Saturday, April 09, 2011

Memandang Muka




Pada tahun 2003 saya memutuskan untuk ke Jogja bersama dengan beberapa temen deket. Itu merupakan kepergian saya yang pertama kali ke kota seni tersebut. Karena itu dalam waktu yang singkat itu saya berusaha untuk bisa mencicipi semua kekhasan yang ada disana. Di hari pertama kami langsung memutuskan untuk menaiki dokar khas Jogja yang cukup ramai menghiasi jalan-jalan disana. Bukannya tidak ada kendaraan, namun lebih kepada kerinduan menikmati budaya di kota itu. Dengan dokar yang ditarik seekor kuda yang gagah, kami berkeliling kota membeli oleh-oleh, ke malioboro, dan kebebapa tempat tertentu yang cukup populer dikalangan nasional. Sampai hari menjelang siang akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di ayam goreng Sri yang sudah ternama. Karena tidak ada parkir khusus dokar maka kamipun harus berjalan cukup jauh untuk makan ditempat yang ramai itu.

Ketika kami sudah puas menikmati ayam goreng yang gurih tersebut lantas kamipun bergegas untuk pulang. Tetapi hujan deras mendadak mengguyur kota itu. Kamipun terpaksa menunggu sejenak, karena tidak ada satupun dari kami yang membawa payung. Namun tatkala kami menunggu, muncullah seorang bapak yang cukup ramah dengan senyum khas jogja membawakan payung besar dan menghampiri kami. Melihat ada peluit tergantung di dadanya, tahulah saya bahwa ia adalah seorang tukang parkir. Dengan ramah ia berakat "Mari saya antarkan ke kendaraan bapak." Tanpa sungkan-sungkan kamipun menerima tawarannya sambil berkata trima kasih. Ia kembali bertanya "Naik apa pak?". Saya menjawab "Naik kuda pak." Iapun terus mengantar kami. Namun lama-kelamaan kami terus berjalan jauh dari tempat parkiran itu. Ia pun semakin penasaran dan bertanya lagi "Pak dimana kendaraannya?" Kami menunjuk kearah dokar kami dan berkata "Itu pak, kami naik dokar." Segera saja mukanya berubah jadi tidak ramah dan berkata "owalah, saya kira naik mobil jenis kuda" Sesegera itu juga ia meninggalkan kami ditengah jalan sehingga kami kehujanan. Teman saya menjadi emosi dan berkata "Asem....perlu tak keluarin mobilku a?"
Saya kira inilah gambaran tentang sifat manusia pada umumnya. Sepertinya mata yang kita miliki ini lebih suka memandang seseorang dari penampilan dan apa yang tampak luar. Mungkin kita pernah mengalami atau mendengarkan teman kita berkata "kenapa ya, pertama kali lihat orang itu aku sudah ga suka. Lihat modelnya aja sudah muak?" dsb. Atau ketika kita ingin membeli sebuah buku, kita cenderung akan menilai buku tersebut bagus atau tidak berdasarkan sampul bukunya. Jika saudara pernah mengalami hal-hal itu atau yang serupa dengan ini maka jelaslah bahwa kita manusia lebih suka menilai apa yang tampak luar. Itu perkara yang manusiawi.
Pertanyaannya apakah sikap memandang muka itu cocok diterapkan bagi orang Kristen? Bagaimana sikap kita semestinya terhadap naluri-naluri yang membawa kita menilai seseorang berdasarkan penampilan luarnya? Mari kita lihat kembali kepada kebenaran Firman Tuhan yang baru kita baca dalam surat Yakobus barusan.

Surat Yakobus ini dituliskan kepada orang-orang kristen Yahudi yang sedang merantau di luar palestina. Entah bekas tawanan, entah karena kemauan sendiri, yang pasti mereka sekarang sudah tidak lagi di kampung halaman mereka. Orang-orang Kristen perantauan ini biasa dikenal oleh orang-orang nonkristen sebagai orang-orang yang beriman. Dengan alasan inilah Yakobus menuliskan surat ini. Yakobus ingin mengingatkan setiap umat Kristen bahwa orang beriman itu bukan sekedar status saja, namun harus ditunjukkan dalam perbuatan dan sikap hidup sehari-hari.

Salah satu sikap yang bertentangan dengan iman itu ialah sikap memandang muka. Ayat 1 dengan jelas dikatakan "Saudara....sebagai seorang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka." Sikap memandang muka jelas tidak sesuai dengan iman Kristen. Yakobus memberi contoh, dimana ada seorang yang masuk ke dalam kumpulannya dengan memakai cincin emas dan pakaian indah. Lalu si tuan rumah langsung memberikan tempat yang terhormat dan dengan ramah menghargai orang itu. Namun ketika ada orang yang datang dengan pakaian yang buruk, tuan rumah itu langsung tanpa sungkan-sungkan menegur "Berdiri disana! Atau duduk di lantai ini dekat dengan tumpuan kakiku (posisi seorang budak)" Yakobus menganggap sikap tuan rumah itu tidak pantas, karena dengan demikian ia sudah menghakimi sesamanya sendiri.
Sikap memandang muka adalah sikap yang menghakimi. Karena itu di ayat 9 Yakobus mengatakan "Jikalau kamu memandang muka maka kamu berbuat dosa." Sikap memandang muka dipandang sebagai dosa oleh Yakobus. Karena menghakimi itu merupakan perbuatan dosa, maka sikap memandang muka tentunya jugalah merupakan sebuah dosa.

Namun sebenarnya yang menjadi alasan utama ialah: dengan memandang muka kita tidak lagi meneladani Kristus. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang memandang rupa. Di kitab Samuel, Allah befirman "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." Bahkan di Yakobus 2:6 ini Yakobus menegaskan bahwa Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia untuk menjadi kaya dalam iman, bahkan menjadi ahli waris kerajaan Allah. Bukankah hal itu yang Tuhan lakukan kepada kita. Ia mati dan menyelamatkan setiap manusia tanpa memadang siapa kita, apa jabatan dan status kita. Jika Tuhan hanya mau menyelamatkan orang yang baik dan kaya serta berstatus, ada berapa banyak orang yang Kristen yang tidak dapat masuk dalam kerajaan Surga. Namun tentunya Tuhan tidak melakukan hal tersebut. Salib yang selalu kita lihat di gereja adalah bukti bahwa Yesus mengasihi kita tanpa batas.

Bukan hanya dalam hal penyelamatan, dalam memanggil umat-Nya dalam pelayanan pun Yesus tidak mencari orang yang high quality (yang punya banyak kemampuan, kaya, berjabatan, dsb) Tidak! Di Alkitab Tuhan memakai para pelayan yang miskin seperti Petrus dkk. Ia juga memanggil seorang pemungut cukai yang hina seperti Matius. Iapun memanggil orang yang licik seperti Yudas. Bahkan Ia masih mau memakai pembunuh orang Kristen seperti Paulus. Jika Tuhan memandang muka, semua orang itu termasuk kita tidak akan pernah layak untuk melayani. Namun sekali lagi bersyukur kepada Tuhan karena Ia tidak pernah memandang muka. Karena itu jika Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak memandang muka, maka kita sebagai anak-anaknya pun sudah semestinya menjauhi sikap memandang muka tersebut.

Berbicara tentang memandang muka ini saya suka dengan sebuah cerita demikian. Suatu ketika seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University. Mereka meminta janji. Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada disana. "Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard" kata sang pria lembut. "Beliau hari ini sibuk" sahut sang Sekretaris cepat. "Kami akan menunggu", jawab sang Wanita. Selama empat jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya. "Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi", katanya pada sang Pimpinan Harvard. Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya mulai muncul. Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata kepadanya, "kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu,dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, disuatu tempat di kampus ini. Bolehkah?" Tanya nya, dengan mata yang menjeritkan harap. Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. "Nyonya", katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan". "Oh, bukan", Sang wanita menjelaskan dengan cepat,"Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard". Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung?! Kalian perlu memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard". Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan. Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California. Di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi dipedulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di Amerika Serikat.

Marilah kitapun tidak melakukan sikap demikian. Selain penilaian dari luar kebanyakan menipu, Alkitab pun mengatakan bahwa sikap memandang muka tidak sesuai dengan sikap seorang Kristen, bahkan hal tersebut merupakan perbuatan dosa. Tapi bagaimana caranya? Bukankah penilaian itu secara alami timbul dalam pemikiran kita? Saya kira sejauh penilaian itu muncul pertama kali dalam diri kita, itu belum masuk dalam dosa. Namun jika penilaian itu sudah berbuah menjadi perbuatan yang tidak adil dan membeda-bedakan, itulah dosa. Karena itu mari kita belajar untuk mengikuti kata hati kita. Mungkin hati secara otomatis membuat penilaian terhadap sesama kita. Namun mari kita belajar untuk menyangkal diri, dan mencoba tidak mengikuti penilaian hati, sampai kita sungguh-sungguh mengenal orang tersebut.

No comments: