Tuesday, January 15, 2019

HIDUP DALAM RITME ALLAH (Keluaran 15:22-27)



Ritme merupakan istilah di dunia musik yang memiliki pengertian: sebuah gerakan simetris dan horisontal yang teratur dalam sebuah lagu. Biasanya kita katakan ritme sebagai sebuah irama lagu. Ritme membentuk pola dalam sebuah lagu, ada pengulangan, gradasi, dan sebagainya.

Berbicara tentang ritme, beberapa bulan yang lalu telah di tayangkan sebuah kisah apik di layar lebar yang berjudul “Bohenmian Rhapsody”. Film ini mengisahkan perjalanan musisi legendaris bernama “queen”, yang dikenal oleh seluruh dunia. Salah satu lagunya yang paling terkenal yang saya kira kita semua tau, yaitu “We are the champion my friend, and we’ll keep on fighting to the end.” Lagu-lagunya begitu memukau, karena lahir dari pengalaman hidup, manis pahit kisah hidup mereka. Sesuatu yang lahir dari hati selalu memberi arti bukan?  

Nah, Salah satu lagu yang menurut saya paling spektakuler adalah lagu yang dijadikan judul dalam film ini: “Bohemian Rhapsody”.  Lagu ini pernah menduduki puncak  tangga tertinggi di Inggris selama 2 bulan lebih di jamannya. Tentu ada something special dalam lagu tersebut. Bisa dibilang lagu yang berdurasi 6 menit ini unik karena memiliki ritme yang tidak sama di setiap bagiannya. Alur lagunya tidak bisa diprediksi, dalam 1 lagu ada 3-4 genre musik di dalamnya, tidak ada pengulangan yang jelas, dan teknik musik yang berubah-berubah terjadi dalam satu lagu. Lagu ini tidak dapat tertebak sama sekali. Tapi justru segala keunikan itulah yang membuat lagu itu indah.

Demikian juga ketika kita menjalani kehidupan bersama dengan Tuhan. Sama halnya dengan sebuah lagu, ketika kita hidup dalam ritmenya Allah, Tuhan sudah merancang ritmenya bagi tiap pribadi-pribadi. Ritme setiap orang itu unik, dan tidak bisa tertebak. Tuhan kita kadang terlalu kreatif sehingga kita tidak bisa menemukan ritme / polanya. Sebagai manusia pada umumnya kita tentu berharap agar ritmenya jelas, kapan klimaks, kapan harus diulang, kapan dititik tinggi, kapan dititik rendah, sama seperti lagu pada umumnya. Kita suka dengan sendirinya menentukan masa depan kita. Dan kita suka masa depan yang bisa diprediksi. Tetapi pada kenyataannya, ketika kita berkata: Aku percaya kepada Tuhan, dan kita masuk dalam ritme yang Tuhan tetapkan dalam hidup kita, acapkali kita dibuat terheran-heran, bingung, tidak mengerti, dan bertanya-tanya mengapa harus melewati hidup yang seperti demikian?
****

Hal itu juga yang dialami oleh umat Israel. Perikop ini merupakan babak baru kehidupan umat Israel. Setelah ratusan tahun lamanya mereka diperbudak dengan paksa oleh bangsa Mesir, kini dengan tangan Tuhan yang hebat, dengan banyak sekali mujizat, mereka dibebaskan oleh Tuhan dalam kepemimpinan Musa. Setelah mereka melewati peristiwa spektakuler di mana Tuhan membelah laut teberau menjadi dua bagian, dan mereka selamat dari kejaran tentara Mesir, mereka bersukacita, sehingga Miriam memimpin umat untuk bernyanyi, bersorak memuji Tuhan. Saya membayangkan gemuruh pujian Israel yang begitu gempita meresponi apa yang Tuhan perbuat, dengan mujizat-mujizat yang ajaib, Israel dibebaskan dari perbudakan. Semua bersukacita, semua bergembira. Saya kira dalam bayangan mereka ialah: Kami memulai hidup baru, Hidup kami akan terus menanjak dan melambung tinggi sampai pada tanah Kanaan yang kaya susu madu. Kalau digrafikkan, mungkin grafiknya itu terlihat progres terus meningkat ke atas.

Tapi sayangnya, itu hanyalah ritme yang mereka harapkan. Tapi tidak demikian dengan ritme yang Tuhan atur bagi kehidupan Israel.  Tuhan sengaja membawa Israel di padang gurun berputar-putar 40 tahun lamanya, untuk melewati proses yang tidak dapat ditebak. Dan ternyata proses itu bukanlah proses yang nyaman.

Perikop yang kita baca barusan merupakan babak pertama permainan ritme Tuhan di padang gurun. Di ayat 22 disebutkan bahwa mereka berjalan dipadang gurun Syur selama 3 hari namun mereka tidak menemukan air. Jangankan menanjak, dilangkah pertama mereka sudah menemukan masalah dan kesusahan yang baru. Saya kira bukan hal yang gampang jika tidak ada air untuk diminum (kebutuhan pokok). Kebanyakan orang kalau ditanya, kalau disuruh puasa mending ga makan atau ga minum, umumnya kita akan memilih untuk tidak makan (sekaligus diet). Kalau tidak makan masih bisa ditahan-tahan rasa lapar itu. Tapi kalau gak minum, sengsaranya akibat kehausan itu rasanya luar biasa. Itu yang Israel alami, mereka kekeringan tiada air, dan itu bukan hal yang gampang untuk dihadapi. 

Memasuki ayat 23, dikatakan mereka menemui sebuah daerah bernama Mara. Kabar gembiranya: Disana ada air. Tapi kabar buruknya, air yang ada disana ternyata pahit, sehingga tidak bisa diminum. Itu sebabnya tempat itu dikatakan Mara. Kita mengingat kisah Naomi dalam kitab Rut, dimana ketika suami, dan kedua anak laki-lakinya meninggal, dan ia kembali pulang kekampung halamannya, orang banyak memanggil namanya, tetapi Naomi berkata: Jangan panggil aku Naomi, panggil saya Mara, sebab yang Mahakuasa telah melakukan banyak yang pahit kepadaku. Kata Mara bukan hanya dipakai untuk masalah air pahit, tapi juga kehidupan yang pahit. Itu juga yang Israel alami. Masa-masa pahit. Israel mendapati air pahit. Bangsa Israel seakan di PHP.

Itulah ritme nya Tuhan. Tidak dimengerti.  Terkadang saya berpikir: Mengapa Tuhan membawa Israel keluar dari penderitaan perbudakan, tapi memeberikan penderitaan baru yaitu tidak ada air. Kehausan, kekeringan, dan kehidupan yang pahit. Jika ada pepatah habis hujan terbitlah pelangi, tapi terkadang irama yang Tuhan berikan ialah: habis hujan, datang banjir, lalu longsor menimpa, dan pelanginya ketutupan kabut tebal. Kalau kita melihat perikop-perikop setelah itu, kita tahu masih banyak peristiwa kesusahan lain yang menguji kesabaran Israel. Kita tidak dapat mengerti mengapa Tuhan mengijinkan semua hal itu terjadi. Tapi itulah bagian kehidupan. Itulah ritme Tuhan yang tidak pernah disangka.

Saya mengenal seorang teman. Orangnya itu sabar banget, susah marah, dan suka nolongin orang. Dia adik tingkat saya waktu di seminari S1. Kita cukup dekat, dan cukup akrab. Saya pernah kekampung halamannya, main kerumahnya, nginap dan ngobrol panjang lebar. Ia sering menceritakan tentang rencana kedepannya. IA ingin pelayanan di gereja, menikah setelah praktek, ambil s 2, dia ingin membangun pelayanan A, B, C, D. Dan ia menyerahkan semua rencana itu kepada Tuhan. Tapi ketika saya praktek satu tahun di Makassar, saya terkejut mendegar ia terkena sakit yang ganas, yaitu sakit kanker darah. Berawal dari sering sakit (baru sembuh, 1 minggu kemudian sakit kembali, dan siklus tersebut terjadi berulang). Ia harus dikemo secara rutin, tambah hari rambutnya semakin tipis, dan ia semakin kurus. Ketika saya lihat fotonya saya sedih sekali. Ia kehilangan harapannya untuk pelayanan. Ia berhenti kuliah. Rencananya semua seakan gagal. Ia berada dititik terendah. Dan yang pasti, tidak ada yang menyangka bahwa hal itu akan terjadi dalam kehidupannya.

Inilah kehidupan. Akan ada dalam masa hidup kita, Tuhan mengijinkan kita mengalami masa-masa “kering” yang menyusahkan hidup kita, dan juga peristiwa-peristiwa pahit yang menguras air mata, dan membawa kita di titik yang tidak kita inginkan. Itu adalah bagian kehidupan yang acapkali diijinkan Tuhan menjadi ritme hidup kita, yang kita tidak tahu kenapa semua ini terjadi. Terkadang Tuhan mengijinkan kita berada di titik terendah kita. Terkadang Tuhan mengijinkan ada begitu banyak masalah yang datang menimpa. Masalah datang seperti sms promosi, bertubi-tubi datang tanpa diundang. Terkadang bahkan kita bisa kembali dibawa ke titik 0 kehidupan ini, dan kita dibuat merasa seakan apa yang terjadi selama ini sia-sia belaka. Akan datang masa-masa demikian dalam hidup kita. Meskipun kita sudah mengatur ritme hidup kita, menjaga kerohanian kita dengan baik, menyirami spiritualitas kita dengan benar, kita tidak dapat menjamin terluput dari keadaan kering dan perasaan pahit tersebut.

                                                                      ****
Kesalahan umat Israel dalam menghidupi ritme yang Allah tetapkan adalah terdapat dalam respon yang diberikan. Di ayat 24 dikatakan: Lalu bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa. Ya, bersungut-sungut, itu respon umat Israel menghadapi kesusahan yang terjadi. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, sangat wajar kalau kalimat keluhan dikeluarkan oleh orang Israel. Wajar sekali kalau mereka kuatir dan gelisah, karena air merupakan kebutuhan hidup yang sangat mendasar (menurut piramida Abraham Maslow, air termasuk kebutuhan fisiologi yang paling mendasar). Coba bayangkan 3 hari dikampus ini keran air mati, air galon isi ulang tidak ada. Pasti akan ada yang lapor kebidang-bidang tertentu untuk segera diperbaiki. Waktu dikos saya air mati setengah hari saja, saya sudah komplain: gak bisa mandi, mau ada acara, mau buang air bagaimana. Dan Israel mengalami hal yang lebih parah di mana 3 hari tidak ada air buat diminum. Bagaimana dengan anak-anak yang masih kecil,bagaimana dengan orang tua yang sudah sakit, apakah mereka bisa bertahan tanpa air? Sangat wajar jika mereka mengeluh.

Tapi mengeluh itu menjadi wajar ketika respon setelah itu dilakukan dengan tepat, misal kita memohon pertolongan dan belas kasihan Tuhan terhadap kesusahan yang kita alami. Yang tidak wajar ialah ketika keluhan itu menjadi sungut-sungut. Bersungut-sungut itu merupakan reaksi ketidakpuasan atas perlakuan orang, atau situasi, atau sesuatu hal yang terjadi (tidak seperti yang diharapkan). Israel bersungut-sungut itu karena tidak puas dengan siapa? Apakah dengan keadaan atau lingkungan tempat tinggal? Apakah dengan diri sendiri? Tidak! Sungut-sungut Israel itu meski ditujukan kepada Musa, tetapi dalam hati mereka, mereka sebenarnya ingin menyatakan ketidakpuasan dengan ritme yang Tuhan sudah atur. Mereka protes kepada Tuhan.
Inilah letak kegagalan Israel. Mereka ingin menentukan ritme yang Tuhan atur seperti yang mereka harapkan. Tidak ada kesusahan sama sekali, dan terus menanjak, hidup bahagia, sampai diujung tujuan mereka, yaitu memasuki tanah Kanaan. Sehingga ketika Tuhan merancang ritme yang tidak mereka sangka, yaitu melewati kesusahan, kekeringan, dan situasi yang memahitkan, mereka bersungut-sungut. Mereka menjadi lupa bahwa Tuhan itu berkuasa melakukan apapun juga. Tidak cukupkah mereka melihat Tuhan mengubah air menjadi darah? Tidak cukupkah mereka melihat keajaiban tulah-tulah yang sangat tidak masuk akal didepan mata mereka? Dan tidak cukupkah mereka melihat laut teberau terbelah dua didepan mata mereka? Bukankah itu semua sangat ajaib? Soal air, apa susahnya kalau Israel lebih fokus memilih memohon kepada Tuhan, dibanding sungu-sungut? Bukankah Tuhan yang mampu membelah lautan menjadi dua itu juga mampu memberikan seteguk air kepada Israel? Tapi mereka bersungut-sungut menunjukkan keegoisan mereka. Mereka memilih fokus terhadap apa yang mereka tidak punya, dibanding apa yang sudah mereka dapatkan. Bukankah mereka sudah mendapatkan kebebasan dari perbudakan? Bukankah mereka sudah mendapatkan kemerdekaan, dan mereka menjadi umat specialnya Tuhan? Tapi mata mereka tidak mau memandang semua itu, mereka Cuma berfokus terhadap apa yang tidak mereka punya, yaitu air minum.
Bisa dikatakan bersungut-sungut ini adalah dosa yang paling sering dilakukan oleh orang Israel kepada Tuhan selama dipadang gurun. Setelah perikop ini, stu pasal setelah itu mereka kembali bersungut-sungut karena tidak ada makanan. Di kasih Manna, mereka kembali bersungut-sungut karena pengen makan daging. Mereka bersungut-sungut di Meriba dan banyak lagi.
Saya kira kita harus serius terhadap dosa sungut-sungut ini. Karena sungut-sungut itu sebenarnya menunjukkan bahwa kita sedang tidak percaya dengan apa yang Tuhan rencanakan bagi hidup kita. Kita mencobai Tuhan. Bahkan Tuhan berkali-kali murka, bahkan ingin memusnahkan Israel karena sungut-sungutnya. Jika kesalahan itu membuat Tuhan murka, tentunya ini merupakan sikap yang sangat tidak diinginkan oleh Tuhan. Sebab itu sebagai umat Tuhan, kita harus perhatikan baik-baik hidup kita.
Filipi 2:14-15 "Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia,"

Terkadang mungkin sungut-sungut itu tidak keluar dari mulut kita, tapi itu terlihat dari sikap kita. Kita jadi apatis terhadap segala hal rohani, kita jadi mengurangi semangat pelayanan kita, kita jadi meremehkan pelayanan, dan sebagainya. Ada banyak manifestasi lain yang acapkali timbul di luar kata-kata sungut-sungut. Engkau yang tau apa yang ada dalam hatimu. Kiranya kita tidak melakukan kesalahan yang sama dengan umat Israel.

Sebaliknya mari kita belajar menikmati setiap ritme yang Allah tentukan dalam hidup kita. Di bagian selanjutnya Tuhan kembali menunjukkan kuasa-Nya. Ia menyuruh Musa melemparkan sepotong kayu kecil kedalam air, lalu air itu berubah menjadi manis. Saya kira di bagian ini Tuhan ingin menunjukkan kepada Israel bahwa kesusahan Israel itu perkara kecil bagi Tuhan. Tuhan bisa melakukan segala cara untuk menolong Israel. Air pahit, buat sepotong kayu menjadi manis. Kelaparan, dikirim roti manna. Pengen makan daging, burung-burung dijatuhkan dipadang gurun. Begitu mudahnya Tuhan memakai hal-hal kecil untuk menolong Israel. Seharusnya ketika masalah datang, Israel bukannya bersungut-sungut, tetapi tetap percaya dan taat, dan kemudian memohon pertolongan Tuhan dengan segala kerendahan hati.

Dan di akhir perikop ini dikatakan (ay 27): Sesudah itu sampailah mereka di Elim, di sana ada 12 mata air dan 70 pohon korma, lalu berkemahlah mereka di tepi air itu. Elim ini berarti kelimpahan air. Di sini Tuhan menunjukkan kepada umat Israel bahwa kesusahan hidup itu tidak selamanya. Ada bagian dimana Tuhan membawa hidupmu berada dalam kelimpahan. Itulah ritme yang Tuhan sediakan bagi kita. Naik, turun, lurus, berbelok, rata, berbatu-batu, bangkit, gagal, kering, basah, dan sebagainya. Yang mana yang lebih banyak, dan bagaimana polanya, kita tidak tau. Bagian kita, tetap percaya dan tetap taat.

Bagaimana dengan teman saya yang terkena kanker tadi? Di tempat praktek saya sedih mendengar keadaanya. Saya tidak bisa berbuat banyak selain berdoa. Saya melihat kabarnya semakin hari semakin krisis. Dalam satu kesempatan saya sempat chat kedia. Saya bertanya: Paul, apakah kamu kecewa dengan hidupmu? Apakah kamu marah sama Tuhan?  Dia membalas 1 jawaban yang singkat padat, tapi tidak pernah kulupakan sampai hari ini. IA Cuma menjawab: Fong, Tuhan itu baik. Dan tidak beberapa lama dari kita berbincang via chat, dia dipanggil Tuhan, dan ia istirahat dengan tenang.

Saya kira kitapun harus belajar memiliki hati demikian. Ritme apapun yang Tuhan siapkan dalam perjalanan hidup kita, tetaplah percaya dan berserah.  Tetaplah yakin, bahwa Tuhan merancan sesuatu kebaikan bahkan melalui apa yang kita pandang buruk. Hiduplah dalam ritmen Tuhan, dengan ketaatan- dan iman, maka kita akan melihat betapa hidup kita seperti sebuah lagu yang indah. Meski tidak tertebak, meski banyak nada minor yang dimainkan, tapi semuanya membentu karya seni Allah yang luar biasa.



No comments: