Wednesday, August 11, 2010

Jika Yang Tertinggal Hanyalah Sebuah Komitmen. . . .



Setiap tahun angka perceraian di Indonesia semakin bertambah. Orang semakin mudah menceraikan pasangannya tanpa perasaan bersalah. Sepertinya pernikahan bukanlah suatu hal yang sakral lagi. Ikatan perjanjian yang dilantunkan pada mulanya hanya seperti sebatang lidi yang begitu mudah untuk dipatahkan. Pasangan dianggap seperti sebuah pakaian yang bisa di ganti-ganti sewaktu-waktu sesuai dengan selera. Jika ditanya alasan mengapa menceraikan pasangannya, beberapa dari mereka menjawab dengan sangat simpel “Aku sudah gak ada rasa” atau “Aku sudah tidak cinta dia lagi, jika tidak cinta bagaimana bisa meneruskan hubungan.” Dengan kata lain, kasih dalam rumah tangga mereka sudah menjadi luntur, tidak seperti dulu ketika pertama kali mereka pacaran. Inilah yang menyebabkan mereka memutuskan untuk bercerai.


Namun demikian ada juga beberapa orang yang memilih untuk tetap mempertahankan hubungan dan kesakralan pernikahan mereka. Padahal kasih di tengah keluarga itu juga sudah luntur. Yang tertinggal hanyalah sebuah komitmen. Ya....Hanya sebuah komitmen. Sementara kasih itu sendiri sudah pudar. Bagi mereka lebih baik begitu daripada memutuskan untuk bercerai. Komitmen menjadi alasan satu-satunya untuk melanjutkan hubungan mereka. Yang tertinggal hanyalah sebuah komitmen.


Namun apakah hubungan seperti ini baik dalam sebuah keluarga? Dapatkah sebuah keluarga bertumbuh dengan baik tanpa ada kasih yang hangat seperti sedia kala? Saya tidak bisa membayangkan jika sebuah keluarga tidak lagi memiliki kasih semula yang berapi-api di dalamnya. Dingin, kaku, dan suasana hambar akan tercipta ditengah-tengah keluarga itu. Mungkin mereka masih melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti dahulu; mungkin mereka masih sering pergi makan bersama; mungkin mereka masih tidur bersama dan segala sesuatu mereka lakukan bersama. Tapi hubungan itu sendiri sudah menjadi hambar. Saya kira sebuah hubungan yang tidak lagi memiliki kasih bukanlah sebuah hubungan yang sehat.


Demikian juga hal nya dengan relasi kita dengan Tuhan. Ketika relasi anak-anak Tuhan dengan Tuhan yang tertinggal hanya sebuah komitmen maka hubungan itu sudah menjadi hubungan yang tidak sehat. Jemaat Efesus pernah ditegur Tuhan karena hal ini. Padahal mereka melakukan pelayanan mereka dengan giat. Dikatakan bahwa mereka adalah orang yang tekun, dan berjerih payah. Mereka mengerjakan tugas-tugas mereka tanpa mengenal lelah. Tidak ada tugas dan pelayanan yang terbengkalai. Mereka membenci kejahatan. Secara doktrin pun mereka sangat kuat. Mereka bisa menguji apakah ajaran yang diberikan seseorang itu benar atau salah. Hal itu tidak mengherankan karena di sana ada sekolah teologi yang cukup terkenal yang bernama Tiranus. Pemahaman teologi jemaat Efesus sudah sangat mendalam. Saya kira betapa membanggakannya jika mempunyai jemaat seperti ini (dibanding gereja saat ini jika diadakan program PA pasti peminatnya sedikit). Ditambah lagi di ayat 3 dikatakan bahwa jemaat Efesus rela menderita demi nama Tuhan. Dengan kata lain mereka rela menanggung salib yang harus mereka pikul seperti yang diperintahkan Tuhan. Wow.... Betapa mengagumkannya memiliki jemaat yang seperti ini. Karena hal inilah jemaat Efesus yang dipuji oleh Tuhan.


Walau demikian Tuhan menegur keras mereka. Apa penyebabnya? Dengan jelas di ayat 4 dikatakan karena mereka telah meninggalkan kasih yang semula. Bahasa Inggris menterjemahkannya sebagai first love. Memang mereka giat melayani, memang mereka tekun bekerja tanpa mengenal lelah, memang mereka membenci tindakan-tindakan kejahatan, memang mereka memiliki pemahaman yang tinggi akan FT, dan memang mereka tabah dan sabar untuk memikul salib menderita bagi Kristus; namun semuanya itu tidak lagi dilandaskan oleh kasih seperti pertama kali yang mereka lakukan untuk Tuhan. Kasih itu tidak lagi berapi-api dan terasa mulai hambar dalam jemaat Efesus. Yang tersisa hanyalah sebuah komitmen. Komitmen yang tidak diiringi dengan kasih yang semula.


Karena itu Tuhan menegur mereka. Bukan dengan teguran yang biasa, namun dengan teguran yang sangat keras. Di ayat 5 Tuhan berkata “Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukan lagi apa yang semula engkau lakukan.” Tuhan tidak mengatakan “ayolah, upayakan lagi agar kamu memiliki kasih mula-mula,” kata-kata teguran yang diungkapkan begitu tegas “Bertobatlah....Betapa dalamnya kamu telah jatuh.” Kehilangan kasih dalam pelayanan bukanlah suatu kesalahan ringan, sehingga Tuhan meminta mereka sebuah pertobatan dan kembali ke jalan yang semestinya. Memang setiap pelayanan dan relasi dengan Tuhan yang tidak lagi didasari kasih maka pelayanan itu tidak lagi berkualitas. Paulus berkata dalam 1 Kor 13:1 “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.” Kasih harus menjadi dasar yang tidak boleh kita tinggalkan dalam pelayanan dan relasi kita dengan Tuhan. Tanpa kasih sebenarnya kita sama juga dengan sebuah apel yang tampak segar dan harum, namun setelah di makan dalamnya ternyata busuk penuh dengan ulat.


Setiap kali merenung hal ini seringkali seringkali saya menjadi sedih dan mengangis. Jujur dalam kehidupan pelayanan dan relasi dengan Tuhan, saya sadari bahwa seringkali saya telah kehilangan kasih itu. Kesibukan, rutinitas, masalah-masalah, dan banyak faktor lain yang membuat saya kehilangan kasih semula itu. Bahkan terkadang terlalu banyak membaca buku tentang dunia Alkitab bukannya membuat hati ini semakin mengasihi Tuhan melainkan malah membuat hati menjadi kering. Sehingga yang tertinggal hanyalah sebuah komitmen, tanpa ada rasa kasih. Saya tetap bisa melayani, bahkan bisa menyibukkan diri dalam pelayanan; tetapi tidak lagi dengan kasih yang berapi-api. Namun saya bersyukur kepada Tuhan. Berkali-kali kebenaran FT dan kejadian-kejadian dalam hidup ini membuatku tersadar dan menggerakkan hati yang beku ini untuk boleh mengasihi seperti kasih semula yang pernah kurasakan.


Bagaimana dengan saudara? Sekian tahun mengikut dan melayani Tuhan, apakah kasih yang semula itu masih ada dalam diri kita. Masih adakah perasaan yang berkobar-kobar, semangat untuk memuji Tuhan, dan kerinduan untuk bersaksi, sama seperti pertama kali kita memutuskan untuk percaya kepada Tuhan? Atau mungkin kasih itu sudah menjadi hambar? Jangan-jangan kesibukan, masalah, dan rutinitas mencuri perasaan kasih itu sehingga yang tertinggal hanyalah sebuah komitmen. Sehingga semua pelayanan, ibadah, kebiasaan doa dan saat teduh itu hanya menjadi program dan kewajiban yang tidak dilandasi oleh kasih. Jika kita berada dalam posisi itu, berarti betapa dalamnya kita sudah jatuh. Tuhan mengkehendaki kita bertobat dan kembali memiliki kasih yang semula. Mari kita kembali menemukan kasih yang hilang itu. Hangatkan kembali hati yang beku. Jadikan kasih yang murni kepada Tuhan itu sebagai dasar setiap pelayanan kita.

No comments: