Inilah sepenggal lyric yang tercipta dari tangan seorang pujangga di Indonesia. ‘Menangislah jika harus menangis’ demikianlah katanya. Mengapa harus berpura-pura tegar dan kuat, sementara jiwamu rapuh dan retak? Mengapa kita harus terus tersenyum sementara sukmamu merana? Mengapa kita harus tertawa jika sebenarnya kita harus menangis?
Awal Januari 2011 yang lalu, saya kehilangan seorang teman sekaligus rekan pelayanan. Dia yang usianya masih tergolong muda, 24 tahun, harus menderita kanker ganas dalam tubuhnya. Kanker itu menyerang buas sejak diketahui keberadaannya pertama kali di bulan Oktober 2010. Dalam kurun waktu kurang lebih tiga bulan, akhirnya iapun berpangku di sisi Bapa. Semua orang menangis. Sahabat-sahabat, rekan-rekan pelayanan, kerabat-kerabat, dan terutama keluarganya. Orangtuanya tampak begitu terpukul, karena anak yang meninggal ini merupakan anak laki-laki satu-satunya yang mereka miliki. Karena itu derai tangis, dan raung riakpun bergema ketika melepaskan kepergiannya. Namun di tengah kepedihan dan suasana duka itu, datanglah salah satu kakak dari orang tuanya dan memarahi mereka. “Sudah gak usah menangis, ngapain kamu menangis; Kamu cuma bikin anakmu tambah susah hati saja di Surga!” Berkali-kali ia mengucapkan hal itu dan membentak keluarga yang sedang menangis. Tapi percuma saja. Kesedihan itu terlalu berat untuk dipikul. Sehingga tangisan tetap bergaung sepanjang malam itu.
Mengapa tidak menangis jika harus menangis? Bukankah ada banyak orang yang berpikir seperti kakak dari orang tua teman saya tersebut? Memang apa yang dilakukannya cukup ekstrim karena melarang orang menangisi kepergian anak sendiri. Namun jujur saja, dalam kehidupan ini ada begitu banyak orang yang tidak menghargai arti sebuah air mata. Air mata melambangkan kelemahan, katanya. Air mata hanya untuk pecundang, ungkapnya. Laki-laki tidak boleh menangis, titahnya. Air mata sama dengan kekalahnya, pendapatnya. Namun benarkah demikian?
Jika Daud, yang dikatakan sebagai ‘seorang yang berkenan’ di hadapan Tuhan, mendengar pengertian itu, ia tidak akan setuju. Sebab Daud pernah merasakan hal yang sebaliknya: Bahwa di dalam setiap tangisan yang dilontarkannya, ia justru menemukan kekuatan dari Tuhan. Tak heran dalam seluruh Kitab Mazmur kita akan menemukan ada begitu banyak mazmur yang berisikan ratapan, di mana pemazmur berseru dan menangis di hadapan Tuhan.
Salah satu Mazmur ratapan yang dilontarkan oleh Daud terdapat di pasal 6 ini. Dalam Mazmur ini sepertinya Daud sedang mengalami banyak pergumulan. Tidak jelas apa yang menjadi permasalahan Daud pada waktu itu. Para penafsir tidak ada yang sepakat mengenai latar belakang permasalahannya. Namun yang jelas ia sedang mengalami pergumulan yang berat.
Di ayat pertama Daud merasa seperti seorang hukuman. Ia takut dihukum dan merasakan panas amarah Tuhan. Tampaknya Daud sedang bergumul tentang dosa-dosanya. Kalau kita melihat kehidupan Daud, memang di tengah keperkasaannya acapkali ia terjatuh. Di satu sisi ia pernah mengalahkan Goliat dengan mata yang memandang kepada Tuhan. Namun di sisi lain dengan mata yang sama ia memandang Batsyeba dengan penuh nafsu. Di satu sisi ia begitu mencintai keadilan, tapi disisi lain ia pernah berlaku tidak adil terhadap Uria suami Batsyeba. Di satu sisi ia dapat menjadi sosok yang rendah hati, namun di sisi lain ia dapat terjebak dengan keangkuhan diri. Itulah Daud. Manusia yang kuat, sekaligus lemah. Dan dalam Mazmur ini ia sedang bergumul tentang dosa yang diperbuatnya. Entah dosa apa yang diperbuatnya, yang pasti ia takut menerima murka dari Tuhan.
Di ayat kedua Daud mengungkapkan pergumulan berikutnya. Ia mengatakan “Kasihanilah aku, TUHAN, sebab aku merana; sembuhkanlah aku, TUHAN, sebab tulang-tulangku gemetar,...” Di sini Daud melanjutkan pergumulannya seakan ia sedang bergumul dengan sakit penyakit. Begitu beratnya rasa sakit itu sehingga ia memohon belas kasihan Tuhan dengan sangat untuk menyembuhkannya. Secara fisik ia berkata bahwa ‘tulang-tulangnya gemetar’. Tulang yang menjadi penopang seluruh tubuhnya sudah berada diambang batas kekuatannya. Daud merasa tubuhnya lemah tak berdaya. Orang Timur Tengah waktu itu sering menghubungkan sakit penyakit sebagai hukuman Tuhan akibat dari dosa. Karena itu Daud sangat terpukul. Barangkali ia menganggap sakit penyakitnya ini berkaitan erat dengan dosa yang dilakukannya.
Bukan hanya bergumul dengan dosa dan sakit penyakit, dari ayat 8 dan10 kita dapat melihat pergumulannya yang lain, di mana ia tertekan oleh musuh-musuhnya. Tiga kali Daud mengatakan hal yang serupa: lawanku, pembuat kejahatan, musuhku, yang menunjukkan ia sedang menghadapi musuh di luar dirinya. Dalam perjalanan kehidupan Daud waktu itu memang ada banyak musuh yang ingin membunuh dirinya. Dari pemimpinnya sendiri, rekan kerja, sahabat, bahkan Absalom anak kandungnya sendiri turut andil dalam bilangan orang yang ingin membunuhnya. Berkali-kali Daud hidup sebagai pelarian menghindari teror yang dilemparkan musuh-musuhnya. Rasa teror yang terus menerus terjadi sangat memungkinkan menekan jiwa seseorang.
Karena itulah Daud meratap dengan sangat. Ia mengalami pergumulan yang begitu kompleks. Pergumulan-pergumulan itu begitu buas merongrong dirinya baik secara fisikal maupun spiritual, baik internal maupun eksternal, baik kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Jiwanya tercabik-cabik oleh tubi-tubi persoalan yang dihadapi. Oleh sebab itu ia berseru kepada Tuhan: “Berapa lama lagi Tuhan?” Sebuah seruan yang menyaratkan akan kekuatan yang sudah hampir habis, tumpuan kaki yang hampir terjatuh, dan asa yang hampir sirna.
****
Pernahkah saudara mengalami pergumulan yang demikian? Sebuah pergumulan,. . . . tidak! Bukan sebuah, melainkan bertubi-tubi pergumulan yang melanda hidup saudara tanpa ampun? Mungkin sakit penyakit sedang menyerang kehidupan kita dan orang yang kita kasihi tanpa permisi; dan penyakit itu menguras banyak biaya dan tenaga padahal kemungkinan untuk bertahan hidup hanya setipis kertas; Atau terlebih lagi mungkin kita baru kehilangan orang yang kita kasihi; Sementara itu entah tanpa sebab, pesaing bisnis atau rekan kerja kita sendiri ternyata berusaha menjerat dan menjatuhkan usaha yang kita rintis dengan cara-cara yang licik dan picik. Bahkan orang yang paling kita percaya sekalipun turut berupaya menjatuhkan kita; Di lain pihak kita harus bergumul dengan masalah relasi dengan orang-orang di sekitar kita. Suami yang tidak pernah mau mengerti perasaan kita. Istri yang selalu membebani. Anak-anak yang tidak pernah mendengar dan suka melawan. Orang tua yang selalu menuntut. Sahabat-sahabat yang tidak memahami kita,dsb; Ditambah lagi ada pergumulan-pergumulan pribadi yang begitu membebani bagai duri dalam daging yang terus menggocoh hidup kita. Bertahun-tahun lamanya kita bergumul dan berjuang untuk mengatasi kelemahan-kelemahan itu. Namun bukannya semakin membaik, semakin kita berjuang duri itu nyata-nyata malah menancap lebih dalam lagi merobek dan melukai kehidupan kita; Dan ketika kita mau menghampiri Tuhan, kita merasa malu karena dosa-dosa yang sudah menjadi kebiasaan hidup kita sejak kita kecil, yang sudah menjerat dan begitu sukar untuk dilepaskan.
Pernahkah saudara mengalami hal yang demikian? Kumpulan pergumulan yang kompleks dan begitu menyesakkan kita. Hati kita tersayat-sayat sepanjang hari. Ia meneror malam kita dengan perasaan cemas. Dan ia menyambut pagi kita dengan perasaan khawatir. Perlahan tapi pasti ketakutan melingkupi seluruh jiwa dan perasaan kita. Dan semua itu membuat kita lemah tak berdaya. Jalan di hadapan kita tampak buntu, dan kegelapan begitu dekat dengan kita.
Ditengah pergumulan yang bertubi-tubi seperti ini apa yang akan saudara lakukan? Berusaha menghadapinya dengan sisa-sisa kekuatan yang hampir habis itu? Menyalahkan situasi dan orang-orang yang menyebabkan semua pergumulan itu? Atau menarik diri dari kenyataan dan berusaha lari sejauh-jauhnya menghindari realita yang ada?
No comments:
Post a Comment