Mungkin itu yang dipikirkan murid-murid Yesus waktu itu.  Dan mungkin itu juga yang sering menipu mata kita saat ini.  Sehingga kita seringkali lebih mengejar untuk seperti orang-orang dunia, karena sepertinya menjadi warga kerajaan dunia jauh lebih membanggakan dan menyenangkan. 
Namun sebenarnya tidaklah demikian.  Pilatus tidak memiliki kuasa apa-apa atas Yesus.   Pengadilan Pilatus kepada Yesus tidak menunjukkan bahwa Yesus dikuasai Pilatus.  Tidak!      Itu sebabnya di pasal 19:10-11 terjadi percakapan yang menarik antara Pilatus dan Yesus.  Pilatus berkata “Tidakkah Engkau mau bicara dengan aku?  Tidakkah Engkau tahu bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau?”.   Apa jawab Yesus?   Diayat 11 Ia menjawab “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan dari atas.”  Secara fisik mungkin Yesus dikuasai Pilatus.  Tetapi waktu itu secara jiwa dan pikiran, Pilatuslah yang dikuasai Yesus.  Justru Yesus memakai Pilatus untuk memperlebar kerajaan-Nya.  Sebab kita tahu, ketika Ia disiksa dan disalibkan,  pada saat itulah kerajaan Surga datang.  Semua orang berdosa bisa menghampiri bapa dan mendapatkan keselamatan .
Dan tahukah saudara apa yang terjadi akhirnya dengan Pilatus, pemimpin dunia itu?  Diakhir perikop yang kita baca, Pilatus melontarkan pertanyaan: “Apakah kebenaran itu?”.  Ya..Orang yang berkuasa itu bertanya-tanya tentang kebenaran.  6 bulan setelah peristiwa penyaliban Yesus, sejarah mencatat bahwa Pilatus mengalami depresi yang sangat berat.  Dia dipecat dari jabatan sebagai gubernur di Yudea.  Peristiwa penyaliban Yesus membuat huru hara besar waktu itu.  Pilatus dianggap gagal membawa keamanan di daerah Yudea.  Bagaimana dengan kerajaan Roma?   Lenyap dan hilang tak berjejak.  Kerajaan Roma sudah hancur luluh, tinggal kenangan.
Tapi bagaimana dengan Yesus, pemimpin kerajaan Surga?  Meskipun pada akhirnya Ia harus mati di bawah pemerintah Roma sebagai orang yang terkutuk di atas kayu Salib.  Tapi kita tahu, bahwa kemudian Ia bangkit dari kubur.  Ia naik ke Surga, duduk di takhtanya yang mulia.   Kerajaan Surga makin hari makin kokoh.  Kebenaran semakin hari semakin dinyatakan.  Dan kini pengikut kerajaan Surga, orang-orang percaya, semakin hari semakin bertambah.  Milyaran orang menyerahkan hidupnya kepada Tuhan, hidup menyembah Dia, dan milyaran orang yang pernah hidup di dunia ini mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan dan raja. 
Tidak ada kerajaan dunia yang bersifat kekal.  Tapi kerajaan Tuhan kekal akan tetap berdiri sampai selama-lama-nya.  Seharusnya betapa kita harus bangga karena kita mempunyai Raja yang begitu berkuasa.  Tidak ada penguasa yang lebih berkuasa dari Tuhan yang adalah raja kita.  Tidak ada raja yang kekal seperti Tuhan yang adalah raja kita.  Dan seharusnya betapa bangga bisa mendapatkan hak istimewa untuk menjadi warga kerajaan Surga.
Sebab itu jangan bodoh.   Jangan bodoh dengan menjual iman kita untuk mendapatkan apa yang ditawarkan dunia.  Jangan pernah menjual kewargaan kita untuk melakukan pekerjaan dunia yang sementara ini.  Jangan sampai kenikmatan dunia, penganiayaan, penderitaan, membuat kita menyangkal iman kita dan membuang hak kewargaan Surga kita.  Pada tahun 1600 penganiayaan terjadi begitu keras terhadap orang-orang Kristen yang ada di Jepang.  Seorang misionari Kristen yang bernama Paulo ditahan karena menampung orang-orang Kristen dirumahnya. Dalam penahanan itu ia disiksa. Ia dipukul, ditelanjangi, dan diseret, serta diminta untuk menyangkal Tuhan. Namun Paulo tetap tegar.  Pemerintah Jepang menggunakan cara yang lebih keji untuk menyiksanya. Mereka berkata bahwa mungkin orang ini dapat kuat dalam menghadapi siksaan, namun ia tidak akan kuat jika melihat anak-anaknya disiksa. Lalu mereka menghampiri Paulo dengan membawa anak-anaknya, sambil berkata “berapa banyak jari anakmu yang harus saya ambil atau kamu mau menyangkal Tuhanmu” Paulo sempat bingung, bayangkan saja jika anak kita menderita, bukankah itu jauh lebih menderita dibandingkan jika kita yang menderita? Namun dengan tegar Paulo berkata “semua terserah padamu, anakku sudah kuserahkan dalam tangan Tuhan tapi saya tetap tidak akan menyangkal Dia.” Akhirnya semua anaknya jari-jarinya dipotong semua. Dan akhirnya ia harus mati karena penganiayaan itu.
Mari kita belajar dari Paulo.  Tidak sedikitpun ia mau menjual imannya dan menyangkal Tuhan  walau ia di aniaya.  Jangan jual iman kita untuk hal-hal dunia.  Jangan jual keyakinan kita untuk menyenangkan manusia.  Jangan menjual kebenaran demi ketidak benaran.  Jangan menjual kasih dan diganti dengan kekerasan dan kekuasaan.  Jangan menjual belaskasihan dan kemurahan demi mendapatkan harta dunia.  Jangan menjual sifat kerendah hatian diganti dengan kesombongan.   Jangan pernah menjual iman kita demi kesenangan dan kenikmatan dunia.
Saya terkadang sedih kalau mendengar sahabat-sahabat saya, entah yang disurabaya atau di Samarinda; dimana demi mengejar karier, dan demi mengejar harta untuk kebutuhan hidup, perlahan demi perlahan mereka mulai meninggalkan Tuhan.  Pertama-tama mereka meninggalkan pelayanan mereka.  Lama-lama mereka meninggalkan kebiasaan bersekutu.  Dan lama-lama mereka meninggalkan iman mereka untuk Kristus.  Bahkan banyak yang kehilangan integritasnya, ia rela berdusta, menipu rekan kerja, meninggalkan gereja, melakukan hal-hal yang menjijikan yang dibenci Tuhan, demi mendapatkan kesenangan dunia.
Saudara, jangan bangga kalau sifat kita sama seperti kerajaan dunia.  Semua itu bersifat sementara dan bernilai rendah.  Mari kita hidup sebagai warga negara surga.  Banggalah jika kita menjadi bagian dalam kerajaan Surga.  Milikilah karakter-karakter Kristus yang adalah raja kita.  Milikilah sikap kerendahan hati, kasih, kerelaan berkorban, sikap mengampuni; dan biarlah buah-buah roh itu (kasih, sukacita, kelemahlembutan, damai sejahtera, penguasaan diri,, dst) ada dalam diri kita.  Biarlah hidup kita menjadi saksi bagi sekitar kita.  Dan hidup kita mewartakan indahnya menjadi anggota kerajaan Surga.

No comments: