Sunday, July 31, 2011
Penyesalan Yang Terlambat (Luk 16:19-31) #1
Pernahkah saudara mengalami sebuah penyesalan yang terlambat? Dalam pekerjaan misalnya; Kita sedang bernegoisasi dengan seseorang yang begitu kita percayai. Istri dan beberapa kerabat sudah mengingatkan kita untuk tidak melakukan negoisasi dengan orang tersebut. Tapi karena kita terlalu yakin akan diri sendiri, dan tidak menghiraukan peringatan sekitar kita, akhirnya bisnis mengalami kerugian besar. Kita ditipu dan dikhianati...dan kita menyesal; Atau Dalam hal relasi, mungkin kita pernah melontarkan perkataan yang begitu menyakiti orang terdekat kita. Perkataan itu seperti paku yang tertancap dalam dalam hatinya, sehingga sampai saat ini hubungan kita dengan orang itu tidak lagi bisa sedekat dulu. Dan akhirnya kita menyesal, tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dia sudah pergi...hubungan sudah terlanjur rusak; Mungkin juga kita pernah melakukan kesalahan-kesalahan lainnya. Kita sudah diingatkan, tapi kita tidak menghiraukannya. Sampai menuai akibatnya baru kita merasa menyesal. Ada seorang gadis remaja yang begitu menyesali hidupnya. Gadis ini berpacaran dengan seorang pria nakal, yang tidak jelas asalnya. Orangtuanya sudah memperingati dia untuk tidak berhubungan dengan pria tersebut. Tapi dengan angkuh ia berkata bahwa “mama, saya sudah besar, saya bisa menjaga diri saya sendiri”. Namun apa yang terjadi? Beberapa bulan mereka menjalin hubungan, dan akhirnya gadis ini hamil di luar nikah. Setelah hamil kekasihnya langsung meninggalkan dia, tanpa mau bertanggung jawab. Ia menangis dan menyesal. Tapi penyesalan itu sudah terlambat.
Pernahkah kita mengalami penyesalan yang demikian? Sebuah penyesalan yang terlambat. Ketika itu terjadi perasaan kita tentunya sangat tidak enak bukan? Kita ingin memutar kembali waktu yang lalu, namun waktu begitu kejam meninggalkan kita. Kita berupaya memperbaiki semuanya, namun semuanya sudah terlanjur. Tidak ada yang dapat diperbaiki, kecuali memperbaiki rasa sesal itu sendiri. Saya yakin setiap kita pernah mengalami situasi yang demikian. Dan kita berharap situasi itu tidak akan pernah terjadi lagi dalam hidup ini.
Kisah / perikop yang baru kita baca juga berbicara tentang sebuah penyesalan yang terlambat. Saya yakin kisah ini dituliskan juga untuk mengingatkan kita agar kita tidak menyesal sama seperti orang yang berada dalam kisah ini.
Dikisahkan ada dua orang yang begitu berbeda. Yang pertama adalah seorang kaya. Dikatakan ia memakai jubah ungu sama seperti pakaian yang dikenakan oleh orang-orang bangsawan. Kemudian dia memakai kain halus, mungkin semacam sutra, yang tentunya hanya dimiliki oleh orang-orang kaya. Mungkin ia memiliki rumah yang besar. Dikatakan setiap hari dia bersukaria dalam kemewahan. Mungkin hartanya terlalu banyak sehingga dia bisa berpesta setiap hari dalam kemewahan. Tapi walau demikian namanya tidaklah ditulis dalam Alkitab.
Sementara itu orang yang kedua adalah seorang yang sangat miskin. Dikatakan setiap hari ia duduk dipintu gerbang rumah orang kaya itu untuk mencari makan. Biasanya dia hanya menerima remah-remah roti yang jatuh dari meja orang kaya tersebut. Budaya bangsawan pada waktu itu begini: roti akan disediakan untuk menghilangkan lemak yang melengket ditangan mereka. Mungkin mereka baru makan daging bakar yang penuh dengan lemak dan minyak. Jadi untuk membersihkannya, mereka akan melapkan roti itu sebagai penyerap kotoran ditangan mereka. Roti yang hancur menjadi remah-remah itulah yang kemudian dibuang dari meja dan jatuh kelantai. Itulah yang dimakan oleh orang miskin itu. Bukan hanya miskin, tapi ia juga penyakitan. Badannya penuh dengan borok sehingga tiap hari anjing-anjing jalanan menjilat boroknya. Sungguh keadaan yang sangat kontras dengan orang kaya tersebut. Tapi walau demikian orang miskin itu disebutkan namanya. Yaitu Lazarus, yang berarti ‘Allah menolong’. Yang pasti mereka berdua sama-sama orang Yahudi. Orang kaya itu jelas orang Yahudi karena ia mengenal siapa Bapak Abraham. Sedang Lazarus adalah orang Yahudi karena dari namanya jelas adalah nama Yahudi.
Singkat cerita dua orang yang begitu berbeda ini sama-sama meninggal. Baik orang kaya maupun orang miskin itu harus menghadapi realita yang sama, yaitu kematian. Namun perubahan 180 derajat terjadi di alam kematian itu. Lazarus yang dulunya menderita kini bahagia berada dalam pangkuan Abraham. Ia dihitung sebagai orang beriman sehingga ia bisa menikmati Surga bersama dengan Abraham, bapak orang beriman. Sebaliknya orang kaya yang selalu bersukaria dahulu itu sekarang dikatakan menderita sengsara di alam maut. Kini keadaan berbalik. Ternyata kekayaan tidak dapat menjamin sebuah kebahagiaan.
Kalau kita pikir baik-baik, hal apa yang diperbuat oleh orang kaya sampai ia harus mendekap di neraka tempat penderitaan kekal? Dia tidak membunuh, dia bukan seorang pemeras, dia juga bukan seorang penjahat, dsb. Setidaknya Alkitab tidak menuliskan ada kejahatan yang dilakukannya. Satu-satunya kesalahan dari orang kaya ini yang tercatat adalah ketika ia tidak peduli terhadap orang yang membutuhkan uluran tangannya. Ia seorang Yahudi. Sejak kecil orang Yahudi sudah dididik dalam Firman Tuhan untuk mempedulikan orang yang susah. Mereka adalah orang yang beragama. Mereka dididik dimana orang yang diberkati banyak harus memiliki rasa belas kasihan kepada sesama yang membutuhkan. Yesus sendiri pernah mengajarkan bahwa salah satu hukum terutama ialah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tapi orang kaya ini mengabaikannya. Ia mengabaikan Lazarus yang setiap hari duduk didepan pintu rumahnya. Ia mengabaikan untuk memberikan belas kasihan. Dan terlebih, dia telah mengabaikan firman Tuhan untuk mengasihi sesamanya manusia. Memang ada pepatah bahwa diam itu emas. Tapi ketika kita berdiam diri melihat kesusahan orang lain maka itu adalah dosa.
Saya pernah membaca sebuah cerita, dimana ada seorang Bapak yang sedang duduk-duduk santai di sore hari di teras rumahnya, kebetulan di depan rumah ada seorang anak kecil berusia 7 tahun yang sedang main bola sendirian di jalan. Dari jauh ada sebuah kendaraan truk yang melaju agak cepat. Bapak yang sedang santai ini berpikir jika anak ini tidak cepat kembali kerumah atau minggir pasti akan tertubruk oleh truk tersebut. Dan benar...truk yang berjalan dengan cepat itu akhhirnya menubruk anak tersebut. Karena suara tubrukan yang kencak dan teriakan orang sekitar, maka keluarlah ibu anak tersebut dari dalam rumah, sang ibu yang melihat anaknya menggelepar tanpa daya itu lantas teriak dan menangis tidak karuan. Bapak yang duduk itu berkata pada salah seorang tetangga yang keluar untuk melihat: “Tadi saya sudah menduga, kalau anak itu tidak menyingkir pasti akan celaka. Dan benar dugaan saya itu.” Saya kira sikap bapak ini keterlaluan bukan? Sebenarnya bapak ini masih sempat menolong anak itu atau paling tidak berteriak suruh menyingkir. Tapi bapak ini diam saja dan hanya bermain-main dengan prediksinya. Ketika ia diam melihat orang lain yang butuh pertolongan, pada saat itulah dia sudah berbuat dosa.
Kira-kira itulah yang dilakukan orang kaya tersebut. Ia sama sekali tidak bergeming melihat penderitaan Lazarus. Padahal setiap hari Lazarus duduk dipintu gerbang rumahnya. Karena itulah ia menyesal atas perbuatannya selama ini. Kini ia hidup jauh lebih sengsara daripada Lazarus. Jika dulu Lazarus memakan remah-remah roti yang jatuh dari mejanya, kini orang kaya itu meminta setetes air dari jari yang dicelupkan air. Sungguh ironi. Tapi sayang penyesalan itu sudah terlambat. Ia harus mengalami penyesalan seumur hidup.
Saya kira ini juga merupakan peringatan bagi kita. Sebuah peringatan dimana kita diminta untuk tidak berdiam diri ketika melihat orang lain membutuhkan uluran tangan kita. Sebuah peringatan agar kita boleh menyatakan kasih yang bukan hanya dimulut, tapi dengan tindakan yang nyata kepada orang lain. Yakobus sendiri pernah berkata bahwa setiap kita akan dihakimi sesuai dengan perbuatan kita. Memang ketika berbicara tentang keselamatan tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan. Itu anugerah Allah. Tetapi berbicara tentang penghakiman, maka perbuatan kitalah yang akan dihakimi. Karena itu selagi kita masih hidup mari kita nyatakan kasih Kristus melalui hidup kita. Tunjukkan hidup yang menghasilkan buah. Ketika kita hanya mau menerima anugerah, tapi tidak mau membagikan anugerah itu maka kita telah terjebak dalam sebuah tindakan dosa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment