Tuesday, November 29, 2011

Bersama Tuhan Pasti Bisa (1 Samuel 17) #3




Namun walau ‘raksasa’ itu tidak bisa kita hindari, respon untuk menghadapinya ada di tangan kita. Kalau kita melihat dari kisah ini kembali kita melihat bahwa walaupun raksasa yang dihadapi oleh umat Israel sama dengan raksasa yang dihadapi oleh Daud, tapi respon mereka berbeda. Pasukan Israel termasuk raja Saul memilih untuk menghadapi raksasa itu dengan berdiam diri. Mereka membiarkan ketakutan menguasai hati dan pikiran mereka. Bayangkan saja, kurang lebih selama 40 hari Goliat menentang umat Israel dan mengintimidasi mereka dengan perkataan-perkataan yang merendahkan. Tetapi selama 40 hari itu juga umat Israel tidak bergeming, dan selama 40 hari itu juga umat Israel mengalami ketakutan. Dimana pasukan Israel yang terkenal gagah perkasa, yang pernah mengalahkan bangsa-bangsa, dan yang ditakuti oleh bangsa-bangsa lain? Dimana Saul yang merupakan raja Israel, yang ketika dipilih menjadi raja dikatakan bahwa dari bahu sampai kepala ia lebih tinggi daripada semua orang Israel; yang katanya sudah membunuh beribu-ribu orang? Dimana kakak-kakak Daud yang terkenal gagah dan bertalenta itu? Tidak ada! Semuanya tidak bergerak. Nyali mereka seakan lenyap. Dan mereka membiarkan Goliat mengintimidasi mereka setiap hari, setiap malam, dan ketakutan itu mungkin sudah merasuki mimpi mereka setiap hari. Mereka lupa bahwa mereka memiliki Tuhan yang jauh lebih perkasa dari pada Goliat. Mata mereka hanya tertuju kepada masalah tersebut. Mereka melihat masalah itu lalu mereka memandang pada diri sendiri. Karena itu mereka tidak berani. Karena mereka merasa bahwa diri mereka terlalu kecil untuk Goliat.

Tapi respon dari Daud berbeda. Melihat ada tantangan dan raksasa yang mengintimidasi umat Israel, Daud tidak mau tinggal diam dan terus dibayang-bayangi oleh Goliat yang menakutkan itu. Saya kira mata Daud memandang juga kepada raksasa itu, dan ia melihat juga ada masalah yang besar. Dan saya kira iapun memandang pada dirinya, dan menemukan bahwa dirinya bukan siapa-siapa bagi Goliat. Dari postur tubuh jelas-jelas bagai bumi dan langit. Daud masih terlalu muda, sampai-sampai ketika dimasukin baju perang, baju perang itu menutupi seluruh tubuhnya.; dari perlengkapan perang jelas-jelas ia mendapati bahwa perlengkapannya kalah sakti dibanding senjata dan baju perang goliat, dan dari pengalaman saya kira Daud masih terlalu hijau, sementara Goliat sudah sangat matang. Ditambah lagi orang-orang sekitar yang meremehkan dia. Kakaknya seakan berkata kepada dia “Buat apa kamu kemari, Aku tau kamu pasti punya niat busuk, gak usah sok jago deh”. Bukan hanya kakaknya Eliab, tetapi Saul rajanyapun meremehkan dia dengan berkata “Kamu masih hijau dan muda, sedangkan dia waktu masih muda sudah berlatih keras.” Daud pun diremehkan oleh rajanya sendiri. Dan ketika ia berhapapan dengan Goliat, goliat pun mentertawakannya karena tubuhnya yang masih kecil dan usiannya yang masih muda. Saya kira semua ini dapat menciutkan nyali Daud. Mungkin ketika ia memandang Goliat, dan kemudian ia memandang dirinya sendiri, ia merasa seperti anjing chiwawa yang berhadapan dengan anjing rodweller. Tidak ada apa-apa, dan dia bukan siapa-siapa.

Namun Daud tidak mau berhenti sampai disana. Setelah ia memandang kepada raksasa itu dan memandang kepada dirinya sendiri, selanjutnya ia mengarahkan pandangannya kepada Tuhan yang perkasa. Dan ketika ia memandang Tuhan yang perkasa, ia tahu bahwa jika ia BERSAMA DENGAN TUHAN IA PASTI BISA MENGHADAPI GOLIAT. Karena itu dengan berani Daud berkata kepada Goliat “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama Tuhan semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kau tantang itu” (1 Sam 17:45). Di akhir cerita kita tahu, sesuatu keajaiban terjadi. Dengan sebuah batu yang diumban ia dapat merubuhkan Goliat yang perkasa itu. Batu itu melesak kencang pas membenam di dahinya dan menewaskannya. Bagi beberapa orang mungkin kemenangan itu cuma kebetulan, tapi tidak bagi Daud...bagi Daud itu karena jelas ada Tuhan yang ada bersama dengan dia.

Memang jika Tuhan ada bersama kita, adakah masalah yang terlalu besar untuk dihadapi? Karena itu dalam perjanjian baru PauluS pernah mengatakan “Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? (Roma 8:31)”. Bersama Tuhan kita bisa.

Sayangnya saat ini banyak orang Kristen yang menghadapi permasalahan kehidupannya seperti Saul dan pasukan Israel. Mereka melihat masalah yang besar itu, dan mereka memandang pada diri sendiri yang terbatas, tetapi mereka lupa memandang kepada Tuhan. Akibatnya banyak orang yang ketakutan, khawatir, dan terlalu cemas menghadapi masalahnya. Ada juga orang yang akhirnya terlalu berjerih lelah seorang diri mengandalkan kekuatan sendiri untuk mengalahkan masalah mereka.

Ada seorang teman saya yang dulunya adalah seorang yang aktif dalam pelayanannya, namun kini jarang sekali datang beribadah. Ketika saya ada kesempatan sharing-sharing sama dia, dia berkata demikian “Gak bisa Fong, saya baru berkeluarga, anak saya masih kecil; belum lagi saya baru merintis usaha saya; dan usaha yang baru saya rintis ini ada banyak sekali masalah; sekarang saya terjerat utang ini dan itu; saya harus bekerja lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup saya dan menyelesaikan utang-utang itu. Mana mungkin saya sempat ke gereja lagi.” Terus saya berkata kepada dia “Fren, bukannya kalau semakin kamu memiliki masalah dalam kehidupanmu semakin kamu harus mencari dan mengandalkan Tuhan?” Tetapi dia menjawab “Ia sih, tapi saat ini setiap waktu begitu berharga untuk saya lewatkan. Jika saya salah memakai waktu sebentar saja ke gereja, maka kehilangan 2 jam untuk pekerjaan saya. Karena itu saya ga bisa lagi sering-sering kegereja, apalagi melayani. Fiuhh,....andaikan Tuhan menciptakan waktu lebih dari 24 jam.” Sebagai teman yang baik saya berusaha untuk mengerti isi hatinya. Tapi apa yang terjadi setelah percakapan itu? Kurang lebih satu tahun kemudian, usahanya bukan semakin membaik, tetapi semakin berantakan, utang-utang semakin melilit, masalah keluarga juga semakin rumit. Sampai benar-benar ia kehilangan daya untuk menyelesaikan masalahnya. Tapi justru karena itu ia jadi mengingat akan Tuhan. Ia mulai membaca Alkitab setiap hari, mulai rutin beribadah, bahkan ia sering bertanya kepada saya makna dari sebuah ayat. Ia mulai menjalin relasi yang erat dengan Tuhan. Kini ia sadar bahwa tanpa Tuhan ia tidak bisa menghadapinya. Mengatasi masalah tanpa Tuhan hanya mendatangkan kekhawatiran, ketakutan, dan masalah yang lebih besar. Tetapi bersama Tuhan ia merasakan bahwa perlahan demi perlahan, masalah-masalahnya mulai teratasi.

Saudara, kita memang membutuhkan Tuhan. Kita membutuhkan Tuhan untuk menhadapi semua masalah kehidupan ini. Mengandalkan kekuatan sendiri akan sangat terbatas. Kaki kita terlalu lemah untuk menghadinya. Dan tangan kita terlalu kecil untuk mengatasinya. Kita membutuhkan kehadiran Bapa kita yang di Surga. Karena itu mari, jangan pernah berjalan seorang diri. Kita boleh punya masalah yang besar, tapi ingat kita punya Allah yang jauh lebih besar dari masalah kita, dan yang begitu mengasihi kita. Berjalan sendiri kita tidak akan pernah mencapai garis finish. Namun berjalanlah bersama dengan Tuhan, karena bersama Tuhan kita bisa.

No comments: