Kehidupan
manusia dibumi ini dipenuhi oleh banyak pergumulan. Pergumulan itu bagaikan sahabat yang selalu
menemani disepanjang hidup kita. Pergumulan itupun bersifat mistery; kita tidak
tau kapan ia akan menghampiri kita, dan menggoncang kehidupan kita. Ada pergumulan yang berat, ada pergumulan
yang ringan, ada juga pergumulan yang sedang-sedang saja. Gagal
atau tidaknya kita menghadapinya seakan-akan tergantung dari seberapa besar
kekuatan yang dimiliki masing-masing orang.
Tetapi walau demikian….Yang pasti, tidak ada manusia yang terlalu kuat
untuk yang tidak pernah menangis dalam menghadapi pergumulan hidup. Sebab kekuatan manusia ada batasnya.
Kekuatan
Ayubpun ada batasnya. Pasal 7 menunjukkan akan hal ini. Pasal ini menyatakan akan betapa rapuhnya dan
tidak berdayanya Ayub. Jika di pasal 1
kita masih terkagum-kagum dimana Ayub begitu tegar menghadapi penderitaannya; pasal 7 menunjukkan akan kerapuhannya dan
keterbatasannya dalam mengatasi masalah hidup.
Dan saya kira apa yang Ayub rasakan mewakili apa yang semua manusia
rasakan, termasuk setiap kita disini, pada saat kita mendapatkan pergumulan
yang berat.
Di
ayat 1-10 ini di pasal ini Ayub menyatakan isi hatinya yang terdalam. Diawali dengan pernyataan: bukankah manusia
harus bergumul di bumi ini, dan hari-harinya seperti orang upahan? Ayub menggambarkan pergumulan itu bagaikan
seorang budak, yang terikat pada tuannya, yang tidak bisa lari kemana-mana, dan
tidak berdaya, hanya dengan sabar menerima nasib menjadi orang rendah yang
tidak berpengharapan. Demikian
pergumulan itu membuat dia seperti budak.
Ia tidak berdaya, tidak bisa melawan beban berat itu, dan mau tidak mau
harus menuruti kemauan dari pergumulannya.
Berikutnya
di ayat yang ke-3 & 4 Ayub mulai merasa hidupnya sia-sia. Setiap malam ia merasakan gelisah yang
berat. Ia tidak bisa tidur karena
dihantui pergumulan itu. Dan pergumulan
yang berat itu membuatnya dadanya sesak.
Setiap malam datang mungkin ia berkata pada dirinya, semoga hari esok
sudah tidak ada daripada hidup terus menderita.
Saya yakin saudara juga pernah mengalami hal ini. Pergumulan yang begitu berat, membuat hati
kita sesak tidak bisa tidur, menangis sepanjang malam sampai matahari
terbit. Dan rasanya tidak ada kekuatan
kita mulai sirna untuk menghadapi hari esok.
Selanjutnya
Ayub juga merasakan tiada lagi harapan.
Di ayat 6 dikatakan hariku berlalu lebih cepat daripada torak dan
berakhir tanpa harapan. Torak itu
seperti bekas bahan sewaktu orang menenun, yang dipakai sebentar lalu kemudian
dalam sekejap bekas bahan tenunan itu menjadi sampah dan dibuang. Ayub merasakan hidupnya seperti itu. Ia kehilangan pengharapannya. Di ayat 7 dikatakan bahwa matanya tidak
sedikitpun melihat yang baik. Bukankah
itu yang dialami ketika kita tidak lagi memiliki pengharapan. Segala sesuatu yang ada didepan kita tampak
tidak jelas. Semuanya buruk. Kita seperti tersesat dalam sebuah gua, dan
tidak sedikitpun melihat secercah cahaya.
Semuanya gelap…. Tidak ada harapan.
Bukan
hanya itu yang dialami oleh Ayub. Selain
merasa hidupnya sia-sia, selain kehilangan pengharapan, iapun merasa bergumul
seorang diri. Di ayat 8 dikatakan: orang
yang memandang aku tidak akan melihat aku lagi, sementara Engkau memandang aku,
aku tidak ada lagi. Ayat 10 melengkapi:
Ia tidak lagi kembali kerumahnya, dan tidak dikenal lagi oleh tempat
tinggalnya. Ayub merasa seorang
diri. Pergumulan itu begitu hebat
sehingga ia merasa tidak ada satu orangpun yang dapat mengerti dirinya.
Saudara, saya kira setiap kita pernah merasakan apa yang Ayub
rasakan ketika menghadapi pergumulan yang hebat. Perasaan tidak berdaya menghadapi semua
masalah yang menekan. Rasanya kekuatan
kita hampir sirna menghadapi pergumulan itu.
Perasaan hidup yang sia-sia.
Mungkin sakit penyakit, masalah ekonomi, atau segala duri dalam daging
kita telah menghancurkan semua impian dan cita-cita kita. Bahkan kita mungkin pernah merasakan apa yang
namanya putus asa. Kehilangan
harapan. Semua tampak gelap, seakan
tidak ada jalan keluar. Kita merasa
berjalan seorang diri, tidak ada satu orangpun yang mengerti perasaan
kita. Suami tidak, istri tidak,
anak-anak tidak, sahabat-sahabatpun tidak.
Saya yakin saudara ditempat ini pernah merasakan apa yang dirasakan
Ayub. Bahkan mungkin saja saat ini bapak
ibu datang dengan membawa segala perasaan itu.
Karena
itu mari kita melihat kembali kepada tokoh Ayub. Ditengah kesesakannya, ditengah keputus asaaanya,
ditengah ketidakberdayaan dan keputusasaannya menghadapi pergumulan
hidupnya, Ayub memilih untuk berseru dan
memohon kepada Tuhan. Pasal 7 ini
dibagi 2 bagian. Bagian pertama ayat
1-10 berisikan apa yang dirasakan Ayub terhadap pergumulannya, sementara ayat
11-21 berisikan seruan Ayub kepada Tuhan.
Diawalin
di ayat 11dimana dengan susah hati Ayub berkata: oleh sebab itu, aku pun tidak
akan menahan mulutku, aku akan berbicara dalam kesesakan jiwaku, mengeluh dalam
kepedihan hatiku. Hatinya sudah tidak
tahan lagi, ia ingin segera menyampaikan keluh kesahnya dihadapan Tuhan. Ayat-ayat selanjutnya ia menyatakan kepada
Tuhan akan keluh kesahnya. Ya… Ayub
menyatakan isi hatinya kepada Tuhan.
Walaupun ia tau bahwa mempertanyakan kedaulatan Tuhan itu tidak baik,
namun kesesakan hatinya mendorongnya untuk berseru kepada Tuhan secara
apa-adanya. Ia memilih untuk menjadi
seperti seorang anak kecil yang bertanya kepada Bapanya segala sesuatu yang ia
tidak mengerti. Ia menyatakan dihadapan
Tuhan bahwa ia lebih baik mati daripada hidup demikian. Ia bertanya sebenarnya siapakah manusia,
sehingga Tuhan mengagungkannya. Bahkan
Ayub bertanya: apa salah dan dosaku ya Tuhan?
(mengingat pada jaman dulu ada konsep bahwa sakit penyakit itu merupakan
kutuk atas kesalahan yang diperbuat manusia).
Bahkan dalam pergumulan yang berat itu, Ayub berani bertanya kepada
Tuhan: Mengapa Engkau tidak mengampuni
pelanggaranku dan tidak menghapus kesalahanku?
Mengapa Engkau tidak mencari Aku?
Ayub merasa Tuhanpun tidak peduli terhadap dirinya.
Saudara,
memang doa yang disampaikan Ayub ini tidak benar. Tidak benar kalau Tuhan tidak peduli terhadap
Ayub. Tidak benar kalau Ayub bertanya
apa dosa dan salahku. Tidak benar kalau
dikatakan Tuhan tidak mau mengampuni.
Semua itu tidak benar. Tapi bukan
poin ini yang ingin saya ajak jemaat renungkan.
Namun mari kita belajar sperti Ayub, yaitu belajar menyerukan segala isi
hati kita dihadapan Tuhan. Saya yakin
Ayub merupakan seorang yang saleh. Ia
tau bahwa Tuhan itu peduli. Ia tahu
bahwa Tuhan itu maha kasih dan maha pengampun.
Dan Ia tahu bahwa bukan Tuhan yang menyebabkan Ia menderita. Namun semua kesesakan dan pergumulan yang
hebat itulah yang mendorongnya mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan. Segala sesuatu yang terlintas dalam
pikirannyapun di ajukan kepada Tuhan.
Seperti seorang anak kecil yang bertanya kepada papanya mengapa ini
terjadi, mengapa itu terjadi.
Saudara,
mari pada saat ini kitapun berseru kepada Tuhan untuk segala pergumulan yang
kita hadapi. Mungkin diantara kita ada
yang sedang merasa tidak berdaya karena permasalahan kehidupan yang berat,
mungkin diantara kita mulai berpikir bahwa hidup ini sia-sia, atau bahkan ada
yang mulai kehilangan harapan, merasa seorang diri menghadapi. Mari kita mengambil langkah seperti
Ayub. Mari kita berseru kepada
Tuhan. Berdoa, curahkan seluruh isi
hatimu dihadapan-Nya. Mazmur 62:9
berkata “berharaplah
kepada Allah setiap waktu; curahkanlah isi hatimu kepada-Nya, sebab Dialah
tempat kita berlindung.”
No comments:
Post a Comment