Tuesday, August 03, 2010

Beri Terbaikmu (Mark 12:41-44) #1



Setiap perusahaan atau pelayanan jasa seringkali memiliki sebuah slogan. Salah satu slogan yang menarik perhatian saya dari sebuah perusahaan yang pernah saya kunjungi berkata demikian “Kami selalu memberi yang terbaik.” Slogan ini terpampang disetiap sudut ruangan, baik di xbanner, di poster, brosur, dan di mana-mana. Namun demikian walaupun slogan itu berkata “kami selalu memberi yang terbaik” tetap saja ada orang-orang yang tidak puas dengan pelayanan perusahaan itu. Mereka berkata “Pelayanan ini kok gak ada, kerjaannya kok mengecewakan, pelayanannya tidak ramah, atau perusahaan ini tidak menjamin; gini kok katanya selalu memberi yang terbaik?” Beberapa melontarkan nada-nada kekecewaan didalamnya. Di sisi yang lain ada orang-orang yang puas dengan pelayanan dari perusahaan itu. Dari sini saya mengamati bahwa ternyata apa yang dianggap terbaik menurut seseorang belum tentu dianggap terbaik menurut orang lain. Seseorang bisa merasa sudah memberikan sebaik-baiknya, namun orang lain menganggap kita belum memberi yang terbaik.


Sebuah pertanyaan ketika melihat tema HUT kita sepanjang minggu ini “beri terbaikmu”, apakah kita sudah memberi yang terbaik untuk Tuhan? Mungkin kita berpikir bahwa kita sudah memerikan yang terbaik selama ini. Kita sudah mengambil bagian dalam pelayanan, kita memberikan persembahan dan perpuluhan, kita datang tiap minggu kegereja, bahkan kita sudah terlibat dalam kepengurusan. Lalu kita berkata “Tuhan saya sudah memberi yang terbaik.” Namun pertanyaan selanjutnya yang perlu kita pikirkan “Apakah menurut Tuhan pemberian saudara sudah merupakan pemberian yang terbaik?” Jangan-jangan kita merasa sudah memberi yang terbaik selama ini, namun Tuhan sebagai objek yang diberi menganggap bahwa kita belum memberi yang terbaik.


Lantas bagaimana kita tau bahwa kita sudah memberikan yang terbaik bagi Tuhan? Dalam perikop yang sudah kita baca, kita dapat mempelajari pemberian terbaik seperti apa yang diharapkan oleh Tuhan. Janda dalam kisah ini sudah menunjukkan kepada kita.

1. Pemberian Yang Terbaik Adalah Pemberian Tidak Berfokus Pada Diri Sendiri


Dalam memberi bisa saja tersisip motif-motif pribadi untuk medapat keuntungan pada diri sendiri. Ada pemberian sebagai bentuk sogokan; Ada pemberian supaya ia mendapat pemberian yang lebih dari orang yang diberi; Ada pemberian untuk memperalat orang; Ada juga pemberian untuk menguasai orang lain; dsb. Kebanyakan orang memberi dengan maksud yang tidak murni. Pemberian itu seakan-akan tulus untuk kebaikan orang lain, padahal tujuan utamanya adalah untuk kebaikan sang pemberi sendiri. Namun di poin ini saya ingin mengatakan bahwa sebuah pemberian yang terbaik adalah pemberian yang tidak berfokus kepada kepentingan diri sendiri.


Janda tua ini telah menunjukkannya. Ia memberi tanpa berfokus pada dirinya sendiri. Pemberiannya hanya ditujukan kepada Tuhan yang ia sembah tanpa embel-embel dibelakangnya. Bagaimana kita dapat mengetahuinya? Mari kita amati sejenak kondisi seorang janda pada waktu itu.


Kondisi perempuan zaman itu berbeda dengan kondisi sekarang. Pernah ada lagu yang melantunkan “wanita sejak dulu dijajah pria.” Jika lagu ini dinyanyikan di zaman ini saya kira sudah tidak terlalu cocok. Wanita sudah memiliki posisi yang cukup kuat. Gerakan feminisme berkembang subur disana-sini. Hak-hak wanita pun semakin hari semakin diperjuangkan. Namun ungkapan dalam pujian ini sangat cocok jika dilantunkan pada zaman Yesus. Zaman itu masih menggunakan sistem patriakal dimana eksistensi perempuan tidak dihargai. Perempuan merupakan masyarakat kelas dua dalam strata sosialnya. Sebab itu Paulus tidak memperkenankan mereka untuk mengajar karena alasan otoritas. Dalam bait Allah pun para wanita memiliki tempat untuk beribadah dibelakang para pria. Penyebutan jumlah orang di kitab Injilpun cukup menunjukkan hal ini, mis: penyebutan ‘5000 orang laki-laki’, perempuan jarang terhitung sebagai kumpulan masyarakat. Karena itu gaji mereka hanya separuh dari gaji pekerja pria. Jadi bisa dibayangkan betapa bergantungnya para perempuan-perempuan yang hidup di zaman ini terhadap suaminya. Harkat dan penghidupan mereka sangat bersandar dari keberadaan suaminya.


Perempuan dalam perikop ini merupakan korban dari sistem tersebut. Dikatakan bahwa ia berstatuskan janda yang berarti ia sudah tidak memiliki suami. Tentu saja kehidupannya sangat merana. Ditambah dengan sistem patriakal yang menyebabkan perjuangan yang ekstra keras untuk memenuhi kebutuhannya. Lebih parahnya, kalau kita baca di ayat 40 para rohaniawan yang menamakan diri sebagai ahli Taurat sering memakan rumah janda-janda yang tidak berdaya. Mungkin ia adalah salah satu korban para ahli Taurat itu. Tak heran jika Alkitab mengatakan ia sebagai seorang janda yang miskin. Kata miskin yang dipakai di sini “ptochos” memiliki makna keberadaan seseorang yang benar-benar miskin dan sangat bergantung kepada orang lain. Inilah keadaan janda tersebut: seorang janda yang kesepian, miskin, menderita dan tidak berdaya.


Namun menariknya, dalam keadaanya yang demikian ia masih memberikan persembahannya kepada Tuhan. Padahal janda ini berada dalam keadaan yang sukar. Ia sendiripun memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus ia penuhi. Namun ia memilih untuk mempersembahkan seluruh harta yang dimilikinya. Persembahan yang dilakukan pada waktu itu merupakan persembahan sukarela. Ia bisa saja berkata kepada Tuhan “Tuhan saya sudah tidak punya uang, kali ini gak usah persembahan dulu ya” atau mungkin dia bisa saja berkata “Tuhan saya kasih 1 keping saja ya, inikan sudah separuh dari miliku. Orang-orang kaya itu belum tentu dapat memberikan separuh hartanya.” Tidak, Ia lebih memilih untuk memberikan seluruhnya kepada Tuhan. Fokusnya yang pertama jelas tertuju kepada Tuhan.


Jika kita meneropong lebih jauh lagi, persembahan itu biasa akan digunakan sebagai diakonia untuk menolong mereka yang kekurangan. Dalam keadaannya yang begitu miskin ia masih mampu memberi kepada orang miskin lainnya. Selain kepada Tuhan fokusnya juga tertuju kepada sesamanya. Sedikitpun tidak ada fokus untuk dirinya sendiri. Ketika seorang memberi tanpa berfokus kepada diri sendiri maka pemberian tersebut dapat dikatakan sebagai pemberian yang terbaik.


Saat ini ada banyak produk yang menawarkan sebuah pemberian yang tampaknya menarik namun ternyata ada embel-embelnya. Ada kartu hp yang memasang iklannya besar-besar “GRATIS telpon ke mana saja”. Wah tampaknya begitu menarik dan memikat. Namun ternyata disudut bawah ada bintang kecil dengan keterangan “berlaku setelah menit kesekian.” Artinya pemberiannya tidak sepenuhnya gratis. Karena itu kita kalau membaca iklan perhatikan bukan apa yang menjadi tulisan utamanya saja, perhatikan juga tiap tulisan-tulisan kecil yang biasa tercantum disudutnya. Pernah juga saya melihat penjual langsat yang menulis besar-besar dikertas dengan spidol demikian “Cuman Rp. 3000 /kg”, namun dibawahnya ada tulisan kecil dengan pensil ¼ . Tentu saja orang yang sudah datang sungkan untuk tidak membeli. Pemberian yang ditawarkan ternyata tidak murni. Tetap ada embel-embel untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Fokus pemberian tetap kepada keuntungan pribadi. Yah, mungkin dalam perdagangan itu sikap yang wajar. Yang tidak wajar ialah ketika anak-anak Tuhan melakukan hal yang sama ketika memberikan sesuatu kepada Tuhan.


Saya kira ada banyak orang-orang Kristen yang melakukan hal demikian kepada Tuhan. Dalam pemberian kita kepada Dia, entah itu persembahan, pelayanan, atau ketaatan kita, seringkali kita masih berfokus pada diri sendiri. Mungkin kita memang giat melayani, namun motif dibalik itu adalah agar kita memperoleh banyak berkat dan perhatian dari Tuhan. Ada juga orang yang memberi persembahan dengan catatan pinggir bahwa Tuhan akan membalas berlipat ganda. Ada embel-embel di balik pemberian kita kepada Tuhan. Ujung dari pemberian seperti ini hanyalah kenikmatan kepada diri kita sendiri. Ketika hal itu terjadi maka di mata Tuhan itu bukan lagi sebagai pemberian yang terbaik. Mari kita belajar dari janda itu. Ditengah kondisi yang sukar; ditengah kemiskinan dan kesepian yang melandanya; dan sudah layak jika ia banyak berpikir tentang penghidupannya; ia tetap memberi dengan fokus kepada Tuhan dan pelayanan terhadap sesama. Orang yang memberi tanpa berfokus pada diri tidak akan pernah mengeluh walaupun banyak kesulitan yang menimpa dia. Ia tidak akan berkata “Tuhan, bukankah aku sudah memberi dan melayani Engkau? Mengapa ini masih menimpa kepadaku?”


Walaupun kita sendiri disergapi dengan berbagai kebutuhan hidup yang tak habis-habisnya, mari kita belajar memberi kepada Tuhan dengan fokus untuk kepentingan Tuhan dan sesama. Sebenarnya justru di saat kita mengalami perkara sulit dalam hidup, saat itulah hidup kita akan teruji, apakah kita benar-benar sudah memberikan yang terbaik dalam hidup kita. Karena itu jika kita memberikan persembahan, mari kita berikan itu untuk pekerjaan Tuhan. Dan jika kita melayani, mari kita melayani untuk kemuliaan Tuhan. Mari kita belajar seperti Yohanes yang berkata “Dia harus makin bertambah, sedangkan aku harus makin berkurang.” Pemberian yang tidak berfokus pada diri sendiri inilah yang merupakan pemberian terbaik di mata Tuhan.

No comments: