Friday, May 21, 2010

Turn Your Eyes Upon Jesus




Kehidupan manusia itu seperti berada dalam sebuah permainan Labirin (permainan seperti jalan tikus). Ketika seseorang masuk di dalamnya, ia akan berusaha untuk menyelesaikan labirin kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Orang itu berusaha untuk mencapai garis finish, namun seringkali malah dibingungkan oleh begitu banyaknya jalan yang harus dipilih. Terkadang jalan itu bisa begitu lancar, dan tampak begitu terbuka. Namun terkadang ada saatnya kita harus menghadapi jalan buntu. Sehingga harus mengulangi jalan yang pernah dilalui sebelumnya karena sudah salah jalan.

Inilah kehidupan manusia. Terkadang jalan hidup kita tampak begitu lancar di mana kita bisa melangkahkan kaki kita dengan kepastian dan kemantapan hati. Pekerjaan lancar, keluarga sehat-sehat, relasi dengan sesama juga baik. Tidak ada suatu hambatan yang cukup berarti. Namun terkadang kita harus menghadapi sebuah jalan buntu yang membuat kita bingung, khawatir, bahkan putus asa. Sakit penyakit mulai merudung; relasi mulai retak; pekerjaan tidak jelas; study juga tersendat-sendat. Itulah yang dinamakan labirin kehidupan. Penuh lika-liku yang membingungkan didalamnya. Kadang jalan terbuka, namun kadang kita tidak dapat menghindari jalan buntu. Tidak ada satu orangpun yang terlalu kuat dalam menghadapi kebuntuan-kebuntuan hidup. Saya pernah melihat seorang pria yang sangat berani. Ia tegar dan kuat ketika menghadapi gelombang-gelombang kehidupannya. Tapi sampai suatu ketika, sewaktu istrinya jatuh sakit dan hampir meninggal, Pria yang gagah berani inipun menjadi takut setengah mati. Ia seakan sedang menghadapi jalan buntu.

Saudara, suatu saat kitapun akan masuk dalam kondisi seperti ini. Akan ada masa di mana kita akan menemukan kebuntuan dalam hidup yang tidak bisa dihindari. Ketakutan-ketakutan itu dapat datang sewaktu-waktu. Sekarang pertanyaannya sebagai anak Tuhan, hal apa yang seharusnya kita lakukan ketika menghadapi jalan buntu tersebut? Apakah kita akan menyerah? Atau apakah kita berusaha mencari pertolongan dari orang lain? Siapakah yang akan kita andalkan? Hari ini mari kita belajar dari seorang tokoh Alkitab, yaitu seorang raja Israel yang bernama Yosafat.



Yosafat juga pernah mengalami apa yang namanya jalan buntu. Perikop ini mengisahkan bahwa Israel dibawah kepemimpinan raja Yosafat berada dalam sebuah ancaman besar. Tiga bangsa disekitar yang besar yakni: Amon, Moab dan orang-orang Meunim (salah satu pasukan dari suku edom) bersekongkol untuk menggempur habis Israel. Keadaan lebih genting karena tiga bangsa tersebut sudah menyeberangi laut mati dan berada di en-gedi yang jaraknya hanya 25 mil dari Yerusalem tempat Yosafat berdiam. Jadi kurang lebih jarak dari En-Gedi ke Yerusalem hanya berkisar 37 km. Hanya butuh waktu setengah hari untuk berjalan menggempur Yerusalem.

Musuh sudah di depan mata. Secara kekuatan militer tentu saja Israel kalah jauh. Yosafat dipojokkan dan diperhadapkan dengan sebuah jalan buntu. Tak heran Alkitab menuliskan bahwa Yosafat menjadi takut dan gentar. Kekalahan dan kegagalan seakan ada di depan mata. Namun menariknya, Yosafat tidak pernah berpikir bahwa itu merupakan akhir dari pemerintahanya. Dia tau apa yang harus ia lakukan.


Bagaimana sikap Yosafat?
Jika kita melihat di ayat 3a dikatakan “Yosafat menjadi takut, lalu mengambil keputusan untuk mencari Tuhan.” Sungguh merupakan sikap yang sangat luar biasa. Walaupun Yosafat mengalami ketakutan yang amat dasyat; namun dari dasar hatinya masih tersimpan sebuah pengharapan di mana Ia tau bahwa ada Tuhan yang berkuasa, yang sanggup menolongnya. Karena itu ia mengambil keputusan untuk mencari Tuhan. Ya, Ditengah ketidak berdayaannya, Yosafat lebih memilih untuk mencari Tuhan.

Kata “mencari” sendiri berasal dari kata daras yang berarti mencari dengan teliti atau mencari dengan sungguh-sungguh. Dari kata daras inilah kemudian kita ketahui ada yang namanya Madrasah (tempat kumpulan orang-orang yang berusaha untuk menggali kitab suci dengan teliti dan sungguh-sungguh). Mungkin sama seperti seorang yang mencari butiran mutiaranya yang berharga di dalam tumpukan jerami, demikianlah yang dilakukan oleh Yosafat. Ia mencari Tuhan dengan kesungguhan hati. Bukan hanya mencari Tuhan dengan kesungguhan hati, Yosafatpun mengajak seluruh umat Yehuda untuk berdoa dan berpuasa untuk memohon pertolongan kepada Tuhan. Sebenarnya Yosafat dapat meminta bantuan kepada bangsa-bangsa lain seperti Mesir, Aram, dsb. Namun Yosafat lebih memilih untuk mencari Tuhan sebagai jalan pertama. Ia menatikan pertolongan Tuhan.

Bagaimana dengan kita? Ketika kita menghadapi jalan buntu, siapakah yang pertama kali kita cari? Teman-teman kita? Pacar? Atau kita lebih mengandalkan pikiran dan solusi-solusi pikiran kita? Namun pernahkah mencari Tuhan terlebih dahulu sebelum kita memikirkan solusi-solusi lain? Saya pikir dalam hubungan dengan Tuhan terkadang memang kita harus belajar memiliki hati seperti seorang anak kecil. Saya teringat waktu minggu lalu pemuda Zion rekreasi ke pantai Limbunan. Ketika memperhatikan Ekin (bocah berusia 10 bulan) saya mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga. Setiap kali Ekin digendong oleh orang lain dan ketika ia mulai menangis, siapakah orang yang pertama kali dicarinya? Orangtuanya! Matanya yang bercucuran air mata itu tetap terbuka sambil melihat kerumunan orang banyak itu untuk mencari dimana oragtuanya. Setelah ia melihat mama atau papanya, tangannya langsung terbuka lebar seakan menyuruh mamanya merebut dia dari gendongan orang lain itu. Dan ketika orangtuanya sudah memeluk dia, barulah dia dapat diam tenang.

Saudara, mungkin kitapun harus memiliki sikap seperti itu. Ketika kita menghadapi jalan buntu dalam hidup ini; atau ketika kita mendapatkan persoalan yang besar, mari kita arahkan mata kita kepada Tuhan. Mari kita mencari Dia sebagai sumber pertolongan kita yang utama. Berserulah kepada-Nya. Mungkin saat ini banyak kekhawatiran yang menimpa kita: bagi teman-teman yang sebentar lagi akan menikah ada kekhawatiran tersendiri. Mungkin kita takut kalau-kalau kita tidak bisa menjadi bapak atau ibu yang baik; bagi teman-teman yang kuliah mungkin ada ketakutan sendiri juga. “Mau kerja apa setelah ini, bagaimana membuat proposal skripsi, apakah saya bisa menyelesaikan skripsi” merupakan pikiran-pikiran yang cukup mengkhawatirkan; Bagi teman-teman yang bekerja juga ada ketakutan tersendiri. Pikiran yang sering muncul ialah: “apakah pekerjaan ini bisa mencukupi masa depanku, apakah saya bisa jujur dalam menjalankan bisnis ini, dsb.” Sekuat-kuatnya manusia, suatu saat tetap kita akan mengalami apa yang namanya ketakutan dan kekhawatiran. Tapi biarlah setiap kali kita merasakan takut atau khawatir, mari kita mencari Tuhan terlebih dahulu. Mari kita belajar seperti raja Yosafat yang mengambil keputusan untuk mencari Tuhan.

No comments: