Nah,
dalam perikop ini kedua pemimpin
ini bertemu untuk pertama kalinya.
Pertemuan ini bukanlah pertemuan yang terjadi sebuah perjanjian. Bukan!
Tapi karena orang-orang yang membenci Yesus ini akhirnya berhasil
menangkap Yesus, dan kemudian mereka hendak membunuh Yesus dengan memberikan
hukuman mati. Tapi hukum waktu itu mengatakan bahwa mereka
tidak boleh main hakim sendiri. Dan
mereka mau merayakan paskah, sebab itu mereka tidak mau menajiskan diri dengan
menghukum mati Yesus. Itu sebabnya
mereka menyeret Yesus ke Pilatus untuk diadili.
Berharap Yesus akan dihukum oleh Pilatus. Disinilah perjumpaan Yesus yang pertama kali
dengan Pilatus. Dua pemimpin penting
waktu itu bertemu. Dan dalam perikop
yang kita baca, terciptalah percakapan-percakapan penting yang dapat kita
pelajari, terutama yang keluar dari mulut Yesus.
Setelah
didesak oleh orang Yahudi untuk menghukum Yesus, Pilatus yang sedang mencari
pencitraan diri ini kemudian memanggil Yesus dan bertanya “Engkau inikah raja orang Yahudi?” Pilatus mempertanyakan hal itu karena itulah
yang menjadi hasutan oleh orang Yahudi.
Orang Yahudi menghasut dengan mengatakan bahwa Yesus mengaku diri-Nya
adalah raja, supaya hal itu bisa dibicarakan lewat hukum. Sebab di dalam kekaisaran Romawi, tidak boleh
ada raja lain selain kaisar. Ketika
diketahui ada raja lain, itu sama saja dengan pemberontakan. Sebab itu Pilatus mempertanyakannya.
Namun
menarik sekali, Yesus tidak menjawab ya atau tidak, tapi Ia bertanya balik: Apakah
engkau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang
mengatakannya kepadamu tentang Aku?
Dengan kata lain Yesus ingin bertanya: Apakah pengakuanmu bahwa Aku
adalah raja itu sungguh-sungguh dari dirimu, ataukah karena kamu hanya
ikut-ikutan kata orang? Yesus tahu isi hati Pilatus. Yesus tahu bahwa Pilatus tidak sungguh-sungguh
mengatakan hal itu dari hatinya.
Ketika saya merenungkan hal ini, saya berpikir, sepertinya
pertanyaan inipun layak dipertanyakan kepada setiap kita. Kita
mungkin sering menyatakan dari mulut kita “Tuhan, Engkaulah raja, Engkau
penguasa semesta ini, ya… Engkau Raja” Tetapi,
apakah semua itu kita katakan dari hati kita sendiri? Ataukah kita mengatakannya hanya karena
ikut-ikutan? Mungkin kita terbiasa
menyanyikan puji-pujian yang menyatakan bahwa Yesus adalah raja. Misal: Mulia sembah raja mulia bagi Yesus
segala hormat sembah puji. Seberapa
sering kita menyanyikan lagu ini.
Seberapa sering kita ungkapkan dari mulut kita bahwa Yesus adalah raja. Namun pertanyaannya: apakah semua yang kita katakan itu dan semua
pengakuan kita tentang Tuhan berasal dari hati kita?
Saudara, Yesus tahu hati kita sama seperti Ia mengetahui hati
Pilatus. Kalau sungguh berasal dari hati
kita bahwa Tuhan adalah raja, seharusnya kita akan membiarkan Firman Tuhan yang
menguasai seluruh hidup kita. Menguasai
seluruh hidup itu berarti kita membiarkan Firman Tuhan yang menguasai pikiran,
perkataan, serta perilaku kita. Sehingga apapun yang kita pikirkan, apa yang
kita katakan, dan apa yang kita lakukan, sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan. Tapi jika hidup kita masih dikuasai oleh
dosa, entah itu dosa kebencian, kemarahan,
dosa seksual, dosa kesombongan, dan sebagainya, itu sudah menunjukkan
bahwa hati kita belum sungguh-sungguh menjadikan Tuhan sebagai raja. Mari
kita intropeksi diri kita. Sudahkah kita
mengakui Tuhan sebagai raja dari hati kita yang terdalam?
Tuhan juga
ingin bertanya kepada setiap kita:
Apakah engkau menjadikan Aku sebagai raja berasal dari hatimu yang
terdalam?
Mari
kita melihat kembali percakapan yang terjadi antara Yesus dan Pilatus. Setelah mempertanyakan hal itu, Pilatus
kembali bertanya dengan
sinis: “Apakah aku seorang
Yahudi? Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam
kepala yang menyerahkan Engkau kepadaku; apakah yang telah Engkau perbuat?” Kali ini Pilatus dengan nada menyindir
bertanya kepada Yesus. Tetapi dengan tegas
Yesus menjawab “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika
kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, ….tetapi
kerajaan-Ku bukan dari sini.” Ya…. Kerajaan
Yesus bukan dari dunia ini. Kerajaan
Yesus berbeda dengan kerajaan Romawi. Kerajaan
didunia terus berganti. Dulu raja Asyur
berkuasa, kemudian diganti raja Babel, kemudian Babel dikalahkan Persia dan
kerajaan Babel hancur. Selanjutnya
Kerajaan Yunani menghancurkan persia.
Dan kemudian kerajaan roma yang menguasai Yunani. Kerajaan dunia terus berganti. Tapi kerajaan Surga kekal, kokoh sampai selamanya.
Apa
maknanya bagi kita? Itu berarti kalau
kita menganggap Yesus sebagai raja, maka kita harus menyadari bahwa kerajaan kitapun bukan
dari dunia, melainkan warga kerajaan Surga sama seperti Yesus yang adalah raja
kita. Jika kerajaan dunia sangat menekankan kekuasaan,
kedudukan, materi, kekayaan, kekuatan dan segala cara dilakukan untuk meraih
semua itu. Tidak demikian dengan
kerajaan Surga. Kerajaan surga menekankan kebenaran,
keadilan, kasih, belas kasihan, kepedulian, kelemah lembutan dan kerendahan
hati sama seperti yang dikerjakan Yesus di dunia ini. Itulah yang membedakan antara Pilatus dan
Yesus. Pilatus mendapatkan kedudukan
dengan kekuasaan, tangan besi, otoritas, kekerasan dan cara-cara dunia. Namun Yesus berbeda. Ia menjadi pemimpin yang diikuti karena
pelayanannya, cinta kasihnya, pengorbanannya, kemurahan dan keadilannya. Ia tidak memimpin dengan kekerasan. Tapi Ia memimpin dengan kasih sayang.
Karena itu sebagai warga kerajaan surga,
tentu kita harus memiliki karakter seperti Yesus yang adalah raja kita. Kalau kerajaan kita bukan dari dunia ini maka
jangan hidup seperti orang yang tinggal dalam kerajaan didunia. Ketika orang-orang dunia memakai kekerasan dan
kelicikan untuk mendapatkan apa yang di keinginkannya, orang kristen harus menyatakan kasih,
kejujuran dan kebenaran. Ketika orang
dunia membalas kejahatan dengan kejahatan, kita harus membalasnya dengan kebaikan
dan pengampunan. Ketika orang-orang
kerajaan dunia hendak mendapatkan kedudukan dengan tangan besi, Yesus berkata
bahwa kedudukan kerajaan Surga justru didapatkan ketika kita melayani. Ketika
orang dunia mengandalkan kekuatan manusia untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya, warga kerajaan surga harus mengandalkan kekuatan Bapa di Surga. Inilah ciri anak-anak kerajaan surga. Kita harus belajar
seperti yang Yesus lakukan.
Bahkan
seharusnya kita harus
bangga bahwa kita terhitung sebagai warga kerajaan Surga. Pernah suatu ketika
pdt Stephen Tong berjumpa dengan mantan Presiden RI Gus Dur. Merekapun berbincang-bincang. Dan dalam perbincangan itu ada sebuah
candaan Gus Dur yang berkata kepada Stephen Tong “Coba anda tidak jadi pendeta,
anda mungkin bisa jadi presiden.”
Menariknya Stephen Tong menjawab demikian “Mana mau saya jadi Presiden,
turun pangkat dong saya.” Sebuah
ungkapan candaan tapi menunjukkan bahwa Stephen Tong jauh lebih bangga menjadi
orang kewargaan Surga daripada penguasa dunia.
Bagaimana dengan kita? Sudahkah
kita menyadari bahwa kita adalah warga kerajaan Surga? Apakah kita bangga menjadi warga kerajaan
Surga? Kalau kita bangga menjadi warga
kerajaan Surga, mestinya kita bangga jika hidup kita dipenuhi karakter-karakter
Yesus dan dipenuhi oleh buah-buah roh.
Namun acapkali apa yang kita banggakan sama seperti apa yang dibanggakan
oleh orang-orang dunia. Kita jauh lebih
bangga jika kita mendapatkan kedudukan.
Kita bangga ketika kita mendapatkan banyak harta. Kita bangga ketika kita memiliki kuasa. lebih berkuasa dari sesama kita. Kita bangga jika kita lebih kuat dan lebih
pintar dari yang lain. Bukankah
kebanggaan-kebangaan demikian adalah kebanggaan dari kerajaan dunia ini?
Mengapa
kita seringkali lebih bangga dengan apa yang dibanggakan oleh orang dunia? Karena seringkali kasat mata kita tertipu
bahwa kekuasaan dan kerajaan dunia jauh lebih besar daripada kerajaan Surga. Saya yakin semua orang dipengadilan waktu itu menyaksikan bahwa
Pilatus jauh lebih berkuasa dari
Yesus. Semua mata menyaksikan bahwa
Pilatuslah yang sedang mengadili Yesus. Yesus dipukul, didera, disiksa, dan tapi Ia
tidak dapat membalas. Yesus tampak kalah. Pemimpin dunia seakan lebih berkuasa dari
pemimpin kerajaan Surga. Mungkin itu
yang dipikirkan murid-murid Yesus waktu itu.
Dan mungkin itu juga yang sering menipu mata kita saat ini. Sehingga kita seringkali lebih mengejar untuk
seperti orang-orang dunia, karena sepertinya menjadi warga kerajaan dunia jauh
lebih membanggakan dan menyenangkan.
Namun
sebenarnya tidaklah demikian. Pilatus
tidak memiliki kuasa apa-apa atas Yesus.
Pengadilan Pilatus kepada Yesus tidak menunjukkan bahwa Yesus dikuasai
Pilatus. Tidak! Itu sebabnya di pasal 19:10-11 terjadi
percakapan yang menarik antara Pilatus dan Yesus. Pilatus berkata “Tidakkah Engkau mau bicara
dengan aku? Tidakkah Engkau tahu bahwa
aku berkuasa untuk membebaskan Engkau?”.
Apa jawab Yesus? Diayat 11 Ia
menjawab “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu
tidak diberikan dari atas.” Secara fisik
mungkin Yesus dikuasai Pilatus. Tetapi
waktu itu secara jiwa dan pikiran, Pilatuslah yang dikuasai Yesus. Justru Yesus memakai Pilatus untuk
memperlebar kerajaan-Nya. Sebab kita
tahu, ketika Ia disiksa dan disalibkan,
pada saat itulah kerajaan Surga datang.
Semua orang berdosa bisa menghampiri bapa dan mendapatkan keselamatan .
Dan
tahukah saudara apa yang terjadi akhirnya dengan Pilatus, pemimpin dunia itu? Diakhir perikop yang kita baca, Pilatus
melontarkan pertanyaan: “Apakah kebenaran itu?”. Ya..Orang yang berkuasa itu bertanya-tanya
tentang kebenaran. 6 bulan setelah
peristiwa penyaliban Yesus, sejarah mencatat bahwa Pilatus mengalami depresi
yang sangat berat. Dia dipecat dari
jabatan sebagai gubernur di Yudea.
Peristiwa penyaliban Yesus membuat huru hara besar waktu itu. Pilatus dianggap gagal membawa keamanan di
daerah Yudea. Bagaimana dengan kerajaan
Roma? Lenyap dan hilang tak
berjejak. Kerajaan Roma sudah hancur
luluh, tinggal kenangan.
Tapi
bagaimana dengan Yesus,
pemimpin kerajaan Surga? Meskipun pada
akhirnya Ia harus mati di bawah pemerintah Roma sebagai orang yang terkutuk di
atas kayu Salib. Tapi kita tahu, bahwa
kemudian Ia bangkit dari kubur. Ia naik
ke Surga, duduk di takhtanya yang mulia.
Kerajaan Surga makin hari makin
kokoh. Kebenaran semakin hari semakin
dinyatakan. Dan kini pengikut kerajaan
Surga, orang-orang percaya, semakin hari semakin bertambah. Milyaran orang menyerahkan hidupnya kepada
Tuhan, hidup menyembah Dia, dan milyaran orang yang pernah hidup di dunia ini
mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan dan raja.
Tidak
ada kerajaan dunia yang bersifat kekal.
Tapi kerajaan Tuhan kekal akan tetap berdiri sampai selama-lama-nya. Seharusnya betapa kita harus bangga karena
kita mempunyai Raja yang begitu berkuasa.
Tidak ada penguasa yang lebih berkuasa dari Tuhan yang adalah raja
kita. Tidak ada raja yang kekal seperti
Tuhan yang adalah raja kita. Dan
seharusnya betapa bangga bisa mendapatkan hak istimewa untuk menjadi warga
kerajaan Surga.
Sebab
itu jangan bodoh. Jangan bodoh dengan
menjual iman kita untuk mendapatkan apa yang ditawarkan dunia. Jangan pernah menjual kewargaan kita untuk
melakukan pekerjaan dunia yang sementara ini. Jangan sampai kenikmatan dunia, penganiayaan,
penderitaan, membuat kita menyangkal iman kita dan membuang hak kewargaan Surga
kita. Pada tahun
1600 penganiayaan terjadi begitu keras terhadap orang-orang Kristen yang ada di
Jepang. Seorang misionari Kristen yang
bernama Paulo ditahan karena menampung orang-orang Kristen dirumahnya. Dalam
penahanan itu ia disiksa. Ia dipukul, ditelanjangi, dan diseret, serta diminta
untuk menyangkal Tuhan. Namun Paulo tetap tegar. Pemerintah Jepang menggunakan cara yang lebih
keji untuk menyiksanya. Mereka berkata bahwa mungkin orang ini dapat kuat dalam
menghadapi siksaan, namun ia tidak akan kuat jika melihat anak-anaknya disiksa.
Lalu mereka menghampiri Paulo dengan membawa anak-anaknya, sambil berkata
“berapa banyak jari anakmu yang harus saya ambil atau kamu mau menyangkal
Tuhanmu” Paulo sempat bingung, bayangkan saja jika anak kita menderita,
bukankah itu jauh lebih menderita dibandingkan jika kita yang menderita? Namun
dengan tegar Paulo berkata “semua terserah padamu, anakku sudah kuserahkan
dalam tangan Tuhan tapi saya tetap tidak akan menyangkal Dia.” Akhirnya semua
anaknya jari-jarinya dipotong semua. Dan akhirnya ia harus mati karena
penganiayaan itu.
Mari kita belajar dari Paulo. Tidak sedikitpun ia mau menjual imannya dan
menyangkal Tuhan walau ia di aniaya. Jangan
jual iman kita untuk hal-hal dunia.
Jangan jual keyakinan kita untuk menyenangkan manusia. Jangan menjual kebenaran demi ketidak
benaran. Jangan menjual kasih dan
diganti dengan kekerasan dan kekuasaan.
Jangan menjual belaskasihan dan kemurahan demi mendapatkan harta dunia. Jangan menjual sifat kerendah hatian diganti
dengan kesombongan. Jangan pernah menjual
iman kita demi kesenangan dan kenikmatan dunia.
Saya
terkadang sedih kalau mendengar sahabat-sahabat saya, entah yang disurabaya
atau di Samarinda; dimana demi mengejar karier, dan demi mengejar harta untuk
kebutuhan hidup, perlahan demi perlahan mereka mulai meninggalkan Tuhan. Pertama-tama mereka meninggalkan pelayanan
mereka. Lama-lama mereka meninggalkan
kebiasaan bersekutu. Dan lama-lama
mereka meninggalkan iman mereka untuk Kristus.
Bahkan banyak yang kehilangan integritasnya, ia rela berdusta, menipu
rekan kerja, meninggalkan gereja, melakukan hal-hal yang menjijikan yang
dibenci Tuhan, demi mendapatkan kesenangan dunia.
Saudara,
jangan bangga kalau sifat kita sama seperti kerajaan dunia. Semua itu bersifat sementara dan bernilai
rendah. Mari kita hidup sebagai warga
negara surga. Banggalah jika kita
menjadi bagian dalam kerajaan Surga.
Milikilah karakter-karakter Kristus yang adalah raja kita. Milikilah sikap kerendahan hati, kasih,
kerelaan berkorban, sikap mengampuni; dan biarlah buah-buah roh itu (kasih,
sukacita, kelemahlembutan, damai sejahtera, penguasaan diri,, dst) ada dalam
diri kita. Biarlah hidup kita menjadi
saksi bagi sekitar kita. Dan hidup kita
mewartakan indahnya menjadi anggota kerajaan Surga.
No comments:
Post a Comment