Sunday, July 18, 2010

Manusiawi



Pernah tersaksikan oleh kedua mata saya dua ekor semut yang sedang bermain riang tepat di hadapanku yang mematung. Lalu tangan isengku segera menggencet pelan salah satu dari mereka, dan alhasil korban gencetan itu sekarat tak berdaya. Kawannya yang masih segar bugar terkejut lalu melarikan diri secepat-cepatnya, merayap ketembok seperti cecak dan terus bergegas ke atas. Namun sampai setengah perjalanan, tiba-tiba ia berhenti sejenak dan kemudian berlari kencang kembali ke arah temannya yang sekarat. “Berani sekali” pikirku. Bukankah teman yang sekarat itu tepat berada di depan tanganku yang baru saja merengut masa depan temannya? Apakah ia juga mau menyerahkan nyawanya, ataukah dia mau menantang saya? Pikirku geli. Tapi saya diam saja, mencoba mengamati perilaku dari hewan kecil itu. Terkejutnya saya, ternyata semut kecil yang masih bugar itu segera menggendong kawannya yang sekarat, lalu dengan tertatih-tatih mengangkatnya memanjati tembok dengan perlahan. Ia tidak takut kalau tangan gatal dari raksasa yang didepannya itu menggencetnya juga. Ia hanya memikirkan kawannya yang sekarat dan berusaha untuk menolongnya tanpa menghiraukan nyawanya.

Pernah tercantum juga di harian kompas beberapa kawanan gajah yang berupaya menyeberangi sungai selebar 60 meter untuk mendapatkan habitat yang baru setelah habitat lamanya dirusak oleh manusia. Bagi beberapa gajah yang cukup besar mungkin mudah menyeberangi sungai tersebut. Tapi gajah-gajah yang masih kecil dan remaja tidak mampu menyeberangi sungai yang terlampau dalam bagi mereka. Lantas bagaimana mereka akhirnya bisa menyeberangi sungai itu? Ternyata gajah-gajah dewasa berbaris di sepanjang sungai membentang dari ujung ke ujung. Secara perlahan gajah-gajah yang kecil menginjaki pundak mereka satu persatu sampai mereka bisa menyeberang tiba dengan selamat. Selama 44 hari barulah semua kawanan gajah itu bisa menyeberangi sungai tersebut. Penduduk sekitar yang menyaksikan itu tidak dapat menahan air matanya. Mereka terharu akan tindakan para gajah itu. Menteri lingkungan hidup Emil Salim pun pernah mengatakan “Gajah-gajah itu telah memanusiakan manusia.” Tak heran surat harian kompas memberi judul berita ini demikian: “Belajar manusiawi bersama gajah.”

Rasanya masih banyak lagi kisah-kisah “manusiawi” yang ditunjukkan oleh dunia fauna di sekitar kita. Entah darimana mereka mendapatkan instink manusia tersebut, yang pasti beberapa binatang telah mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan kepada manusia yang semestinya harus memiliki basic kemanusiaan itu.

Ironinya justru sifat-sifat manusiawi itu tidak terdapat dalam diri beberapa orang yang mengaku dirinya adalah manusia. Ada seorang anak yang tega membunuh ibunya hanya sebab ditegur ketika ia pulang malam. Ada ayah yang tega memperkosa anaknya sendiri berkali-kali sampai-sampai anak yang terlahir kebingungan apakah harus memanggilnya bapak atau engkong. Ada juga ibu yang membunuh bayi hasil darahnya hanya karena tidak punya uang. Pembunuhan antar sesama manusiapun terjadi di mana-mana, entah secara langsung ataupun tidak. Saya katakan ada yang tidak secara langsung setelah mengamati berita akhir-akhir ini yang marak mengenai ledakan elpiji 3 kg di Indonesia. Beberapa produsen mengetahui adanya kecacatan-kecacatan dalam tabung-tabung kuning itu. Namun mereka tetap menjualnya untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Padahal para produsen kejam itu belum tentu menggunakan produk cacat mereka sendiri. Uang untuk perutnya sendiri seakan lebih penting daripada nyawa sesamanya. Dimanakah jiwa kemanusiaan itu?

Lebih spesifik lagi, dalam kisah orang Samaria yang baik hati Tuhan Yesus memperdetil hakekat manusiawi yang seharusnya melekat pada semua manusia. Ketika sitanyakan siapakah sesamaku manusia? Yesus menggambarkan dalam sebuah kisah yang menjelaskan bahwa sesama manusia adalah orang yang peduli ketika melihat ada sesamanya mengalami kesusahan dan membutuhkan uluran tangan. Sederhananya, mereka yang tidak memiliki kepedulian seperti imam dan orang lewi tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sesama manusia. Itulah yang namanya manusiawi.

Ahh....Kalau begitu banyak sekali manusia yang sudah tidak memiliki sifat manusiawi. Keegoisan yang melahirkan penderitaan sesama semakin tren di tengah zaman ini. Entah apa yang terjadi. Mungkinkah ada transaksi hakekat antara beberapa manusia dengan beberapa hewan-hewan yang ada di muka bumi ini. Mengapa manusia harus belajar “manusiawi” dari hewan-hewan itu? Mungkin beberapa hewan itu juga harus belajar untuk memiliki jiwa “hewani” dari beberapa manusia. Ironi bukan. So, mari kita sama-sama mengintropeksi diri kita. Khususnya bagi anak-anak Tuhan, mari terus becermin dari Firman Tuhan. Penuhi pribadi kita dengan sifat manusiawi yang semestinya Tuhan kehendaki ada dalam diri kita. Gbu

No comments: