Monday, November 09, 2009

Not Me, Nor You, But We (Mrk 6:30-44) #1



Ss, beberapa minggu yang lalu koran Jawa Pos memberitakan kabar yang cukup mengejutkan. Seorang ibu bersama putrinya yang cacat mengalami tekanan hidup di London. Mereka telah ditinggal oleh suami dan ayah tercinta. Kawasan rumah yang mereka tinggali sangat tidak nyaman. Mereka seringkali mendapat intimidasi dari geng pemuda (rata-rata berusia belasan tahun) di dekat tempat tinggalnya selama kurang lebih 10 tahun. Rumah mereka dikencingi setiap hari. Kebunnya dihancurkan. Putrinya yang cacat diejek. Kadang-kadang Fransesca, putri Fiona ini disuruh untuk membuka pakaiannya secara paksa. Seringkali ia dipukul dan dikurung dalam ruang tertutup. Selama 10 tahun itu juga Fiona sang ibu melaporkan hal tersebut kepada polisi untuk melaporkan perlakuan buruk terhadap keluarganya. Beberapa kali dia juga mengirimkan surat kepada wakil rakyat di DPRD setempat. Namun upaya itu sia-sia. Tidak ada respons. Tidak ada yang peduli.


Akhirnya 30 oktober 2007, mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan membakar diri dalam sebuah mobil. Mengejutkan? Sangat mengejutkan! Kasus ini kemudian diangkat dalam sidang bulan September lalu. Polisi cuma mengucapkan kata penyesalan dan permintaan maaf sedalam-dalamnya karena ketidakpeduliannya kepada keluarga yang ditinggalkan. Penyesalan yang terlambat. Tidak ada lagi yang dapat dilakukan kepada orang yang sudah mati.


Ss, membaca hal ini mencelikkan mata saya. Manusia butuh untuk dipedulikan. Dan karena itu, manusia butuh untuk mempedulikan. Apalagi sebagai seorang Kristen yang mengaku sebagai murid Kristus, kepedulian harus mendarah daging dalam nadi kita. Sebab jika Yesus yang kita katakan sebagai guru begitu peduli terhadap manusia, bahkan musuh-musuhnya sekalipun, maka kita pun harus peduli pada sesama kita yang juga Tuhan pedulikan.


Namun tentu saja ini bukan hal yang mudah bukan? Jangankan peduli dengan orang yang kita kenal, peduli sama temen yang kita kenal aja susah. Kita berkata: “ah kalau aku mempedulikan, lantas siapa yang akan mempedulikan aku?” atau kita berkata “ah aku terlalu sibuk untuk mempedulikan dia, masalahku juga banyak.” Akhirnya tanpa sadar, kepedulian dalam diri kita semakin pudar. Hidup semakin egois dan berfokus hanya kepada aku dan aku serta aku sendiri.


Ss, itulah yang terjadi dalam perikop yang sudah kita baca. Ayat 30 memberitahukan bahwa murid-murid itu baru saja kembali dari pelayanan keliling desa (ayat 6b-13), dengan mengajar, menyembuhkan dan mengusir banyak roh jahat. Dan sudah pasti itu menjadi hal yang sangat melelahkan. Yesus paham dan peduli akan keadaan mereka, sehingga Ia mengajak murid-murid-Nya untuk pergi ke tempat yang sunyi untuk beristirahat.


Kemudian mereka mengambil jalan Laut agar tidak dilihat orang. Sebab jika mereka melewati jalan darat, tentunya akan banyak orang yang mengikuti mereka. Tapi sayang sekali. Rencana menyendiri itu batal. Banyak orang yang melihat mereka dan mengetahui arah tujuannya mengikuti dengan memutari jalan darat. Bahkan dikatakan seluruh kota mengikuti Yesus dan murid-muridnya. Karena memang kehadiran Yesus sangat menghebohkan kawasan Palestina dengan mujizat-mujizat dan ajaran-ajaran-Nya yang sangat menabjubkan. Rencana awal menyediri berubah menjadi kegaduhan. 5000 orang lebih mengikuti-Nya. Mengapa mereka mengikuti Yesus? Alkitab tidak menjelaskan. Mungkin ada di antara mereka yang meminta untuk disembuhkan. Yang pasti ada di antara mereka yang haus akan pengajaran-pengajaran Yesus. Mereka haus akan kebenaran, sehingga Yesus mengajarkan banyak hal kepada mereka.


Hari semakin malam, tapi Yesus tidak berhenti mengajar. Murid-murid yang sudah kelelahan itu kemudian berkata kepada Yesus “Tuhan, Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah mereka pergi, supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa dan di kampung-kampung di sekitar.” Ss, sungguh merupakan alasan yang reasonable. Dengan alasan makanan, dan langit yang sudah gelap, mereka berharap Yesus menghentikan ajaran-Nya dan membubarkan masa. Sebenarnya alasan utamanya ialah karena mereka sudah lelah melayani, namun mereka menutupi alasan utama itu dengan alasan yang lebih masuk akal. Pada waktu itu murid-murid tidak peduli akan domba-domba yang haus akan kebenaran itu, mereka hanya mempedulikan diri mereka yang sudah sangat lelah. Disitulah keegoisan muncul. Perhatian mereka terfokus kepada diri sendiri, dan tidak lagi mempedulikan orang banyak itu.



Ss, bukankah ini juga yang sering kita lakukan. Ketika banyak tugas yang harus kita kerjakan; ketika tanggung jawab pelayanan banyak dibebankan pada kita; ketika kita harus mengejar target-target pribadi; dan sebagainya; lalu kita menjadi lelah, kita capek dengan urusan sendiri. Kemudian kita mulai mencari alasan yang masuk akal untuk tidak lagi mempedulikan sesama kita. Ketika ada orang yang membutuhkan kita, kita berdalih “ah aku lagi banyak kerjaan, nanti aku doakan saja deh”. Atau mungkin kita mengatakannya dengan lembut “Ah, sory, aku lagi ada tugas neh, lain waktu deh kita ngobrol,” tapi kenyataannya lain waktu itu tidak pernah terlaksana. Ss, bukankah ini yang sering terjadi. Ketika kesibukan diri dan kepentingan diri meningkat, disitulah kepedulian berkurang. Fokus terhadap diri memang selalu menjadi musuh besar dari kepedulian.



Ss, bagaimana respon Yesus terhadap pertanyaan murid-murid-Nya? Apakah ia mengatakan “oh ya benar” lalu Ia membubarkan masa? Tidak. Di ayat 37, dengan tegas Ia berkata kepada murid-murid-Nya “Kamu harus memberi mereka makan”. Atau dengan bahasa lain “kamulah yang harus memberikan mereka makan”. Ss, Yesus tidak mengatakan “tenang ada Saya” atau setidaknya memberi tahu rencana-Nya akan melakukan mujizat. Tapi Ia mengatakan “Kamulah yang harus memberikan mereka makan.” Yesus tidak memberikan pilihan lain, tapi Yesus menjadikan itu keharusan. Dengan kata lain, Yesus mengharuskan murid-murid-Nya untuk mempedulikan orang banyak itu. Yesus bukannya tidak peduli akan kelelahan para murid. Namun ia jauh lebih peduli akan banyak orang yang haus dan lapar akan kebenaran. Seorang murid kristus harus peduli dengan keadaan orang lain, tanpa alasan apapun. Ss, ajaran ini senada dengan ajaran Yesus tentang seorang Samaria yang baik hati. Di mana kita di minta untuk menjadi seperti orang Samaria, yang walaupun harus menolong orang yang menjadi musuhnya sekalipun, bahkan dengan harus mengorbankan kepentigannya, ia mau mempedulikannya. Ajaran ini juga sejajar dengan ajarannya dalam hukum terutama yaitu dengan mengasihi Allah dan mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Ajaran ini juga cocok dengan kehidupan Yesus yang selalu mempedulikan orang sakit, orang miskin, bahkan orang yang terbuang. Jika Yesus mau mempedulikan orang lain, maka murid-murid-Nyapun harus belajar peduli kepada orang lain.



Sepertinya amanat ini ditangkap oleh seorang gadis di suatu daerah. Suatu gadis berusia 8 th ini sedang diberikan makanan yang tidak ia senangi oleh ibunya. Anak itu menangis dan menolak, akhirnya ibunya pun menyuruh si ayah untuk membujuknya. Lalu ayahnya mulai membujuk anak itu. Ayahnya berkata : “nak kenapa kamu tidak makan, kamu bikin mama marah loh”. Anaknya hanya diam, lalu ayahnya berkata lagi “nak kalo kamu gak makan nanti kamu sakit, kalo kamu sakit nanti papa mama sedih lho, kamu mau liat papa mama sedih ?” Lalu anak itu mulai berkata “ok pa, saya mau makan tapi papa harus memenuhi permintaanku dulu”. “ok, apa permintaanmu” kata si papa. “Janji dulu pa?” “ok papa janji akan memenuhi permintaanmu, ehmmm, tapi.. jangan minta barang yang mahal-mahal ya” kata ayahnya. Lalu anaknya menjawab “tenang aja pa, gak mahal dan gak susah kok”. Lalu anak itu mulai membisikan permintaan pada papanya. Tiba-tiba papanya terkejut “apa kamu pingin digundulin? Gak mungkin, kamu kan anak perempuan masak mau digundulin?”. Lalu mamanya dan neneknya pun ikut-ikutan marah, mereka berkata “ah gak usah aneh-aneh, mana ada perempuan yang digundulin”. Papanya sekali lagi menegaskan “Tidak bisa!”. Lalu anaknya berkata “pa....papa kan sudah janji.... aku sudah habisin makanannya, masak papa melanggar janji papa?” Lalu papanya berpikir bahwa ia sudah berjanji dan harus menepatinya. Singkat cerita dikabulkanlah permintaan anaknya.


Keesokan harinya disekolah, dengan begitu malu papanya mengantar anaknya yang sudah gundul itu kesekolah. Namun ia terkejut, tiba-tiba ada seorang gadis lain yang kepalanya juga gundul menggandeng tangan anaknya dan masuk ke gedung sekolah. Papanya berpikir dengan terheran-heran “jangan-jangan musim gundul kali ya”. Tiba-tiba ada seorang ibu yang sedang menangis mendatangi sang ayah dan berkata “anakmu sungguh hebat dan mulia, sebenarnya anak saya terkena penyakit kanker leukemia sehingga kepalanya harus digunduli. Lalu dia tidak mau kesekolah karena kepalanya gundul. Tapi karena anak bapak berjanji mau menemaninya dengan kepala gundul, maka anak saya sekarang mau sekolah”. Mendengar hal itu, sang ayah menangis, dan berkata “terima kasih nak, kamu mengajari papa apa itu kasih.” Gadis itu tidak lagi mempedulikan dirinya demi memperdulikan temannya.



Ss, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memperdulikan orang-orang yang ada di sekitar kita? Tahukkah ss, bahwa disekitar tempat saudara duduk sekarang banyak sekali orang yang butuh untuk diperhatikan? Mungkin ss melihat mereka datang dengan tertawa lebar dan senyuman yang manis. Tapi siapa yang tahu jika hati mereka sedang menangis. Ss saya juga pernah muda. Dan saya tahu persis, bahwa rasa sepi, kosong, khawatir, dan cemas seringkali menghinggapi banyak orang muda. Entah masalah-masalah pribadi yang pelik, masalah keluarga, masalah study, keuangan, atau mungkin penyakit-penyakit yang sedang digumulkan. Banyak sekali masalah yang terjadi, yang sebenarnya ingin membuat hati menangis. Disaat itulah, kita sebagai murid Kristus harus saling memperhatikan dan saling mempedulikan. Bukan sekedar dengan kata-kata. Bukan sekedar dengan doa dan rasa simpati. Tapi dengan tindakan kita. Ss, hal mempedulikan ini bukan tugas orang lain, bukan juga tugas pengurus, bukan juga tugas para hamba Tuhan, tapi ini merupakan tugas kita bersama. “Kamulah yang harus memperdulikan mereka... ya... kamu yang harus...”

No comments: