Monday, December 05, 2011

The Best Gift (Matius 2) #2




Kedua, Pemberian yang terbaik adalah pemberian yang berasal dari hati.
Saya pernah membaca sebuah buku yang membandingkan antara raja Herodes dan orang-orang majus. Buku itu menanyakan: Apakah persamaan dan perbedaan antara Herodes dan orang-orang Majus? Persamaannya ialah mereka sama-sama hendak mencari Tuhan. Ketika orang-orang Majus melihat bintang timur itu, ia pergi mencari raja yang baru lahir itu. Tapi ternyata bukan cuma orang majus yang mencari Tuhan, Herodespun juga mencari Tuhan. Ia menyuruh ahli-ahli Taurat itu untuk menyelidiki kitab suci, dan ia bekerja sama dengan orang majus untuk bersama-sama mencari Tuhan. Sekali lagi, mereka sama-sama mencari Tuhan.

Tapi bedanya ialah: Herodes mencari Tuhan karena dia ingin membunuhnya. Ketika ia mendengar dari orang-orang Majus ini bahwa akan ada seorang raja yang akan lahir yang berkuasa, hatinya terganggu. Ia sadar bahwa ia tidak memiliki anak saat itu yang baru lahir, dan pikirannya langsung mengatakan bahwa ada orang lain yang akan merebut kekuasaannya. Karena itu ia mencari Yesus. Namun ia mencari dengan motivasi yang salah, yaitu untuk membunuhnya. Sementara itu orang majus itu juga mencari Tuhan. Tapi untuk apa ia mencari Tuhan? Di ayat 2 dituliskan orang-orang majus itu bertanya-tanya “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.” Ya, orang Majus itu datang dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk menyembah Tuhan yang akan datang itu.

Banyak orang menceritakan cerita orang Majus ini sedang memberi sesuatu yang terbaik karena ia telah membawakan barang-barang yang terbaik yaitu emas, kemenyan, dan mur. Memang harus diakui barang-barang ini bukan barang-barang murah, dan merupakan barang-barang pemberian terbaik pada waktu itu, yang biasa diberikan untuk seorang raja. Tapi saya kira bukan hal itu yang dipandang Tuhan sebagai pemberian terbaik. Pemberian terbaik dari orang majus itu ialah ketika ia mencari tuhan untuk menyembah Dia. Itulah pemberian yang terbaik di mata Tuhan, yaitu pemberian dengan hati yang menyembah.

Hati yang menyembah itu bukan sekedar seperti seorang bawahan yang wajib menyembah karena takut dihukum oleh atasannya. Tapi hati yang menyembah disini lebih kepada sikap kagum, hormat, segan, takut, sekaligus sikap tunduk. Bukan hanya itu, sikap menyembah di sini juga melambangkan betapa seseorang itu percaya, berserah dan taat kepada orang yang di sembah. Kata menyembah (proskuneo) waktu itu adalah sikap menyembah di mana badan membungkuk, dahi sampai menyentuh tanah tepat di depan kaki orang yang disembahnya. Sikap seperti ini merupakan sikap yang sangat lemah di mana orang yang menyembah tidak bisa melihat apa-apa, dan seakan ia berkata “silahkan kamu perlakukan saya seperti yang kamu mau.” Jadi ketika ia menyembah seseorang, itu berarti ia berserah, ia pasrah, dan ia mempercayakan hidupnya untuk diatur oleh orang yang disembahnya. Inilah yang dilakukan oleh orang majus itu, yaitu ketika ia mempersembahkan hatinya kepada Tuhan. Dan inilah pemberian yang terbaik, yaitu pemberian dengan hati. Tidak ada pemberian yang lebih baik daripada pemberian dari hati yang terdalam.

Ada sepasang suami istri yang baru saja dianugerahi seorang anak, mereka begitu bahagia sekali. Tetapi setelah 3 hari, sang dokter memanggil si ayah ke rumah sakit. Lalu si dengan berat hati si dokter mengatakan bahwa ternyata anaknya mengalami kecacatan seumur hidup, yaitu cacat mental.

Walaupun pasangan ini sangat sedih mendengar hal itu, tapi hal tersebut tidak sedikitpun mengurangi rasa cintanya terhadap anaknya, walaupun anak itu cacat. Terlihat dari sikap ayahnya tiap pergi keluar misalkan untuk berpesta dengan rekan kerjanya, ia selalu membawa serta istri dan anaknya. Dan di depan rekan-rekan kerjanya atau teman-temannya, ia selalu membanggakan dan memuji anaknya, karena baginya anaknya ini adalah anugerah Allah yang terbesar dalam dirinya. Tetapi setelah anak itu bertumbuh makin dewasa, kecacatannya semakin kelihatan. Kemampuan komunikasinya kurang, jika terjemur matahari sebentar mulutnya akan keluar busa, dan jika sedang berbicara kadang air liurnya menetes. Tetapi sekali lagi, meskipun demikian, kedua orang tua tetap sangat sangat menyayangi anak mereka yang cacat itu.

Suatu hari, pagi-pagi sekali anak cacat ini sudah bangun, sekitar pukul 4.30 am. Dalam pikirannya, 'Hari ini, aku pengen buat sarapan yang spesial buat papa.' Setelah doa pagi, ia pergi menuju dapur. Ia mengambil potong roti, lalu menaruhnya dalam oven, dan menyetel waktunya sampai 10 menit. Tentu saja hasilnya gosong. Lalu ia mengoleskan selai kacang keju yang (amat) sangat banyak, sambil berpikir, 'Harus kasih yang baaaaanyak buat papa, biar ueeeeenak rasanya'. Setelah itu, ia teringat bahwa biasanya mamanya membuat roti dengan telur. Lalu ia berlari ke kulkas mengambil sebutir telur. Dan lalu memanaskan panci di atas kompor, lalu memecahkan telur tersebut dan menaruhnya di atas roti bakar yang gosong itu. Lalu ia bergegas mengambil cangkir, dan mengambil toples kopi bubuk. Jika kita hanya membutuhkan 2 sendok teh, anak cacat ini memakai 5 sendok teh kopi bubuk, sambil berpikir, 'Kalau 2 sendok the saja sudah harum, apalagi 5, pasti papa suka.' Lalu si anak cacat ini mengambil nampan, lalu dengan hati-hati ia membawa semua piring yang di atasnya ada roti gosong dan telur mentah dan cangkir kopi tua tersebut, dan menuju kamar ayahnya. Lalu ia membangunkan ayahnya, dan lalu berkata begini, 'Papa, bangun dong, aku udah buat sarapan yang spesiaaaaaaaal buat papa.' Lalu ayahnya bangun dan melihat dan menghirup aroma 'sedap' dari roti gosong, telur mentah dan kopi tua tersebut. 'Wah pasti enak nih.'
Lalu ayahnya mecoba roti gosong tersebut, dan setelah ayahnya mengunyah gigitan pertama, si anak cacat dengan polosnya bertanya, 'Enak kan pa?' 'Iya, enaaaak sekali,' lalu melanjutkan makan. Setelah roti tersebut habis, ia memakan telur mentah tersebut. Dan si anak bertanya, 'Telurnya enak kan pa? Aku yang masak semuanya loooo….' Si ayah berkata, 'Wah kamu yang masak? Enak sekali nak.' Lalu si ayah melanjutkan memakan telur mentah tersebut. Setelah semua makanan habis, ia mecoba kopi tua itu. Si anak bertanya lagi, 'Harum dan enak kan pa?' Si ayah tanpa expresi mual apapun, membalasnya, 'Pahit, tapi papa suka sekali.' Setelah semuanya habis, si ayah membelai kepala anaknya dan berkata 'Ray, kamu tau nggak…' 'Nggak paa,' potong si anak cacat tersebut. Lalu si ayah melanjutkan, 'Kalau semua masakan kamu, enaaaaak sekali.' Lalu si anak menjawab, 'Iya dong pa, kan aku yang masakin, spesiaaaaaal buat papa.' Lalu si ayah berkata lagi, 'Kamu tahu nggak kenapa papa senang hari ini?' Si anak sambil menggelengkan kepala, 'Nggak tau pa….' 'Karena hari ini kamu dah buat sarapan yang, spesiaaaaal buat papa.' Mengapa masakan itu bisa spesial bagi papanya? Itu jelas karena anaknya memberikan dengan hati.

Saya kira bagi Tuhan juga demikian. Ia menginginkan pemberian yang terbaik dari setiap kita anaknya, yaitu pemberian dari hati terdalam. Kita bisa memberikan waktu kita untuk Tuhan, kita bisa memberikan tenaga kita dengan melayani berbagai banyak bidang, kita bisa memberikan harta kita melalui persembahan-persembahan syukur kita, tapi jika dalam setiap pemberian itu tidak diselipkan hati yang sungguh menyembah dan mengasihi Tuhan, maka semua pemberian itu sia-sia. Tuhan menginginkan pemberian dari hati yang menyembah, yang didasari oleh rasa cinta yang tulus; yang diikuti dengan sikap berserah dan pasrah kepada kehendaknya. Orang yang memberi segalanya belum tentu memberikannya dengan hati, tapi orang yang memberi dengan hati, ia akan melakukan segalanya. Karena itu mari kita memberikan hati kita kepada Tuhan.

No comments: