Monday, August 30, 2010

Behind The Negative Word (Yeremia 38:1-6)




“Kamu pasti bisa! Yakin Hidup Sukses! Kamu pasti menang!” merupakan beberapa ungkapan favorit yang sangat digemari akhir-akhir ini. Dalam teori kepemimpinan tampaknya kata-kata seperti ini sering tergema. Optimisme mutlak dan percaya diri berarus positif menjadi syarat utama bagi seorang pemimpin. Sebaliknya sikap pesimistis merupakan sebuah batu sandungan yang harus dienyahkan dari harddisc otak kita.

Salah satu buku karya Rhonda Byrne “The Secret” yang didukung oleh Jack Canfield (penulis Chicken Soup) dan Oprah Winfrey (seorang ratu talkshow) juga mengatakan bahwa sebuah kesuksesan dapat diraih melalui pikiran kita. Pikiran merupakan sebuah magnet yang dapat menarik apa saja yang kita inginkan. Tentunya semua itu didapat dengan pikiran yang positif. Melalui pikiran positif kita dapat mendapatkan dan mengubah segala sesuatu. Sebaliknya pikiran negatif adalah sebuah ancaman bagi sebuah kesuksesan. Keberhasilan buku ini menjadi the fastest selling book memberi konfirmasi kepada kita akan general agreement terhadap pandangan di dalamnya.

Dalam dunia kedokteranpun kata-kata positif sangat bermanfaat untuk kesembuhan. Tersebar isu dimana pasien yang bermentalkan “saya pasti sembuh” akan lebih mudah ‘direparasi’ dari pada pasien yang bermentalkan “Saya pasti mati.” Tak heran beberapa dokter menyarankan kepada pasiennya agar tidak berpikir yang buruk mengenai masa depannya. Hidup harus punya harapan, karena itu hidup harus diisi dengan pikiran-pikiran positif.

Saya kira kita semua sepakat dengan hal ini. Perbendaharaan kata-kata positif harus lebih ditingkatkan dan sebisa mungkin kata-kata negatif dimasukan dalam recycle bin guna membentuk dunia yang lebih baik. Saya pun setuju dengan pandangan ini, yang sudah umum dikumandangkan dalam percakapan sehari-hari, pelatihan-pelatihan kepemimpinan, dan status-status motivasi via facebook dan sms.

Namun saya menemukan sebuah pemaknaan yang sedikit berbeda ketika membaca kitab Yeremia 38:1-6. Yeremia yang merupakan nabi Allah memiliki tugas untuk menyampaikan apa yang menjadi pesan Allah kepada umat. Tentu saja seorang nabi yang baik harus mengungkapkan apa yang Allah ungkapkan tanpa memperhalus bahasa, mengurangi, apalagi menambahkan apa yang Allah katakan, sehingga suara nabi itu sama dengan suara Tuhan.

Nah, dalam perikop ini nabi Yeremia sedang menyuarakan suara Tuhan kepada Israel. Waktu itu Israel sedang dalam keadaan terdesak oleh gempuran Babel. Babel yang mulai berkembang menjadi negara adikuasa, berusaha mengeskpansi diri dengan menjajah bangsa-bangsa disekitarnya termasuk Israel. Israel menjadi seperti anak ayam dihadapan serigala buas yang hendak menyantapnya. Ditengah kondisi yang terpojok seperti ini tentunya umat Israel membutuhkan kata-kata motivasi dan dukungan semangat yang ekstra untuk dapat bertahan dan berjuang dalam mempertahankan diri. Mereka mengharapkan para pemimpin, termasuk para nabi untuk menyuarakan kata-kata yang berbau positif.

Tapi apa yang dikatakan oleh Yeremia? Apakah perkataan positif yang dilontarkan? Tidak! Di ayat 2 Yeremia menubuatkan demikian “Beginilah Firman Tuhan: Siapa yang tinggal di kota ini akan mati karena pedang, karena kelaparan dan karena penyakit sampar; tetapi siapa yang keluar dari sini mendapatkan orang Kasdim (orang Babel), ia akan tetap hidup. Nyawanya akan menjadi jarahan baginya dan ia tetap hidup.” Dengan kata lain Yeremia menyuarakan kepada Israel untuk menyerah kepada Babel. Kehidupan didapatkan malah ketika mereka mengangkat bendera putih dan membiarkan diri diperbudak oleh negeri Babel. Sama sekali tidak ada kata-kata motivasi yang bisa menyegarkan sendi-sendi bangsanya yang sedang terpojok. Dorongan untuk menyerah tentu saja akan semakin memperlemah moral umat Israel.

Tampaknya perkataan Yeremia bukanlah sebuah usul yang baik. Kebanyakan pihak menganggap bahwa tindakan memperlemah moral merupakan sebuah pengkhianatan. Yeremia dianggap bersekutu dengan Babel karena menyuarakan pengangkatan bendera putih. Tak heran dia mengalami pemenjaraan yang ketiga (dalam perikop ini) karena ucapan-ucapan negatifnya. Nubuatnya kalah dengan nubuat tandingan dari nabi-nabi lain yang mengumandangkan kata-kata positif “Kamu pasti menang, jangan khawatir, Allah besertamu.”

Namun sejarah menunjukkan bahwa nubuat Yeremialah yang merupakan suara Tuhan. Mereka yang tidak mau menyerah kepada Babel nyatanya harus menyerahkan nyawanya dengan menggenaskan. Justru mereka yang ditawan kenegri Babel tetap di biarkan hidup. Setidaknya keadaan mereka jauh lebih baik daripada mereka yang menuruti suara-suara nabi palsu itu.

Disini kita menemukan bahwa ternyata dibalik kata-kata negatif dapat mengandung sebuah kebenaran yang signifikan. Kata-kata berbau negatif terkadang bisa merupakan suara Tuhan yang harus ditaati. Tentu saja suara negatif dari Tuhan memiliki tujuan yang positif. Dalam konteks ini, perintah untuk menyerah ke negeri Babel bertujuan untuk pembentukan umat Israel sendiri yang sudah hidup jauh dari Tuhan. Menyerah kepada Babel malah berarti berserah kepada kehendak Tuhan.

Aplikasi praktisnya ialah jangan pernah kita menjadi antipati dengan kata-kata negatif dengan menutup telinga erat-erat. Walau acapkali kata-kata negatif mengundang kejatuhan mental, namun bukan berarti tujuannya akan selalu buruk. Ada kalanya mental kita harus dihancurkan terlebih dahulu untuk mengikis kesombongan yang ada dalam diri yang dapat menghambat pertumbuhan kerohanian kita. Ada kalanya juga mental kita perlu dijatuhkan agar kita dapat lebih bersandar dan berpaut kepada Tuhan. Sometimes behind the negative word bring a goodness for us.

So....bagaimana bila kata-kata itu bersoar-soar di telinga kita? Pertama mari kita menyambutnya dengan hati yang lapang. Kedua, minta hikmat Tuhan untuk menimbang apakah perkataan-perkataan negatif itu seiring dengan apa yang Tuhan ingin katakan kepada kita. Ketiga, jika tidak sesuai belajarlah untuk mengabaikan kata-kata itu. Tapi jika itu benar mari kita belajar rendah hati menerima kenyataan dan minta pertolongan Tuhan untuk menguatkan kita keluar dari kenyataan yang berat tersebut. Terakhir, buatlah kata-kata tandingan yang positif agar tidak berlarut dalam keadaan down. Misalkan ada kata-kata yang kita dengarkan ialah “Kamu pasti akan gagal,” bisa ditandingkan dengan kata-kata “Walau aku gagal kali ini, namun kegagalan-kegagalan itu akan mengantar kepada kemenangan kelak.” Ingat, kata-kata positif itu bukan sebagai pengganti, namun sebagai tandingan. Dengan demikian kita dapat mengolah kata-kata negatif itu dalam diri kita dengan bijak, dan kita dapat bertumbuh semakin serupa Kristus. Sekali lagi, dibelakang kata-kata negatif bisa tersimpan sebuah kebenaran, mari dengan hikmat kita mengolah kata-kata negatif itu, bukan menolaknya.

No comments: