Thursday, April 05, 2007

Seberapa Layakkah Anda

Dia adalah seorang gadis desa yang cantik, energik, semangat, ceria juga smart. Kulitnya sawo matang, rambutnya lurus dan panjang, matanya berbinar-binar, wajahnya tampak bersih dan segar. Usianya pun masih muda belia. Masih 16 tahun. Wajar saja banyak kumbang-kumbang desa yang menginginkannya untuk menjadi kekasih hatinya. Nama gadis tersebut adalah Sri Wulaningsih. Panggil saja Sri.

Sesuai dengan adat di desa itu, setiap anak-anak yang sudah menginjak fase remaja (sudah lulus smp) harus belajar untuk hidup mandiri dan mencari pekerjaan sendiri untuk menghidupi keluarga dan membantu biaya sekolah saudara-saudaranya. Begitu pula dengan sri. Dia harus melangkahkan kakinya keluar dari desa itu untuk pergi kekota yang lebih besar untuk melakoni tugas dan kewajiban yang harus dijalani. Apalagi dia adalah anak sulung sehingga ia menjadi tulang punggung harapan keluarganya.

Segera saja Sri pergi untuk hidup merantau menjauh dari keluarga yang dikasihinya. Karena dia memiliki semangat, keceriaan dan kepandaian maka tidak sukar bagi dia untuk mendapatkan pekerjaan di kota besar. Sri akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di kawasan perumahan elit di Surabaya. Beruntungnya dia karena majikan yang mempekerjakannya adalah seorang Kristen yang baik hati dan yang sungguh-sungguh melakukan setiap Firman Tuhan yang didengarnya. Setiap hari Sri dipersilahkan untuk makan bersama-sama dengan sang majikan di meja yang sama. Tiap-tiap malam Sri boleh menonton televisi 29 inch di ruang keluarga yang biasa dipakai oleh keluarga majikannya. Dia pun diberi serangkaian kunci-kunci di rumah itu sehingga dia bebas masuk keluar rumah sesuka hatinya. Sri juga diberikan kepercayaan untuk mengurus beberapa pekerjaan-pekerjaan dari sang majikan seperti menandatangani surat-surat kerja, menerima barang-barang perusahaan dan sebagainya. Meskipun majikannya memberikan banyak kemurahan kepadanya, majikan itu tetap menuntut Sri untuk memenuhi setiap tanggungjawab-tanggungjawab yang harus dilakukannya.

Namun lama-kelamaan Sri menjadi lupa diri. Dia mulai hidup seenaknya dan sering menunda-nunda pekerjaannya. Ternyata dia sedang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki muda yang tinggal di sebelah rumahnya. Pacaran membuat dia jarang dirumah dan membuat dia seringkali melalaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pembantu. Diapun mulai bergaul dengan teman-teman kekasihnya yang modis dan funky. Sebagai anak muda tentu saja Sri juga ikut terpengaruh. Pergaulannya membuat karakternya semakin egois, keras kepala dan susah diatur sehingga tidak jarang konflikpun terjadi antara Sri dan majikannya. Sebagai seorang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, sang majikan tetap bersabar dalam menghadapi perilaku Sri.

Sampai suatu ketika, pada malam minggu dimana para muda-mudi pada asyik bercumbu, Sri si pembantu rumah tangga ini meminta kepada majikannya agar diijinkan untuk pergi ngeluyur bersama kekasih dan teman-teman kekasihnya untuk merayakan ulang tahun sang kekasih sampai larut malam. Tetapi ternyata keinginannya itu ditolak oleh majikannya, sebab pada hari itu sang majikan sekeluarga harus pergi kota Malang untuk mengunjungi pernikahan saudaranya. Majikannya meminta agar Sri menjaga rumah itu sehari penuh dengan alasan keamanan yang cukup rawan diperumahan elit itu.

Tetapi apa yang terjadi ? Sri marah kepada majikannya. Dia memaksa untuk diijinkan pergi keluar rumah karena ia sudah berjanji pada kawan-kawannya untuk menghadirinya. Tentu saja si majikan tetap menolak permintaannya karena majikan tersebut mempunyai hak untuk menolaknya. Sri pun bertambah marah, dia mengeluarkan kalimat-kalimat bernada protes kepada tuannya, dia mulai berdebat dengan majikannya bahkan sebelum perdebatan itu selesai ia meninggalkan ruangan itu dengan membanting pintu dan pergi begitu saja. Sri sudah lupa bahwa ia adalah pembantu dirumah itu.

Bagaimana pendapat anda ? Mari bersama-sama kita menempatkan diri dalam dua sudut pandang. Yang pertama dari sisi Sri, kemudian dari sisi sang majikan dan terakhir dari sisi pembaca (tokoh netral).

Apa yang terjadi jika kita menempatkan diri kita sebagai Sri ? Mungkin kita akan bersikap seperti dia bukan ? Mungkin kita juga akan marah dan ngambek karena keinginan-keinginan kita tidak dikabulkan. Padahal kita selama ini sudah kerja mati-matian. Kita merasa sudah melakukan banyak jasa bagi majikan kita. Jadi wajar saja jika keinginan kita seharusnya dikabulkan setidaknya sekali ini saja. Kita juga akan protes dan memaksakan apa yang menjadi kehendak kita. Keperluan kita akan terlihat lebih penting dibandingkan dengan keperluan majikan kita. Bahkan tidak mustahil jika kita akan mengajak berdebat serta membanting pintu dan meninggalkan majikan kita begitu saja.

Tapi, bagaimana jika kita berada dalam posisi sang majikan ? Mungkin kita akan naik pitam. Segera saja kita akan mengeluarkan surat pemecatan. Atau mungkin kita lebih memilih untuk diam dan bersabar. Namun pandangan kita sudah mengecap Sri sebagai sesosok pembantu yang tidak tau diri dan tidak tau diuntung. Kita merasa sudah melakukan terlalu banyak untuk dia, tapi dia kok…… wah ! sungguh keterlaluan !.

Kita akan melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Sri tidaklah pantas bukan ? Tidak layak jika seorang pembantu marah, protes dan berlaku tidak sopan kepada majikannya. Apalagi kita sebagai majikannya sudah memenuhi kewajiban-kewajiban kita untuk membiayai dan menghidupi kebutuhan si pembantu. Bahkan kitapun memberikan “bonus plus” kepada dia berupa kepercayaan-kepercayaan dan kesempatan untuk menjadi bagian dalam keluarga kita sang majikan. Seharusnya Sri menyadari kebaikan kita, dan menyadari bahwa dia adalah seorang pembantu dirumah itu.

Dalam relasi kita dengan Tuhan, bukankah kita lebih sering menempatkan posisi kita sebagai Sri ? Begitu sukar bagi kita untuk melihat secara objektif apalagi melihat dari sisi Sang Majikan. Bukankah kita seringkali marah, protes dan mendebat Tuhan ketika kehidupan kita tidak seenak yang kita inginkan dan harapkan atau juga ketika Tuhan berkata “tidak” terhadap doa-doa kita ? Sebenarnya boleh saja kita marah kepada Tuhan. Tuhan tentu tidak akan memberikan becana-bencana atau kutukan-kutukan karena kita memprotes apa yang telah terjadi dalam kehidupan kita. Namun pertanyaannya, apakah layak ? Apakah pantas ?

Sungguh tidaklah pantas jika kita ciptaan Tuhan yang kecil dan terbatas ini melakukan aksi protes kepada Dia “sang majikan” yang menciptakan kita. Sebenarnya kehidupan kita akan menjadi lebih buruk dari kehidupan (baik suka maupun duka) yang kita jalani sekarang jika Tuhan tidak datang kedunia dan menebus dosa-dosa kita. Ketika Dia datang kedunia, Dia sudah membebaskan kita dari dosa-dosa yang membelenggu kita. Dia membeli kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya. Bahkan kita juga diberikan “bonus plus” berupa kesempatan untuk memanggil Dia Abba Bapa. Dia ingin mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya yang sangat dikasihi-Nya. Dan ini semua sudah direncanakanNya dari semula. Rencana-Nya begitu sempurna dalam kehidupan kita.

Seringkali ketika doa dan permohonan kita tidak dijawab bahkan dijawab tidak oleh Tuhan, serta harapan-harapan kita tampak begitu mustahil untuk diraih, dalam benak kita timbul pertanyaan-pertanyaan kritis “mengapa begini ? mengapa begitu ? mengapa dia ? mengapa ? mengapa ? dan mengapa ?” Begitu kritisnya pertanyaan itu sampai-sampai kita sendiri tidak dapat menjawabnya. Dan kemudian kita mulai menyalahkan Tuhan karena segala sesuatu berjalan tidak seperti yang kita harapkan. Namun, adakah pertanyaan yang begitu kritis yang tidak dapat dijawab oleh-Nya ? Tidak ada !! Semua bisa dijawab ! Terkadang Tuhan menjawab “tidak” akan doa-doa kita adalah agar kita dapat belajar beriman dan bersandar penuh kepada rencana-Nya yang terbaik bagi kita.

No comments: