Saturday, March 19, 2011

KOPASUS (Komando Pasukan Kristus) #2



2. Seorang prajurit itu taat dan rela bekorban

Penguasaan diri itu berkaitan erat dengan ketaatan. Setiap prajurit dididik untuk selalu taat kepada atasannya. Bahkan dalam dunia militer, ketaatan itu bersifat mutlak 100%. Jika tuannya mengkehendaki prajuritnya untuk melakukan A maka sang prajurit harus melakukan A. Jika tuannya mau prajuritnya melakukan B, maka prajurit itu wajib melakukan B. Bahkan kalau tuannya mengatakan bahwa ia harus berada di garis depan dalam peperangan, ia tetap harus taat kepada perintah tuannya. Entah perintah itu menyenangkan entah perintah itu tidak menyenangkan seorang prajurit harus tetap taat.

Karena itu ketaatan membutuhkan hati yang rela untuk bekorban. Dalam perikop yang kita baca ia katakan kepada Timotius untuk siap menderita sebagai prajurit Kristus. Bukan hanya siap untuk menderita, Paulus pun meminta ia untuk tidak memusingkan kehidupannya seperti seorang prajurit. Tujuannya satu: Yaitu menyenangkan hati komandannya.

Paulus sendiri menjadikan dirinya sebagai prajurit Allah. Ia berusaha agar dirinya dapat selalu taat akan kehendak Allah. Dalam panggilannya ia berusaha untuk pergi ke tempat yang Tuhan inginkan dia pergi. Paulus melakukan segala yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Bahkan dalam ketaatan itu ia mengatakan bahwa ia harus berjerih lelah. Ia harus dipenjara, dipukul, didera di luar batas, beberapa kali naywanya terancam, dilempari batu, mengalami karam kapal, terkatung-katung di atas laut, bahya dipadang gurun, bahkan ia mengatakan kalau ia tidak tidur, kelaparan, kehausan, dsb. Bahkan sejarah mencatat pada akhir hidupnya Paulus mati dengan kepala terpenggal karena membela Kristus. Demi ketaatan terhadap perintah Allah kepadanya, Paulus rela bekorban. Paulus sungguh-sungguh menjadikan dirinya sebagai prajurit Kristus.

Mengapa ia mau taat dan rela bekorban? Alasannya Cuma 1, karena Yesus sudah terlebih dahulu bekorban untuknya, bahkan taat sampai mati dikayu salib. Paulus menghayati anugerah yang diberikan itu begitu besar untuk hidupnya. Karena itulah Paulus tidak mau menjadikan anugerah itu tampak murah. Iapun mati-matian bekorban untuk Tuhan.

Beberapa waktu yang lalu saya membeli buku yang bercerita tentang seorang misionaris Afrika yang bernama David Livingstone. Ketika saya membaca buku itu saya terkagum-kagum dengan ketaatannya. Sejak berusia 27 tahun ia memutuskan untuk pergi bermisi ke Afrika untuk menginjili disana. Melakukan penginjilan di Afrika sangatlah sukar. Pertama benua itu penuh dengan penyakit dan hewan-hewan buas. Kedua, David belum mengetahui tempat itu sama sekali. Bahkan belum ada peta yang bisa menuntun perjalannya. Ketiga, ia sama sekali tidak bisa bahasa Afrika. Ada banyak lagi tantangan yang seakan menyuruhnya untuk berhenti melayani. Disana ia pernah ditikam singa sampai tanggannya buntung sebelah. Kemudian sakit penyakit mendera dia. Dari malaria, demam tinggi, kolera, sampai borok-borok yang membuatnya kakinya pincang. Lebih tragisnya, salah satu anaknya meninggal karena terkena penyakit demam yang ganas disana. Meninggalnya sang anak membuat istri dan anak-anaknya yang lain diungsikan ke Inggris. Semenjak itu ia tidak lagi pernah berjumpa anak-anaknya. Perasaan sepi, tidak ada yang menemani, hidup sebagai orang asing saya kira kerap menimpa dirinya. Bahkan ketika anak-anak sudah mulai besar, dan ketika istrinya memutuskan untuk mengikuti perjalanan suaminya, hanya beberapa bulan setelah istrinya datang, ia pun dipanggil Tuhan karena penyakit yang ganas. Semua itu pasti sangat menyesakkan hatinya. Sebenarnya ia memiliki pilihan untuk mundur dari pelayanannya. Ia bisa kecewa kepada Tuhan. Ia pun dapat marah dengan Tuhan. Ia bisa saja berkata “Tuhan, kalau tau begini hidup saya mendingan saya tidak usah datang ke Afrika.” Tapi ia tidak mengatakan hal itu. David tetap taat menginjili, dan rela bekorban sampai mengakhiri hidupnya disana. David Livingstone sudah menunjukkan kepada kita bagaimana hidup sebagai prajurir Kristus yang taat dan rela bekorban.

Bagaimana dengan kita? Seberapa jauh kita taat akan perintah Tuhan bahkan rela bekorban untuk Tuhan? Ga usah jauh-jauh berpikir untuk mati bagi Tuhan; dalam keseharian hidup kita seberapa jauh kita bekorban untuk Tuhan? Seberapa banyak waktu yang kita berikan untuk Tuhan? Seberapa banyak pikiran kita diberikan untuk memikirkan pekerjaan-pekerjaan Tuhan? Atau jangan-jangan kita sibuk dengan bisnis, kuliah, dan urusan pribadi kita. Kemudian seberapa banyak uang yang kalian sediakan untuk pekerjaan Tuhan? Seberapa banyak tenaga, hati, dan kekuatan yang kita curahkan untuk Tuhan? Seorang prajurit yang menghargai anugerah Tuhan adalah seorang yang taat dan rela bekorban untuk Tuhan.

3. Seorang prajurit yang setia terhadap tuan-Nya

Ciri seorang prajurit berikutnya ialah: ia harus memiliki kesetiaan terhadap tuannya. Jika kita lari pagi di jalan Jendral Sudirman, kawasan para tentara, kita akan menemukan sebuah tulisan yang mengatakan “Setia sampai akhir.” Kopasus (Komando pasukan khusus) sendiri memiliki slogan yang sangat menarik yang mengatakan “Lebih baik tinggal nama daripada gagal tugas.” Dengan kata lain, bagi seorang prajurit lebih baik mati daripada mundur dalam peperangan. Semua ini menunjukkan bahwa kesetiaan merupakan prinsip yang penting yang harus dipegang oleh seorang prajurit.

Sebagai prajurit-prajurit Kristuspun kita diharapkan untuk selalu setia kepada Tuhan selaku pimpinan kita. Kesetiaan merupakan sesuatu yang diinginkan oleh Tuhan. Berkali-kali Firman Tuhan menyuarakan kepada setiap umatnya untuk setia. Nabi Mikha pernah menyuarakan isi hati Tuhan dalam Mikha 6:8 “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?”. Tentu kita masih mengingat tentang perumpamaan 5, 2, dan 1 talenta bukan? Kepada orang yang punya 5 dan 2 talenta dipuji Tuhan karena mereka mengembangkan talentanya. Menariknya dalam pujian itu Tuhan berkata “Baik sekali perbuatanmu itu hai hambaku yang baik dan setia!”. Pujian Tuhan diberikan kepada mereka yang setia. Sama seperti seorang suami yang menginginkan istrinya tetap setia, demikianlah Tuhan mau setiap prajurit-prajurit-Nya setia kepada komandan-Nya. Karena itu sebagai prajurit-prajurit Kristus kita harus setia kepada Tuhan. Seperti yang Paulus katakan di akhir ayat 4 bahwa seorang prajurit itu mencari perkenanan komandannya. Demikianlah kita mencari perkenanan Tuhan dengan berlaku setia.

Memang tidak ada nilai yang lebih tinggi daripada kesetiaan. Seorang bisa dihormati karena kedudukan dan kepandaiannya. Namun tidak ada orang yang lebih dihargai dan dihormati daripada seorang yang setia. Suatu ketika ada perlombaan lari yang diikuti oleh beberapa peserta. Ketika bunyi dor berbunyi, semua pelari langsung berlari sekuat-kuatnya dan secepat-cepatnya untuk meraih garis finish. Tiba-tiba ditengah-tengah pertandingan itu ada seorang peserta yang terkilir kakinya. Hal itu membuat ia berlari setengah pincang. Tentu saja dalam waktu sekejap ia ditinggal oleh pelari yang lainnya. Dan semakin lama jarak dengan pelari lainnya semakin jauh. Sampai di detik-detik terakhir di mana beberapa pelari telah mencapai garis finish, ia masih tetap berlari. Penonton sudah mengejek dia dengan berkata “sudahlah berhenti saja, kamu sudah kalah, gak usah dipaksa lagi, nanti kakimu tambah parah.” Namun menariknya meskipun banyak orang yang menyindirnya, pelari yang terkilir ini tetap terus berlari. Bahkan ketika semua peserta telah memasuki garis finish, ia tetap masih berlari seorang diri. Ia tidak kenal lelah. Penonton pun mulai tersentuh. Hingga akirnya ia memasuki garis finish, lalu terdengarlah tepukan tangan dari penonton. Mereka menghargai perjuangan pelari yang terkilir itu. Seusai pertandingan, pelari tersebut ditanya “mengapa anda tetap berlari, padahal anda sudah pasti kalah?.” Lalu ia menjawab “saya berlari bukan untuk sekedar menang. Tujuan saya berlari hanyalah untuk mencapai garis finish dengan baik. Walaupun semua orang menyuruh saya untuk berhenti, walaupun kaki saya terluka, saya tidak peduli, yang penting saya mencapai garis finish dengan segala yang ada pada diriku. Itulah yang pelatih saya perintahkan kepadaku.”

Saudara....Tuhanpun menginginkan kita untuk tetap setia. Memang si jahat tidak akan senang ketika kita melayani Tuhan. Ia akan menggoda dan menggocoh kita untuk tidak lagi setia kepada Tuhan. Bisa saja kita diuji dengan penderitaan dan kesengsaraan. Mungkin kita diberi sakit penyakit, atau mungkin orang yang sangat kita sayangi dipanggil Tuhan. Kita tidak mengerti mengapa Tuhan mengijinkan ini terjadi. Jika saudara yang tertimpa penderitaan itu, apakah saudara akan tetap setia? Ada juga anak-anak Tuhan yang diberi banyak masalah dalam hidupnya.
Masalah keluarga, gesekan dengan rekan kerja, masalah dalam bisnis, atau masalah dengan pasangan hidup dsb. Lantas kemudian masalah-masalah itu acapkali membawa kita semakin jauh sama Tuhan. Kita lebih sibuk mengurusi persoalan-persoalan kita. Kemudian kita tidak lagi kegereja dan tidak lagi melayani. Ada orang yang karena disindir sama rekan kerja lantas sakit hati dan tidak mau kegereja. Apakah ada saudara juga yang demikian? Saudaraku, setialah melayani dan bekerja bagi Tuhan. Setia bukan berarti tidak pernah jatuh dan gagal. Namun orang yang setia adalah orang yang terus bangkit ketika ia telah terjatuh dan terus berusaha untuk lebih baik lagi sampai akhirnya ia mencapai garis finish. Kepada orang-orang yang setia melayani Tuhan berkata “Baik sekali engkau hambaku yang baik dan setia.....turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”

Jadilah anggota Kopasus (komando pasukan Kristus) yang berkenan dihadapan Tuhan. Mari kita kuasai diri kita dengan menjaga kekudusan hidup ini. Mari kita taat kepada perintah komandan kita. Lakukan yang Ia perintahkan....dan jangan lakukan yang Ia larang. Dan terakhir....mari kita setia melayani untuk Tuhan. Karena itulah yang berkenan dihadapan Tuhan. Amin

No comments: