Saturday, June 18, 2011

TUHAN ITU BAIK




Di SAAT tempat saya belajar teologi, saya memiliki beberapa kawan yang cukup dekat. Salah satunya bernama Paul. Sejak awal bertemu dia kesan pertama yang didapatkan ialah HUMBLE. Ia seorang yang begitu rendah hati. Orangnya sabar, jarang marah, ringan tangan, dan suka mendengarkan keluhan teman-temannya yang penuh dengan masalah. Biasanya saya sering menggoda apa yang menjadi kekurangannya. Paul memiliki rambut yang beti (bener-bener tipis). Acapkali setiap kali lewat didepannya saya sering berteriak “argghh,, help silau-silau”. Atau kadang saya bercanda demikian ketika malam hari “Paul, gelap neh, temenin dong, gua butuh cahaya kepalamu”. Kadang juga saya katakan “Paul, pinjem bentar dong, gua mau becermin neh”. Setiapkali saya menggodanya, ia hanya tersenyum dan tertawa menikmati candaan itu. Ia tidak berdaya untuk membalasnya. Entah terlalu baik atau terlalu polos, sehingga ia tidak bisa memikirkan kata-kata balasan untuk menggoda saya. Sampai saya kasian sama dia dan memberitahukan kekurangan saya yang terletak pada gigi yang artistik (berantakan) dan kadang mulut saya agak monyong. Dia senang sekali dan besoknya ia pun mulai menggoda saya, dan kami akhirnya selalu balas-balasan menggoda acapkali bertemu.

Dari goda menggoda itu ternyata membawa kami kepada tingkat pershabatan yang lebih dalam. Saya sempat ke Jakarta dan menginap dirumahnya. Ia menjemput saya dari rumahnya dengan sepeda motor pinjaman, dan saya duduk dibelakang membawa koper selama kurang lebih 1,5 jam. Semenjak itu kami mulai membicarakan rencana pelayanan kami di kemudian hari. Membagikan outline kehidupan. Saya merencanakan kapan sekolah lagi, 10 tahun depan rencana mau bagaimana, ia juga merencanakan kapan akan menikah, dsb. Kami berbagi visi misi pelayanan kami.

Namun sayang, visi yang direncanakannya ternyata tidak terealisasi. November lalu dia sering mengalami demam yang tinggi. Dan setelah di cek ternyata Paul divonis terkena kanker darah yang mematikan. Saya cukup terkejut ketika mendengar berita itu di Makassar. Tapi apa daya, yang bisa saya lakukan hanya berdoa untuk dirinya. Saya bertanya “Tuhan, kenapa ya, Paul orang yang baik, dia punya hati untuk melayani Tuhan. Khotbahnya pun pernah memberkati banyak orang. Mengapa ia harus tidak berdaya karena kanker ini?” Sesekali mengirimkan pesan untuk menguatkan, sekali-kali menelepon untuk memberi penghiburan. Keadaannya pun makin hari makin memburuk. Ketika balas-membalas mengirim pesan saya pernah bertanya kepada dia “Paul, bagaimana perasaanmu saat ini, tidakkah kamu bertanya kepada Tuhan mengapa ini terjadi terhadap dirimu?” “Apakah kamu kecewa sama Tuhan?” Dan tidak kusangka-sangka jawabannya dia sederhana “Fong, Tuhan itu baik.... Dia terlalu baik buat saya.” Dan saya pun tidak dapat berkata-kata lagi. Beberapa minggu setelah kami bercakap-cakap, akhirnya pada akhir bulan Mei, sahabat saya dipanggil oleh Tuhan.

Terus terenung dalam benak saya perkataan Paul “Tuhan itu baik Fong”. Dia mengatakan bukan dikala ia mau menikah. Ia mengatakan itu bukan saat pelayanannya dipakai secara luar biasa. Ia mengatakan itu juga bukan ketika berkat-berkat materi menghampiri dia. Tapi ia mengatakan hal itu justru ketika ia hampir selesai mengerjakan skripsi, dan dengan semangat membara hendak melayani Tuhan, namun harus berdiam karena terserang kanker. Apa yang dipikirkannya tentang Tuhan? Setelah saya berpikir-dan berpikir, saya baru sadar bahwa Paul telah mengenal Tuhannya dengan baik. Dia kenal jelas siapa Tuhan, dan ia tahu Bapa yang ia miliki tidak pernah salah bekarya dalam kehidupannya. Karena itu ia katakan “Tuhan itu baik Fong.”

Saya kira iman ini juga yang dimiliki oleh Ayub. Kita tahu bahwa Ayub adalah salah seorang manusia berdosa yang mengalami penderitaan paling parah, baik dalam Alkitab, bahkan mungkin di sepanjang zaman. Dalam waktu sekejap ia kehilangan kekayaan, kesehatan, bahkan semua keluarganya. Kesepuluh anaknya mati, dan istrinyapun meninggalkannya. Adakah penderitaan yang begitu hebat yang dialami oleh manusia berdosa? Hampir-hampir tidak ada. Saya kira Ayubpun bertanya-tanya kepada Tuhan. Mengingat bagi orang timur tengah pada waktu itu, bahwa kehilangan harta, tertimpa bencana, dan mati muda itu merupakan kutukan Tuhan atas dosa seseorang. Ironinya Ayub tertimpa ketiga-tiganya. Ia kehilangan harta, ia tertimpa bencana, bahkan anak-anaknya mati muda. Saya kira Ayub segera mengintropeksi dirinya waktu itu apakah ada dosa yang ia sedang lakukan? Atau jangan-jangan ada dosa yang tidak ia sadari ia sudah lakukan? Tapi jika ada, ia sudah sering memberikan korban bagi Tuhan untuk dosa-dosa yang mungkin tidak ia ketahui. Dan setelah merenung lebih lanjut, akhirnya Ayub menemukan bahwa dirinya tidak pernah melakukan sesuatu yang menyakitkan hati Tuhan.

Di saat seperti itu bukankah semestinya Ayub dapat bertanya kepada Tuhan? Ya jelas. Sama seperti seorang anak yang bingung dapat bertanya kepada ayahnya apa yang terjadi. Bahkan semestinya wajar jika Ayubpun menjadi kecewa sama Tuhan. Tapi sangat menarik, bahwa ucapan yang diberikannya di ayat 21 “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan.” Ayub seakan berkata “apapun yang terjadi Tuhan tetap baik, karena itu aku memuji-Nya.” Sementara itu respon istrinya berbeda. Ia marah sama Tuhan dan kecewa lantas menyuruh Ayub untuk mengutuki Tuhan. Istri Ayub hanya mau menerima yang baik dari Tuhan, tapi tidak mau menerima jika ia harus menghadapi kesusahan dan penderitaan. Karena itu ia mengutuki Tuhan.

Kemampuan Ayub untuk tetap memuji Tuhan dalam penderitaan yang dialaminya tidak lain karena ia memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan. Ia dengan jelas mengenal siapa Tuhan yang ia sembah. Di ayat pertama narator menjelaskan “Bahwa Ayub adalah seorang yang saleh dan jujur, ia hidup takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” Pengenalan akan Tuhanlah yang memampukannya untuk memuji Tuhan bahkan di saat keadaan tersulit sekalipun.

Acapkali beberapa orang Kristen memilih untuk merespon kesusahan, pengujian dan penderitaan yang ia alami seperti istri Ayub. Mereka kecewa sama Tuhan, marah, bahkan mundur untuk menjadi orang kristen. Mungkin ada juga yang tidak seekstrim itu. Mereka tidak sampai mengutuki Tuhan, mereka masih pergi ke gereja, tapi sudah tidak ada lagi hati untuk Tuhan, tidak mau pelayanan, juga tidak mau bersaat teduh dan melakukan doa pribadi sebagai bukti kekecewaan mereka. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang belum mengenal siapa Tuhan seutuhnya. Karena itu mereka kecewa, mereka mundur dari pelayanan, dan perlahan mulai meninggalkan Tuhan.

Namun orang yang sungguh mengenal Tuhan, ia akan tetap melihat kebaikan Tuhan walaupun ia harus melewati lembah yang kelam, dan walau ada perkara berat (entah kesusahan, penderitaan,dsb) yang menimpa dirinya. Ia tetap dapat berkata seperti Ayub “Terpujilah nama Tuhan.” Dan ia akan tetap dapat berkata seperti kawan saya Paul “Tuhan itu baik”.

Tipe yang manakah diri anda ketika meresponi penderitaan? Tipe istri Ayub...atau tipe Ayub? Yang mudah kecewa dan ngambek sama Tuhan, atau yang tetap dapat melihat kebaikan Tuhan di dalam semua kesusahan yang engkau hadapi. Milikilah pengenalan akan Tuhan yang lebih intim lagi, supaya kita tetap dapat tersenyum menghadapi masa yang paling susah sekalipun, karena kita tau bahwa ada Tuhan yang begitu baik ada bersama dengan kita.

No comments: