Monday, September 07, 2009

Kanon Apokrifa (2)



PERDEBATAN MENGENAI PENGKANONISASIAN KITAB APOKRIFA


Terdapat dua kubu yang terbentuk akibat pengkanonan kitab Apokrifa. Pertama, adalah orang-orang yang menyetujui akan otoritas kitab Apokrifa, dan kedua adalah kelompok sebaliknya, yaitu yang tidak menyetujui otoritas kitab Apokrifa.


Seperti yang sudah dipaparkan di atas, golongan Roma Katolik adalah sekelompok orang yang menekankan otoritas Apokrifa. Orang-orang yang mendukung ini mengatakan bahwa bapak-bapak gereja banyak yang mengutip kitab-kitab ini sebagai tulisan yang berotoritas, misalkan Agustinus dari Hipo. Selain itu otoritas kitab Apokrifa ini diperkuat dengan dikutipnya kitab Henokh dalam kitab Yudas. Bukan hanya itu, dalam Kisah Rasul 17:28, Pauluspun mengutip dari Aratus Phaenomena, baris 5; dalam 1 Korintus 15:33, dia mengutip dari Menander’s Komedi.


Seorang ahli biblika PL di Indonesia, E. G. Singgih, yang dahulu menolak akan otoritas kitab Apokrifa, mengalami perubahan pikiran. Ia berkata “Dengan mempelajari sejarah terbentuknya daftar isi kitab-kitab suci dalam pelbagai tradisi dari kaum Yahudi sampai ke tradisi gereja-gereja, saya belajar untuk menghargai apa yang orang lain anggap sebagai Firman Allah”. Hal ini dikatakan bukan berarti bahwa orang Kristen harus menambahkan kitab Apokrifa kedalam kitab-kitab PL, namun ia tidak juga menolak hal itu sebagai Firman. Sebenarnya secara tidak langsung ia menyetujui akan otoritas kitab Apokrifa.


Sebenarnya ada tiga prisip yang digunakan untuk membela otoritas Apokrifa: Pertama, Apokrifa termasuk dalam kitab-kitab versi mula-mula. Kedua, kitab-kitab ini dibacakan dalam gereja-gereja dalam ibadah umum. Ketiga, dikutip oleh bapak-bapak gereja sebagai otoritas ilahi.


Namun ada pendapat-pendapat juga yang menentang keberadaan kitab-kitab Apokrifa ini. Jerome, seorang penerjemah besar dari kitab suci ke bahasa latin, tidak mengakui Apokrifa sebagai penambahan dari kanon kitab-kitab Ibrani. Philo dari Aleksandria, yang tinggal pada abad pertama Masehi tidak pernah mengutip sedikitpun dari tulisan-tulisan apokrifa. Hal tersebut sukar untuk ditemukan benang merahnya dengan teori dari kanon Aleksandria tersebut. Bahkan beberapa orang Yahudi Aleksandria tidak menerima kanon Aleksandria. Sebuah kitab Aquila Greek Version, yang diterima oleh orang Yahudi Aleksandria dalam abad ke-2 M, juga sedikitpun tidak berisi Apokrifa. Athanasius juga tidak menyarankan kitab Apokrifa untuk dikanonisasikan, namun ia tetap menyarankan untuk dibaca. Luther sendiri pernah berkata “These are books not to be held in equal esteem with holy scipture but yet good and useful for reading.


Keberadaan kitab apokrifa sangatlah diragukan. Codex Vaticanus mengurangi kitab 1 dan 2 Makabe (yang dikanonisasi oleh Roma), tetapi memasukan 1 Esdras (non-kanonik menurut Roma). Tulisan-tulisan Sinaitikus (Aleph) menghilangkan Barukh (yang dikanonisasi oleh Roma), tetapi memasukan 4 Makabe (non-kanonik menurut Roma). Aleksandrinus (A) berisikan tiga kitab apokrifa yang tidak dikanonisasikan: 1 Esdras dan 3 dan 4 Makabe. Tidak ada kepastian mengenai kanon kitab Apokrifa tersebut.


Selain itu, pesan-pesan dari Perjanjian Baru dengan tegas berlawanan dengan kitab-kitab Apokrifa. Mengenai pembelaan Agustinus dari Hipo tentang otoritas apokrifa, Archer berpendapat bahwa Agustinus tidaklah konsisten. Di satu sisi, ia memberi pengaruh di gereja Kartargo untuk memasukkan kitab Apokrifa untuk dikanonkan. Namun di sisi yang lain, ketika ada argumen mengenai 2 Makabe, Agustinus menganggap bahwa susah menerima buku yang tidak dikategorikan oleh orang Yahudi sendiri.


Saat ini bagaimanakah umat Kristen menanggapi perdebatan ini? Apakah kita harus mengakui tulisan-tulisan Apokrifa sebagai tulisan yang berotoritas atau sebagai tulisan-tulisan biasa? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis akan memberikan beberapa tanggapan dengan tempat yang lebih luas, karena penulis merasa bagian tanggapan ini sebagai sesuatu yang sangat penting.


TANGGAPAN MENGENAI KANONISASI APOKRIFA


Sebelum memberi tanggapan kepada tulisan-tulisan Apokrifa, mungkin penting bagi kita untuk melihat beberapa kriteria yang digunakan sebagai ukuran kanon.


Ada beberapa pengujian yang dilakukan beberapa waktu terakhir ini. Pertama, J. G. Eichron (1780), menganggap bahwa penyusunan kitab setelah Maleakhi, tidak dapat dimasukkan sebagai kitab PL. Namun teori ini tidak dapat diterima seutuhnya, karena ada kitab-kitab tua seperti Book of Jashar dan Books of Wars of Jehovah yang tidak terhitung sebagai kitab-kitab berotoritas. Kedua, F. Hitzig (1850), membuat bahasa Ibrani sebagai syarat kanonisitas. Namun ini juga tidak dapat menjelaskan mengapa kitab Ecclesiasticus, Tobit, dan 1 Makabe ditolak, sebab kitab-kitab ini disusun dalam bahasa Ibrani. Hal ini juga menyebabkan kitab Daniel dan Ezra yang menggunakan bahasa Aram diragukan. Pandangan yang lebih baru, menguji kitab-kitab mereka dengan digunakannya secara privat dalam periode yang panjang atau singkat sebelum mereka menambahkannya ke dalam kanon. Namun pandangan ini sebenarnya tidak menjawab akar masalah. Yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa beberapa kitab diterima dan beberapa tidak.


Sebenarnya otoritas kitab-kitab itu tidak datang dari manusia, melainkan dari Allah. Kitab-kitab itu harus memiliki otoritas sebelum mereka diakui oleh umat Israel. Pengakuan itu merupakan efek otoritas dan bukan penyebab dari kanonisitas mereka. Biasanya kitab-kitab itu sudah diakui sebagai sesuatu yang berotoritas oleh orang-orang yang membacanya waktu itu. Misalnya, perkataan Hilkia kepada Safan “Saya sudah menemukan kitab taurat dalam rumah Tuhan (2 Raj. 22:8). Kemudian Safan membaca kitab tersebut kepada Yosia, dan kitab itu akhirnya mendorong Yosia untuk melakukan reformasi pada zamannya. Ezra sendiri sebenarnya telah menganggap kitab-kitab tersebut telah dikanonisasikan, jika tidak, ia tidak akan membacanya bagi umat pada waktu itu. Archer mengatakan:


The only true test of canocicity which remains is the testimony of God the Holy Spirit to the authority of His own Word. The testimony found a response of recognition, faith, and submission in the hearts of God’s people who walked in covenant fellowship with Him.

Kitab Kanon PL merupakan pernyataan ilahi dan pengarang mereka juga merupakan orang-orang kudus yang berbicara dengan kekuatan Roh Kudus.


Menurut Yonky Karman, ada empat kriteria yang biasanya disepakati sebagai penentu kanon PL. Empat kriteria itu antara lain: Pertama, kanonisitas dikaitkan dengan nubuat. Kitab-kitab dalam PL bisa dikaitkan dalam satu dan dua hal dengan figur-figur profetik. Musa menerima taurat dalam posisi sebagai nabi, dan ia dipandang sebagai prototipe nabi-nabi berikut. Selain itu dikenal juga penyair-penyair profetik seperti Daud dan Asaf. Akhirnya, nabi, imam, raja, dan tokoh-tokoh lain dalam PL secara resmi bisa menerima firman Allah untuk disampaikan kepada orang lain. Kedua, kanonisitas dikaitkan dengan perjanjian. Ketiga, kanonisitas PL diteguhkan oleh PB. Di seluruh PB terdapat lebih dari 250 kali kutipan PL. Yesus sendiri dalam pengajaran-Nya 31 kali mengutip atau merujuk kepada PL sebagai firman Allah yang berotoritas. Yesus dan para penulis PB sedikitpun tidak mempersoalkan otoritas PL sebagai firman Allah. Dan yang keempat, kanonisitas PL dalam praktik diteguhkan dengan pemakaiannya dalam ibadah umat Israel (liturgi), seperti kitab Rut, Ester, Kidung Agung, Ratapan, dan Pengkhotbah.


Dari kriteria-kriteria di atas, sepertinya kitab-kitab apokrifa tidak dapat memenuhi kriteria tersebut. Umat Kristen Protestan menempatkan kitab-kitab Apokrifa sebagai kitab-kitab bidat, hal ini dikarenakan karena ada beberapa pengajarannya yang bertentangan dengan doktrin-doktrin Alkitab (seperti konsep Purgatori dalam kitab Makabe). Kitab-kitab ini jelas ditolak oleh orang-orang Yahudi karena mereka beberapa dari mereka mengganggu konsep rabi-rabi Farisi, dan mereka tidak pernah digunakan dalam liturgi-liturgi ibadah orang Yahudi. Beberapa semangat mesias politk yang digerakkan oleh keluarga Makabe untuk menentang pemerintahan Yunani, cukup berbahaya. Selain itu, kebanyakan kitab-kitab Apokrifa ini tidak pernah dikutip dalam PB. Yesus sama sekali tidak pernah mengutip kitab-kitab Apokrifa. Sebaliknya dengan jelas dalam Lukas 24:44 Yesus mengatakan “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.”


Mengenai masalah kitab Yudas yang mengutip kitab 1Henokh, David A. deSilva mengatakan “many mistakenly assume that an author’s use of a work implies that the author and adressess regarded the work as caononical. Dengan mengatakan bahwa penulis Yudas menyarankan 1 Henokh sebagai kitab kanonikal karena ia mengutipnya merupakan kesimpulan yang keliru. deSilva mengatakan lagi “All that can be said about Jude’s use of this pseudepigraphon is that he regarded it as a valuable resource for the exhortation and edification of Christians, a suitable quotation from an ancient authority to advance his rhetorical goals.


Menanggapi prinsip-prinsip yang digunakan untuk mendukung otoritas Apokrifa, Raven memberikan beberapa kritikan yang pantas diperhitungkan. Menanggapi pandangan “Apokrifa termasuk dalam kitab-kitab versi mula-mula” ditemukan fakta bahwa kitab Syriac Peshita tidak memasukan mereka dan Jerome tidak menyarankan kitab-kitab itu untuk di kanonisasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Philo, seorang Yahudi Aleksandrian, dan Josephus, tidak pernah sedikitpun mengutip dari kitab-kitab Apokrifa. Karena itu versi-versi kuno kebanyakan menunjukkan tidak adanya otoritas dari kitab-kitab Apokrifa. Bagaimana ia masuk dalam septuaginta kita tidak tahu.


Menanggapi pandangan kedua yaitu “kitab-kitab ini dibacakan dalam gereja-gereja dalam ibadah umum”, banyak ahli mengatakan bahwa membacakan kitab Apokrifa dalam ibadah umum tidak berarti kitab-kitab tersebut layak untuk dikanonisasi.


Sedangkan menanggapi pandangan ketiga di mana kitab itu dikutip oleh bapak-bapak gereja sebagai otoritas ilahi, Raven mengatakan bahwa pengutipan kitab Apokrifa itu bukanlah syarat pengkanonisasian. Banyak bapak-bapak gereja yang mengutip apokrifa hanya karena kitab-kitab itu eksis, namun mereka seringkali menentang ajaran-ajaran dari kitab-kitab tersebut. Jika ada orang yang menganggap kitab Apokrifa sebagai kitab yang dikanonkan, maka sebenarnya itu hanya sebuah eror, sebab penerimaan ini bukanlah pandangan umum dari gereja zaman kuno.


KESIMPULAN


Kitab-kitab Apokrifa bukanlah kitab yang dapat untuk dikanonisasikan. Banyak bukti-bukti dan kriteria-kriteria yang membuat kitab-kitab tersebut sukar untuk di kanonkan. Beberapa alasan yang membuat kitab Apokrifa tidak dapat dikanonkan adalah: karena kitab-kitab itu tidak diakui oleh orang-orang Yahudi sendiri, bahkan orang Yahudi yang ada di Aleksandria; beberapa isinya tidak sesuai atau bertentangan dengan kitab-kitab yang lain; kebanyakan bapa gereja juga tidak menyarankan kitab-kitab tersebut untuk dikanonkan. Agustinus sendiri tidak konsisten dalam menanggapi otoritas kitab Apokrifa; keberadaan kitab itu cukup berbahaya, sebab mengandung unsur politik mesias; orang-orang kristen menganggapnya sebagai bidat; tidak pernah dikutip oleh Tuhan Yesus, bahkan sedikit sekali kitab-kitab Apokrifa yang dikutip dalam kitab-kitab PB.


Namun demikian bukan berarti kitab ini tidak boleh dibaca sama sekali. Beberapa bapak Gereja malah menyarankan umat Kristen untuk membaca kitab-kitab tersebut. Dengan mempelajari Apokrifa, kita dapat mengetahui akan budaya Yahudi dan budaya yunani yang ada pada zaman Yesus. Selain itu kita dapat mengetahui sejarah timbulnya orang-orang Farisi dan Saduki. Intinya banyak manfaat yang dapat kita dapatkan dari kitab-kitab tersebut, walaupun kitab-kitab itu tidak masuk dalam Kanon.

No comments: