Friday, April 02, 2010

Masukkan Pedangmu (Mat. 26:51-56)



Dalam sepanjang sejarah gereja, kekristenan pernah memasuki masa-masa kelam bahkan dapat dikatakan masa yang terkelam. Sekitar abad 13 M (ketika gereja masih satu) kebenaran Firman Tuhan dibuang oleh gereja dan diganti dengan ajaran-ajaran yang diciptakan sendiri oleh petinggi-petinggi gereja yang sangat mendominasi gereja pada waktu itu. Para imam menyuarakan untuk mengangkat pedang melawan semua orang yang menentang doktrin-doktrin yang mereka buat. Bersamaan dengan itu terjadi jugalah perang salib, di mana dengan berbaju jirahkan salib mereka membunuh orang non Kristen dengan pedang mereka.

Masa-masa itu merupakan masa yang penuh kalbu. Banyak orang Kristen yang menjadi martir karena dibunuh oleh pemimpin gereja sendiri karena dianggap melawan doktrin yang ditetapkan. Orang-orang Kristen sejati malah dibinasakan. Kekudusan, kesalehan, kerendahhatian, dan kemurahan mulai disingkirkan. Para imam menciptakan doktrin yang hanya memuaskan fisik serta status mereka. Setiap orang yang tidak setuju dengan doktrin mereka akan di cap bidat dan kemudian ditangkap. Orang-orang tersebut diberi kesempatan untuk ‘bertobat’ serta bersumpah untuk mengikuti doktrin mereka; jika tidak mau maka pihak gereja akan mengangkat pedang untuk membunuh orang-orang tersebut.

Inilah masa-masa terkelam dalam sejarah gereja. Ketika kekerasan dikumandangkan dan kasih dikandangkan maka gereja tidak lagi dapat disebut sebagai gereja. Gereja dapat dikatakan gagal jika unsur kasih lenyap dari teori yang diajarkan dan praktisi yang dilakukan. Mereka gagal karena mereka lupa bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan yang penuh dengan welas asih. Jika Tuhan yang adalah kepala merupakan Tuhan yang maha kasih maka gereja yang merupakan anggota tubuh itu juga harus memiliki belas kasihan. Karena itulah kasih menjadi hukum yang terutama dari seluruh hukum yang ada. Seluruh oknum yang ada di dalam sebuah gereja wajib / kudu memiliki dan menerapkan kasih.

Bacaan kita hari ini mengajarkan akan hal ini. Semalaman Yesus berdoa dan bergumul berat akan dosa yang harus dipikul-Nya. Sesudah Yesus berdoa, kira-kira ketika hari subuh menjelang pagi, Yesus dan murid-murid-Nya didatangi oleh serombongan besar orang yang membawa pedang dan pentung. Awalnya murid-murid tidak tau apa maksud kedatangan orang-orang tersebut. Namun dengan pentung dan pedang yang terdapat di tangan mereka, kira-kira murid-murid sadar bahwa akan terjadi tindakan kekerasan waktu itu. Memang itulah yang terjadi. Setelah Yudas mencium Yesus, beberapa pengawal yang membawa pedang segera menangkap Yesus. Para murid menjadi panik. Sehingga ada salah satu dari mereka (dalam kitab Yohanes disebutkan namanya, yaitu Petrus) langsung berusaha membela guru sekaligus raja mereka dengan melibaskan pedangnya dan mengenai telinga hamba imam besar sampai putus. Tetapi tindakan itu tidak berkenan di mata Yesus sehingga Ia menegur Petrus dengan keras.

Jika kita perhatikan, ada perbedaan antara sikap yang ditunjukkan oleh Petrus sebagai murid Yesus dengan harapan Yesus tentang bagaimana seorang murid Yesus seharusnya bersikap.

Petrus memberikan contoh seorang murid yang fanatik. Ia membalas kekerasan dengan kekerasan. Ketika musuh membawa pedang, ia pun menggunakan pedangnya untuk melawan. Ia menjadikan dirinya seperti seorang pengawal kerajaan dunia yang sedang membela rajanya. Sehingga cara yang dilakukanpun adalah cara dunia, yaitu kekerasan dibalas dengan kekerasan. Tindakan Petrus seakan-akan merupakan bukti kesetiaannya kepada Tuhan.

Namun sayang Yesus tidak mengkehendaki pembelaan seperti itu. Yesus memberikan contoh bagaimana sikap mengasihi. Ketika pengawal yang bertentengkan pedang menangkap Tuhan Yesus dengan kekerasan, Yesus malah menyembuhkan telinga orang tersebut. Padahal siapakah pengawal imam itu? Mungkin ia adalah orang yang sangat membenci Yesus. Tetapi Yesus tetap konsisten dengan pengajaran yang pernah diberikan-Nya “kasihilah musuh-musuhmu.” Yesus membalas kekerasan dengan kasih. Itu perbedaan yang pertama. Petrus dengan fanatik menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan, namun tidak mengenakan kasih yang merupakan inti ajaran Tuhan Yesus.

Saudara, saya pernah membesuk seorang anak remaja yang terbaring di rumah sakit. Dia terkena penyakit yang cukup aneh sehingga kakinya menjadi lumpuh. Kita mengunjungi dia untuk menguatkan dan memberikan penghiburan kepadanya. Namun tiba-tiba kita kedatangan seorang ibu yang tidak dikenal. Ia langsung masuk dan berkata “bolehkah saya mendoakan anda? Apakah saudara agama Kristen?” Anak remaja itu mengatakan iya. Kemudian karena sesama Kristen maka kami membiarkan ibu itu masuk untuk mendoakan anak pemuda tersebut. Kami pikir tidak ada masalah, toh sama-sama percaya sama Tuhan. Tapi sebelum berdoa ibu ini bertanya “kamu sakit apa? Oo, lumpuh ya. Itu pasti karena kamu sudah berbuat dosa. Kalau lumpuh ini biasa hubungannya karena kamu suka tidak hormat sama orang tua. Terus kamu pasti juga berkumpul sama teman-temanmu yang nakal. Kamu harus bertobat!.” Mendengar ucapan ibu ini saya sangat terkejut. Dan sejujurnya saya marah, apalagi setelah melihat anak remaja itu tampak semakin tertekan. Seakan-akan sudah jantu tertimpa tangga. Ibu ini semangat dalam melayani Tuhan dengan memasuki setiap kamar di RS satu persatu. Namun jika semangat itu tidak diimbangi kasih buat apa.

Sebuah pelayanan, kesetiaan, atau pengorbanan kita untuk Tuhan, jika tidak diikuti dengan kasih Kristus maka kita menjadi sama seperti Petrus yang begitu fanatik namun tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki Yesus, yaitu kasih. Karena itu jika kita melayani mari kita melayani dengan kasih. Jika kita memimpin mari kita memimpin dengan kasih. Jika kita berkorban, mari kita berkorban karena kasih. Jika kita setia, mari kita dasarkan kesetiaan itu dari kasih kita. Kita sebagai murid-murid Kristus jangan pernah kehilangan apa yang namanya kasih. Jika kita sudah tidak memiliki kasih, mungkin kita harus bertanya “apakah sungguh saya adalah murid Kristus?”

Perbedaan yang kedua adalah perbedaan dalam ketaatan. Petrus dan Tuhan Yesus sama-sama menjalankan sebuah ketaatan. Namun perbedaannya ketaatan Petrus didasari atas kepentingannya dagingnya sendiri sedangkan ketaatan Yesus dilakukan atas kehendak Bapa.

Dalam bayangan Petrus, seorang Mesias seperti Yesus harus bertahta menjadi raja sama seperti Daud. Yesus tidak boleh mati. Yesus harus bertahta. Karena itu Petrus membela Petrus mati-matian. Petrus lupa bahwa sudah 4 kali Yesus memberitahukan bahwa seorang Anak Manusia akan diserahkan dan mati dikayu salib. Ss, tentu juga masih mengingat ketika Yesus mengatakan bahwa Ia akan menderita dan diserahkan kepada imam-imam; Petrus segera menarik tangan Yesus dan berkata “Tuhan kiranya Allah menjauhkan hal itu. Hal itu tidak akan menimpa Engkau.” Tapi Tuhan menengking Petrus secara keras dengan perkataan “enyahlah Setan.” Petrus tidak dapat menangkap apa yang menjadi kehendak Allah. Dia hanya taat terhadap konsep yang diciptakannya sendiri.

Tapi bukan ketaatan seperti itu yang dikehendaki Tuhan. Ketaatan kepada kehendak Allahlah yang dikehendaki-Nya. Saudara, bukannya Yesus tidak dapat melawan kekerasan dengan kekerasan. Betapa mudahnya bagi Dia untuk membinasakan semua orang tersebut. Dikatakan bahwa Ia bisa memanggil lebih dari 12 pasukan malaikat. Pasukan ini dalam bahasa Yunani di sebut juga Legion. Dalam budaya Romawi, 1 legion memiliki 6000 prajurit. Jadi jika Yesus mengumpakan ada lebih dari 12 legion malaikat maka diperkirakan ada lebih dari 72.000 pasukan malaikat. Dalam Yesaya 37:36 seorang malaikat Tuhan dapat membunuh 185.000 tentara Asyur. Ini menunjukkan bahwa 1 malaikat memiliki kekuatan yang sangat besar. Dengan 72.000 malaikat maka seluruh dunia pun tidak ada yang bisa melawan Tuhan. Pembelaan Petrus menjadi tidak ada artinya bukan?

Tapi sekali lagi, bukan hal itu yang menjadi tujuan Yesus datang ke bumi. Yesus datang ke dunia untuk memenuhi kehendak Bapa sekaligus menggenapkan nubuatan kitab suci, yaitu kehendak Bapa agar Ia menyelamatkan manusia melalui kematian-Nya di atas kayu salib. Itulah sebabnya Ia tidak melawan sama sekali ketika Ia ditangkap. Karena memang sejak semula itulah yang menjadi tujuan-Nya ke dunia ini. Yaitu untuk tujuan keselamatan. Inilah ketaatan kepada kehendak Bapa. Dan ketika Ia disalib, itulah puncak dari ketaatan Yesus.

Saudaraku, Yesus sudah mati bagi kita. Ia telah menunjukkan sejak semula akan kasih-Nya yang besar kepada manusia. Sehingga ia menjalankan ketaatan-Nya kepada Bapa. Dia taat walau ia harus menderita. Ia taat walau Ia harus terpisah dari sang Bapa. Ia taat kepada kehendak Bapa-Nya. Sekali lagi itu karena kasih-Nya yang sangat besar bagi kita.

Peristiwa pemotongan telinga di taman Getsemani ini memberikan pelajaran penting bagi setiap kita. Yang pertama mari kita syukuri akan karya kasih dan ketaatan-Nya. Kasih dan ketaatan-Nya membawa kita terlepas dari segala dosa. Mari kita berysukur atas semua karya-Nya bagi kita. Syukurilah dengan menjadi murid-murid yang serupa dengan Dia. Milikilah hati yang penuh kasih. Mari kita jalani kehidupan kita dengan penuh kasih. Melayanilah dengan penuh kasih. Lakukanlah segala sesuatunya dengan dasar kasih. Bukan hanya dengan kasih, mari kita lakukan panggilan kita dengan ketaatan. Bukan ketaatan kepada visi golongan atau visi pribadi kita, tapi mari kita taat sesuai dengan kehendak Bapa. Apa yang menjadi kehendak Bapa, yang telah difirmankan-Nya dalam Alkitab, itulah yang kita taati. Biarlah kita boleh menjadi murid-murid Tuhan yang berkenan dihadapan-Nya. GBu

No comments: